Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit diabetes pertama kali dideskripsikan pada masa Mesir Kuno lebih
dari 3500 tahun yang lalu. Saat itu penyakit ini digambarkan sebagai ‘sangat
banyak buang air kecil’. Sekitar 2000 tahun yang lalu, terdapat laporan dari Turki
yang menyebutkan penyakit ini sebagai kehausan yang sangat serta kencing yang
banyak. Pada tahun 1900, Stobolev di Rusia dan Opie di USA, pada waktu yang
hampir bersamaan menyebutkan bahwa diabetes mellitus terjadi akibat dari
destruksi pulau-pulau Langerhans kelenjar pankreas (Brink SJ, dkk. 2010).
Diabetes mellitus merupakan ganguan metabolik/endokrin yang paling
umum pada masa kanak-kanak dengan konsekuensi penting terhadap
perkembangan fisik dan emosi. Pengaruhnya terhadap kualitas hidup, serta
morbiditas dan mortalitas, terutama diakibatkan komplikasi yang melibatkan
pembuluh darah kecil dan besar, menimbulkan retinopati, nefropati, neuropati,
penyakit jantung iskemik, serta obstruksi pembuluh darah besar.
Angka kejadian diabetes mellitus di USA adalah sekitar 1 dari setiap 1500
anak (pada anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari 350 anak (pada anak usia 18
tahun). Puncak kejadian diabetes adalah pada usia 5-7 tahun serta pada masa awal
pubertas seorang anak. Kejadian pada laki-laki dan perempuan sama (Weinzimer
SA, Maggae S. 2005).
Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data
registry nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK Endokrinologi PP
IDAI, terjadi peningkatan jumlah dari 200-anak dengan DM pada tahun 2008
menjadi 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat dimungkinkan angkanya lebih
tinggi apabila kita merujuk pada kemungkinan anak dengan DM yang meninggal
tanpa terdiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien
DM tipe 1 yang dilaporkan (Moelyo, AG. 2011).

BAB II

1
TINAJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diabetes mellitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaaan, di antaranya adalah
gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja dari hormon insulin atau
gangguan kedua-duanya (Weinzimer SA, Maggae S. 2005).
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi disebabkan oleh karena kerusakan sel β-
pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses autoimun maupun
idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang atau terhenti. Sedangkan DM
tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan
sindrom resistensi insulin lainnya seperti obesitas, hiperlipidemia, akantosis
nigrikans, hipertensi atau hiperandrogenisme ovarium (Rustama DS, dkk. 2010).

2.2 Epidemiologi

Prevalensi dari Diabetes mellitus tipe 1 diantara pasien berusia <20 tahun
di United States adalah sebanyak 1,54 kasus per 1000. Prevalensi tertinggi
didapatkan pada anak yang berkulit putih yaitu sebanyak 2.0 kasus per 1000,
dimana jumlah ini 50% lebih tinggi dibandingkan pada anak yang berkulit hitam
(1.34 kasus per 1000). Perbandingan angka kejadian antara laki-laki dan wanita
hampir sama, sebuah fakta yang membedakan TIDM dengan penyakit autoimun
lainnya, dimana cenderung lebih banyak mengenai wanita

Insiden dari diabetes mellitus tipe 1 pada populasi anak-anak di US adalah


sebanyak 19.0 kasus per 100.000 orang/tahun. Insiden tertinggi pada golongan
non-hispanik anak yang berkulit putih diikuti dengan anak yang berkulit hitam
dan anak ras hispanik ( 23.8, 14.2, dan 13.7 kasus per 100.000 orang/tahun.

Usia puncak terjadinya TIDM di US terjadi pada awal masa pubertas anak
sampai pertengahan pubertas. Dibeberapa studi,onset kerjadian pada variasi
musim telah mulai diamati, insiden tertinggi Diabetes Melitus tipe 1 terjadi
selama musim dingin, dan insiden terendah terjadi saat musim panas. Hal ini
berkaitan pada musim dingin memiliki tingkat viral infeksi yang tinggi yang dapat

2
menyebabkan stress metabolik yang melebihi kemampuan dari b-cell mass untuk
memproduksi insulin dan mempertahankan euglikemia. Tingkat insiden dari
T1DM mengalami peningkatan di United States setiap tahunnya, dengan rata-rata
peningkatan 2,3% pertahun.

Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data
registry nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK Endokrinologi PP
IDAI, terjadi peningkatan jumlah dari 200-anak dengan DM pada tahun 2008
menjadi 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat dimungkinkan angkanya lebih
tinggi apabila kita merujuk pada kemungkinan anak dengan DM yang meninggal
tanpa terdiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien
DM tipe 1 yang dilaporkan (Moelyo, AG. 2011).

2.3 Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolescene Diabetes dan WHO
merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (ISPAD 2009)

I. DM Tipe-1 (destruksi sel-β)


a. Immune mediated
b. Idiopatik
II. DM Tipe-2
III. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel β
b. Defek genetic pada kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pancreas
Pankratitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasma; Kistik fibrosis;
Haemokhromatosus; Fibrokalkulus pankreatopati; dan lain-lain.
d. Gangguan endokrin
Akromegali; Sindrom Cushing; Glukanoma; Feokromositoma;
Hipertiroidisme; Somatostatinoma; Aldosteronoma; dan lain-lain.
e. Terinduksi obat dan kimia

3
Vakor; Pentamidin; Asam nikotinik; Glukokortikoid; Hormon
tiroid; Diazoxid; Agonis β-adrenergik; Tiazid; Dilantin; α-
interferon; dan lain-lain.
IV. Diabetes Mellitus Kehamilan

Sumber : ISPAD Clinical Practice Consensus Guidlines 2009

2.4 Patofisiologi
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya
penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke
tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan
mereka dengan DM tipe 1. Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi
antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel
islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada bagian
pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari
ekstrak sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel
beta tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk
bereaksi dengan semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi
sebagai GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi
IgG yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua
monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target autoantigen.
Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama pada DM tipe 1, makanya
antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes,
walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik tetapi
yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease.

4
Gambar 1. Patomekanisme terjadi DM tipe 1

Destruksi progresif sel-sel beta mengarah pada defisiensi insulin progresif.


Insulin merupakan hormon anabolik utama. Sekresi normal sebagai respons
terhadap makanan secara istimewa dimodulasi oleh mekanisme neural, hormonal
dan berkaitan substrat yang memungkinkan pengendalian penyusunan bahan
makanan yang dikonsumsi sebagai energi unutuk penggunaan segera atau dimasa
mendatang; mobilisasi energi selama keadaaan puasa tergantung pada kadar
insulin plasma yang rendah.
Kendatipun defisiensi insulin merupakan cacat primer, beberapa
perubahan sekunder yang melibatkan hormon stress (epinefrin, kortisol, hormon
pertumbuhan dan glukagon) memperbesar kecepatan dan beratnya dekompensasi
metabolik. Peningkatan konsentrasi plasma dari hormon kontra-regulasi ini
memperberat kekacauan metabolik dengan mengganggu sekresi insulin
selanjutnya (epinefrin), mengantagonisme kerja insulin (epinefrin, kortisol,
hormon pertumbuhan), serta mempermudah glikogenolisis, glukoneogenesis,
lipolisis dan ketogenesis sambil menurunkan penggunaan glukosa serta clearance
ginjal. Semua perubahan normal ini kembali normal dengan terapi insulin yang
adekuat. Namun dapat dilakukan supresi selektif beberapa hormon kontra-

5
regulasi. Misalnya supresi glukagon, hormon pertumbuhan dan aliran darah organ
dalam oleh diabetes, memperlambat kecepatan perkembangan ke arah
ketoasidosis, serta mempermudah pengendalian metabolik.
Defisiensi insulin bersama dengan kadar epinefrin, kortisol, hormon
pertumbuhan dan glukagon plasma yang berlebihan, berakibat pada produksi
glukosa yang tak terkendali serta gangguan penggunaanya; akibatnya timbul
hiperglikemi dan peningkatan osmolalitas. Kombinasi defisiensi insulin dan
peningkatan kadar plasma hormon kontraregulasi juga bertanggung jawab atas
percepatan lipolisis dan ganguan sintesis lipid, yang berakibat peningkatan kadar
plasma lipid total, kolesterol, trigliserid dan asam lemak bebas. Keadaan
hormonal yang saling mempengaruhi antara defisiensi insulin dan kelebihan
glukaakan menmbulkan jalan pintas bagi asam lemak bebas untuk membentuk
keton; kecepatan pembentukan keton ini, terutama betahidroksibutirat dan
asetoasetat, melampui kapasitas pengunaan perifer serta ekskresi ginjal.
Akumulasi asam keton ini menimbulkan asidosis metabolik serta pernafasan
kompensasi yang cepat sebagai usaha mengekskresi kelebihan CO2 (pernafasan
kussmaul). Aseton yang dibentuk melalui konversi non-enzimatik asetoasetat,
bertanggung jawab atas timbulnya bau buah yang karakteristik pada pernafasan
ini. Keton diekskresi ke dalam kemih bersama-sama dengan kation, yang
selanjutnya meningkatkan kehilangan air dan elektrolit. Dengan dehidrasi
progresif, asidosis, hiperosmolaritas dan berkurangnya penggunaan oksigen otak,
maka terjadi gangguan kesadaran dan pasien akhirnya jatuh ke dalam koma.
Dengan demikian, defisiensi insulin menimbulkan suatu stasus katabolik yang
dalam-suatu kelaparan berat- dimana semua gambaran klinis awal dapat
dijelaskan atas dasar perubahan metabolisme perantara yang talah diketahui.
Keparahan dan lamanya gejala mencerminkan derajat insulinopenia. (Richard
E.Behrman, 1992)

6
Adanya gangguan dalam regulasi insulin, khususnya pada DM tipe 1 dapat
dengan cepat menjadi diabetik ketoasidosis manakala terjadi :
1). Diabetes tipe 1 yang tidak terdiagnosa
2). Ketidakseimbangan jumlah intake makanan dengan insulin
3). Adolescence dan pubertas
4). Aktivitas yang tidak terkontrol pada diabetes
5). Stres yang berhubungan dengan penyakit, trauma, atau tekanan emosional.

Gangguan produksi atau gangguan reseptor insulin.

Penurunan proses penyimpanan glukosa dalam hati.

Penurunan kemampuan reseptor sel dalam uptake glukosa.

Kadar glukosa >>,.

Hiperosmolar dalam peningkatan proses glikolisis dan glukoneogenesis

Proses pemekatan <<

Glukosuria shiff cairan intraseluler ekstraseluler

Pembentukan benda keton

Poliuria

Dehidrasi

7

Keseimbangan kalori negatif rangsang metabolisme anaerobic

Polifagia dan tenaga <<asidosis

Kesadaran terganggu

Nutrisi : kurang dari kebutuhan ganguan kes. Cairan dan elektrolit

2.5 Kriteria Diagnosis


Gejala klasik
Onset baru T1DM pada pasien anak biasanya akan memperlihatkan gejala
klasik seperti poliuri dan polidipsi (69%), polifagia dan kehilangan berat
badan (33%). Pasien dan keluarga biasanya melaporkan durasi gejala ini
sebnyak 1 sampai 2 kali dalam seminggu, terkadang dalam beberapa bulan.
Setelah itu gejala ini akan sering muncul setelah episode enuresis atau dengan
emergenci nocturia. Pasien akan mengeluhkan gejala yang sama-samar
seperti merasa kelelahan, dan penglihatan yang kabur. 6

Ketoasidosis Diabetikum
Pada beberapa kasus, pasien dengan onset baru T1DM akan datang dengan
ketoasidosis diabetikum. Anak-anak dan remaja ini cenderung
memperlihatkan gejala yang sama seperi (poliuria,polidipsi, polifagia dan
kehilangan berat badan), yang akan menjadi lebih buruk. Seperi asidosis pada
umumnya, pasien akan kehilangan nafsu makan, mual, muntah dan
mengalami nyeri perut sebagai gejala yang signifikan. Untuk mengimbangi
terjadinya perburukan ketoasidosis, akan terjadi hyperpnea ( pernafasan
kusmaul). Jika tidak ditangani, status neurologis secara progresif akan
memburuk. Faktor resiko DKA berhubungan dengan usia muda, terutama

8
pada anak-anak yang berusia < 2 tahun, minoritas etnik status, sosial ekonomi
yang rendah dan tingkat pendidikan orang tua.

DIAGNOSIS
Diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan
gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal
satu kali sudah dapat menegakkan diagnosis DM. sedangkan bila tanpa
gejala, maka diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula darah abnormal
pada waktu yang berbeda (Rustama DS, dkk. 2010; SIPAD Clinical Practice
Consencus Guidelines 2009).
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah :
1. Kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau
2. Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau
3. Kadar gula darah postpandrial > 200 mg/dL

Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, maka perlu dilakukan


pemeriksaan penunjang,yaitu C-peptide 0.85 ng/ml. C-peptide ini merupakan
salah satu penanda banyaknya sel β-pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan
lain adalah adanya autoantibody, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA), Glutamic
acid decarboxylase autoantibodies (65K GAD), IA2 (dikenal sebagai ICA 512
atau tyrosine posphatase) autoantibodies dan Insuline autoantibodies (IAA).
Adanya autoantibody mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun.
Sayangnya autoantibody ini relatif mahal (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD
Clinical Practice Consencus Guidelines 2009).

2.6 Perjalanan Penyakit


Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical
Practice Consencus Guidelines tahun 2009.
- Periode pra-diabetes
- Periode manifestasi klinis
- Periode honey moon
- Periode ketergantungan insulin yang menetap
-

9
Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Predisposisi genetik tertentu
memungkinkan terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang
ditandai dengan mulai berkurangnya sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-
petide mulai menurun. Pada periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila
dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Periode Manifestasi Klinis


Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini sudah
terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Karena sekresi insulin sangat
kurang, maka kadar gu;a darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula darah yang
melebihi 180mg/dL akan menyebabkan dieresis osmotik. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan elektrolit melalui urin (poliuri,
dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah tidak dapat di-uptake ke dalam sel,
penderita akan merasa lapar (polifagi), tetapi berat badan akan semakin kurus.
Pada periode ini penderita memerlukan insulin dari luar agar gula darah di-uptake
ke dalam sel.

Periode Honey Moon


Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada periode
ini sisa-sisa sel β-pankreas akan bekerja optimal sehingga akan diproduksi insulin
dari dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin dari luar tubuh akan
berkurang hingga kurang dari 0,5 U/kgBB/hari. Namun periode ini hanya
berlangsung sementara, bisa dalam hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu
adanya edukasi pada orang tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang
menetap.

Periode Ketergantungan Insulin yang Menetap


Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. pada periode
ini penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh seumur
hidupnya.

10
2.7 Pitfall dalam diagnosis
Diagnosis diabetes seringkali salah, disebabkan gejala-gejala awalnya
tidak terlalu khas dan mirip dengan penyakit lain, terkadang tenaga medis juga
tidak menyadari kemungkinan penyakit ini karena jarangnya kejadian DM tipe 1
yang ditemui ataupun belum pernah menemui kasus DM tipe 1 pada anak.
Beberapa gejala yang sering menjadi pitfall dalam diagnosis DM tipe 1 pada anak
di antaranya adalah :
1. Sering Kencing : Kemungkinan diagnosisnya adalah infeksi saluran
kencing atau terlalu banyak minum (selain DM). Variasi dari keluhan
ini adalah adanya enuresis (mengompol) setelah sebelumnya anak
tidak pernah enuresis lagi.
2. Berat badan turun atau tidak mau naik lagi : Kemungkinan diagnosis
adalah asupan nutrisi yang kurang atau adanya penyebab organik lain.
Hal ini disebbkan karena masih tingginya kejadian malnutrisi di negara
kita. Sering pula dianggap sebagai salah satu gejala tuberculosis pada
anak.
3. Sesak nafas : Kemungkinan diagnosanya adalah bronkopneumonia.
Apabila disertai gejala lemas, kadang juga didiagnosis sebagai malaria.
Padahal gejala sesak nafasnya apabila diamati pola nafasnya adalah
tipe Kusmaull (nafas cepat dan dalam) yang sangat berbeda dengan
tipe nafas pada bronkopneumonia. Nafas Kusmaull adalah tanda dari
ketoasidosis.
4. Nyeri perut : Seringkali dikira sebagai peritonitis atau appendicitis.
Pada penderita DM tipe 1, nyeri perut ditemui pada keadaan
ketoasidosis.
5. Tidak sadar : Keadaan ketoasidosis dapat dipikirkan pada
kemungkinan diagnosis seperti malaria serebral, meningitis,
ensefalitis, ataupun cedera kepala (Brink SJ, dkk. 2010)

11
2.8 Penatalaksanaan DM Tipe 1
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan
berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam
tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal dalam jangka
pendek maupun jangka panjang (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical
Practice Concencus Guidelines. 2009).
Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu :
1. Insulin
2. Diet
3. Aktivitis / exercise
4. Edukasi
5. Monitoring kontrol glikemik
1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita
DM tipe 1. Dalam pemberian insulin harus diperhatikan jenis insulin, dosis
insulin, regimen yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis
yang diperlukan.
a. Jenis insulin : Kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja
cepat, kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin
campuran (campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah).
Penggunaan jenis insulin ini tergantung regimen yang digunakan.
b. Dosis Insulin : Dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1
Unit/KgBBpada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya akan
diatur disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada
penyakitnya maupun pada penderitanya.
c. Regimen : Kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen
konvensional, serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix
splitregimen dapat berupa pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali
suntik/hari. Sedangkan regimen intensif berupa pemberian regimen
basal bolus. Pada regimen basal bolus dibedakan antara insulin yang
diberikan untuk memberikan dosis basal maupun dosis bolus.

12
d. Cara menyuntik : Terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik
dalam hal absorpsinya yaitu di daerah abdomen, lengan atas, lateral
paha. Daerah bokong tidak dianjurkan karena paling buruk
absorpsinya.
e. Penyesuain Dosis : Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari
beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun
usia pubertas (terkadang kebutuhan meningkat hingga 2
unit/KgBB/hari), kondisi stress maupun saat sakit.

Tabel 2. Jenis-jenis insulin

Jenis insulin Awitan Puncak kerja Lama kerja


Meal Time Insulin
Insulin Lispro (Rapid 5-15 menit 1 jam 4 jam
acting)
30-60 menit 2-4 jam 5-8 jam
Regular (Short acting)

Background Insulin
NPH dan Lente 1-2 jam 4-12 jam 8-24 jam
(Intermediate acting)
2 jam 6-20 jam 18-36 jam
Ultra Lente (Long
acting)

Insulin 2-4 jam 4 jam 24-30 jam


Glargine(Peakless
Long acting)

2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya
untuk mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri
dari 50¬55% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM
tipe 1 asupan kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis
insulin yang diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori
perhari sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Pemberian diet ini
juga memperhatikan regimen yang digunakan. Pada regimen basal bolus,
pasien harus mengetahui rasio insulin:karbohidrat untuk menentukan dosis
pemberian insulin.

13
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan
usiapubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari

Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-


55%karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun dengan bertambahnyaumur),
dan 30-35% lemak.
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali
makanan kecil sebagai berikut :
20% berupa makan pagi.
10% berupa makanan kecil.
25% berupa makan siang.
10% berupa makanan kecil.
25% berupa makan malam.
10% berupa makanan kecil.

3. Aktivitas / exercise
Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan
berolahraga akan membantu mempertahankan berat badan ideal, menurunkan
berat badan apabila menjadi obes serta meningkatkan percaya diri. Olahraga
akan membantu menurunkan kadar gula darah serta meningkatkan sensitivitas
tubuh terhadap insulin. Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia maupun hiperglikemia (bahkan
ketoasidosis). Sehingga pada anak DM memiliki beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi untuk menjalankan olahraga, di antaranya adalah target gula
darah yang diperbolehkan untuk olahraga, penyesuaian diet, insulin serta
monitoring gula darah yang aman. Apabila gula darah sebelum olahraga di
atas 250 mg/dl serta didapatkan adanya ketonemia maka dilarang
berolahraga. Apabila kadar gula darah di bawah 90 mg/dl, maka sebelum
berolahraga perlu menambahkan diet karbohidrat untuk mencegah
hipoglikemia.

14
4. Edukasi
Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita
maupun orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya,
patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin
(regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek samping
penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula darah ataupun HbA1c
yang diinginkan.
5. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan
sudah baik atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki
kualitas hidup pasien, termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah
berkala dalam sehari. Setiap 3 bulan memeriksa HbA1c. Di samping itu, efek
samping pemberianinsulin, komplikasi yang terjadi, serta pertumbuhan dan
perkembangan perlu dipantau.

2.9 Komplikasi

Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan


ketoasidosis. Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5,
berupa : nefropati, neuropati, dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1
diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.

15
2. menunda ”end stage renal disease” dan dengan ini memperpanjang umur
penderita.
Adanya ’mikroalbuminuria’ merupakan parameter yang paling sensitif
untuk identifikasi penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik.
Mikroalbuminuria mendahului makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1
selama > 5 tahun, dianjurkan skrining mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes
positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan pemeriksaan. Bila didapatkan
hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai terjadinya nefropati
diabetik.
Tindakan : pengobatan hiperglikemia dan hipertensi (bila ada).

PROGNOSIS

Diabetes Mellitus tipe 1 adalah penyakit kronis yang serius,menurut


beberapa literatur mengenai penyakit ini disebutkan bahwa umur dari penderita 10
tahun lebih pendek dibandingkan dengan yang bukan penderita. Pada anak yang
menderita kemungkinan akan mengalami penghambatan pertumbuhan sehingga
akan menjadi lebih pendek, dibandingkan dengan orang normal. Sedangkan
perkembangan seksual dari anak penderita diabetes mellitus tipe 1 juga akan
terhambat sehingga pencapaian umur pubertas akan lebih tua dari anak yang
normal. Prognosis akan menjadi buruk bila penyakit tidak dideteksi secara cepat.
Hal ini juga akan mengakibatkan komplikasi akut maupun kronis yang cukup
berat sehingga dapat mengancam jiwa penderita. Prognosis baik akan didapatkan
apabila pengelolaan status hiperglikemia dan ketogenesis terlaksana dengan baik,
kecepatan dan ketepatan deteksi dini penyakit serta pendidikan tentang penyakit
T1DM serta pengelolaannya yang jelas kepada orangtua pasien akan membantu
mencegah komplikasi yang mengancam jiwa

16
BAB III
STATUS PASIEN RAWAT INAP

3.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. MH
Umur : 15 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ds. Suka Damai RT.015
No. Register : 08.70.45
Tanggal MRS : 2 Juli 2017

3.2 Subyektif
Keluhan Utama : Nyeri perut
Anamnesa :
Pasien mengeluh nyeri perut sejak 1 minggu yang lalu disertai mual,
muntah dan tidak nafsu makan. Pasien juga mengeluh badan terasa lemas, pegal-
pegal dan perasaan haus yang berlebihan. Penurunan berat badan (+) dirasakan
dalam beberapa bulan terakhir. BAK (+) sering terutama pada malam hari. BAB
(+) Normal.
Riwayat minum teh dan minuman cepat saji. Riw. Penyakit keluarga : ayah
pasien menderita Diabetes Mellitus.

3.3 Objektif
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Suhu : 36,3 0C
Pernafasan : 22 x/ menit
Nadi : 75 x/ menit
Tekanan darah : 110/70 mmhg

17
Kepala : Anemia(-), Ikterus(-), Dyspneu (-), cyanosis (-)
Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
Thorak
Paru :Pernafasan Vesikuler, Simetris Ka/Ki, Ronkhi(-),
Wheeezing (-)
Jantung : S1 S2 tunggal Ekstrasistol (-) Gallop (-) Murmur (-)
Abdomen : Soeple, Tympani, Bising Usus (+), Nyeri ulu hati (+)
Ekstermitas : Akral hangat

3.4 Hasil Laboratorium


SGOT : 18 µ/L
SGPT : 42 µ/L
GDS : 291 mg/dL
Hemoglobin :14,6 gr%
Leukosit : 19.500 /mm3
Eritrosit : 5,04 jt/mm3
Trombosit : 301.000 /mm3
Hematokrit : 37 %
Reduksi : +2
HbA1C : 11,1 %
3.5 Assesment
Diagnosa : Diabetes Mellitus Tipe 1

3.6 Planning
- Loading Nacl 1 kolf
- Novorapid 3 x 12 unit
- Inj. Ceftriaxon 2 x1gr
- Inj.omeprazole 2 x 40 mg
- Po. Sukralfat 3 x Cth 1

18
3.10 Follow up selama rawat inap

Tanggal Anamnesis Diagnosis Terapi


02/7/2017 S : nyeri perut sejak 1 Diabetes Mellitus Novorapid 3 x 12 Unit
minggu yang lalu, type I Nacl guyur 1 kolf  20
anoreksia(+), batuk tetes/ menit
(+), pilek (+), PO:
demam(-), diare (+) Antasida syr 4 x 2 cth
O : Ku : lemah Paracetamol 2 x 1
K /L : A/I/D/C -/- Ceftriaxon 2 x1
/-/- Cek GDS / 8 Jam
Thorax
P : ves/ves -/- sim/sim
rh -/- wh -/-
C : S1S2 Tunggal
E/G/M -/-/-
Abd: Soeple, nyeri
ulu hati (+), tympani,
BU (+)
Ext :AHKM
TD : 120/80 mmHg
T : 37,4 0C
HbA1C : 11,1%
GDS : 221 mg/dL
GDP : 314 mg/dL

3/7/2017 S : Nafsu makan Diabetes Mellitus IVFD Nacl : Hidroma


berkurang, BAB Type I l 1:128 Tpm
keras, sulit tidur Inj.Ceftriaxon 2 x1 gr
O : Ku : Lemah Inj.Omeprazole 1x1 amp
K/L : A/I/D/C -/-/-/- Paracetamol (infus) 2 x 1
Thorax Novorapid 3 x 14 unit
P : Ves/Ves sim/sim PO:
Rh -/- Wh -/- Alprazolam 1 x 0,5 mg
C : S1S2 Tunggal Antasida syr 4 x cth 2
E/G/M -/-/- Cetrizine 1 x 1
Abd : Soeple,
Tymphani, Bu (+)
Ext : AHKM
TD : 120/80 mmHg
T : 37,2 oC
GDS : 215 mg/dL
GDS : 200 mg/dL

4/7/2017 S : Tidak ada keluhan Novorapid 3 x 14 Unit

19
O : Ku : cukup Diabetes Mellitus Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
K/L: A/I/D/C -/-/-/- Type 1
Inj. Omeprazole 1 x 1
Thorax
P : Sim/Sim Ves/Ves amp
Rh -/- Wh -/-
Po :
C : S1S2 Tunggal
E/G/M -/-/- Cetrizine 1 x 1
Abd : Soeple,
Antasida syr 4 x Cth 2
Tympani, BU (+)
Ext : AHKM
TD : 110/85
HR : 84 x/menit
RR : 20 x/ menit
T : 36,5 oC
GDS : 144 mg/dL
GDS : 327 mg/dL
GDS ; 292 mg/dL

5/7/2017 S: Gatal – gatal Diabetes Mellitus Nacl : Hidromal 1:1 


dibadan, pusing, Type 1 28 Tpm
demam Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
O: Ku : Cukup Inj. Omeprazole 1 x 1
K/L : A/I/D/C -/-/-/- amp
Thorax Paracetamol (infus) 2 x 1
P : Sim/Sim Ves/Ves Novorapid 3 x 14 unit
rh -/- Wh -/- Po:
C : S1S2 Tunggal Cetrizine 1x1
E/G/M -/-/-
Abd : Soeple,
Tympani, BU (+)
Ext : AHKM
TD : 90/60 mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 20 x / menit
T : 36,7 oC
GDS :163 mg/dL
GDS : 204 mg/dL
GDP : 215 mg/dL
LDL-C; 117
Cholesterol total : 188
Trigliserida ;285
HDL-C : 14
Asam Urat : 3,6

6/7/2012 S : Tidak ada keluhan Diabetes Mellitus Terapi lanjut


O : Ku : cukup Type 1
K/L : A/I/D/C -/-/-/-

20
Thorax
P : Sim/Sim Ves/Ves
Rh -/- Wh -/-
C : S1S2 Tunggal
E/G/M -/-/-
Abd : Soeple,
Tympani, BU (-)
Ext : AHKM
TD : 100/80 mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/ menit
T : 36,6 oC
GDS : 229 mg/dL
GDS : 225 mg/dL
GDS : 157 mg/dL

21
DAFTAR PUSTAKA

Justin M.Gregory, Daniel J et all. Type 1 Diabetes Mellitus. Pediatrics in


review:2013

Al Homsi MF, Lukic ML. An Update on the pathogenesis of Diabetes Mellitus.


Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain, United Arab
Emirates; 2000

Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children and
adolescents, basic training manual for healthcare professionals in developing
countries, 1st ed. Argentina: ISPAD, h 20-21.

ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes 2009: 10.

Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly
diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA status, and
autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic control 12 months
after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218–226.

Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010).
Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman B.
Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta: Sagung Seto 2010, h
124-161.

Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 51–71

Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children. Dalam:


Moshang T Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc, h 3-18.

Suryawan ,I wayan bikin (2015). Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes


Melitus Tipe – 1 Pada Anak dan Remaja (Edisi Ketiga). Denpasar

22

Anda mungkin juga menyukai