Anda di halaman 1dari 3

Sebelumnya, aku akan memberi peringatan kalau artikel kali ini mengandung unsur

yang akan sedikit offensive bagi sebagian. Yah, dari judulnya saja sudah kelihatan
bukan? Well, kalau belum paham, aku akan mengingatkan sekali lagi, topik kali ini
lebih berat dari biasanya dan akan sulit diterima jika tidak membacanya dengan
pikiran terbuka. It's your choice.

Lanjut. Termsuntuk Pride sebenarnya memang ambigu, karena secara kontekstual, ini
mengacu pada kebanggaan, sebagai kata sifat. Then being one of the Seven Deadly
Sins.Lalu ketiga, menjadi singkatan untuk gerakan-gerakan kelompok tertentu di
dunia ini. Ada Black Pride, biasa juga disebut sebagai Black Power, gerakan untuk
menentang rasisme pada kaum kulit hitam.

Kelompok ini memperjuangkan hak kulit hitam sejak hampir seratus tahun terakhir.
Meski tidak bisa dihubungkan langsung, Malcolm X, Martin Luther King, Stokely
Carmichael, bahkan godfather of soul,James Brown membawakan lagu berjudul Say it
Loud -- I'm Black and I'm Proud. Black Power secara langsung berhadapan dengan
White Pride.

Yang ini jelas kebalikan dari Black Power, mereka mengagungkan supremasi kaum kulit
putih. Sudah pernah kutulis sedikit dalam artikel Donald Trump sebelumnya, gerakan
White Pride juga mencakup kelompok ekstrim seperti Neo-Nazi dan Ku Klux Klan. Dua
gerakan ini clashdan mungkin tidak akan pernah ada akhirnya.

And I won't sided with any, 'cause it wasn't even my own race.

Gerakan Pride ketiga, nah ini dia, adalah Gay Prideatau LGBT Pride. Now I supposed
y'all know this, except you're livin under the rock for decades. Ya, gerakan untuk
mendukung kaum LGBT atas diskriminasi yang mereka terima. Gerakan ini dimulai
sekitar periode 50'an, salah satu saat paling represif bagi LGBT di USA. No
wonder,tiga gerakan ini semua berasal dari States.

Saat itu kaum LGBT dipandang sebagai penyakitan, seperti yang umum dipandang di
negara-negara "konservatif" sampai sekarang. And to me, it's a shame, because all
humans are equal. Homosexuality have existed since the beginning of time
itself.Bukalah wikipedia setidaknya, lihat sejarah akan homosexuality, ada di
seluruh belahan bumi, dari Yunani kuno, Mesir, India, Amerika Selatan, Afrika, you
name it.

Dalam agama, bagi tiga agama Samawi tentu tahu tentang kisah Nabi Luth dan kaum
Sodom. Dalam agama Hindu, di negeri asalnya dianggap sebagai subyek yang tidak
tabu, begitu juga dengan agama Budha yang memiliki banyak kisah tentang ini.
Kembali ke topik utama sebelum ini menjadi terlalu religius dan membuatku bisa
dituntut ke meja hijau.

Hari ini, di negara-negara yang belum melegalkan same sex marriage, masih ada yang
berpikiran kalau mendengar kata homosexualityberarti cacat mental, disaat ini
adalah hal yang salah. Jika memang cacat mental, tidak akan ada kisah Shah dan
Sultan dari Timur Tengah yang memiliki male companion -disini tidak ada keterangan
apakah memang gay atau bukan, mengingat bahasa dan penafsiran adalah hal yang
kompleks-

After all, this is complicated.Karena memang agama dan sains memang kadang bisa
saling membantu, dan kadang bisa clash.Aku tidak akan membahas dari sisi agamanya,
dan lebih pada sisi humanis. Imagine yourself in their shoes, confined in their own
self because of "laws" and "religion" can't be happy eventhough they're also human
like the non-LGBT people.

Di awal Millenium, Belanda menjadi negara pertama yang melegalkan same sex
marriage.Langkah ini diikuti oleh banyak negara setelahnya. Setelah US melegalkan
ini di 50 negara bagian pada 2015, maka sudah bisa dipastikan langkah ini akan
diikuti banyak negara lain.

Di pertengahan tahun ini, Taiwan menjadi negara Asia pertama, meski hukum baru akan
berlaku pada 2019 jika disetujui. Sementara Australia akan membuatnya menjadi
hadiah natal tahun 2017 ini. Dari kacamata pribadiku, aku abstainakan hal ini,
karena ini adalah hal kompleks.

Dari pertama, aku tidak menentang LGBT sama sekali, karena ini sesuatu yang natural
bahkan sejak sebelum agama masuk ke dunia. And FYI,aku bukan penganut Darwinisme,
in case you may ask.Dan banyaknya pengakuan akan LGBT membuatku seperti "selamat,
kau mendapat kemudahan dalam hidup. Every man for himself."

Tapi, seiring banyaknya negara yang melegalkan, ada juga perasaan cemas. Bukan apa-
apa, karena ini menyangkut tentang idol kita. Bingung? Nah, ini dia topik yang
ingin kuangkat kali ini, setelah melihat Nogizaka Kojichuu minggu lalu dan minggu
ini, sebenarnya sudah ada pikiran sejak lama. Tapi karena ini topik yang cukup
berat, maka aku kesusahan untuk benar-benar menulisnya.

Mengesampingkan bahwa aku tidak benar-benar percaya ada idol yang hopelessdalam
urusan asmara seperti yang digambarkan di Kojichuu, tapi ini untuk lain waktu.
Dalam konteks ini, yah jelas kan apa yang kumaksud. Imagetentang Girl's loveitu
memang terlihat kawaii, jika dilakukan oleh anak yang belum berusia 18 tahun.
Diatas itu, well, rasanya ada yang salah.

Girl's love,atau apapun itu, sesuatu yang ampuh untuk dijadikan bahan jualan bagi
idol. Katakan saja tentang my wife,Yumi dan Reika yang selalu dilihat sebagai lesbo
di grup. Well, ini karena orang-orang di sekeliling mereka yang membuat seolah
seperti itu, dan karena aku tidak menganggap LGBT semata dikarenakan lingkungan,
afeksi WakaRei memang sedikit over.

The truth maybe will never be known, likely to the straight's one story.
Personally, I'd like to not think so much about this, but suddenly I do think I
have to. Jika, dan hanya jika, situasi membuat mereka -dalam hal ini, para member-
menjadi gay, siapa yang harus disalahkan?

Aku akan menjawab tidak ada, karena dewasa ini, dimana hanya dalam hitungan detik
kita bisa tahu apa yang terjadi di belahan dunia lain, dunia dimana filter
informasi hanya ada di negara Kim Jong Number Un, semua hal kembali pada individu
itu sendiri bukan? After all, life is a matter of choices.

Menyalahkan member yang menjadi gay karena situasi bagiku bukan pilihan baik. Dan
sekali lagi, hal ini bersifat natural. Bagi yang berminat melihat lebih jauh
tentang gender dan permasalahan LGBT, mungkin bisa mengecek ini. National
Geographic mengangkatnya khusus dalam edisi bulan Januari kemarin.

Well, dalam pandanganku, di tahun 20'an mendatang, Jepang pun akan melegalkan same-
sex marriage, dan ini akan membuat shiftingdi dunia entertainment. Banyak yang akan
all-out begitu muncul kabar kalau Parlemen akan mempertimbangkan hal ini.

And that means,mungkin saja, kalau Sakamichi masih bertahan dengan member yang kita
kenal sekarang ini, akan ikut dalam aturan baru. Ini cuma berandai-andai, sejauh
ini, jadi jangan terlalu serius atau juga sekedar menganggapnya angin lalu. Aku
ingin mendengar komentar jujur seperti anak-anak ini.

At last,apa yang ingin kukatakan dari artikel kali ini adalah, di zaman yang lebih
terbuka meski dengan sedikit sekali netralitas ini -well, aku tidak akan membahas
soal agama-aku tidak menganggap LGBT sebagai gangguan sama sekali. Berpikir terbuka
akan lebih baik.

Bahkan film kelas C tentang alien dari tahun 60'an pun memiliki konsepsi yang lebih
baik tentang kesamarataan; tidak ada perdebatan konyol hanya karena sedikit
perbedaan. Bagaimana jika idol kita gay? Well, kembali ke mana yang kau pilih,
kepura-puraan demi fantasi atau idol yang outspoken?

Dan bagaimana dengan pendapatmu mengenai LGBT? Share your thoughts.

Anda mungkin juga menyukai