Anda di halaman 1dari 4

Eksploitasi Perempuan Dalam Balutan Seni & Kebudayaan

Oleh : Korps HMI-Wati Komisariat UMB

Sebuah Pengantar
Perbincangan mengenai pengeksplotasian perempuan memang seperti tidak ada
habisnya. Diskusi-diskusi yang dibangun selalu saja dimulai dari perasaan atau keinginan
untuk menolak secara tegas pengeksplotasian terhadap perempuan apa pun itu bentuknya atau
malah sebaliknya menerima sepenuhnya pengeksploitasian terhadap perempuan untuk alasan
kesetaraan, hak asasi manusia, kepentingan kreatifitas, dan modrenisasi. Dua pandangan
tersebut selalu saja ada untuk mewarnai setiap pembahasan mengenai perempuan. Pada
kelompok yang menolak eksplotasimereka membatasi ruang gerak perempuansebagai bentuk
penghormatan terhadap nilai-nilai luhur, budaya, adat, bahkan agama. Namun sayangnya, dua
pandangan tersebut sama-sama tidak bisa memberikan jalan keluar bila dibenturkan dengan
permasalahan, bagaimana menghentikan pelecehan seksual terhadap perempuan ?.Pertanyaan
tersebut tentunya tidak bisa dijawab secara spontan atau seketika, sebab bila kita
menjawabnya secara spontan maka sisi sentimen emosinal kita akan lebih mendominasi yang
mengakibatkan lunturnya kelogisan untuk menyelesaikan permasalahan. Sejanak mari kita
tinggalkan paham apa pun yang kita anut untuk menemukan fakta dibalik realita yang ada
didepan kita.

Pornografi Warisan Nenek Moyang


Bila kita mau jujur untuk melihat dan mengakui bagaimana kebudayaan bangsa kita
yang sebenarnya maka kita akan menemukan begitu banyak kegiatan, acara, ritual
kebudayaan yang berbau pornografi. Mulai dari menjalankan aktifitas sehari-hari, seperti
kegiatan menyusui anak didepan umum, mencuci pakaian dan mandi di kali, atau lewat
kesenian tari. Semua itu masuk dalam khazanah kekayaan kebudayaan kita bangsa Indonesia,
dan mau tidak mau, suka dan tidak suka sebagai anak bangsa kita harus mengakui keberadaan
kebudayaan yang berbau pornografi tersebut. Bahkan bila kita mengkajinya lebih dalam lagi.
Kegiatan seni dan kebudayaan tersebut telah berlangsung sejak lama, bahkan jauh sebelum
bangsa ini memiliki nama Indonesia.
Kita seakan menutup mata dengan adanya kebudayaan yang berbau pornografi
tersebut, kita seakan tidak mau menjadi bagian dan mengakuinya. Terbukti bahwa sedikit
sekali literasi yang dapat kita temukan untuk mencari kebenaran dari hal tersebut. Bahkan
Ensiklopedia Indonesia sekalipun terlalu malu untuk menuliskan hal itu.
Dalam hal kesenian kita ambil contoh sebuah tarian yang berasal dari daerah Bali.
Tari Bumbung namanya, sebuah kesenian yang menjadikan perempuan sebagai subjek. Tari
Bumbung sangat terkenal dalam tradisi masyarakat Bali. Tari Bumbung telah berkembang di
Bali sejak tahun 1950 . Diawali oleh pengaruh tarian gandrung dari Banyuwangi yang kala
itu masuk ke Bali karena dibawa oleh Hulu Balang kerajaan Mengwi yang konon menguasai
kerajaan di bagian timur Jawa itu. Tarian ini memiliki pola gerak agak bebas, lincah, dan
dinamis. Oleh masyarakat bali tarian ini dipentaskan pada musim sehabis panen, hari raya,
dan hari penting lainnya. Tarian ini merupakan tarian berpasangan, laki-laki dan perempuan
dengan mengundang partisipasi penonton. Tarian ini juga membutuhkan kelincahan gerak
tubuh dan mata dari penarinya, dengan sesekali penarinya bergoyang ala dangdut.
Bagi yang bukan orang Bali mungkin akan sedikit terkejut bila melihat tarian ini.
Sebab tarian ini begitu memamerkan sisi eksotis dari penarinya. Dimana sang penari akan
berjoget ria memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya kepada lawan tarinya. Dan dengan seketika
kita akan menemukan riuh tepuk tangan penonton. Artinya apa, masyarakat bali memberikan
apresiasi yang tinggi dari kegiatan kebudayaan tersebut. Masyarakat bali tidak
mempersalahkan apakah ini pornografi atau tidak, apakah ini eksploitasi terhadap perempuan
atau tidak. Bukan berarti mereka mengkesampingkan hak-hak perempuan. Sebagai
masyarakat lokal yang memiliki ikatan emosional lebih dengan daerahnya maka akan dengan
sendirinya ia mampu untuk menghormati hak-hak perempuan dimana hal tersebut juga
menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam kebudayaannya. Bahkan Kompasiana dalam
sebuah halamannya pernah memposting sebuah foto gadis bali yang menggunakan pakaian
adat bali yang memperlihatkan bagian dadanya. Dijelaskan bahwa foto itu diambil dari salah
satu musium dibelanda.
Kalau lah hal-hal yang tersebut diatas kita katakan sebagai bentuk eksploitasi
terhadap perempuan, dan kita sebagai orang yang diluar dari pada komunitas yang
mengalami hal tersebut menolak adanya eksplotasi atas perempuan secara membabi buta apa
pun itu bentuknya, tanpa adanya kesadaran untuk memberikan apresiasi terhadap nilai
kebudayaan, maka hal tersebut tidak adil. Dan yakin dan percaya satu per satu kebudayaan
orang Indonesia asli akan berganti atau mengalami proses asimilasi kebudayaan. Bertukar
dengan kebudayaan bangsa lain yang menurut anggapan kita itu lebih baik. Maka
konsekuensinya adalah akan lahir sebuah generasi baru yang tidak memiliki identitas
kebudayaan dan akan sangat rentan untuk melakukan pelecehan seksual.
Bangsa yang Inkonsistensi
Dalam UU No 44 Tahun 2008 yang dimaksudkan dengan pornografi adalah gambar,
sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan,
gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar
norma kesusilaan dalam masyarakat. Jelas sekali bahwa UU ini telah merangkum semua
aktifitas pornografi yang termasuk didalamnya adalah kebudayaan atau kesenian seperti yang
telah dijelaskan diatas.
Dilain sisi, pemerintah juga semakin gencar mengkampanyekan keberagaman
kebudayaan Indonesia, bahwa Indonesia dari sabang sampai merauke memiliki ratusan
kebudayaan dan kesenian yang berbeda-beda. Kampanye ini semakin serius dengan
tersebarluasnya banyak iklan di televisi tentang keberagamaan kebudayaan dan kesenian
Indonesia untuk memancing wisatawan dalam maupun luar negeri. Tentu bila kita berbicara
kebudayaan Indonesia maka kita berbicara kebudayaan secara keseluruhan. Tidak bisa hanya
mempromosikan satu kebudayaan saja. Maka bila membicarakan kebudayaan Indonesia
sudah pasti didalamnya ada termasuk kebudayaan dan kesenian yang berbau pornografi tadi.
Lantas bagaimana dengan UU Pornografi ?. Apakah UU Pornografi akan menjadi tidak
berlaku bila ditujukan untuk kepentingan pariwisata ?.
Sama halnya ketika kita menyadari ternyata ada banyak kebudayaan dan kesenian
yang ada di Indonesia yang mengandung unsur pornografi. Namun lihatlah reaksi pada
masyarakat kita ketika menyadari hal tersebut, pada tari bumbung tadi misalnya, masyarakat
diluar Bali akan mengatakan “itukan budaya Bali, bukan budaya kami”. Lihatlah betapa
konyolnya ini. Ketika dibenturkan dengan kenyataan yang buruk maka dengan berjamaah
kita akan menolak dan tidak mengakuinya. Pada hal jauh sebelum itu kita bersama telah
bersumpah untuk berbangsa satu bangsa Indonesia. Lalu bagaimana bisa ketika melihat
budaya Bali kita mengatakan bahwa itu bukan bagian dari kebudayaan kita ?.
Contoh ketidakkonsistenan kita lainya adalah ketika kita begitu marah, muak, dan
geram melihat maraknya pemerkosaan terhadap anak. Namun dilain sisi sadarkah kita bahwa
kitalah yang mengajarkan anak-anak kita akan hal tersebut. Mungkin salah satu dari kita
pernah melihat orang tua yang memajang foto bayi lucunya sehabis mandi tanpa
menggunakan pakaian. Dengan bangga memajangnya diruang tamu atau bahkan dimedia
sosial. Lalu apakah itu bukan bentuk ekploitasi ?. Setalah anak tersebut beranjak remaja maka
yang terfikirkan olehnya itu semua adalah hal yang biasa, bahkan memasang foto telanjang
adalah lelucon.
Untuk menghindari inkonsistensi kita sebagai sebuah bangsa dalam hal pornografi ini.
Kita perlu mengoreksi kembali dan mempertegas cara pandang kita. Jangan diluar kita
seolah-olah menjadi sangat antipati terhadap hal yang berkenaan dengan ekploitasi terhadap
perempuan namun dilain sisi kita dapat bersantai menikmati kesenian atau kebudayaan yang
memamerkan sisi eksotis seorang perempuan.

Sebuah Kesimpulan
Banyaknya tanggapan serta pandangan terkait dengan pornografi dan eksplotasi
terhadap perempuan merupakan sebuah konsekuensi dari upaya menggabungkan sebuah
bangsa yang berbeda-beda menjadi satu. Andai saja tidak digabungkan mungkin kebudayaan
pornografi disuatu daerah tidak akan menjadi polemik pada daerah lain. Seperti kita
membandingkan budaya kita dengan budaya barat misalnya.
Tentunya dalam hal yang berkaitan dengan pornografi dan ekploitasi terhadap
perempuan tidak dapat langsung kita menyatakan itu adalah sebuah kesalahan, apa lagi yang
erat kaitannya dengan sisi keberagaman kebudayaan dan kesenian. Perlu adanya kajian yang
mendalam, dan tidak hanya melihat pada satu sisi saja.
Sebagai generasi dari bangsa yang besar, sudah seharunya kita turut serta dalam
upaya melestarikan kesenian dan kebudayaan dari bangsa kita sendiri. Kita harus bangga
menjadi Indonesia. Bangga dengan nilai-nilai kearifan lokal kita yang pada intinya selalu
mengajarkan untuk tidak melanggar norma-norma asusila. Kita juga harus menghormati
tradisi dan kebudayaan lain.
Menerima konsekuensi kita sebagai bangsa yang besar bukan berarti kita harus diam
dan tidak melakukan perubahan. Menjadi manusia Indonesia baru adalah hal yang mutlak
harus menjadi visi bersama. Tetap tetap dalam balutan budaya Indonesia itu sendiri, karena
kebudayaan adalah identitas kita. Meskipun Indonesia merupakan negara dengan jumlah
umat muslim terbesar didunia, tetapi bukan berarti kita adalah bangsa Arab.

Anda mungkin juga menyukai