Anda di halaman 1dari 8

2.

1 Fisiologi
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di
kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila
palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi
oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta (Amarudin, 2007). Tonsila
palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem
pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau
masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan
dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan epitel maka
sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen
(Farokah, 2003).
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-
30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran),
makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin
spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu
Universitas Sumatera Utara
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Kartika, 2008).
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak
pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu
mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri
dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi
sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi (Edgren,
2002). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai
10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh
fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen
yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan
interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid) (Kartika, 2008). Lokasi tonsil sangat
memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel
limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun
(Amarudin, 2007).

2.2 Definisi

Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada
tonsila palatina yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan
ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil.
Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang
lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita
mengalami penurunan (Colman, 2001). Anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik
Universitas Sumatera Utara
diperlukan untuk menegakkan diagnosa penyakit ini. Pada Tonsilitis Kronis tonsil dapat
terlihat normal, namun ada tanda-tanda spesifik untuk menentukan diagnosa seperti
plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar limfe, dan bertambahnya jumlah
kripta pada tonsil (Brodsky, 2006).

2.3 Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian
nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk
bersama makanan (Farokah, 2003). Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh
serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada
tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna (Colman, 2001).
Pada pendería Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus
beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes,
Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes (Boeis, 1989).
Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008
mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus,
Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela (Abdulrahman, 2008).
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis
yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta
hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermidis dan kuman gram negatif berupa
Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli (Suyitno dan Sadeli,
1995).
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Determinan pada penderita Tonsilitis Kronis
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik
maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis
Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik
dan lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat
bukti adanya keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis
Kronis (Kvestad, 2005).
a. Umur
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan
penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun.
Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis
yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas (Edgren, 2004). Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia
tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar
50 % (Hannafort, 2004). Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data
penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14
tahun (Kisve, 2009).
b. Jenis Kelamin
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh
657 data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita
315 (48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara
di India dari 203 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria
dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita (Awan , 2009).

Universitas Sumatera Utara


c. Suku
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang
dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku
Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14% (Sing, 2007)

2.4 Patologi
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat
membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan
inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi)
dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat
keadaan umum tubuh menurun (Farokah, 2003).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara
klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula
(Rusmarjono, 2006).
Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit
pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi
antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah
sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara
permukaan tonsil dan jaringan tonsil (Undaya, 1999)

Universitas Sumatera Utara


2.5 Gejala klinis
Gejala klinis Tonsilitis Kronis yaitu: 1) Sangkut menelan. Dalam penelitiaa
mengenai aspek epidemiologi faringitis mendapatkan dari 63 penderita Tonsilitis
Kronis, sebanyak 41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai keluhan
utama (Timbo, 1998). 2) Bau mulut (halitosis) yang disebabkan adanya pus pada kripta
tonsil. Pada penelitian tahun 2007 di Sao Paulo Brazil, mendapatkan keluhan utama
halitosis atau bau mulut pada penderita Tonsilitis Kronis didapati terdapat pada 27%
penderita (Dalrio, 2007). 3) Sulit menelan dan sengau pada malam hari (bila tonsil
membesar dan menyumbat jalan nafas) (Dhingra, 2008; Shnayder, 2008). 4)
Pembesaran kelenjar limfe pada leher. 5) Butiran putih pada tonsil (Brodsky, 2006).

2.6 Pemeriksaan
Dari pemeriksaan dapat dijumpai:
2.6.1 Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di
tengah.Standart untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik
diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang
diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil, T1:
<25%, T2: >25%<50%, T3:>50%<75%, T4: >75% (Brodsky, 2006). Sedangkan
menurut Thane dan Cody menbagi pembesaran tonsil atas T1: batas medial tonsil
melewati pilar anterior sampai ¼
jarak pilar anterior uvula. T2: batas medial tonsil
melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula. T3: batas
medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula.
T4: batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih
(Cody, 1993). Penelitian yang dilakukan di Denizli Turkey dari 1.784 anak sekolah usia
Universitas Sumatera Utara
4-17 tahun didapatkan data ukuran tonsil terbanyak yakni T1: 1.119 (62%), T2: 507
(28,4%), T3: 58 (3,3%), T4: 2 (0,1%) (Akcay, 2006).
2.6.2 Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil (Dhingra,
2008)
2.6.3 Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material
menyerupai keju (Dhingra, 2008).
2.6.4 Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring,
merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil (Dhingra, 2008).
Dari hasil penelitian yang melihat hubungan antara tanda klinis dengan hasil
pemeriksaan histopatologis dilaporkan bahwa tanda klinis pada Tonsilitis Kronis yang
sering muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula
dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya,
minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula
(Primara, 1999). Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak
nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi
mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada
plika anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar
limfe jugulodigastrik maka diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan (Dass, 1988).
Untuk menegakkan diagnosa penyakit Tonsilitis Kronis terutama didapatkan
berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik yang didapatkan dari
penderita (Kurien, 2000).

2.7 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis:
Universitas Sumatera Utara
2.7.1 Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil
adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40
penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa
kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang
akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti
Staflokokus aureus ( Kurien, 2000).
2.7.2 Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu
ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit
yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat
dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis (Ugras, 2008).

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi penatalaksanaan dengan:
2.8.1 Medikamentosa
yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang
bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole,
Universitas Sumatera Utara
klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan
asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis) (Adam, 1997; Lee, 2008).
2.8.2 Operatif
Dengan tindakan tonsilektomi (Adam, 1997; Lee, 2008). Pada penelitian Khasanov et
al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan
data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis
Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi
(Khasanov et al, 2006).
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner
terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya memiliki
gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita mendapat
penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%) penderita dirujuk ke rumah sakit
( Hannaford, 2005).
a. Indikasi Tonsilektomi
Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum
dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk pengobatan
Tonsilitis akut atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials
untuk panduan klinisi dalam memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa.
Tidak ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji efektivitas
tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT (Mawson 1967; McKee
1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise 1992), tetapi yang diikutkan dalam
review hanya 2 studi (Paradise 1984; Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak
memenuhi kriteria. Studi pertama oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang
dengan infeksi tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang tegas
Universitas Sumatera Utara
tentang tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya perbedaan
kelompok operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat episode infeksi sebelum
mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak dengan penyakit yang lebih berat) dan
status sosial ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status sosial ekonomi yang lebih
tinggi) serta kelompok tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi dilaporkan sebagai satu
kelompok operasi. Disamping itu, studi ini meliputi hanya anak dengan infeksi
tenggorok berat, pada pemantauan, banyak kelompok kontrol yang memiliki episode
infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi kedua oleh Paradise (1992) meliputi anak
dengan infeksi sedang tidak dapat dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada
data yang lebih detil dari desain dan bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian
baru dalam bentuk abstrak) (Burton, 2004).

Untuk keadaan emergency seperti adanya


obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi
absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan
perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan
menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi
Indikasi absolut: a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardio-pulmoner. b) Abses peritonsil
yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase. c)Tonsilitis yang
menimbulkan kejang demam. d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk
menentukan patologi anatomi. Indikasi Relatif: a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi
tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat. b) Halitosis akibat Tonsilitis kronik
yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis. c) Tonsilitis kronik atau berulang
pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik ß-laktamase
resisten (Kartika, 2008).
Universitas Sumatera Utara
.
b. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko
anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat (Kartika,
2008).
c. Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad
1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan.
teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan
diseksi. Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil
dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukus.
Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah
dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk menggangkat tonsil. Guilotin: Tehnik ini
sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed
tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.

Di Indonesia
Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar
dan bipolar dapat digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya
perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar. Laser tonsilektomi
Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat
digunakan namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang
dilakukan pada tehik diseksi (Dhingra, 2008).
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi:
Universitas Sumatera Utara
:
a) Abses peritonsil. Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang
mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan
berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan
trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses (Shnayder, Lee,
Bernstein, 2008).
b) Abses parafaring. Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring
sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal
(Fachruddin, 2001; Adam, 1989).
c) Abses intratonsilar. Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.
Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri
lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah.
Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan;
selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila
kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium
kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar
secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering
terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body
sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
Universitas Sumatera Utara
e) Kista tonsilar. Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran
kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan
mudah didrainasi.
e) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis (Dhingra, 2008). Dalam
penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43%
penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus
beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan
faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa
terjadinya penyakit Glomerulonefritis (Xie, 2004).

2.10 Prognosa
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita
Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan
bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang
tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas
lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-
kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam
rematik atau pneumonia (Edgren, 2002).

2.11 Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab Tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu
penderita ke orang lain. Tidaklah jarang terjadi seluruh keluarga atau beberapa anak
Universitas Sumatera Utara
pada kelas yang sama datang dengan keluhan yang sama, khususnya bila Streptokokus
pyogenase adalah penyebabnya. Risiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah
terpapar dari penderíta Tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas
minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya
dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat
gigi yang talah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang-orang
yang merupakan karier Tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk
mencegah penyebaran infeksi pada orang lain (Edgren, 2002).

2.12 Kerangka teori terjadinya Tonsilitis Kronis

DAYA TAHAN TUBUH


(umur, jenis kelamin,
suku, sosial ekonomi)
TONSILITIS AKUT TONSILITIS KRONIS
2.13 Kerangka Konsep
Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis

1. Sosiodemografi
Umur
Jenis kelamin
Suku
2. Keluhan utama
3. Ukuran tonsil
4. Penatalaksanaan
5. Sosial ekonomi
VIRULENSI KUMAN
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai