Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang lebih 1,5
kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di bawah
kerangka iga (Sloane, 2004). Hati adalah salah satu organ yang paling penting. Organ ini
berperan sebagai gudang untuk menimbun gula, lemak, vitamin dan gizi. Memerangi racun
dalam tubuh seperti alkohol, menyaring produk-produk yang tidak berguna lagi dari darah
dan bertindak sebagai semacam pengaruh bagian tubuh yang menjamin terjadinya
keseimbangan zat-zat kimia dalam sistem itu (Guyton dan Hall, 2008).
Hati memiliki banyak fungsi di dalam tubuh kita, dan bisa juga mengalami berbagai
gangguan penyakit hati dimana yang paling sering adalah karena virus yang dikenal dengan
hepatitis. Istilah hepatitis dipakai untuk semua jenis peradangan hati (liver) disebabkan
mulai dari virus atau obat-obatan. Hepatitis merupakan inflamasi dan cedera pada hepar,
penyakit ini dapat disebabkan oleh infeksi atau oleh toksin termasuk alkohol dan dijumpai
pada kanker hati. Hepatitis virus adalah istilah yang digunakan untuk infeksi hepar oleh
virus, identifikasi virus penyakit dilakukan terus menerus, tetapi agen virus A, B, C, D, E, F
dan G terhitung kira-kira 95% kasus dari hepatitis virus akut (Smeltzer, 2001).
Penyakit hepatitis merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati diseluruh
dunia. Penyakit ini sangat berbahaya bagi kehidupan karena penykit hepatits ataupun gejala
sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap tahunnya. Infeksi virus hepatitis
bisa berkembang menjadi sirosis atau pengerasan hati bahkan kanker hati. Masalahnya,
sebagian besar infeksi hepatitis tidak menimbulkan gejala dan baru terasa 10-30 tahun
kemudian saat infeksi sudah parah. Pada saat itu gejala timbul, antara lain badan terasa
panas, mual, muntah, mudah lelah, nyeri diperut kanan atas, setelah beberapa hari air
seninya berwarna seperti teh tua, kemudian mata tampak kuning dan akhirnya seluruh kulit
tubuh menjadi kuning. Pasien hepatitis biasanya baru sembuh dalam waktu satu bulan
(Aru, w sudoyo, 2006).
Insiden hepatitis yang terus meningkat semakin menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Penyakit ini menjadi penting karena mudah ditularkan, memiliki morbiditas
yang tinggi dan menyebabkan penderitanya absen dari sekolah atau pekerjaan untuk waktu

1
yang lama. 60-90% dari kasus-kasus hepatitis virus diperkirakan berlangsung tanpa
dilaporkan. Keberadaan kasus-kasus subklinis, ketidakberhasilan untuk mengenali kasus-
kasus yang ringan dan kesalahan diagnosis diperkirakan turut menjadi penyebab pelaporan
yang kurang dari keadaan sebenarnya. (Brunner & Sudarth, 2001).
Virus yang menyebabkan penyakit ini berada dalam cairan tubuh manusia yang
sewaktu-waktu bisa ditularkan ke orang lain. Salah satu diantaranya adalah virus Hepatitis
B. Penularan virus ini melalui rute tranfusi darah/produk darah, jarum suntik, atau
hubungan seks. Golongan yang beresiko tinggi adalah mereka yang sering tranfusi darah,
pengguna obat injeksi; pekerja parawatan kesehatan dan keamanan masyrakat yang
terpajan terhadap darah; klien dan staf institusi untuk kecatatan perkembangan, pria
homoseksual, pria dan wanita dengan pasangan heteroseksual, anak kecil yang terinfeksi
ibunya, resipien produk darah tertentu dan pasien hemodialisa. Masa inkubasi mulai 6
minggu sampai dengan 6 bulan sampai timbul gejala klinis (Smeltzer, 2001).
Hepatitis B yang merupakan peradangan hati yang bisa berpotensi fatal, disebabkan
infeksi virus hepatitis B, ibarat fenomena gunung es. Hanya 20-30 persen yang terdeteksi.
Lebih dari 70 persen tidak diketahui. Padahal, 75 persen kasus hepatitis B berada di
kawasan Asia Pasifik. Mengingat hepatitis merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I), maka imunisasi Hepatitis B merupakan awal dimulainya upaya
pengendalian hepatitis di Indonesia. Imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir atau birth
dose menggunakan prefilled injection device sudah dilakukan sejak 1997. Oleh karena itu
maka penulis ingin membuat makalah mengenai hepatitis B untuk lebih mengetahui
mengenai penyakit hepatitis B itu sendiri, gejala, dan pencegahannya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hati (Hepar)

2
2.1.1. Anatomi Hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang lebih
1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di
bawah kerangka iga (Sloane, 2004). Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di
bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar
terletak di profunda arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan
hepar dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke sebelah kiri
untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006). Hepar tersusun atas lobuli
hepatis. Vena centralis pada masing-masing lobulus bermuara ke venae hepaticae.
Dalam ruangan antara lobuluslobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-
cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah cabang ductus choledochus
(trias 12 hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara sel-sel hepar melalui
sinusoid dan dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004).

2.1.2. Fisiologi Hati

Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:

a. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen
dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil
perantara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain:
mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain,
membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk
lemak dari protein dan karbohidrat.

c. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan
protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa
lain dari asam amino.

3
d. Lain-lain
Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan
vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati
membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak
dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.

Gambar 2.1. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior (Putz & Pabst, 2007).

2.2. Hepatitis B

2.2.1. Definisi Hepatitis B

Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B,
suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut
atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut
jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila

4
penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada
gambaran patologi anatomi selama 6 bulan (Mustofa & Kurniawaty, 2013).

2.2.2. Etiologi Hepatitis B

Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil berasal
dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42 nm
(Hardjoeno, 2007). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90
hari (Sudoyo et al, 2009). Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope
lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core (Hardjoeno,
2007).

Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan 3200
nukleotida (Kumar et al, 2012). Genom berbentuk sirkuler dan memiliki empat Open
Reading Frame (ORF) yang saling tumpang tindih secara parsial protein envelope
yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti large HBs (LHBs), medium HBs
(MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang merupakan target utama respon
imun host, dengan lokasi utama pada asam amino 100-160 (Hardjoeno, 2007).
HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe antigen spesifik, disebut d atau
y, w atau r. Subtipe HBsAg ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan (Asdie
et al, 2012).

Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang mengkode
enzim polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan terakhir gen X yang
mengkode protein X (HBx), yang memodulasi sinyal sel host secara langsung dan
tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus ataupun host, dan belakangan ini
diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker hati (Hardjoeno, 2007).

5
Gambar 2.2. Struktur virus Hepatitis B (Sumber: Hunt, 2011)

2.2.3. Epidemiologi Hepatitis B

Infeksi VHB merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis,
dan kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, sebagian besar
kepulaan Pasifik, banyak negara di Afrika, sebagian Timur Tengah, dan di lembah
Amazon. Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa
sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh
VHB setiap tahunnya. Hanya 25% dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000 kasus
memerlukan perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit
fulminan (Price & Wilson, 2012).

Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh VHB dan sekitar 400
juta orang merupakan pengidap kronik Hepatitis B, sedangkan prevalensi di
Indonesia dilaporkan berkisar antara 3-17% (Hardjoeno, 2007). Virus Hepatitis B
diperkirakan telah menginfeksi lebih dari 2 milyar orang yang hidup saat ini selama

6
kehidupan mereka. Tujuh puluh lima persen dari semua pembawa kronis hidup di
Asia dan pesisir Pasifik Barat (Kumar et al, 2012).

Prevalensi pengidap VHB tertinggi ada di Afrika dan Asia. Hasil Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh provinsi
di Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%- 1,9%). Hasil Riskesdas
Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 orang menunjukkan bahwa
persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur
45- 49 tahun (11,92%), umur >60 13 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun
(10,02%), selanjutnya HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir
sama (9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia
telah terinfeksi virus Hepatitis B (Kemenkes, 2012).

2.2.4. Penularan Hepatitis B

Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan menembus membran
mukosa, terutama berhubungan seksual (Price & Wilson, 2012). Penanda HBsAg
telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu
saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu.
Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui infeksius
(Thedja, 2012).

Jalur penularan infeksi VHB di Indonesia yang terbanyak adalah secara parenteral
yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak antar
individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik
bersama). Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh
manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada serum (Juffrie et al, 2010).

2.2.5. Kelompok Resiko Tinggi

Ada beberapa kelompok yang mempunyai resiko tertular infeksi VHB baik secara
vertikal maupun horizontal, termasuk ke dalam kelompok ini adalah :

7
a. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif

b. Lingkungan penderita dengan HBsAg positif terutama anggota keluarga yang


selalu berhubungan langsung.

c. Tenaga medis, paramedis, dan petugas laboratorium yang selalu kontak langsung
dengan para penderita hepatitis B. Dari kelompok ini yang terbanyak ditemukan
ialah petugas unit bedah, kebidanan, gigi, petugas hemodialisa.

d. Penderita bedah, gigi, penerima transfusi darah, pasien hemodialisa.

e. Mereka yang hidup di daerah endemis VHB dengan prevalensi tinggi, misalnya di
Indonesia : Lombok, Bali, Kalimantan Barat.

2.2.6. Patofisiologi Hepatitis B

Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B
mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami
penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma,
sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel
dinding hati. Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel
pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah 17
DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus
Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang
kronis disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi (Mustofa &
Kurniawaty, 2013).

Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti
banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati ringan.
Respon imun host terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap
kerusakan hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin
besar klirens virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi
oleh respon seluler terhadap epitop protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke
permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restricted CD8+ cell
mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses intrasel dan
8
dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major Histocompability
Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung
oleh Limfosit T sitotoksik CD8+ (Hardjoeno, 2007).

2.2.7. Manifestasi Klinis Hepatitis B

Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan.
Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat
hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis
virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat (Juffrie et al, 2010).

Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:

1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan ratarata 60-
90 hari.
2. Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia,
artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau
konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran
kanan atas atau epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolestitis.
3. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi.
Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru
akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah
lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan
klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya < 1 % yang menjadi fulminan
(Sudoyo et all, 2009).

9
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari
enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik
dibagi menjadi tiga fase penting yaitu :

1. Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus
tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus
Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.
2. Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi
virus yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari
kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai
kehilangan toleransi imun terhadap VHB.
3. Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel
hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat
menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang
berarti. Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi
negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal (Sudoyo
et al, 2009).

2.2.8. Diagnosis Hepatitis B


Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat transmisi seperti
pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya. Pemeriksaan fisik
didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan
laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia, serologis,
dan molekuler (Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan USG abdomen tampak gambaran
hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar dapat menunjukkan gambaran
peradangan dan fibrosis hati (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
2.2.9. Pencegahan Hepatitis B

10
Untuk menurunkan angka kesakitan maupun kematian akibat infeksi VHB perlu
dilakukan pencegahan yang meliputi pencegahan primordial, primer, sekunder, dan
tersier.
1. Pencegahan Primodial
Pencegahan primordial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada
masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari
kebiasaan, gaya hidup, maupun kondisi lain yang merupakan faktor risiko untuk
munculnya suatu penyakit. Pencegahan primordial yang dapat dilakukan adalah:
a. Konsumsi makanan berserat seperti buah dan sayur serta konsumsi makanan
dengan gizi seimbang.
b. Bagi ibu agar memberikan ASI pada bayinya karena ASI mengandung
antibodi yang penting untuk melawan penyakit.
c. Melakukan kegiatan fisik seperti olah raga dan cukup istirahat.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan
kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum terjadi penyakit ketika seseorang
sudah terpapar faktor resiko. Pencegahan primer yang dilakukan antara lain :

a. Program Promosi Kesehatan


Memberikan penyuluhan dan pendidikan khususnya bagi petugas
kesehatan dalam pemakaian alat-alat yang menggunakan produk darah agar
dilakukan sterilisasi. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat umumnya
agar melaksanakan program imunisasi untuk mencegah penularan hepatSecara
konservatif dilakukan pencegahan penularan secara parenteral dengan cara
menghindari pemakaian darah atau produk darah yang tercemar VHB,
pemakaian alat-alat kedokteran yang harus steril, menghindari pemakaian
peralatan pribadi terutama sikat, pisau cukur, dan peralatan lain yang dapat
menyebabkan luka.
b. Program Imunisasi
Pemberian imunisasi hepatitis B dapat dilakukan baik secara pasif maupun
aktif. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan hepatitis B
Imunoglobulin (HBIg) yang akan memberikan perlindungan sampai 6 bulan.
Imunisasi aktif dilakukan dengan vaksinasi hepatitis B. Dalam beberapa
keadaan, misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita hepatitis B perlu

11
diberikan HBIg mendahului atau bersamasama dengan vaksinasi hepatitis B.
HBIg yang merupakan antibodi terhadap terhadap VHB diberikan secara intra
muskular selambat-lambatnya 24 jam setelah persalinan. Vaksin hepatitis B
diberikan selambat-lambatnya 7 hari setelah persalinan. Untuk mendapatkan
efektivitas yang lebih tinggi, sebaiknya HBIg dan vaksin hepatitis B diberikan
segera setelah persalinan.

Gambar 2.3. Jadwal Imunisasi Anak (Sumber : IDAI tahun 2011)

Pemberian vaksin hepatitis B juga dianjurkan kepada pasangan seksual


yang kontak langsung dengan penderita HBsAg positif, kelompok yang
mempunyai pasangan seksual berganti-ganti, terutama yang didiagnosa
terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), pasangan homoseksual, pasien
yang mendapatkan tindakan pengobatan dengan cuci darah, dan Petugas
kesehatan yang sehari-hari kontak dengan darah atau jaringan tubuh penderita
HBsAg positif, seperti perawat dan petugas laboratorium.

3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan terhadap orang
yang sakit agar lekas sembuh dan menghambat progresifitas penyakit melalui
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat.
4. Pencegahan Tersier
Sebagian besar pencegahan penderita hepatitis B akut akan membaik atau
sembuh sempurna tanpa meninggalkan bekas. Tetapi sebagian kecil akan menetap
dan menjadi kronis, kemudian menjadi buruk atau mengalami kegagalan faal hati.
Biasanya penderita dengan gejala seperti ini akan berakhir dengan meninggal
12
dunia. Usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut maka perlu diadakan
pemeriksaan berkala. Sebelum dilaksanakan pembedahan, pada waktu
pembedahan, dan pasca pembedahan.
2.2.10. Komplikasi Hepatitis B
Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada Hepatitis B akut.
Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita Hepatitis B akut. Kebanyakan
penderita Hepatitis B kronik tidak pernah mengalami gejala hepatitis B akut yang
jelas. Hepatitis fulminan merupakan penyulit yang paling ditakuti karena sebagian
besar berlangsung fatal. Lima puluh persen kasus hepatitis virus fulminan adalah dari
tipe B dan banyak diantara kasus hepatitis B akut fulminan terjadi akibat ada
koinfeksi dengan hepatitis D atau hepatitis C. Angka kematian lebih dari 80% tetapi
penderita hepatitis fulminan yang berhasil hidup biasanya mengalami kesembuhan
biokimiawi atau histologik. Terapi pilihan untuk hepatitis B fulminan adalah
transplantasi hati (Soewignjo & Gunawan, 2008).
Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh jaringan
parut yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama akan mengubah struktur
normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel hati akan mengalami
kerusakan yang menyebabkan fungsi hati mengalami penurunan bahkan kehilangan
fungsinya (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
2.2.11. Terapi Hepatitis B
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas. Pembatasan
aktivitas fisik seperti tirah baring dapat membuat pasien merasa lebih baik.
Diperlukan diet tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori utama diberikan pada pagi
hari karena banyak pasien mengalami nausea ketika malam hari (Setiawan et al,
2006).
Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah untuk mengeliminasi
atau menekan secara permanen VHB. Pengobatan dapat mengurangi patogenitas dan
infektivitas akhirnya menghentikan atau mengurangi inflamasi hati, mencegah
terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan DNA VHB (dengan serokonvers
HBeAg ke anti-Hbe pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau
6-12 bulan setelah akhir pengobatan (Soewignjo & Gunawan, 2008).
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat
menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau HCC

13
(Hepato Cellular Carcinoma), dan pada akhirnya memperpanjang usia (Setiawan et al,
2006). Terapi antiviral yang telah terbukti bermanfaat untuk Hepatitis B kronik adalah
Interferon, Lamivudin, Adefovir dipofoxil dan Entecavir (Soewignjo & Gunawan,
2008).

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini, antara lain :
1. Penyakit Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang tergolong
berbahaya di dunia, Penyakit ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) yang
menyerang hati dan menyebabkan peradangan hati akut atau menahun.
2. Tanda dan gejala dari penyakit Hepatitis B ini sangat bervariasi terkadang mirip
dengan Hepatitis A dan mirip flu. Namun pada stadium prodromal sering ditemukan
kemerahan kulit dan nyeri sendi, hilangnya nafsu makan, mual kadang disertai
dengan muntah, lemah, pusing, dan lain-lain.
3. Transmisi penularan dapat melalui, vertikal dan horizontal.
4. Ada 4 (empat) kegiatan utama yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan
penyakit Hepatitis, yakni melalui pencegahan primodial, primer, sekunder dan tersier.
14
DAFTAR PUSTAKA

Asdie AH, Wiyono P, Rahardjo P, Triwibowo, Marcham SN, Danawati W. 2012. Harrison
prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, edisi ke-13. Jakarta: EGC.

Bare BG., Smeltzer SC. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC

Hardjoeno H dkk. 2007. Interprestasi hasil tes laboratorium diagnostik. Hasanuddin University
Press (LEPHASS): Makassar.

Hunt R. 2011. Hepatitis viruses. Virology Section of Microbiology and Immunology Online
[Jurnal Online]. Tersedia dari: http://pathmicro.med.sc.edu/virol/hepatitis-virus.htm.
Diakses pada Jumat, 30 Juni 2017 pukul 17.00 WITA

Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. 2012. Buku ajar
gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Junqueira,LC., 2007. Persiapan jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik. Histology Dasar: teks
dan atlas. Edisi 10. Jakarta : EGC.

Kementerian Kesehatan. 2012. Pedoman pengendalian hepatitis virus. Jakarta: Direktorat


Jenderal PP dan PL.

15
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2012. Buku Ajar Patologi. Edisi 7.

Mustofa S, Kurniawaty E. 2013. Manajemen gangguan saluran serna : Panduan bagi dokter
umum. Bandar Lampung: Aura Printing & Publishing.

Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, edisi ke-6.
Jakarta: EGC.

Putz R, Pabst R. 2007. Atlas anatomi manusia sobotta jilid 2, edisi ke–22. Jakarta: EGC.

Setiawan PB, Djumhana A, Akbar HN, Lesmana LA. 2006. Konsensus PPHI tentang panduan
tata laksana infeksi hepatitis B kronik.

Sloane, E., 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Jakarta

Snell, R. S., 2006. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta:EGC.

Soewignjo S, Gunawan S. 2008. Hepatitis virus B, edisi ke-2. Jakarta: EGC.

Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Thedja MD. 2012. Genetic diversity of hepatitis B virus in Indonesia: Epidemiological and
clinical significance. Jakarta: DIC creative.

16

Anda mungkin juga menyukai