Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era globalisasi merupakan era perkembangan, manusia di tuntut untuk

bisa mengerti, memahami dan mengikuti perkembangan. Dimana sikap disiplin,

bertanggung jawab, berjiwa sosial, kreatif, inovatif, penuh dedikasi dalam

menjalankan program kegiatan, menjadi landasan utama dalam aspek kehidupan.

Pada saat memasuki usia tiga tahun, biasanya anak akan semakin mandiri dan mulai

mendekatkan diri pada teman-teman sebayanya. Pada tahap ini anak mulai menyadari

apa yang ia rasakan dan apa yang telah mampu dilakukan dan yang belum mampu

dilakukan. Umumnya dimasa kanak-kanak ini terdapat salah satu cirri tertentu dari

periode awal masa kanak-kanak tercermin dalam sebutan yang biasanya diberikan

oleh orangtua, pendidik dan ahli Psikologi, yaitu : “ Usia sulit “ sebagian besar orang

tua menganggap awal masa kanak-kanak sebagai usaha yang mengundang masalah.

Pada masa inilah anak tumbuh dalam kelompok-kelompok tertentu, untuk

mempelajari dasar-dasar berprilaku sosial sebagi persiapan bagi kehidupan sosial

yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk

kelas satu Sekolah Dasar. [ Suji,2005,12D].

Pendidikan Usia Dini adalah salah satu hal penting untuk membekali anak

menghadapi perkembangan masa depan. Untuk itu proses stimulasi atau

pembelajaraan yang bermakna sangat menentukan terwujudnya manusia yang

berkualitas. Anak perlu mendapatkan stimulasi atau pembelajaran pengamatan serta

pengetahuan tentang hal-hal yang akan diperlukan dalam kehidupanya.Tuntutan

zaman yang semakin besar terhadap pendidikan serta kemajuan ilmu pengetahuan,

teknologi, informasi dan komunikasi, membuat Pendidikan Anak Usia Dini tidak
mungkin hanya didapat dari keluarga saja, selain tuntutan tersebut masyarakat

mengiginkan kebutuhan akan informasi perkembangan anak terutama perkembangan

sosialnya terhadap teman-teman sebayanya. Dimana informasi tersebut sangat

berpengaruh terhadap perkembangan anak. Pada keyatannya banyak orangtua yang

belum mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki anaknya, sehingga hanya

bersifat merawat secara fisik dan memberikan sejumlah asupan yang dibutuhkan oleh

si anak, tetapi kurang dalam memberikan stimulasi edukasi. Karena adanya

pergeseran dalam kehidupan sosial dimana banyak ibu bekerja dengan alasan ingin

membantu suami dengan mencari nafkah atau sekedar ingin mencari kesibukan dan

bosan dirumah, seringkali menganggap enteng terhadap pendidikan anak-anaknya.

Karena perubahan masyarakat inilah,kehadiran Pendidikan Anak Usia Dini memberi

arah tersendiri bagi perkembangan anak usia dini terutama dalam sosialisasinya dan

tututan ini pulalah yang membuat kebijaksanan untuk memanfaatkan Pendidikan Usia

Dini (PAUD).

Masyarakat sebagai komunitas yang membentuk tradisi dan kebudayaan lokal

mempunyai andil besar dalam mempersiapkan masa depan anak-anak. Jika

masyarakat mampu memotivasi anak-anak untuk belajar keras suka berkompetisi,

maka kontribusi masyarakat sangat besar dalam menyukseskan pendidikan alternatif.

Fakta membuktikan banyak murid-murid sukses dipengaruhi faktor masyarakat

setempat yang mendukung aktivitas belajar anak, apakah itu yang berhubungan

dengan penguatan agama, moral, pengetahuan, keterampilan, kompetisi, dan lain-lain.

Dari sinilah spirit besar menggali cita-cita tertanam dan terpatri dengan kuat, dan

energi menggerakan potensi berkembang secara akseleratif.

Dari naluri mendidiknya Ki Hajar Dewantara, mengatakan beliau sangat

menyakini bahwa suasana pendidikan yang baik dan tepat adalah dalam suasana
kekeluargaan dan dengan prinsip asih(mengasihi), asah(memahirkan), dan

asuh(membimbing). Anak tumbuh dan berkembang dengan baik jika mendapatkan

perlakuan kasih sayang,pengasuhan yang penuh pengertian, dan dalam situasi yang

damai dan harmoni Ki Hajar Dewantara sangat menekankan bahwa untuk usia dini

bahkan juga untuk mereka yang dewasa, kegiatan pembelajaran dan pendidikan itu

bagaikan kegitan-kegiatan yang disengaja, namun sekaligus alamiah seperti bermain

di “taman” Bagaikan keluarga yang sedang mengasuh dan membimbing anak-anak

secara alamiah sesuai dengan kodrat anak di sebuah taman. Anak-anak yang

mengalami suasana kekeluargaan yang hangat, akrab, damai baik di rumah maupun di

sekolah, mendapatkan bimbingan dengan penuh kasih sayang, dan pelatihan

kebiasaan secara alami, akan berkembang menjadi anak yang bahagia dan sehat. Tiga

aspek tersebut akan memberi corak bagi seorang anak terhadap prilaku (behavior),

sikap (attitude) dan nilai (velue).[ Asma, 2009, 6D ]

Seperti halnya teori Karl Groos, Yang teorinya bernama teori biologis

mengatakan “ Anak-anak bermain oleh karena anak-anak harus mempersiapkan diri

dengan tenaga dan pikirannya untuk masa depanya. Seperti halnya dengan anak-anak

binatang, yang bermain sebagai latihan mencari nafkah, maka anak manusia pun

bermain untuk melatih organ-organ jasmani dan rohaninya untuk menghadapi masa

depanya ”[ Rahm, 2009,7U ]

Melalui program stimulasi pendidikan, anak sedini mungkin diperkenalkan

berbagi hal, tentang benda dan orang-orang disekitarnya. Pengenalan berbagai pola,

sikap dan perilaku, kebiasaan dan sifat orang-orang yang ada disekitarnya akan

membantu anak memahami aspek-aspek psikologi dari lingkungan sosialnya. Setiap

anak ditakdirkan memiliki tingkat intelektual, watak, profesi dan bakat yang berbeda-
beda. Ditangan pendidik yang cerdas, perbedaan-perbedaan itu justru saling

melengkapi

Mengulas peran pendidikan, sebenarnya tidak hanya terpaku pada tanggung

jawab pendidikan Formal saja, ada peran pendidikan Informal yang dapat menunjang

persiapan bagi kehidupan si anak yang akan datang. Bahkan pendidikan adalah

tanggung jawab universal setiap orang atas kodratnya sebagai makhluk yang dididik

dan makhluk yang mendidik.

Ada beberapa alasan mengapa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai

lingkar pendidikan Informal yang memiliki peran signifikan dalam mendidik anak.

Pertama, seorang anak tidak bersosialisasi di karenakan minder dalam berteman.

Kedua, sebagai media bermain yang menggali bakat dan minat serta keberanian yang

dimiliki oleh anak. Ketiga, menumbuhkan keaktifan jiwa raga anak melalui keaktifan

anak ini akan mampu mengolah kesan pengamatan menjadi suatu pengetahuan.

Keempat Pendidikan Usia Dini (PAUD), disebut juga sebagai pendidikan Informal,

memungkinkan iteraksi anak yang dinamis dengan lingkungannya. Melalui

Pendidikan Usia Dini (PAUD) Masyarakat atau orangtua pada umumnya akan

mengetahui beragam informasi tentang perkembangan yang terjadi pada seseorang

atau kelompok tertentu. Masyarakat atau orangtua beragam akan menderetkan

fenomena dan perkembangan hidup yang beragam dan tentu memiliki nilai

pembelajaran.

Jika mengatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini tidak ada unsur edukatif

tentu tidak sepenuhnya benar , beberapa tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Menempatkan cara bermain sambil belajar yang memungkinkan anak belajar dalam

dunia permainan yang dapat memperluas pengetahuan dan sosial antar sesama.
Kehadiran PAUD begitu populer di semua kalangan saat ini, Masyarakat atau

orangtua sangat antusias menyekolahkan anak di PAUD, entah hanya sebagai sarana

bermain dan belajar, ikut-ikutan menyekolahkan anak saja atau hanya karena gengsi

saja.

Tak terkecuali dikalangan menengah keatas, mengapa demikian? Sarana

PAUD ini memang tidak hanya berkualitas belajar atau bermain saja, tetapi juga pada

sisi pendidikan Informalnya,hal ini yang akan sangat membantu anak melakukan

penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan sosialnya. Peranannya begitu kuat,

paling tidak ada tiga hal dalam menunjang perkembangan anak yaitu, fungsi

Adaptasi, fungsi Pengembangan, dan fungsi Bermain

Melalui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang telah berperan dalam

perkembangan anak terutama dalam pendidikan sosial inilah, penulis tertarik untuk

mencoba menulis PENTINGNYA PERANAN PENDIDIKAN USIA DINI

TERHADAP PERKEMBANGAN KECERDASAN ANAKKAJIAN TEORITIK

Pendidikan Luar Sekolah Dalam Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak

Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak

usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal (Taman Kanak-

kanak, Raudatul Athfal, atau bentuk lain yang sederajat), jalur pendidikan nonformal

(Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, atau bentuk lain yang sederajat),

dan/atau jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau

pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Sehubungan dengan kenyataan yang telah disebutkan sebelumnya, maka anak-anak

yang tersentuh pendidikan dini yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal

masih sangat minim jumlahnya. Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka
sewajarnya bila peran Pendidikan Luar Sekolah – yang mencakup pendidikan

nonformal dan informal – dalam memberikan pelayanan pendidikan dini pada anak-

anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur pendidikan formal sangatlah penting

dan mendesak.

Sebelum membahas mengenai peran pendidikan luar sekolah dalam

pendidikan anak usia dini maka perlu kiranya untuk membahas teori-teori yang

relevan dengan tema tersebut.

Pendidikan Luar Sekolah

Pengertian Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan nasional, sebagai salah satu sistem dari supra sistem pembangunan

nasional, memiliki tiga subsistem pendidikan – sebagaimana yang tercantum dalam

Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 – yaitu pendidikan formal, pendidikan

nonformal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal disebut juga pendidikan

sekolah sedangkan pendidikan nonformal dan informal tercakup ke dalam pendidikan

luar sekolah.

Menurut pengertian Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 12

“Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat

dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang” sedangkan ayat 13 menyatakan

“Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan”.

Seperti diketahui bersama bahwa pendidikan luar sekolah mencakup pendidikan

nonformal maupun pendidikan informal sehingga dapat dijelaskan bahwa pendidikan

luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar jalur pendidikan sekolah

yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang baik dalam keluarga,

lingkungan maupun masyarakat.

Coombs (Trisnamansyah, 2003: 19) mendefinisikan nonformal education (pendidikan

nonformal atau pendidikan luar sekolah) sebagai setiap kegiatan pendidikan yang
diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang mapan baik dilakukan secara

terpisah atau sebagai bagian penting dari kegiatan yang lebih besar, dilakukan secara

sengaja untuk melayani peserta didik tertentu guna mencapai tujuan belajarnya.

Sejarah Pendidikan Luar Sekolah

Sebagaimana dikemukakan Sudjana ( 2001: 63) pendidikan luar sekolah telah hadir di

dunia ini sama tuanya dengan kehadiran manusia yang berinteraksi dengan

lingkungan di muka bumi ini dimana situasi pendidikan ini muncul dalam kehidupan

kelompok dan masyarakat. Kegiatan pendidikan dalam kelompok dan masyarakat

telah dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum pendidikan sekolah lahir di dalam

kehidupan masyarakat.

Pada waktu permulaan kehadirannya, pendidikan luar sekolah dipengaruhi oleh

pendidikan informal, yaitu kegiatan yang terutama berlangsung dalam keluarga

dimana terjadi interaksi di dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan,

sikap, nilai, dan kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk

tumbuhnya perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini.

Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok yang terdiri dari keluarga-

keluarga mengadopsi pola transmisi tersebut ke dalam kehidupan kelompok seperti

keterampilan bercocok tanam. Kegiatan belajar-membelajarkan tersebut yang

dilakukan untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun

itulah yang termasuk ke dalam kategori pendidikan tradisional yang kemudian

menjadi akar pertumbuhan pendidikan luar sekolah.

Sejak awal kehadirannya di dunia ini, pendidikan luar sekolah telah berakar pada

tradisi dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat yang mendorong penduduk

untuk belajar, berusaha, dan bekerjasama atas dasar nilai-nilai budaya dan moral yang

dianut oleh masyarakat tersebut. Hal ini biasanya terdapat dalam pepatah dan nasehat

para orang tua yang intinya mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan belajar,

berusaha, dan bekerjasama dalam masyarakat.


Kehadiran agama dalam kehidupan masyarakat lebih melandasi lagi perkembangan

pendidikan luar sekolah. Belajar membaca kitab suci, kaidah-kaidah agama, tata cara

sembahyang merupakan kegiatan belajar- mengajar yang mendasari situasi

pendidikan luar sekolah. Agama memberikan motivasi kepada masyarakat bahwa

belajar itu merupakan kewajiban setiap pemeluk agama dan kegiatan belajar

dilakukan di dalam dan terhadap lingkungan kehidupannya.

Asas Pendidikan Sepanjang Hidup

Pendidikan luar sekolah didasari oleh empat asas yaitu asas kebutuhan, asas

pendidikan sepanjang hayat, asas relevansi dengan pembangunan masyarakat, dan

asas wawasan ke masa depan. Dalam hal ini perhatian lebih ditujukan pada asas

pendidikan sepanjang hayat yang relevan dengan topik yang sedang dibahas.

R.H. Dave (dalam Hawes, H.W.R. dalam Trisnamansyah, 2003: 7) mengemukakan

dua puluh karakteristik pendidikan sepanjang hayat namun di sini hanya membahas

karakteristik yang sesuai dengan topik penulisan:

Pendidikan sepanjang hayat tidak hanya terbatas pada pendidikan orang dewasa tapi

juga meliputi serta menyatukan semua tingkat pendidikan – prasekolah, SD, SLTP

dan seterusnya. Ini merupakan pandangan pendidikan secara menyeluruh.

Berdasarkan karakteristik di atas maka pendidikan prasekolah telah diakui sebagai

bagian dari pendidikan sepanjang hayat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh

Worth, W.H. (Cropley, A.J., 43) yang mengemukakan bahwa pendidikan tidak boleh

menolak anak di bawah umur enam tahun dan menganjurkan pendidikan anak-anak

awal yang disebutnya “Early Ed”. Ia mengemukakan tiga tujuan pokok “Early Ed”,

yang meliputi perlengkapan stimulasi, membantu pemahaman identitas, dan

menciptakan pengalaman sosialisasi yang tepat. Aspek terpenting anjuran Worth

ialah pendidikan anak usia dini sebagai fase pertama sistem pendidikan seumur

hidup. Ia menyarankan bahwa tujuannya harus memuat pengembangan keterampilan

untuk mendayagunakan informasi dan simbol-simbol, meningkatkan apresiasi


bermacam-macam mode ekspresi diri, memelihara keinginan dan kemampuan

berpikir, menanamkan keyakinan setiap anak tentang kemampuannya untuk belajar,

membantu perasaan harga diri, dan akhirnya, meningkatkan kemampuan untuk hidup

dengan orang lain. Worth melihat pendidikan anak usia dini meliputi variable yang

kompleks dalam bidang kognitif, motivasi dan sosio affektif yang jika berkembang

dengan tepat akan menjadi basis pemenuhan diri dalam kehidupan. Dengan demikian

Worth mengakui pentingnya pendidikan anak-anak usia prasekolah sebagai salah satu

fase pendidikan seumur hidup.

Rumah memegang peranan pertama, tajam dan penting dalam memulai proses belajar

sepanjang hayat yang terus berlanjut sepanjang kehidupan individu melalui proses

belajar keluarga.

Dalam keluargalah anak pertama kali mendapatkan pengalaman belajarnya dimana

diketahui bersama bahwa keluarga merupakan tempat belajar di luar sekolah. Di

dalam kehidupan keluarga ini terjadi interaksi, di dalamnya berupa transmisi

pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan

tersebut menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini

(Sudjana, 2001:63).

Pendidikan Anak Usia Dini

Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini

Pengertian pendidikan anak usia dini sebagaimana yang termaktub dalam Undang-

undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa:

Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak

sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian

rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani

dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Batasan lain mengenai usia dini pada anak berdasarkan psikologi perkembangan yaitu

antara usia 0 – 8 tahun.


Disamping istilah pendidikan anak usia dini terdapat pula terminologi pengembangan

anak usia dini yaitu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan atau pemerintah

untuk membantu anak usia dini dalam mengembangkan potensinya secara holistik

baik aspek pendidikan, gizi maupun kesehatan (Direktorat PADU, 2002:3).

Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Kata pertumbuhan sering dikaitkan dengan kata perkembangan sehingga ada istilah

tumbuh kembang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan

bagian dari perkembangan. Namun sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan

adalah dua hal yang berbeda.

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran dan bentuk tubuh atau anggota tubuh,

misalnya bertambah berat badan, bertambah tinggi badan, bertambah lingkaran

kepala, bertambah lingkar lengan, tumbuh gigi susu, dan perubahan tubuh yang

lainnya yang biasa disebut pertumbuhan fisik.

Pertumbuhan dapat dengan mudah diamati melalui penimbangan berat badan atau

pengukuran tinggi badan anak. Pemantauan pertumbuhan anak dilakukan secara terus

menerus dan teratur.

Adapun perkembangan adalah perubahan mental yang berlangsung secara bertahap

dan dalam waktu tertentu, dari kemampuan yang sederhana menjadi kemampuan

yang lebih sulit, misalnya kecerdasan, sikap, tingkah laku, dan sebagainya. Proses

perubahan mental ini juga melalui tahap pematangan terlebih dahulu. Bila saat

kematangan belum tiba maka anak sebaiknya tidak dipaksa untuk meningkat ke tahap

berikutnya misalnya kemampuan duduk atau berdiri.

Pertumbuhan dan perkembangan masing-masing anak berbeda, ada yang cepat dan

ada yang lambat, tergantung faktor bakat (genetik), lingkungan (gizi dan cara

perawatan kesehatan), dan konvergensi (perpaduan antara bakat dan lingkungan).

Oleh sebab itu perlakuan terhadap anak tidak dapat disamaratakan, sebaiknya dengan
mempertimbangkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak (Diktentis

Diklusepa, 2003:8).

Tumbuh Kembang Anak

Psikologi perkembangan adalah teori yang mempelajari perkembangan manusia dari

lahir sampai dewasa atau tua. Psikologi perkembangan berarti juga perubahan yang

sistematis dalam diri seseorang mulai dari konsepsi (pertemuan sel telur dengan

sperma) sampai kematian. Sedangkan psikologi perkembangan anak (Early

Childhood Development) hanya mempelajari perkembangan manusia sejak lahir

sampai dengan usia delapan tahun (Diktentis Diklusepa, 2003: 9).

Menurut berbagai penelitian di bidang neurologi terbukti bahwa 50% kapasitas

kecerdasan anak terbentuk pada kurun waktu empat tahun pertama sejak

kelahirannya. Pada saat anak mencapai usia delapan tahun maka perkembangan otak

anak telah mencapai 80% hingga pada usia 18 tahun mencapai 100%. Usia 0 – 8

tahun merupakan masa emas perkembangan anak sebab 80% perkembangan otak

berada pada rentang usia tersebut.

Pada saat anak dilahirkan ia sudah dibekali tuhan dengan struktur otak yang lengkap,

namun baru mencapai kematangannya pada saat setelah di luar kandungan. Bayi yang

baru dilahirkan memiliki 100 miliar neuron dan bertriliun-triliun sambungan antar

neuron. Melalui persaingan alami akhirnya sambungan-sambungan yang tidak atau

jarang digunakan akan mengalami atrofi.

Pemantapan sambungan terjadi apabila neuron mendapatkan informasi yang mampu

menghasilkan letupan-letupan listrik. Letupan tersebut merangsang bertambahnya

produksi myelin yang dihasilkan oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat

myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga

akan semakin banyak synapse yang berarti lebih banyak neuron-neuron yang

menyatu membentuk unit-unit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan

mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit.


Otak manusia bersifat hologram yang dapat mencatat, menyerap, menyimpan,

mereproduksi dan merekonstruksi informasi. Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh

kegiatan neuron ini tidak bersifat spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi

stimulasi yang diterima indra. Stimulasi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak

sangat mempengaruhi struktur fisik otak anak, dan hal tersebut sulit diperbaiki pada

masa-masa kehidupan selanjutnya. Implikasinya adalah bahwa anak yang tidak

mendapatkan stimulasi psikososial seperti jarang disentuh atau jarang diajak bermain

akan mengalami berbagai penyimpangan perilaku. Penyimpangan tersebut dalam

bentuk hilangnya citra diri yang berakibat pada rendah diri, sangat penakut, dan tidak

mandiri, atau sebaliknya menjadi anak yang tidak memiliki rasa malu dan terlalu

agresif.

Stimulasi psikososial untuk merangsang pertumbuhan anak tidak akan memberikan

arti bagi masa depan anak jika derajat kesehatan dan gizi anak tidak menguntungkan.

Pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara pengasuhan dan pemberian

makan serta stimulasi anak pada usia dini yang sering disebut critical period ini. Gizi

yang tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan anak yang rendah

akan menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan menurunkan

kemampuan otak dalam mencatat, menyerap, mereproduksi dan merekonstruksi

informasi. Disamping itu, rendahnya derajat kesehatan dan gizi anak akan

menghambat pertumbuhan fisik dan motorik anak yang juga berlangsung sangat cepat

pada tahun-tahun pertama kehidupan anak. Gangguan yang terjadi pada pertumbuhan

fisik dan motorik anak, sulit diperbaiki pada periode berikutnya, bahkan dapat

mengakibatkan cacat yang permanen (Dirjen Diklusepa, Depdiknas: 2002).

Konsep di atas menuntut adanya pengintegrasian aspek psiko-sosial/pendidikan, gizi

dan kesehatan dalam proses tumbuh kembang anak atau dengan kata lain anak

mendapatkan layanan dasar secara holistik.


Dalam perkembangan anak, pada saat-saat tertentu dapat terjadi kemandegan tugas-

tugas perkembangan (discontinuity), misalnya karena sakit, namun setelah masa ini

berlalu ada tugas perkembangan yang bisa dikejar dan ada pula yang tidak bisa

dikejar sama sekali.

Aspek-aspek Perkembangan

Secara garis besar aspek-aspek perkembangan anak dapat dikelompokkan menjadi

dua yaitu:

Pembentukan perilaku meliputi aspek: moral, keimanan, dan ketakwaan (spritual

intellingence), sosial dan emosional (interpersonal intellingence dan intra-personal

intellingence).

Perkembangan kemampuan dasar meliputi aspek: perkembangan bahasa (linguistic

intellingence), daya pikir (logico-mathematical intellingence), keterampilan dan seni

(visual-spatial intellingence, naturalis intellingence, dan musical/rythmic

intellingence), serta kesehatan jasmani (bodily/kinesthetic intellingence) (Diktentis

Ditjen Diklusepa, 2003:11).

Kecerdasan atau Potensi Anak

Lebih lanjut hadir teori baru tentang Multiple Intelligence yang menyatakan bahwa

setiap anak memiliki beberapa potensi kecerdasan. Kegiatan pendidikan anak usia

dini hendaknya memperhatikan 9 macam kecerdasan atau potensi dalam diri anak

tersebut ketika anak sedang belajar tentang dunianya. Setiap kecerdasan dapat

dirangsang dengan cara yang berbeda (Direktorat PADU, 2002; Diktentis, 2003).

Kesembilan kecerdasan tersebut adalah:

Kecerdasan verbal (linguistic intelligence) adalah kemampuan untuk memanipulasi

bahasa secara efektif untuk mengekspresikan diri secara retorikal atau puisi. Bahasa

juga digunakan sebagai alat untuk mengingat informasi yang ada. Kemampuan ini

dapat dirangsang melalui mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, berdiskusi,

dan bercerita.
Kecerdasan logika-matematik (logico-mathematical intelligence) adalah kemampuan

untuk mendeteksi pola-pola, beralasan deduksi, dan berpikir logis. Umumnya

kecerdasan ini diasosiasikan dengan berpikir ilmiah dan matematis. Kemampuan ini

dapat dirangsang melalui kegiatan menghitung, membedakan bentuk, menganalisa

data, dan bermain dengan benda-benda.

Kecerdasan visual-spasial (visual-spatial intelligence) adalah kemampuan untuk

menyelesaikan masalah dengan cara memanipulasi dan menciptakan melalui

imajinasi mental. Kemampuan ini dapat dirangsang melalui bermain kertas warna

warni, balok-balok, bentuk-bentuk geometri, puzzle, menggambar, melukis, dan

berimajinasi.

Kecerdasan musikal (musical/rhytmic intelligence) adalah kemampuan umtuk

mengenal dan mengkomposisikan irama, birama, dan ritme musik. Kemampuan ini

dapat dirangsang melalui irama, nada, birama berbagai bunyi, dan bertepuk tangan.

Kecerdasan kinestetik (bodily/kinesthetic intelligence) adalah kemampuan untuk

menggunakan salah satu kemampuan mental dalam mengkoordinasikan gerakan

tubuh. Kemampuan ini dapat dirangsang melalui gerakan tubuh, tarian, dan olahraga.

Kecerdasan mencintai keindahan alam (naturalist intelligence) adalah kemampuan

untuk menangkap informasi melalui keindahan alam. Kemampuan ini dapat

dirangsang melalui pengamatan lingkungan, bercocok tanam, memelihara binatang,

termasuk mengamati gejala alam seperti hujan, angin, banjir, pelangi, siang-malam,

panas-dingin, bulan-bintang, dan matahari.

Kecerdasan berkawan (interpersonal intelligence) adalah kemampuan untuk

melakukan hubungan antar manusia (berkawan) yang dapat dirangsang dengan

bermain bersama teman, bekerjasama, bermain peran, memecahkan masalah, dan

menyelesaikan konflik.
Kecerdasan mengenal diri sendiri (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan

untuk memahami diri sendiri yang dapat dirangsang melalui pengembangan konsep

diri, harga diri, mengenal diri sendiri, percaya diri, termasuk kontrol diri, dan disiplin.

Kecerdasan spritual (spritual intelligence) adalah kemampuan mengenal dan

mencintai ciptaan Tuhan. Kemampuan ini dapat dirangsang melalui penanaman nilai-

nilai moral dan agama.

PEMBAHASAN

Adalah suatu kenyataan bahwa selama ini perhatian terhadap pendidikan anak usia

dini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama

negara maju. Padahal belajar dari pengalaman negara maju, konsep pembangunan

sumber daya manusia (SDM) justru dimulai sejak masa usia dini. Pengembangan

anak usia dini yang mencakup aspek gizi, kesehatan, dan pendidikan dilakukan secara

intensif dan utuh sejak anak dilahirkan.

Di Singapura dan Korea misalnya, hampir seluruh anak usia dini telah terlayani

PAUD. Di Malaysia, pelayanan PAUD mencakup 70% anak. Bahkan di Singapura

masalah penuntasan dua bahasa, yaitu bahasa Cina dan Inggris, telah terselesaikan di

tingkat TK. Hal ini terbukti dengan peringkat ketiga negara tersebut dalam hal

kualitas SDM jauh lebih baik daripada negara kita yang berada di peringkat 110

(Singapura, Korea Selatan dan Malaysia masing-masing berada di peringkat 25, 27

dan 59).

Pentingnya PAUD

Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa masa usia dini merupakan periode

emas bagi perkembangan anak dimana 50% perkembangan kecerdasan terjadi pada

usia 0 – 4 tahun, 30% berikutnya hingga usia delapan tahun. Periode emas ini

sekaligus merupakan periode kritis bagi anak dimana perkembangan yang didapatkan

pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pada periode berikutnya
hingga masa dewasanya. Periode ini hanya datang sekali dan tidak dapat ditunda

kehadirannya, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Hal inilah

nampaknya yang masih banyak disia-siakan oleh sebagian besar masyarakat.

Akibatnya, berdampak terhadap kesiapan anak memasuki jenjang persekolahan.

Pada periode kritis ini anak memerlukan berbagai asupan terutama yang mencakup

aspek gizi, kesehatan, dan pendidikan yang merupakan pilar utama pengembangan

anak usia dini, mengingat ketiga aspek ini sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas

anak di kemudian hari.

Kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan kesehatan bagi anak lebih tinggi

daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan. Padahal penanganan masalah gizi

dan kesehatan saja tidak cukup, melainkan harus dilengkapi pula dengan penanganan

pendidikannya sebagai kesatuan yang utuh dan terpadu. Sebagai contoh, program

penanggulangan masalah kekurangan gizi dan kesehatan dasar untuk survival

memang sangat diperlukan, tatapi apa arti survival bila kemampuan dasar intelektual

dan psikososialnya rendah, tentu nantinya hanya akan menjadi beban orang lain

bukan?

Oleh sebab itu sudah saatnya memasukkan aspek pendidikan dalam program anak

usia dini sehingga ketiganya menjadi satu kesatuan intervensi yang utuh, walaupun

belum dapat menjangkau semua anak. Sebagai contoh, keberhasilan program

posyandu dalam pelayanan perbaikan gizi dan kesehatan dasar, akan lebih lengkap

apabila ditambah dengan layanan stimulasi pendidikan bagi para balitanya.

Sedangkan untuk paket yang lebih intensif, program layanan gizi dan kesehatan dapat

diintegrasikan dengan program Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, atau

TK/RA. Dengan demikian diharapkan semua kegiatan yang melibatkan anak usia dini

perlu sentuhan ketiga aspek tersebut.

Pembelajaran Melalui Bermain


Anak-anak usia dini dapat saja diberikan materi pelajaran, diajari membaca, menulis,

dan berhitung. Bahkan bukan hanya itu saja, mereka bisa saja diajari tentang sejarah,

geografi, dan lain-lainnya. Jerome Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan

kepada setiap kelompok umur dengan cara-cara yang sesuai dengan

perkembangannya (Supriadi, 2002: 40). Kuncinya adalah pada permainan atau

bermain. Permainan atau bermain adalah kata kunci pada pendidikan anak usia dini.

Ia sebagai media sekaligus sebagai substansi pendidikan itu sendiri. Dunia anak

adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan dengan atau sambil bermain yang

melibatkan semua indra anak.

Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran

terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan

pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Sayangnya, menurut

Samples bermain sebagai gagasan yang dikaitkan dengan pembelajaran kurang

mendapatkan apresiasi dalam berbagai lingkungan budaya (Supriadi, 2002: 40).

Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny

R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak

karena menyenangkan, bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua

aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak

dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui

dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat

mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental

intelektual dan spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak usia dini merupakan

jembatan bagi berkembangnya semua aspek.

Kritik yang ditujukan kepada sejumlah TK bukan karena mereka mengajarkan

berhitung, membaca, dan menulis melainkan caranya yang salah seakan-akan

menjadikan TK sebagai miniatur SD. Padahal PAUD itu sesuatu yang lain dengan

landasan psikologis dan pedagogis yang berbeda. Belajar Quantum dari De Porter &
Hernacki serta revolusi belajar yang dibawakan oleh Dryden & Vos (Supriadi, 2002:

41) meletakkan titik berat pada “pendinian” belajar pada anak dengan memilih cara-

cara yang sesuai, bukan pengakademikan belajar pada usia dini – dua hal yang sangat

besar perbedaannya.

Pembelajaran pada anak usia dini dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa

metode (Direktorat PADU,2001; Depdikbud, 1998), diantaranya yaitu:

Bercerita

Bercerita adalah menceritakan atau membacakan cerita yang mengandung nilai-nilai

pendidikan. Melalui cerita daya imajinasi anak dapat ditingkatkan. Bercerita dapat

disertai gambar maupun dalam bentuk lainnya seperti panggung boneka. Cerita

sebaiknya diberikan secara menarik dan membuka kesempatan bagi anak untuk

bertanya dan memberikan tanggapan setelah cerita selesai. Cerita tersebut akan lebih

bermanfaat jika dilaksanakan sesuai dengan minat, kemampuan dan kebutuhan anak.

Bernyanyi

Bernyanyi adalah kegiatan dalam melagukan pesan-pesan yang mengandung unsur

pendidikan. Dengan bernyanyi anak dapat terbawa kepada situasi emosional seperti

sedih dan gembira. Bernyanyi juga dapat menumbuhkan rasa estetika.

Berdarmawisata

Darmawisata adalah kunjungan secara langsung ke obyek-obyek yang sesuai dengan

bahan kegiatan yang sedang dibahas di lingkungan kehidupan anak. Kegiatan tersebut

dilakukan di luar ruangan terutama untuk melihat, mendengar, merasakan, mengalami

langsung berbagai keadaan atau peristiwa di lingkungannya. Hal ini dapat

diwujudkan antara lain melalui darmawisata ke pasar, sawah, pantai, kebun, dan

lainnya.

Bermain peran

Bermain peran adalah permainan yang dilakukan untuk memerankan tokoh-tokoh,

benda-benda, dan peran-peran tertentu sekitar anak. Bermain peran merupakan


kegiatan menirukan perbuatan orang lain di sekitarnya. Dengan bermain peran,

kebiasaan dan kesukaan anak untuk meniru akan tersalurkan serta dapat

mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan kegiatan

yang dilaksanakan.

Peragaan/Demonstrasi

Peragaan/demonstrasi adalah kegiatan dimana tenaga pendidik/tutor memberikan

contoh terlebih dahulu, kemudian ditirukan anak-anak. Peragaan/demonstrasi ini

sesuai untuk melatih keterampilan dan cara-cara yang memerlukan contoh yang

benar.

Pemberian Tugas

Pemberian tugas merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada anak

untuk melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk langsung yang telah dipersiapkan

sehingga anak dapat mengalami secara nyata dan melaksanakan tugas secara tuntas.

Tugas dapat diberikan secara berkelompok ataupun individual.

Latihan

Latihan adalah kegiatan melatih anak untuk menguasai khususnya kemampuan

psikomotorik yang menuntut koordinasi antara otot-otot dengan mata dan otak.

Latihan diberikan sesuai dengan langkah-langkah secara berurutan.

Peranan Pendidikan Luar Sekolah

Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa dari jumlah

26,09 juta anak usia 0 – 6 tahun, sebagian besar (sekitar 17, 99 juta anak atau 68,9%)

belum terlayani dalam pendidikan prasekolah. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul

Athfal hanya mampu melayani sekitar 2 (dua) juta anak dari 12,6 juta anak usia 4 – 6

tahun yang ada.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka sewajarnya bila peran Pendidikan Luar

Sekolah – yang mencakup pendidikan nonformal dan informal – dalam memberikan


pelayanan pendidikan dini pada anak-anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur

pendidikan formal sangatlah penting dan mendesak.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang diselenggarakan pendidikan luar sekolah

berupa kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia

dini yang sejenis.

Kelompok bermain adalah salah satu bentuk layanan PAUD bagi anak usia tiga –

enam tahun, yang berfungsi untuk meletakkan dasar-dasar ke arah perkembangan

sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan bagi anak usia dini dalam

menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta

perkembangan selanjutnya, sehingga siap memasuki pendidikan dasar.

Taman Penitipan Anak adalah wahana pendidikan dan pembinaan kesejahteraan anak

yang berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu tertentu selama

orangtuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup dalam menagsuh

anaknya karena bekerja atau sebab lain.

Satuan PAUD sejenis merupakan bentuk-bentuk layanan PAUD lainnya yang tidak

diselenggarakan dalam bentuk taman penitipan anak ataupun kelompok bermain.

Satuan PAUD sejenis dapat berbentuk: PAUD dalam keluarga dan berbagai layanan

pendidikan lainnya, baik yang bersifat khusus maupun umum yang diselenggarakan

bagi anak usia dini.

PADU Terintegrasi Posyandu atau Pospadu adalah pengembangan dari satuan PADU

sejenis, yang merupakan upaya pendidikan bagi anak usia dini yang dilaksanakan

dengan mengintegrasikan pendidikan dengan program posyandu, sehingga anak

memperoleh layanan dasar secara holistik/menyeluruh yang mencakup layanan gizi,

kesehatan, dan pendidikan.

Peranan dan Pemberdayaan Masyarakat

Kenyataan bahwa masih banyak anak usia dini yang belum mendapatkan pelayanan

pendidikan tak dapat dipungkiri, terlebih bagi masyarakat kelas bawah yang
merupakan sebagian besar penduduk Indonesia yang berada di pedesaan. Hal itu

disebabkan antara lain kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak

usia dini masih sangat rendah.

Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi dan kesehatan untuk peningkatan

kualitas anak, nampaknya jauh lebih baik daripada kesadaran akan pentingnya

pendidikan. Hasil penelitian Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 di wilayah

Jakarta dan sekitarnya seperti yang dilansir oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Jalal,

2002: 13) menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat memandang belum perlu

pendidikan diberikan kepada anak usia dini. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa

pemahaman masyarakat terhadap pentingnya PAUD masih sangat rendah serta pada

umumnya mereka berpandangan bahwa pendidikan identik dengan sekolah, sehingga

bagi anak usia dini pendidikan dipandang belum perlu.

Lebih jauh Hadis (2002: 25) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadikan

penyebab masih rendahnya kesadaran masyarakat di bidang pendidikan anak usia dini

seperti: ketidaktahuan, kemiskinan, kurang berpendidikan, gagasan orangtua tentang

perkembangan anak yang masih sangat tradisional, kurang mau berubah, masih

sangat konkret dalam berpikir, motivasi yang rendah karena kebutuhan yang masih

sangat mendasar (untuk survival), serta masih sangat dipengaruhi oleh budaya

setempat yang sempit.

Rendahnya tingkat partisipasi anak mengikuti pendidikan prasekolah dapat juga

dipengaruhi oleh beberapa hal lainnya seperti: (1) Masih terbatas dan tidak meratanya

lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai

contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di

pedesaan; (2) Rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan

anak usia dini. Fakta menunjukkan (Rosadi, 2002) dari 41.317 buah TK di seluruh

Indonesia, 41.092 buah (99.46%) didirikan oleh pihak swasta sedangkan pemerintah
hanya mendirikan 225 buah (0.54%). Jumlah TK tersebut tidaklah berimbang dengan

jumlah anak yang seharusnya mengikuti pendidikan dini.

Memang berhasilnya PAUD merupakan tanggung jawab pemerintah bersama

masyarakat terutama keluarga yang merupakan penanggungjawab utama dalam

optimalisasi tumbuh kembang anak. Peran pemerintah adalah memfasilitasi

masyarakat agar mereka dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak.

Upaya pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat antara lain melalui standarisasi

kurikulum guna membantu masyarakat mengontrol penyelenggaraan pendidikan agar

tidak merugikan peserta didik maupun masyarakat, peningkatan kemampuan profesi

dan akademik bagi tenaga kependidikan, peningkatan fungsi keluarga sebagai basis

pendidikan anak, serta pengembangan manajemen pembelajaran yang mencakup

pengembangan metodologi pembelajaran, pengembangan sarana dan bahan belajar

termasuk bacaan anak, pengembangan permainan dan alat permainan serta

pengembangan evaluasi tumbuh kembang anak.

Dalam rangka memberikan perhatian secara khusus terhadap anak usia dini yang

tidak terlayani pada lembaga formal (TK/RA) maka dibentuklah Direktorat PADU di

lingkungan Depdiknas. Kehadiran direktorat ini terutama untuk memberikan layanan,

bimbingan dan atau bantuan teknis edukatif yang tepat terhadap semua layanan anak

usia dini (di luar TK dan RA) yang ada di masyarakat.

Masyarakat itu sendiri juga perlu meningkatkan peran sertanya secara aktif dalam

pelaksanaan, pembinaan, dan pelembagaan pembinaan anak. Untuk itu pemerintah

perlu memberdayakan peranserta masyarakat sebagai upaya menumbuhkan dan

mengembangkan kemampuan masyarakat, dengan cara mengembangkan segala

potensi yang dimiliki agar masyarakat memiliki kemampuan sendiri dalam

menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Dalam kondisi seperti ini, sinergi

antara pemerintah dengan masyarakat sangat diperlukan. Perlu pula diingat bahwa
kebanyakan program PAUD masih berjalan sendiri-sendiri, tidak ada sinergi antar

program yang ada di masyarakat.

Sinergi berbagai unsur yang berkepentingan dalam pembinaan anak merupakan kunci

keberhasilan upaya pembinaan anak. Pemerintah harus memperluas jaringan

kemitraan. Jaringan kemitraan merupakan kunci efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan program pendidikan, dimana selama ini tumpang tindih program

termasuk pembinaannya, merupakan kesalahan sebagai akibat tidak berjalannya

jaringan kemitraan termasuk koordinasi sebagai salah satu komponennya. Disamping

itu adanya jaringan kemitraan yang luas di setiap tingkatan institusi masyarakat,

mulai dari pusat sampai grass-root, merupakan jawaban atas keberlangsungan suatu

program di masyarakat.

Program yang mempunyai jaringan kemitraan memiliki ciri-ciri antara lain tingginya

komitmen semua unsur yang terlibat dan tingginya rasa memiliki masyarakat

terhadap program yang ada. Kedua ciri ini merupakan komponen terpenting untuk

menjamin keberlangsungan suatu program yang pada gilirannya mengarah pada

pelembagaan program di masyarakat. Perluasan jaringan kemitraan agar efektif

hendaknya diarahkan pada penciptaan situasi kondusif yang menumbuh kembangkan

komitmen semua unsur dan kepemilikan oleh masyarakat terhadap suatu program.

Peranan Keluarga dan Lingkungan

Bagi anak usia dini, orangtua merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga

merupakan lingkungan belajar utamanya. Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan

sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak

kalah pentingnya adalah untuk mengajak anak berpikir, bereksplorasi, bergaul,

berekspresi, berimajinasi tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan

sinaps baru dan memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan berfungsinya

kedua belahan otak (Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu lingkungan yang baik untuk
PAUD adalah lingkungan yang mendukung anak melakukan kegiatan tersebut.

Selama ini ada anggapan bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan yang

berdinding putih, bersih, dan tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena ruangan

tanpa rangsangan semacam itu justru menghambat perkembangan anak.

Memang benar bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan

seseorang tetapi pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah

pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor lingkungan

merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan, modal dasar

tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi menyusut.

Jika orangtua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai

pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh, lembaga

pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang mampu berperan sebagai

pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di lingkungan keluarganya

(pengasuh) atau di luar lingkungan keluarga (KB, TPA & lembaga PAUD sejenis).

Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak adalah sangat

penting. Pengaturan lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman

untuk bereksplorasi merupakan kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak,

anak dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas serta diperolehnya

pengalaman-pengalaman baru.

KESIMPULAN

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting dan mendasar sebab merupakan

hulu dalam pengembangan sumber daya manusia. Periode emas (Golden Period)

dalam tumbuh kembang anak hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia yang

dimulai sejak lahir hingga usia delapan tahun. Penelitian di bidang neurologi
mengungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak 50% terjadi pada empat

tahun pertama kemudian mencapai 80% hingga usia delapan tahun dan akhirnya

100% pada usia 18 tahun.

Anak-anak yang berada pada rentang usia dini yang memperoleh asupan pendidikan

masih sangat minim. Anak usia 0 – 6 tahun berjumlah 26,09 juta akan tetapi yang

terlayani dalam PAUD di jalur pendidikan formal (TK/RA) baru sekitar dua juta anak

sehingga peran pendidikan luar sekolah dalam membantu mengatasi masalah tersebut

sangat penting dan mendesak.

Kurangnya anak usia dini yang mendapatkan layanan pendidikan disebabkan

beberapa faktor diantaranya: (1) kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya

pendidikan pada anak usia dini; (2) masih terbatas dan tidak meratanya lembaga

layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh

pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di

pedesaan; (3) rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan

anak usia dini. Terdapat 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, hanya 225 buah

(0.54%) TK yang didirikan oleh pemerintah, selebihnya dibangun oleh swasta.

DAFTAR PUSTAKA

Asmani,Ma’mar,jamil, Manajemen Strategi Paud,Yogyakarta :Diva Press,2009

Anda mungkin juga menyukai