Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah selalu muncul dalam bentuk dan tingkat kerumitan yang
bermacam-macam. Apabila ada ketidaksesuaian dalam suatu situasi antara
keadaan yang sebenarnya dengan tujuan, dan didalam situasi tersebut
mengandung suatu perintang bagi seseorang dalam mencapai tujuan, maka
akan menimbulkan permasalahan.
Masalah merupakan tantangan dalam menjalani hidup, terlebih di
zaman modern seperti ini, tantangan hidup akan semakin berat. Manusia
dituntut untuk mampu bertahan hidup ditengah-tengah krisis ekonomi,
moral maupun pendidikan. Dalam menjalani kehidupan seseorang
tidaklah luput dari suatu masalah. Setiap individu memiliki masalah yang
berbeda-beda begitu pula cara penyelesaiannya. Sebagian individu mampu
menyelesaikan masalahnya dengan baik sementara beberapa dari
individu tersebut terkadang tidak mampu untuk menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapinya. Ketidakmampuan menyelesaikan masalah
menyebabkan timbulnya distres. Distres tersebut dapat menimbulkan
emosi negatif atau afek negatif. Misalnya sedih, kecewa, putus asa, depresi,
tidak berdaya, frustasi, marah, dendam dan emosi-emosi negatif lainnya.
Emosi berkaitan dengan perasaan yang dialami oleh seseorang.
Emosi muncul dari dalam diri seseorang yang sering
diungkapkan dengan berbagai ekspresi seperti sedih, gembira, kecewa,
bersemangat, marah, benci, dan cinta. Emosi yang diberikan kepada
perasaan tertentu mempengaruhi pola pikir mengenai perasaan itu dan
cara bertindak. Hal ini disebabkan karena emosi merupakan faktor
dominan yang mempengaruhi perilaku seseorang. Kesadaran dan
pengetahuan tentang emosi memungkinkan setiap individu untuk
mampu membangun hubungan yang baik untuk bersosialisasi dengan
lingkungan.
Banyak cara untuk seseorang menyalurkan emosinya. Penyaluran
emosi bisa dilakukan dengan cara positif bisa juga dengaan cara
negatif. Contoh penyaluran emosi dengan cara positif misalnya melakukan
1
2
aktivitas yang disukai sepeti olah raga, nonton film, pergi jalan-jalan
dengan teman, membaca buku atau kegiatan positif lainnya. Berbeda
dengan sebagian individu memilih untuk menyalurkan dengan cara
negatif misalnya mengkonsumsi narkoba, minum-minuman beralkohol
atau dengan cara menyakiti dirinya (self injury). Menurut Gratz dkk.
(dalam Hasking dkk, 2002: 5) self injury berfungsi untuk mengurangi emosi
negatif dan stress.
Ada orang yang masih dapat mengontrol dirinya sehingga emosi
yang dialami tidak tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda
kejasmanian. Hal ini berkaitan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Ekman dan Friesen yang dikenal dengan display rules. Menurut Ekman dan
Friesen (dalam Walgito, 2002: 161) adanya tiga rules, yaitu masking,
modulation dan simulation.
Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan
atau dapat menutupi emosi yang dialaminya. Misalnya orang yang
sangat sedih kerena kehilangan anggota keluarganya. Kesedihan tersebut
dapat diredam atau dapat ditutupi, dan tidak adanya gejala kejasmanian
yang tampaknya menyebabkan rasa sedih tersebut. Pada modulation
orang tidak dapat meredam secara tuntas mengenai gejala
kejasmaniannya tetapi hanya dapat mengurangi saja. Jika misalnya
karena sedih ia menangis tetapi tangisannya tidak mencuat-cuat. Pada
simulation orang tidak mengalami suatu emosi, tetapi ia seolah-olah
mengalami emosi dengan menampakkan gejala-gejala kejasmanian.
Seorang pelaku self injury mempunyai masking yang cukup bagus
karena mereka cenderung mempunyai kepribadian yang introvert.
Mereka mampu menutupiemosi negatif dari orang lain dengan cara
menyalurkannya kepada perilaku selfinjury tersebut. Jadi self injury
merupakan perilaku yang sifatnya rahasia.
Self Injury adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu
untuk mengatasi rasa sakit secara emosional dengan cara melukai
dirinya sendiri, dilakukan dengan sengaja tapi tidak dengan tujuan bunuh
diri. Self injury biasa dilakukan sebagai bentuk dari pelampiasan atau
penyaluran emosi yang terlalu menyakitkan untuk diungkapkan dengan
kata-kata. Hal ini sesuai dengan pendapat Grantz (dalam Kanan dkk,
3
2008: 68) perilaku self injury sering dilihat sebagai cara mengelola emosi
dimana seseorang tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan
yang terlalu menyakitkan. Jika self injury berlangsung terus-menerus maka
akan berubah menjadi percobaan untuk bunuh diri.
Self injury sebagian besar adalah fenomena remaja. Ada kesepakatan
luas bahwa usia rata-rata onset adalah 14-16 tahun, tetapi benar juga
bahwa individu dapat memulai perilaku self injuury di masa kecil dan masa
dewasa (Whitlock, 2009: 2). Sedangkan menurut Favazza & Conterio
(dalam Klonsky dan Jennifer, 2007: 1046) usia onset biasanya adalah sekitar
usia 13 atau 14 tahun. Setidaknya dua studi perguruan tinggi menunjukkan
bahwa sekitar seperempat dari mereka yang melaporkan self injury mulai di
tahun-tahun kuliah (Whitlock, 2009: 2).
Tindakan mengambil pisau kemudian digunakan untuk diiriskan pada
tubuh sendiri kemudian memperhatikan darah yang mengalir dari luka
tersebut mungkin merupakan tindakan yang tidak terbayang dapat dilakukan
oleh seseorang. Namun dalam kenyataannya beberapa orang
melakukannya. Tindakan ini sengaja dilakukan, tidak dengan tujuan bunuh
diri tetapi sebagai suatu cara untuk melampiaskan emosi-emosi yang terlalu
menyakitkan untuk diekspresikan dengan kata-kata oleh karena itu maka self
injury dibedakan dari bunuh diri walau keduanya sama-sama menyebabkan
luka fisik pada tubuh. Perilaku ini bertujuan untuk mencapai pembebasan
dari emosi yang tak tertahankan, perasaan bahwa dirinya tidak nyata, dan
mati rasa.
Saat ini, perilaku menyakiti diri sendiri ini sudah mulai dikenal secara
umum. Sebagai contoh pada tahun 2003, New York Times memuat resensi
film "In My Skin" yang menceritakan mengenai seorang wanita pekerja yang
terlibat dalam perilaku self injury. Self injury diperkenalkan pada kebudayaan
kita melalui media yang populer seperti surat kabar atau internet dan konsep
mengenai self injury ini sudah lebih dapat diterima secara umum. Oleh
sebab itu adalah penting untuk mengerti konsep perilaku ini berserta
tatalaksananya. Penelitian terdahulu menunjukan bahwa pemahaman
mengenai perilaku self injury di bidang kesehatan masih minim di mana hal
ini dapat menyebabkan penatalaksanaan yang tidak tepat terhadap pelaku.
4
Di Indonesia, Self injury atau melukai diri sendiri saat ini marak dilakukan
oleh kalangan remaja. Hal ini dikarenakan oleh emosi mereka yang masih
tidak stabil (sedang dalam tahap pencarian jati diril). Kemudian dapat juga
disebabkan karena mengalami depresi akibat tekanan-tekanan yang diterima
dari lingkungan sekitarnya. Tekanan-tekanan itu terjadi kerena berbagai
perubahan yang terjadi terus menerus dalam berbagai hal terutama di
bidang pemerintahan. Sehingga dari segi ekonomi, kesehatan, politik,
maupun akademik terjadi perubahan yang tidak terhindarkan. Dalam sekian
banyak perubahan, warga merupakan pihak yang tak begitu diuntungkan
karena terombang-ambing dalam setiap perubahan yang terjadi. Terutama
para remaja.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang maka dapat di rumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang di maksud dengan self injury?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya self injury pada kalangan
remaja?
3. Bagaimana penatalaksanaan medis terhadap pasien self injury?
C. TUJUAN
1. Mengetahui apakah yang di maksud dengan self injury
2. Megetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya self injury pada
kalangan remaja
3. Mengetahui bagaimana persepsi masyarakat tentang self injury
4. Mengetahui bagaiman cara mencegah perilaku self injury
5. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis terhadap pasien self
injury
D. MANFAAT
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari makalah ini yaitu dapat menambah pengetahuan
dan pemahaman terhadap permasalahan yang diteliti serta dapat
digunakan sebagai karya ilmiah dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari makalah ini adalah dapat memberikan jawaban
terhadap permasalahan yang diteliti yaitu menjelaskan tentang
5
BAB II
LANDASAN TEORI
DSM(Diagnostic & Statistical Manual of Mental Dissorder) IV dan
PPDGJ(Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) III
menyebutkan bahwa self injury merupakan salah satu gejala yang dapat ditemui
pada gangguan kepribadian tipe ambang dan kadang-kadang juga dikaitkan
dengan beberapa gangguan jiwa lainnya (misalnya : gangguan depresi, manik,
bipolar, dan cemas). Self injury berkaitan dengan riwayat trauma dan kekerasan
di masa lalu, gangguan makan, atau biasanya dapat ditemui pada seseorang
dengan ciri kepribadian tertentu seperti memiliki kepercayaan diri yang rendah
atau memiliki perfeksionisme yang tinggi. Terdapat korelasi statistik yang positif
antara self injury dan riwayat kekerasan emosional.
Mengiris atau menggores dan membakar kulit adalah bentuk-bentuk self
injury yang paling umum. Biasanya mereka menggunakan silet, pisau, pecahan
kaca, atau alat-alat tajam lainnya-bahkan tutup botol atau kartu kredit. Keluarga
pelaku atau orang-orang di sekitar mereka yang mencoba menghalangi dengan
menyingkirkan benda-benda tajam sering kali terkejut karena mereka sangat
kreatif dan dapat mengubah benda apapun menjadi senjata dalam
sekejap.Tangan dan kaki adalah sasaran utama, begitu juga dada, perut, paha
dan alat kelamin. Kadang-kadang mereka menorehkan kata-kata di kulit mereka-
misalnya gendut dan jelek-untuk memproyeksikan perasaan mereka akan diri
mereka sendiri.
Banyak dari pelaku self injury memiliki pola rutin yang mereka rencanakan
dan lakukan secara teratur. Banyak juga yang melakukan tindakan-tindakan ini
secara acak, saat mereka memiliki perasaan-perasaan sulit. Mereka
menyembunyikan silet di laci, tas, lemari mereka agar selalu tersedia bila
dorongan untuk menyakiti dirinya timbul, jika mereka tidak memiliki barang-
barang yang dapat dijadikan senjata mereka biasanya kemudian memukul
tembok atau membenturkan kepala ke lantai.
Para pelaku self injury memiliki berbagai pandangan tentang perilaku
mereka. Kebanyakan setuju bahwa perilaku itu merusak, tetapi mereka merasa
tidak bisa berhenti karena rasa nyaman yang diperolehnya. Beberapa dari
mereka merasa bangga akan "prestasi" dan nilai seni yang mereka yakini
6
7
terpancar dari luka-luka mereka. Sedangkan di lain pihak beberapa dari mereka
merasa sangat malu akan bekas-bekas luka mereka dan berharap mereka dapat
menghilangkan bekas-bekas yang ada pada tubuh mereka.
Hal yang harus dikhawatirkan adalah bahwa banyak remaja yang saat ini
melakukan self injury akibat menganggapnya sebagai suatu perilaku yang luar
biasa dan unik, dan perilaku ini menyebar di kalangan remaja seperti gangguan
pola makan. Penelitian saat ini belum bisa menunjukan bahwa efek penyebaran
secara sosial ini benar adanya namun Yates(2004) menyatakan bahwa terdapat
bukti-bukti yang menunjukan bahwa seseorang melakukan self injury karena
mempelajarinya dari orang lain. Meskipun bukti-bukti yang pasti saat ini
menunjukan bahwa kebanyakan pelaku menemukan pola perilaku ini secara
tidak sengaja. Sebagai contoh, Conterio dan Favazza (1989) menemukan bahwa
91% pelaku melakukannya setelah mengetahuinya dari orang lain atau
membacanya di salah satu media sebelum memutuskan untuk terlibat dalam
perilaku ini.
A. Pengertian Self injury
Self injury adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu untuk
mengatasi rasa sakit secara emosional dengan cara melukai diri sendiri,
dilakukan dengan sengaja tapi tidak dengan tujuan bunuh diri, self injury
biasa dilakukan sebagai bentuk dari pelampiasan emosi yang terlalu
menyakitkan untuk diungkapkan dengan kata-kata (www.selfinjury.com).
The International Society for Study self injury mendefinisikan self injury
sebagai perilaku melukai diri sendiri dengan disengaja yang mengakibatkan
kerusakan langsung pada tubuh, untuk tujuan bukan sanksi sosial dan tanpa
maksud bunuh diri. (dalam Whitlock dkk, 2009: 1)
Menurut Mazelis (2008: 1) self injury adalah sengaja melukai tubuh
sendiri sebagai cara mengatasi masalah emosi dan stres. Orang-orang
melukai diri tidak untuk menciptakan rasa sakit fisik, tapi untuk
menenangkan rasa sakit emosional yang mendalam.
Berdasarkan beberapa pengertian yang sudah dikemukakan tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa self injury adalah perilaku melukai diri
sendiri secara sengaja dengan tujuan mengatasi masalah emosi tanpa
maksud untuk bunuh diri.
8
diri serta rasa bersalah bisa berakibat pada menjadikan diri sendiri
sebagai target dari perasaan-perasaan negatif ini.
F. Faktor-faktor Penyebab Self injury
Para peneliti dan teoresi telah lama berspekulasi tentang mengapa
orang melukai diri sendiri. Walau ada kesamaan perilaku self injury,
motivasi di baliknya bisa sangat berbeda-beda. Tetapi masing-masing
fungsi atau motivasi tidak musti bersifat ekslusif.
Regulasi Afek
Ada beberapa definisi regulasi afek, dan satu definisi
dikemukakan di sini untuk pembahasan kita. Menurut Gratz (2007)
regulasi afek atau emosi merupakan sebuah konstruk yang berdimensi
jamak yang mencakup (a) kesadaran, pemahaman, dan penerimaan
emosi, (b) abilitas untuk berbuat yang terarah pada tujuan, dan untuk
mengekang perilaku-perilaku impulsif, ketika mengalami emosi-emosi
negatif, (c) kelenturan dalam menggunakan strategi situasional untk
memodulasi intensitas dan/atau durasi respons-respons emosinal, dan
(d) kesediaan untuk mengalami emosi-emosi negatif sebagai bagian
dari aktivitas pemaknaan dalam kehidupan.
Regulasi afek nampaknya menjadi fungsi yang paling menonjol
dalam tindakan Self injury. Self injury paling sering menjadi suatu
strategi untuk meringankan emosi negatif yang menegangkan dan
membebani (Gratz, 2007; Klonsky, 2007; Polk & Liss, 2009). Self injury
cenderung didahului oleh emosi-emosi seperti kemarahan,
kecemasan, kesedihan, frustasi, depresi, rasa bersalah dan rasa malu
dan selanjutnya diikuti oleh perasaan lega dan tenang setelah self
injury dilakukan (Walsh, 2007. Namun mereka berpendapat bahwa
individu yang masih melakukan self injury sebagai cara untuk
meregulasi afek negatif akan berpeluang besar untuk mengulang-
ulang perilaku ini dalam perkembangan selanjutnya.
Menginginkan Sensasi
Aktivitas-aktivitas yang penuh resiko seperti skydiving atau bungee
jumping merupakan aktivitas yang memberika sensasi yang luar biasa
bagi pelakunya. Sensasi semacam inilah yang juga ingin dialami oleh
pelaku self injury, sebagai mana dikemukakan oleh Klonsky dan
14
Muehlenkamp (2007). Fungsi ini lebih sedikit diteliti dari pada fungsi-
fungsi lainnya, walaupun aktivitas olahraga semacam ini semakin
banyak digemari orang.
Penghukuman-Diri
Motivasi yang berkaitan dengan penghukuman-diri atau dengan
kemarahan yang diarahkan pada diri sendiri banyak diungkapkan oleh
pelaku self injury. Pola ini konsisten dengan temuan Klonsky ataupun
peneliti lainnya mengenai derogasi-diri dan harga-diri rendah pada
individu yang melakukan self injury. Bersinggungan dengan apa yang
telah dikatakan di atas tentang regulasi afek, inidividu-individu ini
merasakan self injury sebagai sesuatu yang wajar dan memberikan
kelegaan dan pelepasan ketika mengalami distres. Oleh karena itu,
fungsi penghukuman-diri ini juga merupakan alasan yang paling umum
diungkapkan oleh pelaku self injury (Polk & Liss, 2009).
Luka sayatan, luka bakar atau benturan, dan juga purging (dalam
kasus gangguan makan) dan olahraga di luar batas dilaporkan oleh
pasien sebagai satu bentuk penghukuman-diri (Svirko & Hawton,
2007).
Perlawanan terhadap Disosiasi (Anti-disosiasi)
Perasaan bahwa diri ini tidak ada atau tidak ada yang dirasakan
bisa menjadi beban pengalaman yang menakutkan. Dalam episode
disoasiatif seperti ini, ketakutan diputuskan dari sumbernya oleh
pelaku dengan cara melukai diri sendiri. Luka atau rasa sakit fisik yang
dimunculkan oleh perbuatan ini bisa menolong si subyek untuk
memperoleh kembali rasa dirinya (sense of self). Ada perasaan yang
lain yang ingin dirasakan daripada perasaan kosong dan tidak real
(Polk & Liss, 2009). Untuk alasan ini, Klonsky menggunakan istilah
feeling generation untuk mengacu pada fungsi antidisosiasi dari self
injury.
Secara umum disosiasi merujuk pada semacam akses yang
terpisah atau paralel ke kesadaran di mana dua atau lebih proses atau
konten mental tidak berasosiasi satu sama lain atau tidak terintergrasi.
Sebagai konsekuensinya, kesadaran individu mengenai emosi atau
pikirannya mengalami kemunduran dan dihindari. Relasi yang kuat
15
antara self injury dan disosiasi telah ditemukan dalam banyak studi
(Klonsky & Muehlenkamp, 2007; Svirko & Hawton, 2007). Self injury
digunakan sebagai cara untuk menimbulkan sensasi fisik dan untuk
mengakhiri pengalaman disosiatif. Salah satu alasan yang
diungkapkan oleh subyek adalah self injury membuat mereka
merasakan sesuatu daripada tidak ada yang dirasakan dan dengan
demikian mereka merasa diri mereka real (back to a sense of
realness).
Perlawanan Terhadap Bunuh-Diri (Antisuicide)
Oleh beberapa ahli, self injury dikarakterisasikan sebagai cara
untuk menahan atau melawan dorongan untuk percobaan bunuh-diri.
Sensasi dan rasa sakit sebagai akibat dari self injury dirasakan oleh
individu untuk mencegah godaan dan ideasi untuk bunuh-diri. Fungsi
ini lalu mirip dengan regulasi afek karena self injury bisa memperkecil
beban emosi-emosi negatif yang kuat yang bisa mengarahkan individu
untuk menjadi suisidal (Polk & Liss, 2009).
Pengaruh dan Batas-Batas (Boundaries) Antarpribadi
Walaupun sebagian dari konsekuensi self injury menghasilkan
penguatan negatif (yakni, berkurangnya ketegangan sebagai
konsekuensi dari self injury), sebagian lain dari konsekuensi dapat
memperbesar rasa sakit emosional pada pelaku. Beberapa contoh dari
konsekuensi terakhir ini adalah rasa malu, bersalah, menyesal, dan
rasa terisolasi atau kesepian dari relasi sosial (Gratz, 2007;
Muehlenkamp, Brausch, Quigley, & Whitlock, 2013).
Agresivitas juga membedakan individu self injury dari individu non-
self injury. Dengan kata lain, individu dengan tingkat agresi
interpersonal yang lebih tinggi memperlihatkan peluang yang lebih
besar untuk menjadi pelaku daripada mereka yang kurang agresif.
Namun subyek self injury dengan tingkat agresi interpersonal yang
lebih tinggi tidak harus diartikan bahwa mereka akan terus bertahan
dengan perilaku ini dibandingkan dengan non-self injury.
Studi oleh Pierro dkk., (2012) mencoba untuk melihat ciri-ciri
kualitas (traits) kepribadian, relasi keluarga, dan episode malatritmen
dalam hubungannya dengan terjadinya self injury dan tingkat
16
atau kosong, adanya perasaan tertekan didalam batin yang tidak dapat
ditolerir setelah kehilangan orang yang disayangi, ingin mendapat
perhatian lagi dari orang yang disayangi, merasa putus asa, tidak
sanggup menghadapi realita, tidak berguna, hidup terasa sulit, frustrasi
dan depresi.
Berdasarkan penjelasan yang ada diatas maka peneliti
menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
munculnya self injury dapat dikelompokan menjadi dua faktor, yaitu:
a. Faktor keluarga, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu
yaitu yang berasal dari lingkungan keluarga, seperti tumbuh didalam
keluarga yang kacau, kurang kasih, pernah mengalami kekerasan,
adanya komunikasi yang kurang baik dan tidak dianggap
keberadaannya atau diremehkan.
b. Faktor individu, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri
individu, seperti pengaruh biokimia, faktor psikologis dan faktor
kepribadian.
G. DIAGNOSIS PSIKIATRIK
Borderline Personality Disorder
Di dalam DSM edisi 4, revisi teks (2000), self injury muncul hanya
sekali sebagai suatu simptom dari borderline personality disorder
(BPD). Hubungan antara self injury dan gangguan kepribadian ini
tidaklah mengherankan oleh karena emosionalitas negatif dan
disregulasi emosi merupakan karakteristik utama untuk keduanya.
Oleh karena itu terdapat bukti yang kuat bahwa subyek dengan self
injury memperlihatkan lebih banyak simptom-simptom yang ada pada
BPD.
self injury sebagai satu kriterion untuk borderline personality
disorder di dalam DSM-IV dinilai oleh Wilkinson dan Goodyer (2011)
sebagai tidak tepat untuk beberapa alasan. Pertama, banyak klinisian
percaya bahwa diagnosis gangguan kepribadian selayaknya tidak
diberikan untuk anak dan remaja oleh karena kepribadian mereka
masih berkembang. Kedua, self injury sering ditemukan pada pasien
dengan gangguan psikiatrik, termasuk depresi, PTSD, anxietas,
conduct disorder, dan substance misuse disorder. Ketiga, self injury
19
bisa saja hadir dan menjadi suatu problem bagi individu yang tidak
memenuhi kriteria diagnostik untuk suatu gangguan mental atau
gangguan kepribadian. Keempat, asumsi mengenai BPD bisa
mengarah pada bias di dalam persepsi klinisian mengenai seorang
remaja yang tengah mengalami gangguan mental. Ada resiko kalau
kita sekedar menerjemahkan informasi mengenai tritmen yang
sebenarnya diperoleh dari populasi usia dan klinis yang berbeda.
Gangguan-Gangguan Depresif dan Anxietas
Simptom-simptom depresif dan anxietas juga berasosiasi secara
signifikan dengan self injury (Pierro, dkk., 2012). Seperti halnya
dengan borderline personality disorder, depresi dan anxietas ditandai
oleh emosionalitas negatif dan disregulasi emosi. Semakin tinggi
tingkat depresi dan anxietas maka semakin sering tindak self injury
terjadi. Menurut Klonsky, anxietas, dan bukan depresi, mempunyai
relasi lebih kuat dengan self injury. Spekulasi ini didasarkan pada
kenyataan bahwa anxietas lebih bersangkutan dengan emotional
arousal ataupun tekanan emosional yang acapkali mengarah pada self
injury.
Studi oleh Andover, Pepper, Ryabchenko, Orrico dan Gibb (2005,
dalam Mangnall & Yurkovich, 2008) mencoba meneliti perbedaan
antara anxietas dan depresi di kalangan pelaku self injury dengan
bentuk sayatan dan bentuk-bentuk yang lain. Temuan studi ini
menunjukkan bahwa pelaku self injury secara signifikan memiliki lebih
banyak simptom-simptom depresi dan anxietas dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Apabila dibedakan menurut bentuk self injury-nya,
mereka yang menyayat diri menunjukkan secara signifikan tingkat
anxietas lebih daripada benuk-bentuk self injury lainnya, tetapi
keduanya mempunyai tingkat depresi yang sama.
Sebuah survei yang melibatkan siswa-siswa kelas 6, 9 dan 12
dengan jumlah total 136.549 siswa (jumlah siswa putra dan putri
hampir seimbang) untuk melihat problem-problem kesehatan mental,
faktor-faktor resiko potensial dan faktor-faktor protektif dilakukan oleh
Taliaferro, Muehlenkamp, Borowsky, McMorris dan Kugler (2012) di
Minnesota. Hasil survei ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
20
BAB III
PEMBAHASAN
Self injury merupakan kelainan psikologis yang marak terjadi pada remaja-
remaja masa kini. Secara literal self injury diartikan sebagai suatu kegiatan untuk
melukai diri sendiri. Hal ini umumnya di sebabkan oleh keadaan mental mereka
yang belum stabil (labil) serta tekanan-tekanan yang didapat remaja dalam dosis
yang berlebihan, sehingga menyebabkan depresi.
Masalah bukan berakar dari hal rumit seperti stress yang diderita para
karyawan perusahaan, stress yang mereka dapat tak lain berasal dari keadaan
rumah, masalah keluarga, dan masalah sekolah. Tak pelik memang, tapi umur-
umur remaja adalah umur dimana mereka masih mencari jati diri dan mereka
akan akan sangat mudah kehilangan arah karena stress. Ketika remaja sudah
kehilangan kontrol, mereka mencari cara pembebasan dengan cara melakukan
self injury, walaupun pembebasan tersebut bersifat sementara.
Saat melakukan self injury, remaja dapat dalam keadaan kalap atau
kehilangan pikiran atas dirinya sendiri. Secara sadar mereka melukai bagian
tubuh yang dapat dijangkau (biasanya kaki atau tangan) hingga mengeluarkan
darah. Rasa sakit dari rusaknya epidermis dan luka yang terbentuk tersamarkan
oleh kepuasan dan kelegaan saat melihat darah keluar. Mereka merasakan
kenikmatan tersendiri saat perasaan depresi, kecewa, marah yang mereka
rasakan tergantikan dengan perih yang menyegarkan. Sayangnya seseorang
yang telah mencoba melakukan self injury memiliki kecenderungan untuk
mengulanginya dengan peningkatan pada tekanan yang diberikan dan
kerusakan fisik yang ditimbulkan.
Remaja pelaku self injury tidak hanya melukai bagian tubuh dengan benda
tajam, tapi juga cara apapun yang membuat diri terluka. Seperti meninju,
memukul, mencakar diri sendiri, menggigit tangan, lengan, bibir, atau lidah,
menggaruk kulit hingga berdarah, mengutak-atik luka yang sedang dalam proses
penyembuhan, membuat memar tubuh dalam kecelakaan yang disengaja,
membakar atau menyulut api pada diri sendiri dalam bentuk tak membahayakan,
dan menusuk diri sendiri dengan benda tajam (kecil maupun besar). Beberapa
kasus bahkan berada dalam taraf membahayakan seperti mematahkan tulang,
23
24
mencungkil mata, menelan bahan kimia maupun benda kecil yang membuat
pelaku tersedak, dan meracuni diri sendiri secara berulang.
Walaupun begitu perilaku seperti ini juga dijumpai dalam lingkup masyarakat
'sehat'. Seperti menggigiti kuku, memencet jerawat, menggaruk bekas gigitan
nyamuk hingga berdarah. Bahkan orang yang melakukan diet ketat hingga
mengakibatkan pingsan karena kelaparan juga merupakan pelaku self injury.
Jika kegiatan ini sudah memasuki taraf berbahaya dan butuh perhatian khusus.
Kesalahan persepsi lazim dijumpai dalam masyarakat luas, beranggapan
bahwa pelaku self injury di kalangan remaja dilakukan dengan tujuan mencari
perhatian semata. Sedangkan secara naluriah dan fakta-fakta yang tersaji di
lingkungan, remaja lebih memilih untuk menyembunyikan luka gores, lebam,
maupun parut yang mereka buat dari perhatian masyarakat. Para remaja yang
melukai kepala mereka menutupnya dengan topi atau hoodie (baju bertudung),
baju berlengan panjang seperti kemeja atau turtle-neck (menyembunyikan luka di
leher) untuk luka pada badan, dan celana panjang untuk luka pada kaki. Jikalau
luka-luka itu terlihat dan mereka ditanyai bagaimana mereka memperoleh luka
itu, mereka akan mengelak dan memilih untuk menjawabnya sebagai sekedar
kecelakaan tidak disengaja.
Secara literal self injury bukan "penyakit" mental melainkan hanya kelainan
psikologis karena kelainan pola pikir. Remaja yang mengalami hal ini tidak perlu
dimasukkan ke dalam panti rehabiilitasi untuk masalah ini, walau tidak ada
garansi bahwa pelaku dapat menghentikan kegiatan ini secara total. Tapi remaja
dapat dituntun untuk mengurangi kegiatan ini yang pada dasarnya dilakukan
karena perasaan nikmat dan kebiasaan dengan support lingkungan, keluarga,
teman, dan pihak sekolah secara batin maupun raga.
A. Kasus dan Pembahasan
Nama/Inisial : Yg
Kode : A
Umur : 22 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Raya Bantarkawung 127 RT 4/ II Bantarkawung
Brebes Jawa Tengah
Jenis Kelamin : Perempuan
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
Self injury adalah perilaku yang dengan sengaja melukai tubuh sendiri
sebagai cara mengatasi masalah emosi dan stres. Seorang pelaku self injury
mempunyai perasaan emosi negatif yaitu cemas, marah dan sedih yang
cenderung di tekan oleh pelakunya. Orang-orang melukai diri tidak untuk
menciptakan rasa sakit fisik, tapi untuk menenangkan rasa sakit emosional
yang mendalam. Biasanya dilakukan secara berulang-ulang dam periode
yang tidak bisa ditentukan. Self injury dilakukan apabila pelaku merasa
sangat terbebani dengan masalahnya, seperti masalah keluarga, masalah
akademik dan sosial, maupun masalah asmara. Pola asuh orang tua yang
keras dan otoriter juga dapat memicu self injury.
B. Saran
1) Bagi pelaku self injury
Pengembangan kepribadian hendaknya dilakukan oleh pelaku self injury.
Hal yang bisa dilakukan pelaku untuk menghindari terjadinya self injury
yaitu menghindari situasi sendiri dan membangun relasi dengan
lingkungan. Hendaknya pelaku self injury segera meminta bantuan
minimal pada orang terdekat untuk mengatasi perilaku abnormal tersebut
agar tidak berkembang kearah percobaan bunuh diri.
2) Bagi Mahasiswa
Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang berpendidikan
dan mempunyai wawasan yang luas sehingga mahasiswa dinilai mampu
mengatasi semua permasalahan dan mampu menyikapinya dengan
bijak. Perilaku coping mahasiswa hendaknya tidak dilakukan dengan
cara yang negatif yaitu self injury sebagai coping maladaptif yang
merupakan perilaku yang abnormal.
3) Bagi Peneliti
Saat ini terdapat kecenderungan semakin meningkatnya jumlah remaja
dan dewasa muda yang melakukan self injury sehingga topik ini harus
28
29
DAFTAR PUSTAKA
Kanan, Linda M and Jennifer Finger. 2005. Self Injury: Awareness and
Maidah, Destiana. 2013. Self Injury Pada Mahasiswa (Studi Kasus Pada
Shine, Rumah. 2012. Mengenal Perilaku Self-Injury (Melukai Diri Sendiri). Artikel.
perilaku-self-injury-melukai-diri-sendiri_5510b990813311aa39bc6b9f.