Anda di halaman 1dari 15

BAB III

PENGATURAN OSMOLALITAS CAIRAN TUBUH

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pemekatan urin
2. Mahasiswa dapat menjelaskan pengenceran urin
3. Mahasiswa dapat menjelaskan peranan rasa haus dalam pengaturan osmolalitas cairan tubuh

Agar sel-sel tubuh dapat berfungsi dengan baik, mereka harus terendam dakam cairan
ekstraseluler dengan konsentrasi elektrolit dan zat terlarut lainnya yang relative
konstan. Tetapi konsentrasi zat terlarut dalam cairan ekstraseluler dan osmolaritas
ditentukan oleh jumlah zat terlarut di bagi dengan volume cairan ekstraselular. Untuk
konsentrasi dan osmolaritas natrium cairan ekstraseluler diatur oleh jumlah air
ekstraseluler. Air dalam tubuh kemudian diatur oleh (1) asupan cairan, yang diatur
oleh faktor-faktor yang menentukan rasa haus, dan (2a) ekskresi air oleh ginjal, yang
diatur oleh berbagai faktor yang mempengaruhi filtrasi glomerulus dan reabsorpsi
tubulus.

1. GINJAL MENGELUARKAN AIR YANG BERLEBIHAN DENGAN


MEMBENTUK URIN YANG ENCER
Ginjal normal memiliki kemampuan yang besar untuk membentuk berbagai
proporsi zat terlarut dan air dalam urin sebagai respon terhadap berbagai
perubahan. Bila terdapat kelebihan air dalam tubuh, dan osmolaritas cairan
tubuh menurun, ginjal akan mengeluarkan urin dengan osmolaritas serendah 50
mOsm/liter, yaitu suatu konsentrasi yang hanya sekitar seperenam dari
osmolaritas cairan ekstraselular normal. Sebaliknya, bila terjadi kekurangan air
dan osmolaritas cairan ekstraselular tinggi, ginjal akan mengeluarkan urin
dengn konsentrasi sekitar 1200 sampai 1400 mOsm/liter. Yang juga penting,
ginjal dapat mengeluarkan sejumlah besar urin encer atau sejumlah kecil urin
pekat tanpa perubahan besar dalam kecepatan ekskresi zat terlarut seperti
natrium dan kalium. Kemampuan untuk mengatur pengeluaran air ini terlepas
dari pengeluaran zat terlarut yang penting untuk bertahan hidup, terutama bila
pemasukan cairan terbatas.
 Hormon Antidiuretik Mengatur Konsentrasi Urin
Ada suatu sistem umpan balik kuat yang mengatur osmolaritas plasma dan
konsentrasi natrium, yang bekerja dengan cara menghambat ekskresi air
oleh ginjal, dan tidak bergantung pada nilai ekskresi zat terlarut. Pelaku
utama dari sistem umpan balik ini adalah hormon antidiuretic (ADH), yang
juga disebut vasopressin.
Bilai osmolaritas cairan tubuh meningkat di atas normal (yaitu, zat
terlarut dalam cairan tubuh menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofise
posterior mengeluarkan lebih banyak ADH, yang meningkatkan
permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air. Keadaan ini
memungkinkan terjadinya reabsorbsi air dalam jumlah besar dan penurunan
volume urin, tetapi tidak menghambat ekskresi zat terlarut oleh ginjal.
Bila terdapat air yang berlebihan di dalam tubuh dan osmolaritas cairan
ekstraselular menurun, sekresi ADH oleh hipofise posterior menjadi
menurun, oleh sebab itu mengurangi permeabilitas tubulus distal dan duktus
koligentes terhadap air, yang menghasilkan jumlah urin encer yang banyak.
Jadi, ada atau tidaknya ADH menentukan, lebih lanjut, apakah ginjal
mengeluarkan urin yang encer atau pekat.
 Mekanisme Ginjal untuk Mengeluarkan Urin Encer
Bila terdapat kelebihan air dalam tubuh, ginjal dapat mengeluarkan urin
encer sebanyak 20 liter/hari, dengan konsentrasi serendah 50 mOsm/liter.
Ginjal melakukan prestasi yang hebat ini dengan mereabsorbsi terus zat
terlarut, sementara tidak mereabsorbsi kelebihan air di bagian distal dari
nefron, termasuk tubulus distal akhir dan duktus koligentes.
Gambar 1: Diuresis air pada manusia setelah minuam 1 liter air.

Pada gambar diatas menunjukkan respons ginjal pada seorang manusia


setelah minum air 1 liter. Perhatikan bahwa volume urin meningkat hanpir
enam kali normal dalam waktu 45 menit setelah air diminum. Akan tetapi,
jumlah total zat terlarut yang diekskresikan relative tetap konstan karena
bentuk urin menjadi sangat encer dan osmolaritas urin menurun dari 600
sampai sekitar 100 mOsm/liter. Jadi, setelah minum air yang banyak, ginjal
akan mengeluarkan kelebihan air tetapi tidak mengeluarkan kelebihan zat
terlarut.
Saat pertama kali filtrate glomerulus terbentuk, osmilaritasnya kira-kira
sama dengan plasma (300 mOsm/liter). Untuk mengeluarkan kelebihan air,
penting untuk mengencerkan filtrate ini sewaktu melewati tubulus. Hal ini
dicapai dengan lebih banyak mereabsorbsi zat terlarut daripada air,
2. GINJAL MENYMPAN AIR DENGAN MENGELUARKAN URIN
PEKAT
Kemampuan ginjal untuk membentuk urin yang lebih pekat dari pada plasma
penting untuk kelangsungan hidup mamalia yang hidup di darat, termasuk
manusia. Air secara terus-menerus hilang dari tubuh melalui berbagai cara,
termasuk paru-paru melalui evaporasi dan perspirasi, dan ginjal melalui
ekskresi urin. Asupan cairan dibutuhkan untuk menuntupi kehilangan cairan
ini, tetapi kemampuan ginjal untuk membentuk volume urin pekat yang kecil
akan meminimalkan asupan cairan yang dibutuhkan untuk mempertahankan
homeostasis, suatu fungsi yang sangat penting saat suplai air hanya sedikit.
Bila terdapat kekurangan air dalam tubuh, ginjal membentuk urin pekat
dengan terus-menerus mengekskresikan zat terlarut sementara meningkatkan
reabsorbsi air dan menurunkan volume urin yang terbentuk. Ginjal manusa
dapat memproduksi urin pekat yang yang maksimal sebesar 1200
sampai 1400 mOsm/liter, empat sampai lima kali osmolaristas plasma.
 Volume Urin yang Diwajibkan
Kemampuan pemekatan maksimal ginjal menunjukkan berapa banyak
volume urin yang harus diekskresikan setiap hari untuk membuang sisa-sisa
produk metabolisme dan ion yang dicerna dari tubuh. Seorang manusia
normal dengan berat badan 70 kg harus mengeluarkan sekitar 600miliosmol
zat terlarut setiap hari. Bila kemampuan pemekatan urin adalah 1200
mOsm/liter, maka volume minimal urin yang harus dikeluarkan, disebut
volume urin yang diwajibkan, dapat dihitung sebagai berikut:

600 mOsm/hari
= 0,5 L/hari
1200 mOsm/L

Volume urin yang minimal ini turut berperan pada dehidrasi, bersama
dengan air yang hilang dari kulit, traktus respiratorius, dan traktur
gastrointestinal, bila tidak ada air yang diminum.
Kemampuan ginjal manusia yang terbatas untuk memekatkan urin
hingga konsentrasi maksimal 1200 mOsm/liter menjelaskan mengapa
terjadi dehidrasi berat bila seseorang mencoba minum air laut. Konsentrasi
garam dalam laut mencapai 3 persen natrium klorida, dengan osmolaritas
antara 2000 dan 2400 mOsm/liter. Dengan meminum 1 liter air laut dengan
konsentrasi 2400 mOsm/liter akan menyediakan asupan zat terlarut total
sebesar 2400 miliosmol. Bila kemampuan pemekatan urin maksimal adalah
1200 mOsm/liter, jumlah volume urin yang diperlukan untuk mengekskresi
2400 miliosmol adalah 2400 dibagi 1200 mOsm/liter, atau 2 liter. Jadi,
untuk setiap liter air laut yang diminum, dibutuhkan 2 liter volume urin
untuk membuat zat terlarut yang dicerna dibuang dari tubuh. Keadaan ini
menghasilkan jumlah netto 1 liter cairan yang hilang untuk setiap liter air
laut yang diminum, dan menjelaskan terjadinya dehidrasi cepat pada korban
kapal tenggelam yang minum air laut.
 Kebutuhan untuk Mengekskresi Urin Pekat
Kebutuhan dasar untuk membentuk urin pekat adalah (1) kadar ADH yang
tinggi, yangn meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan duktus
koligentes terhadap air, sehingga membuat segmen-segmen tubulus ini
mereabsorbsi air cukup banyak, dan (2) osmolaritas yang tinggi dari cairan
interstisial medula ginjal, yang menyediakan gradient osmotik yang
diperlukan untuk terjadinya reabsorbsi air dengan adanya kadar ADH yang
tinggi.
Interstisium medula ginjal yang mengelilingi duktus koligentes
normalnya bersifat sangat hiperosmotik, sehingga bila kadar ADH tinggi,
air bergerak melewati membran tubulus secara osmosis masuk ke dalam
interstisium ginjal; dari sana akan dibawa oleh vasa rekta kembali ke dalam
darah. Jadi, kemampuan pemekatan urin dibatasi oleh kadar ADH dan oleh
derajat hiperosmolaritas medula ginjal. Proses terjadinya hiperosmotik
cairan interstisial medula ginjal melibatkan kerja mekanisme arus balik
(countercurrent).
Mekanisme arus balik bergantung pada pengaturan anatomis khusus
terhadap ansa Henle dan vasa rekta, kapiler peritubular khusus medula
ginjal. Pada manusia, sekitar 25% dari nefron adalah nefron ekstramedula,
dengan ansa henle dan vasa rekta yang masuk lebih dalam ke medula
sebelum kembali ke ujung papilla ginjal yang menonjol dari medula ke
dalam pelvis ginjal. Berjalan sejajar dengan ansa henle yang panjang adalah
vasa rekta, yang juga melengkung ke bawah ke dalam medula sebelum
kembali ke korteks ginjal. Dan akhirnya, duktus koligentes, yang membawa
urin melalui ginjal yang hiperosmotik sebelum dikeluarkan, juga
memegang peranan penting dalam mekanisme arus balik.
 Mekanisme Pemekatan Urin dan Perubahan Osmolaritas pada
Berbagai Segmen tubulus
Perubahan osmolaritas dan volume cairan tubulus sewaktu cairan melewati
berbagai bagian nefron.

Gambar 2: Perubahan osmolaritas


cairan tubulus sewaktu melewati
berbagai segmen tubulus dalam
keadaan kadar ADH yang tinggi dan
dalam keadaan tidak ada ADH. Nilai
numeric menunjukkan volume kira-
kira dalam millimeter per menit atau
osmolaritas dalam miliosmol per liter
cairan yang mengalir sepanjangn
berbagai segmen tubulus

 Tubulus Proksimalis
Sekitar 65% elektrolit difiltrasi akan direabsorbsi di tubulus proksimal.
Akan tetapi, membran tubulus sangat permeabel terhadap air, sehingga
kapan pun zat-zat terlarut direabsorbsi, air juga berdifusi melalui membran
tubulus secara osmosis. Oleh sebab itu, osmolaritas cairan yang tersisa
kurang lebih sama dengan filtrate glomerulus, yaitu 300 mOsm/liter.
 Cabang Desenden Ansa Henle
Sewaktu cairan mengalir turun ke cabang desenden ansa Henle, air
diabsorbsi ke dalam medula. Cabang desenden sangat permeabel terhadap
air tetapi kurang permeabel terhadap natrium klorida dan ureum. Oleh sebab
itu, osmolaritas cairan ke dalam cabang desenden meningkat secara
bertahap sampai sama dengan cairan interstisial di sekitarnya, yaitu sekitar
1200 mOsm/liter; akibatnya, osmolaritas cairan cabang desenden tubulus
juga berkurang konsentrasinya. Hal ini sebagian disebabkan oleh ureum
yang sedikit diabsorbsi ke dalam interstisium medula dari duktus
koligentes, saat kadar ADH rendah dan ginjal membentuk volume urin
encer dalam jumlah besar.
 Segmen Tipis Cabang Asenden Ansa Henle
Segmen tipis cabang asenden pada dasarnya impermeabel terhadap air
tetapi lebih permeabel terhadap natrium klorida. Karena konsentrasi
natrium klorida dalam cairan tubulus cukup tinggi, akibat pergerakan air
dari cabang desenden ansa Henle, ditemukan difusi pasif natrium klorida
dari segmen tipis cabang asenden ke dalam interstisium medula dari duktus
koligentes juga berdifusi ke dalam cabang asenden, dengan demikian
mengembalikan ureum ke sistem tubulus dan membantu mencegah
hilangnya ureum dari medula ginjal. Siklus ureum yang terulang ini adalah
suatu mekanisme tambahan yang turut membantu hiperosmotik medula
ginjal.
 Segmen Tebal Cabang Asenden Ansa Henle
Segmen tebal cabang asenden ansa Henle juga sebenarnya impermeabel
terhadap air, tetapi sejumlah besar natrium, klorida, kalium, dan ion-ion lain
ditranspor secara aktif dari tubulus ke dalam interstisium medula. Oleh
karena itu, cairan di segmen tebal cabang asenden ansa Henle menjadi
sangat encer, konsentrasinya turun sampai sekitar 100 mOsm/liter.
 Segmen Awal Tubulus Distal
Segmen awal tubulus distal mempunyai kemampuan yang mirip dengan
segmen tebal cabang asenden ansa henle, sehingga pengenceran cairan
tubulus selanjutnya terjadi sewaktu zat-zat terlarut direabsorbsi sementara
air tetap tinggal di tubulus.
 Segmen Akhir Tubulus dan Tubulus Koligentes Kortikal
Pada segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis,
osmolaritas cairan bergantung pada ada atau tidaknya ADH. Dengan kadar
ADH yang tinggi, tubulus-tubulus ini sangat permeabel terhadap air,
sehingga menyebabkan sejumlah besar air direabsorbsi. Akan tetapi, ureum,
tidak begitu permeabel di bagian nefron ini, sehingga menyebabkan
peningkatan konsentrasi ureum sewaktu air direabsorbsi. Keadaan ini
membuat hampir semua ureum dibawa ke tubulus distal dan tubulus
koligentes untuk masuk ke dalam duktus koligentes bagian dalam medula,
dari situ ureum akhirnya direabsorbsi atau diekskresikan dalam urin. Bila
tidak ada ADH, air yang direabsorbsi di segmen akhir tubulus distal dan
distal koligentes jumlahnya sedikit; oleh karena itu, osmolaritas akan
menurun lebih lanjut akibat reabsorpsi aktif ion yang terus menerus dari
segmen-segmen ini.
 Duktus Koligentes Bagian Dalam Medula
Konsentrasi cairan di bagian dalam duktus koligentes medula juga
bergantung pada (a) ADH dan (b) osmolaritas interstisium medula yang
dibetuk oleh mekanisme arus balik. Bila terdapat ADH dalam jumlah besar,
duktus-duktus ini sangat permeabel terhadap air, dan air berdifusi dari
tubulus ke dalam interstisium hingga tercapai keseimbangan osmotic,
dengan konsentrasi cairan tubulus yang kurang lebih sama dengan
interstisium medula ginjal (1200 mOsm/liter). Jadi, saat kadar ADH tinggi,
dihasilkan urin yang sangat pekat tetapi berjumlah sedikit. Dan karena
reabsorbsi air meningkatkan konsentrasi ureum dalam cairan tubulus,
ditambah kenyataan bahwa duktus koligentes bagian dalam medula sangat
permeabel terhadap ureum, banyak ureum dengan kepekatan yang tinggi
dalam duktus berdifusi keluar dari lumen tubulus masuk ke dalam medula
ginjal tetapin tidak ke korteks ginjal turut membantu membentuk
osmolaritas interstisium medula yang tinggi dan kemampuan pemekatan
ginjal yang tinggi.
Ada beberapa hal penting yang patut dipertimbangkan yang mungkin
tidak jelas dalam pembahasan ini. Pertama, walaupun natrium klorida salah
satu zat terlarut utama yang turut membantu hiperosmotik interstisium
medula, bila diperlukan, ginjal mampu mengeluarkan urin dengan
kepekatan tinggi yang mengandung sedikit natrium klorida.
Hiperosmolaritas urin pada keadaan ini disebabkan oleh konsentrasi zat-zat
terlarut lain yang tinggi, terutama produk buangan seperti ureum dan
kreatinin. Satu keadaan di mana hal ini terjadi adalah dehidrasi yang disertai
dengan asupan natrium yang rendah. Asupan natrium yang rendah akan
merangsang pembentukan hormon angiotensin II dan aldosterone, yang
bersama-sama menimbulkan reabsorpsi natrium yang hebat dari tubulus
sementara meninggalkan ureum dan zat-zat terlarut lainnya untuk
mempertahankan kepekatan urin yang tinggi.
Kedua¸ dapat dikeluarkan urin encer dalam jumlah besar tanpa
meningkatkan pengeluaran natrium. Keadaan ini dapat dicapai dengan
menurunkan sekresi ADH, yang akan mengurangi reabsorpsi air dalam
segmen tubulus yang lebih distal tanpa menghambat reabsorpsi natrium
secara bermakna.
Dan akhirnya, kita tetap harus mengingat bahwa ada volume urin wajib,
yang dihasilkan oleh kemampuan pemekatan maksimum ginjal dan
sejumlah zat terlarut yang harus diekskresikan. Oleh karena itu, bila
sejumlah besar zat terlarut harus diekskresikan, zat-zat tersebut harus
disertai dengan jumlah air minimal yang diperlukan untuk mengeluarkan
zat-zat tersebut. sebagai contoh, bila 1200 miliosmol zat terlarut harus
dikeluarkan setiap hari, keadaan ini membutuhkan paling sedikit 1 liter urin
bila kemampuan pemekatan urin maksimal adalah 1200 mOsm/liter.
 Gangguan Kemampuan Pemekatan Urin
3. PENGATURAN OSMOLARITAS CAIRAN EKSTRASELULAR DAN
KONSENTRASI NATRIUM
Pengaturan osmolaritas cairan ekstraselular berhubungan erat dengan
konsentrasi natrium karena natrium adalah ion yang paling banyak jumlahnya
dalam ruang ekstraselular. Secara normal, konsentrasi natrium plasma diatur
dalam batas yang kecil 140 ± 5 mEq/liter dengan konsentrasi rata-rata 142
mEq/liter. Osmolaritas rata-rata sekitar 300 mOsm/liter dan jarang berubah
melebihi ± 2 sampai 3 persen.
Normalnya, ion natrium dan anion yang lain yang berhubungan
dengannya (terutama bikarbonat dan klorida) mewakili sekitar 94% dari
osmolalitas ekstraselular, dengan glukosa dan ureum turut berperan sekitar 3
sampai 5 persen dari osmolaritas total. Akan tetapi, karena ureum dengan
mudah menembus kebanyakan membran sel, ureum menggunakan sedikit
tekanan osmotic efektif dalam keadaan siap. Oleh sebab itu, ion-ion natrium di
cairan ekstraselular dan anion-anion yang berhubungan dengannya adalah
penentu utama pergerakan cairan untuk melintasi membran sel.
Walaupun terdapat berbagai mekanisme yang mengontrol jumlah
natrium dan ekskresi air oleh ginjal, dua sistem yang terlibat khusus dalam
pengaturan konsentrasi natrium dan osmolaritas cairan ekstraselular adalah: (1)
sistem osmoreseptor ADH dan (2) mekanisme rasa haus.
1) Sistem Umpan Balik Osmoreseptor-ADH

Gambar 3: mekanisme umpan balik osmoreseptor-ADH


untuk pengaturan osmolaritas cairan ekstraselular sebagai
respons terhadap kekurangan air.

Gambar diatas menunjukkan komponen-komponen dasar dari sistem


umpan balik osmoreseptor ADH untuk mengontrol konsentrasi dan
osmolaritas natrium cairan ekstraselular. Sebagai contoh, bila
osmolaritas (konsentrasi natrium plasma) meningkat di atas normal
akibat kekurangan air, sistem umpan balik ini bekerja sebagai berikut:
a. Peningkatan osmolaritas cairan ekstraselular (yang secara
praktis berarti peningkatan konsentrasi natrium plasma)
menyebabkan sel saraf khusus yangn disebut sel-sel
osmoreseptor, yang terleatk di hipotalamus anterior dekat
nukleus supraoptik, menyusut.
b. Penyusutan sel-sel osmoreseptor menyebabkan sel-sel tersebut
terangsang, mengirimkan sinyal-sinyal saraf ke sel-sel saraf
tambahan di nukleus supraoptik, yang kemudian memancarkan
sinyal-sinyal ini ke bawah melintasi batang kelenjar hipofise ke
hipofise posterior.
c. Potensial aksi ini yang disalurkan ke hipofise posterior akan
merangsang pelepasan ADH, yang disimpan dalam granula-
granula sekretorik (atau vesikel) di ujung saraf.
d. ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, dimana
ADH meningkatkan permeabilitas air abgian akhir tubulus
distal, tubulus koligentes kortikalis, dan duktus koligentes
bagian dalam medula.
e. Peningkatan permeabiltas air di segmen nefron distal
menyebabkan peningkatan reabsorpsi air dan ekskresi sejumlah
kecil urin yang pekat.
Jadi, air disimpan dalam tubuh sedangkan natrium dan zat terlarut lainya
terus dikeluarkan dalam urin. Hal ini menyebabkan pengencaran zat
terlarut dalam cairan ekstraselular, dengan demikian memperbaiki
kepekatan cairan ekstraselular mula-mula yang berlebihan.
Terjadi rangkaian kejadian yang berlawanan saat cairan
ektraselular menjadi terlalu encer (hipo-osmotik). Sebagai contoh, pada
asupan air yang berlebihan dan penurunan osmolaritas cairan
ekstraselular, lebih sedikit ADH yang terbentuk, lalu tubulus renalis
mengurangi permeabilitasnya terhadap air, sehingga lebih sedikit air
yang direabsorbsi, dan dibentuk sejumlah besar urin encer. Hal ini
kemudian memekatkan cairan tubuh dan mengembalikan osmolaritas
plasma kembali ke nilai normal.
2) Mekanisme Rasa Haus

4. PERANAN RASA HAUS DALAM MENGATUR OSMOLARITAS


CAIRAN EKSTRASELULAR
Ginjal meminimalkan kehilangan cairan selama terjadi kekurangnan air melalui
sistem umpan balik osmoreseptor-ADH. Selainitu, asupan cairan diperlukan
untuk mengimbangi kehilangan cairan apapun yang terjadi melalui berkeringat
dan bernapas serta melalui saluran pencernaan. Asupan cairan diatur oleh
mekanisme rasa haus, yang bersama dengan mekanisme osmoreseptor-ADH,
mempertahankan kontrol osmolaritas cairan ekstraselular dan konsentrasi
natrium dengan tepat.
Banyak stimulus yang terlibat dalam pengaturan sekresi ADH juga
meningkatkan rasa haus, yang didefinisikan sebagai keinginan sadar terhadap
air.
 Pusat-Pusat Sistem Saraf Pusat terhadap Rasa Haus

Gambar 4: Neuroanatomi hipotalamus, tempat ADH di sintesis dan


kelenjar hipofisis posterior, tempat ADH dilepaskan

Gambar diatas menunjukkan neuroanatomi hipotalamus dan kelenjar


hipofise, tempat ADH disintesis dan dilepaskan. ADH disintesis di nukleus
supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus. Daerah yang sama
sepanjang dinding anteroventral dari ventrikel ketiga yang meningkatkan
pelepasan ADH juga merangsang rasa haus. Terletak anterolateral dari
nukleus preoptik adalah suatu daerah kecil lain yang bila distimulasi secara
listrik, menyebabkan kegiatan minum dengan segera dan berlanjut selama
rangsangan berlangsung. Semua daerah ini bersama-sama di sebut pusat
rasa haus.
Neuron-neuron dari pusat rasa haus memberi respons terhadap
penyuntikan larutan garam hipertonik dengan merangsang perilaku minum.
Sel-sel ini berfungsi hampir sebagai osmoreseptor untuk mengaktivasi
mekanisme rasa haus,d an dengan cara yang sama merangsang pelepasan
ADH.
Peningkatan osmolaritas cairan serebrospinal dalam ventrikel ketiga
memberi pengaruh yang pada dasarnya sama, yaitu menimbulkan keinginan
untuk minum. Kelihatannya, organum vaskulosum lamina terminalis yang
terletak tepat di bawah permukaan ventrikel pada ujung inferior daerah
anteroventral ventrikel ketiga, terlibat secara erat dalam menjembatani
respon ini.
 Stimulus terhadap Rasa Haus
Tabel 1: Pengaturan Rasa haus
Peningkatan rasa haus Penurunan rasa haus
Osmolalitas Osmolalitas
Volume darah Volume darah
Tekanan darah Tekanan darah
Angiotensin II Angiotensin II
Kekeringnan mulut Distensi lambung

Table diatas merangkum beberapa stimulus rasa haus yang diketahui. Salah
satu yang paling penting adalah peningkatan cairan ekstraselular, yang
menyebabkan dehidrasi intraselular di pusat rasa haus, dengan demikian
merangsang sensasi rasa haus. Kegunaan dari respon ini sangat jelas:
membantu mengencerkan cairan ekstraselular dan mengembalikan
osmolaritas kembali ke normal.
Penurunan volume cairan ekstraselular dan tekanan arterial juga
merangsang rasa haus melalui suatu jalur yang tidak bergantung pada jalur
yang distimulasi oleh peningkatan osmolaritas plasma. jadi, kehilangan
volume darah melalui perdarahan akan merangsang rasa haus walaupun
mungkin tidak terjadi perubahan osmolaritas plasma. hal ini mungkin
terjadi akibat input neural dari baroreseptor kardiopulmonar dan
baroreseptor arterial sistemik dalam sirkulasi.
Stimulasi rasa haus ketiga yang penting adalah angiotensin II.
Penelitian terhadap binatang telah menunjukkan bahwa angiotensin II
bekerja pada organ subfornikal dan pada organum vaskulosum lamina
terminalis, yaitu daerah yang berada di sisi luar sawar darah otak, jadi
membuat peptide seperti angiotensin II berdifusi ke dalam jaringan daerah
otak ini. Karena angiotensin II juga distimulasi oleh faktor-faktor yang
berhubungan dengan hipovolemia dan tekanan darah rendah, pengaruhnya
pada rasa haus membantu memulihkan volume darah dan tekanan darah
kembali normal, bersama dengan kerja lain dari angiotensin II pada ginjal
untuk menurunkan ekskresi cairan.
Masih ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi asupan air.
Kekeringan pada mulut dan membran mukosa esophagus dapat
mendatangkan sensasi rasa haus. Sebagai hasilnya, seseorang yang
kehausan dapat segera merasakan kelegaan setelah dia minum
 Ambang Batas Stimulus Osmolar untuk Minum
Ginjal terus menerus harus mengeluarkan sejumlah cairan, bahkan pada
seseorang yang dehidrasi, untuk membebaskan tubuh dari kelebihan zat
terlarut yang dikonsumsi atau dihasilkan oleh metabolisme. Air juga
hilang melalui evaporasi dari paru dan saluran pencernaan serta melalui
evaporasi dan keringat dari kulit. Oleh karena itu, selalu ada
kecenderungan untuk dehidrasi, dengan akibat peningkatan osmolaritas
dan konsentrasi natrium cairan ekstraselular. Bila konsentrasi natrium
hanya meningkat sekitar 2 mEq/liter di atas normal, mekanisme rasa
haus diaktifkan, menimbulkan keinginan untuk minum air. Keadaaan
ini disebut ambang batas untuk minum. Jadi, bahkan peningkatan
osmolaritas plasma yang sedikit saja biasanya diikuti oleh asupan air,
yang memulihkan osmolaritas cairan ekstraselular dan konsentrasi
natrium diatur denngan tepat.
 Respons Osmoreseptor-ADH dan Mekasnisme Rasa Haus yang
Terintegrasi dalam Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstraselular dan
Konsentrasi Natrium.
Pada seseorang yang normal, mekanisme osmoreseptro-ADH dan rasa
haus bekerja secara parallel untuk mengatur osmolaritas cairan
ekstraselular dan konsentrasi natrium dengan tepat, walaupun rangkaian
dehidrasi bersifat konstan. Bahkan dengan perangsangan tambahan,
seperti konsumsi garam tinggi, sistem umpan balik ini mampu
mempertahankan osmolaristas plasma agar tetap konstan. Jadi,
peningkatan asupan natrium tidak memberi pengaruh terhadap
konsengtrasi natrium plasma selama mekanisme rasa haus dan ADH
berfungsi normal.
Bila mekanisme ADH atau mekanisme rasa haus gagal,
mekanisme yang lain biasanya masih dapat mengatur osmolaritas
ekstraselular dan konsentrasi natrium dengan efektivitas yang memadai,
selama tersedia asupan cairan yang cukup untuk mengimbangi volume
urin harian dan kehilangan air melalu pernapasan, keringat, atau saluran
pencernaan. Akan tetapi, bila mekanisme ADH dan rasa haus gagal
secara bersamaan, baik konsentrasi natrium maupun osmolaritas tidak
dapat dikontrol secara adekuat; jadi, bila asupan natrium meningkat
setelah menghambat sistem ADH-rasa haus, tidak ada mekanisme
umpan balik lain yang mampu meningkatkan asupan air atau
penyimpanan air oleh ginjal selama perubahan dalam asupan natrium.

Anda mungkin juga menyukai