Anda di halaman 1dari 26

I.

Maksud dan Tujuan


1.1 Maksud
Agar praktikan dapat mengetahui dan memahami bagaimana cara melakukan proses
pencelupan pada kain campuran (poliester-kapas) dengan zat warna dispersi –
bejana sistem Exhaust Metode One Bath One Stage dengan baik dan benar.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui bagaimana pengaruh penggunaan Na2S2O4 pada proses pencelupan
kain campuran (polyester-kapas) dengan zat warna disperse – bejana terhadap
ketuaan warna.
2. Mengetahui bagaimana pengaruh penggunaan NaOH3 pada proses pencelupan
kain campuran (polyester-kapas) dengan zat warna disperse – bejana terhadap
ketuaan warna.
3. Mengetahui bagaimana hasil pencelupan dengan menggunakan metode One
Bath One Stage.
4. Menganalisa dan mengevaluasi (ketuaan, kerataan dan TLW terhadap gosokan)
hasil proses pencelupan pada kain poliester-kapas dengan zat warna disperse –
bejana sistem exhaust metode One Bath One Stage.

II. Teori Dasar


2.1 Serat Poliester

Serat polyester adalah serat sintetik yang terbuat dari hasil polimerisasi etilena glikol
dengan asam tereftalat melalui proses polimerisasi kondensasi. Hasil polimerisasi
berupa chip atapun polimer leleh, yang kemudian di lakukan proses spinning untuk
membentuk fiber. Pembentukan fiber dilakukan dengan temperatur di atas titik leleh
polyester, dengan bantuan gear pump yang menentukan ukuran fiber yang keluar
melalui spinneret. Spinneret disini akan menentukan cross section atau bentuk dari
fiber yang diinginkan, seperti bulat, segitiga, dan lain-lain. Selanjutnya ribuan helai
serat panjang ini disatukan dan ditarik serta diletakkan di dalam can. Serat-serat dari
bebarapa can kemudian ditarik (draw) bersama sama sehingga didapatkan serat
dengan ketebalan tertentu biasanya dinyatakan dengan satuan denier. Pada proses
peregangan ini diberikan spin finish oil yang berfungsi mengurangi elektro statik yang
terjadi pada saat serat polyester diproses pada mesin mesin pemintalan berikutnya.
Setelah melalui proses peregangan selanjutnya masuk ke proses crimping.
Kemudian serat tadi dipotong potong menggunakan rotary cutter dengan panjang
sesuai dengan keperluan, misalnya 38 mm, 44 mm, 51 mm dan lain sebagainya.
pada saat proses pemotongan serat diberikan hembusan agar serat-serat yang telah
terpotong pendek-pendek dapat terurai satu sama lain. Serat yang telah selesai
dipotong dikemas pada mesin baling press dengan standar berat sekitar 350 kg per
bal. Selain kehalusan (denier) serat dan panjang serat, kilau (luster) juga merupakan
spesifikasi yang sangat penting, misalnya bright, semi dull atau dull. Serat poliester
merupakan bahan baku bagi pabrik pemintalan (spinning) yang membuat benang
pintal. Di pabrik pemintalan serat poliester biasanya diproses untuk produk benang
pintal poliester 100% atau cempuran dengan serat alam atau serat sintetik lainnya.
Misalnya poliester/katun, polyester/rayon, polyester/rami, polyester/flax,
polyester/acrilik dsb.

Gambar 2.1 Struktur Kimia Polyester

Sifat kimia serat poliester :


 Tahan sinar dan berkurang kekuatannya dalam penyinaran yag lama.
 Tahan jamur, serangga dan bakteri.
 Tahan asam lemah tetapi tidak tahan basa kuat.
 Rusak pada pemanasan diatas 2500C.

Sifat fisika serat polyester :


 Kekuatan dan mulur keadaan basah sama dengan keadaan kering kekuatan dan
mulur Tetoron, Trevira dan terylene adalah 4,5 gram/denier dengan mulur 25%
sedangkan kekuatan dan mulur Dacron adalah 4 gram/denier dengan mulur 40%.
 Mempunyai elastisitas yang baik sehingga tahan kusut.
 MR dalam kondisi standar adalah 0,4% sedangkan dalam kelembaban relatif 100%
adalah 0,6 – 0,8%.
 Berat jenisnya 1,38.
 Titik leleh di udara 2500 C.
 Terylene mengkeret 7% lebih bila direndam di air mendidih.
 Dacron mengkeret 10 – 14% bila direndam 70 menit.
 Tetoron mengkeret 7% bila direndam dalam air mendidih.

Salah satu bentuk penampang serat polyester :


 Penampang melintang : bulat bersih.
 Penampang membujur : berbentuk silinder, berbintik dan lapisan luar tebal.

Gambar 2.2 Penampang Serat Polyester

2.2 Serat Kapas


Serat kapas dihasilkan dari rambut biji tanaman kapas. Tanaman kapas termasuk
dalam jenis Gossypium. Tanaman yang berhasil dikembangkan adalah jenis
Gossypiumhirsutum dan Gossypiumbarbadense. Kedua tanaman berasal dari
Amerika, Gossypiumhirsutum kemudian terkenal dengan nama kapas ”Upland” atau
kapas Amerika dan Gossypiumbarbadense kemudian dikenal dengan namakapas
”Sea Island”. Kapas upland merupakan kapas yang paling banyak diproduksidan
digunakan untuk serat tekstil, sedangkan kapas seaisland meskipun produksinya
tidak terlalu banyak, tetapi kualitasnya sangat baik karena seratnya halus dan
panjang. Oleh karena itu kapas seaisland digunakan untuk tekstil kualitas tinggi.

2.2.1 Komposisi Kapas


Kandungan terbesar dari serat kapas adalah selulosa, zat lain selulosa akan
menyulitkan masuknya zat warna pada proses pencelupan, oleh karena itu zat selain
selulosa dihilangkan dalam proses pemasakan. Komposisi serat kapas dicantumkan
pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Komposisi Serat Kapas
Senyawa Kandungan (%)
94
Selulosa
1,3
Protein
1,2
Pektin
0,6
Lilin
1,2
Abu
1,7
Pigmen dan zat lain

2.2.2 Sifat Serat Kapas


Serat kapas berasal dari tanaman, oleh karena itu serat kapas termasukserat
selulosa, sehingga sifat kimia serat kapas mirip seperti sifat selulosa. Di dalam
larutan alkali kuat serat kapas akan menggembung sedangkan dalam larutan asam
sulfat 70% serat kapas akan larut. Proses penggembungan serat kapas dalam
larutan NaOH 18% disebut proses merserisasi. Kapas yang telah mengalami proses
merserisasi mempunyai sifat kilau lebih tinggi, kekuatan lebih tinggi dan daya serap
terhadap zat warna yang tinggi. Oksidator selama terkontrol kondisi pengerjaanya
tidak mempengaruhi sifat serat, tetapi oksidasi yang berlebihan akan menurunkan
kekuatan tarik serat kapas. Oleh karena itu pada proses pengelantangan yang
menggunakan oksidator harus digunakan konsentrasi oksidator dan suhu pengerjaan
yang tepat agar tidak merusak serat.

Morfologi serat kapas jika dilihat dibawah mikroskop mempunyai penampang


memanjang seperti pita yang terpilin dan penampang melintang seperti ginjal dengan
lubang ditengah yang disebut lumen.

Gambar 2.3 Bentuk Morfologi Serat Kapas


Sumber : Arthur D Broadbent, Basic Principles of Textile Coloration, Manchester,
2001
Beberapa karakteristik serat kapas tercantum dalam Tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2 Karakteristik Serat Kapas

Daya serap : Hidrofilik, MoistureRegain : 8.5 %.

Elastisitas : Kurang baik.

Kimia : tidak tahan terhadap asam yang kuat, tidak tahan terhadap
alkali, tidak tahan terhadap bahan kimia yang berlebihan.

2.3 Kain Campuran Poliester dan Kapas


Percampuran serat polyester dan kapas diharapkan mendapatkan sifat – sifat
sebagai berikut :
- Mempunyai daya serap terhadap air yang cukup
- Taha terhadap tekanan dan gosok
- Mempunyai kestabilan dimensi dan ketahanan kusut yang baik
- Tahan terhadap mikrobiologis
- Mempunyai kekuatan yang cukup.

2.4 Zat Warna Dispersi

Zat warna dispersi adalah zat warna organic yang dibuat secara sintetik.
Kelarutannya dalam air kecil sekali dan larutan yang terjadi merupakan dispersi atau
partikel-partikel zat warna yang hanya melayang dalam air. zat warna ini dipakai
untuk mencelup atau mewarnai srat-serat tekstil sintetik, yang bersifat termoplastik
atau hidrofob. Absorbsinya ke dalam serat sering disebut “Solid Solution“, yaitu zat
padat larut dalam zat padat. Dalam hal ini zat warna merupakan zat terlarut dan
serat berkisar antara 30 – 200 mg per garam serat. Molekul zat warna dispersi relatif
kacil, sederhana dan tidak mempunyai gugus pelarut,Karena itu mempunyai
katahanan yang tinggi dan warna yang cemerlang. Salainitu zat warna dispersi
hampir semua mengandung gugus-gugus hidroksil dan amina (-OH, -NH2, NHR)
yang berfungsi sebagai donor atom hydrogen untuk mengadakan interaksi dua kutub
atau membentuk ikatan hydrogen dengan gugus-gugus karbonil atau gugus asetil
dari serat. Menurut struktur kimianya zat warna dispersi merupakan senyawa azo,
antrakuinon dan dipenil amina.

Berdasarkan struktur kimianya, zat warna disperse dapat dibedakan menjadi tiga
golngan yaitu :
1. Zat Warna Dispersi Turunan Senyawa Antrakuinon

Gambar 2.7 Zat Warna Dispersi Golongan Antrakuinon


Sumber : Isminingsih, Gitopadmojo, Pengantar Kimia Zat Warna, ITT, 1978, Hal 158

2. Zat Warna Dispersi Turunan Senyawa Azo

Gambar 2.8 Zat Warna Dispersi Golongan Azo


Sumber : Isminingsih, Gitopadmojo, Pengantar Kimia Zat Warna, ITT, 1978, Hal 158

3. Zat Warna Dispersi Turunan Senyawa Difenilamin

Gambar 2.9 Zat Warna Dispersi Golongan Difenilamin


Sumber : Isminingsih, Gitopadmojo, Pengantar Kimia Zat Warna, ITT, 1978, Hal 158

Karena molekulnya kecil zat warna dispersi mudah menyublim pada suhu tinggi,
maka berdasarkan pada sifat ketahanan sublimasinya dapat dikelompokan dalam 4
(empat) golongan , yaitu :
a) Golongan I : titik leleh 150 – 180OC, mempunyai berat molekul yang sangat kecil dan
sangat mudah digunakan terutama untuk serat asetat.
b) Golongan II : titk leleh 180 – 2100C, mempunyai berat molekul relatif rendah dengan
sifat pewarnaan yang baik.
c) Golongan III : titk leleh 210 – 2300C, mempunyai berat molekul yang sedang dengan
sifat pewarnaan yang cukup.
d) Golongan IV : titk leleh di atas 2300C, mempunyai berat molekul yang besar akan
tetapi sifat pewarnaan yang kurang.

Pencelupan dengan zat pengemban dapat dilakukan pada suhu 85 0C atau


mendidih. Disamping zat pengemban diperlukan pula zat pembantu yang lain, yaitu
zat pendispersi untuk mendapatkan dispersi zat warna yang stabil. Dan Karena
kebanyakan zat warna dispersi mencelup dalam suasana agak asam (pH 5 – 5,5),
maka ke dalam larutan celup perlu ditambahkan asam, misalnya yang biasa
dipergunakan adalah asam asetat atau asam formiat.

2.5 Pencelupan Poliester dengan Zat Warna Dispersi


Serat poliester mempunyai kekristalan tinggi dan bersifat hidrofob sehingga serat
tidak mudah dimasuki oleh molekul-molekul zat warna yang besar. Poliester juga
tidak mempunyai gugus kimia yang aktif, oleh karena itu tidak dapat diwarnai
dengan zat warna anion dan kation. Kesulitan ini dapat diatasi dengan adanya zat
warna dispersi. Zat warna dispersi berpindah dalam larutan celup dari bentuk
agregat masuk ke dalam serat dalam bentuk molekuler dengan ukuran sekitar 0,5 –
2 mikron. Partikel zat warna dispersi yang larut dalam air apabila dalam larutan
celup dalam jumlah yang sangat sedikit akan mudah diserap oleh serat.

2.5.1 Pencelupan Serat Poliester dengan Zat Warna Dispersi Sistem HT/HP
Serat poliester mempunyai kritalinitas yang tinggi, bersifat hidrofob dan juga tidak
mempunyai gugus reaktif. Oleh karena itu, poliester tidak mudah untuk dimasuki
oleh molekul zat warna yang besar dan tidak dapat diwarnai oleh zat warna anion
ataupun kation. Serat poliester hanya dapat dicelup dengan menggunakan zat
warna dispersi. Zat warna dispersi tidak mencelup serat dalam fasa larutan tetapi
dalam fasa dispersi. Fasa dispersi tersebut terjadi setelah dilakukan penambahan
pendispersi pada larutan zat warna. Zat warna dispersi mempunyai afinitas yang
lebih besar terhadap serat daripada terhadap larutan. Zat warna dispersi tersebut
dapat bermigrasi ke dalam serat membentuk larutan padatan didalamnya.
Mekanisme pencelupan zat warna dispersi pada serat poliester menyerupai
peristiwa distribusi zat padat kedalam pelarut yang tidak dapat bercampur. Zat
warna yang merupakan zat pada yang larut dalam medium serat tersebut dam
adsorpsi inilah yang disebut “solid solution”.

Apabila menggunakan metode HT/HP (suhu dan tekanan tinggi) pencelupan


dimulai dengan pendispersi zat warna dispersi. Zat warna dispersi dalam larutan
celup membentuk partikel-partikel yang tidak stabil. Partikel tersebut kemudian
terdispersi sebagian membentuk agregat-agregat zat warna dan sisanya
membentuk molekul tunggal (mono molecular). Pada saat pencelupan molekul-
molekul tunggal tersebut masuk kedalam serat, maka sebagian agregat-agregat zat
warna akan pecah membentuk molekul-molekul tunggal yang dapat diserap oleh
serat. Proses ini berlangsung terus sampai pencelupan mencapai optimal.

2.6 Zat Warna Bejana


Zat warna ini juga tidak larut dalam air sehingga ketahanan luntur terhadap
pencuciannya tinggi. Namun karena harganya relative mahal maka zat warna bejana
hanya digunakan untuk pencelupan dan pencapan serat selulosa kualitas baik.
Dibanding zat warna lain, zat warna bejana relative lebih tahan terhadap zat kimia
seperti oksidator dan reduktor.
Berdasarkan strukturnya zat warna bejana dapat digolongkan menjadi 2 (dua)
jenis yaitu jenis antrakuinon dan indigo, contoh:
O

H
N O

O N
H

O
CI Vat Blue 4
O H
N

N
H O

CI Vat Blue 1
Jenis Zat Warna bejana jenis antrakuinon dan indigo
Berdasarkan cara dan sifat pemakaiannya, zat warna bejana dapat digolongkan
menjadi 4 jenis, yaitu jenis IK, IW, IN dan INsp, perbedaan keempat jenis zat warna
tersebut adalah sebagai berikut :
Table 2.3 Sifat umum zat warna bejana

Ukuran Substantifit Ketahanan Penambahan


Penambahan
Jenis molekul zat as garam Kerataan luntur N2S2O4 dan
NaCl
warna leuconya warna NaOH

Lebih mudah
IK Kecil Kecil Sedang Sedikit Banyak
rata

IW Sedang Sedang mudah rata Cukup Sedang Sedang

agak sukar
IN Agak Besar Agak Besar Baik Banyak Sedikit
rata

INsp Lebih Besar Lebih Besar Sukar rata Sangat Baik Lebih Banyak Nol

Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, pada saat ini zat warna yang
banyak dipakai adalah zat warna bejana jenis IN dan INSP yang tahan lunturnya
sangat baik. Namun kelemahan kedua zat warna tersebut adalah dalam proses
pencelupannya sukar rata, sehingga perlu ada usaha sedemikian rupa agar hasil
celupnya rata.
Kiat-kiat yang biasa dilakukan untuk mencegah terjadinya hasil celup yang
kurang rata adalah:
- Mencegah terjadinya premature oksidasi selama proses pencelupan
berlangsung
dengan menambahkan lagi Na2S2O4 dan NaOH pada larutan celup,
menambahkan
zat anti oksidasi seperti glukosa dan CMC pada larutan celup.
- Mengurangi pemakaian elektrolit
- Memperlambat laju kenaikan suhu pencelupan
- Menambahkan perata (berupa retarder atau pendispersi nonionik) pada
larutan
celup.
- Menggunakan skema pencelupan cara semi pigmentasi atau Full pigmentasi.

2.6.1 Mekanisme pencelupan dengan zat warna bejana


a. Pembejanaan (proses pelarutan zat warna menjadi leuko)
Zat utama yang digunakan adalah reduktor kuat natrium hidrosulfit dan alkali kuat
natrium hidroksida. Reaksinya adalah sebagai berikut :
-
O OH O Na +
Reduksi
Na2S2O4
Hn
R R R
O OH ONa
Zw Bejana Asam Leuko Garam Leuko

Proses Pembuatan garam leuco

b. Pencelupan dengan senyawa leuko


Bentuk senyawa ini mempunyai afinitas terhadap selulosa sehingga dapat
mencelupnya.
c. Pembangkitan (oksidasi)
Leuko yang telah terserap diubah kembali ke bentuk semula, sehingga tidak larut
dan tidak dapat keluar karena ukuran molekulnya lebih besar daripada pori serat.

2.7 Metoda Pencelupan Kain Campuran Poliester-Kapas dengan Zat Warna


Dispersi - Bejana
2.7.1 Metode 1 Bath 2 Stage
Metode pencelupan kain/benang campuran dengan cara mencelup kain/benang
campuran tersebut dalam larutan tunggal yang mengandung dua jenis zat warna.
Fiksasi kedua jenis zat warna pada masing-masing serat dilakukan secara
bertahap pada kondisi yang berbeda. Metode ini dinamakan One Bath Two
Stage. Metoda ini banyak diaplikasikan pada pencelupan kontinyu dan jarang
digunakan pada pencelupan cara exhaust kecuali untuk mendapatkan efek
warna solid, akan tetapi sulit untuk mendapatkan efek kontras. Pada pencelupan
ini zat warna disperse dan zat warna direk dimasukkan secara beramaan untuk
mencelup serat polyester dan kapas.

2.8 Zat Pendispersi


Zat warna disperse bersifat hidrofob dan kelarutannya didalam air sangat kecil sekali.
Oleh karena itu partikel zat warna disperse yang tidak larut tersebut harus
didispersikan secara homogeny di dalam larutan. Untuk menjamin kesetanilan
pendispersi secara homogeny di dalam larutan. Untuk menjamin kesetababilan
pendispersian dan mencegah agregasi zat warna pada suhu tinggi perlu dibantu
dengan zat pendispersi. Zat ini berupa suatu senyawa surfaktan anionic atau
senyawa polielektrolit anionic (turunan lignosulfonate) yang tahan suhu tinggi dan
bekerja dengan cara bagian hidrofob dari zat pendispersi menarik partikel zat warna
dan bagian hidrofil yang bermuatan negative mengarah ke larutan dan menjaga jarak
antar partikel zat warna agar tidak beragregasi sehingga partikel zat warna tetap
terdispersi secara homogen.

2.9 Mekanisme Pencelupan


Pencelupan pada umumnya terdiri dari melarutkan atau mendispersikan zat warna
dalam air atau medium lain, kemudian memasukkan bahan tekstil ke dalam larutan
tersebut, sehingga terjadi penyerapan zat warna ke dalam serat. Penyerapan ini
terjadi karena reaksi eksotermik (mengeluarkan panas) dan keseimbangan. Menurut
Vickerstaff, proses pencelupan terdiri dari beberapa tahap, yaitu :
1. Difusi zat warna pada larutan ke dekat permukaan serat
2. Adsorpsi zat warna pada permukaan serat.
3. Difusi zat warna ke dalam serat.
4. Fiksasi molekul zat warna, terjadi ikatan zat warna dengan serat.

Baik tidaknya hasil pencelupan sangat ditentukan oleh ketiga tingkatan pencelupan
tersebut. Apabila zat warna terlalu cepat terfiksasi maka kemungkinan diperoleh
celupan yang tidak rata. Sebaliknya, apabila zat warna memerlukan waktu yang
cukup lama untuk fiksasinya, agar diperoleh waktu yang sesuai dengan yang
diharapkan, diperlukan peningkatan suhu atau penambahan zat-zat pembantu
lainnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dalam pencelupan faktor-faktor
pendorong seperti suhu, penambahan zat pembantu dan lamanya pencelupan perlu
mendapatkan perhatian yang sempurna. Zat warna dapat terserap ke dalam bahan
sehingga mempunyai sifat tahan cuci.

2.10 Jenis Ikatan Pada Pencelupan


Agar supaya pencelupan dan hasil celupan baik dan tahan cuci maka gaya gaya ikat
antara zat warna dan serat harus lebih besar dari pada gaya-gaya yang bekerja
antara zat warna dan air. Hal tersebut dapat tercapai apabila molekul zat warna
mempunyai susunan atom-atom yang tertentu, sehingga akan memberikan daya
tembus yang baik terhadap serat dan pula memberi ikatan yang kuat.

Pada proses pencelupan ini ada beberapa gaya ikat yang menyebabkan adanya
daya tembus atau tahan cuci suatu zat warna pada serat, yaitu :
 Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen merupakan ikatan sekunder yang terbentuk karena atom hidrogen
pada gugusan hidroksi atau amina mengadakan ikatan yang lemah dengan atom
lainnya, misalnya molekul-molekul air yang mendidih pada suhu yang jauh lebih
tinggi daripada molekul-molekul senyawa alkana dengan berat yang sama.
H–O–H
H
H–O–H O

H
Pada umumnya molekul –molekul zat warna dan serat mengandung gugusan
gugusan yang memungkinkan terbentuknya ikatan hidrogen.

 Ikatan kovalen
Zat warna reaktif terikat pada serat dengan ikatan kovalen yang sifatnya lebih kuat
dari pada ikatan-ikatan lainnya sehingga sukar dilunturkan. Meskipun demikian
dengan pengerjaan larutan asam atau alkali yang kuat beberapa celupan zat warna
reaktif akan meluntur.
III. PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat yang digunakan :
- Piala gelas 100 mL
- Gelas ukur 100 mL
- Pipet ukur 10 mL
- Pipet ukur 1 mL
- Pengaduk kaca
- Mesin HT dyeing
- Tabung Rapid dyeing

3.1.2 Bahan yang digunakan :


- Kain T/C
- Zat warna Dispersi (Terasil Blue)
- Zat warna Bejana (Yellow)
- Asam Asetat 30 %
- Zat Pendispersi Anionik
- Na2S2O4
- NaOH
- H2O2
- Sabun

3.2 Diagram Alir

Persapan bahan Pembejanaan


Pembuatan zat warna
dan alat Pencelupan
larutan celup Bejana
praktikum

Proses oksidasi
Evaluasi Kain Pengeringan Cuci sabun zat warna
bejana

Gambar 3.1. Diagram Alir Proses Pencelupan T/C dengan Zat Warna Dispersi dan Zat
Warna Bejana
3.3 Skema Proses

Zat Warna Dispersi tipe “C”


Zat Warna Bejana Na2S2O4
Asam Asetat NaOH
130°C
Zat Pendispersi Anionik
Kain

80°C 80°C

Oksidasi
40°C Cuci Sabun
H2O2

T°C

10’ 10’ 30’ 10’ 15’ 15’ 10’


’ ’ Menit ’

Gambar 3.2 Skema Proses Pencelupan Kain T/C dengan Zat Warna Dispersi dan Zat
Warna Bejana Suhu 130oC

3.4 Resep
3.4.1 Resep Pencelupan
Tabel 3.1 Resep Pencelupan
1 2 3 4
2%
ZAT WARNA DISPERSI TIPE “C” (%owf)
2%
ZAT WARNA BEJANA (%owf)
pH 5
CH3COOH 30% (ml/L)
2
ZAT PENDISPERSI (ml/L)
2 4 2 4
Na2S2O4 (g/L)
1 2 1 2
NaOH (g/L)
1:20
Vlot
30’
Waktu
130oc
SUHU
3.4.2 Resep Oksidasi
Tabel 3.2 Resep Oksidasi
1 2 3 4

H2O2 35% (ml/L) 5 5 10 10

Vlot (1: x) 1:20

Waktu (menit) 15’

Suhu (oC) 130oc

3.4.3 Resep Pencucian


Tabel 3.3 Resep Pencucian

RESEP JUMLAH

Sabun (g/l) 1

Vlot (1: x) 1 : 20

Suhu (oC) 80

Waktu (menit) 10

3.5 Perhitungan Resep


3.5.1 Proses Pencelupan
1. Kain 1
BB : 6,66 gram
Vlot/kebutuhan larutan : 6,66 x 20 = 133,2 ml
1,3 50 𝑚𝑙
ZW Dispersi : x 6,66 g x = 8,75 ml
100 0,5 𝑔
0,3 50 𝑚𝑙
ZW Bejana : x 6,66 g x = 4,66 ml
100 0,5 𝑔
2
Zat Pendispersi : x 133,2 = 0,26 ml
1000
1
NaOH : x 133,2 = 0,13 ml
1000
2
Na2S2O4 : x 133,2 = 0,26 ml
1000
Kebutuhan Air : 133,2 – 8,75 – 4,66 – 0,26 = 119,5 ml
2. Kain 2
BB : 6,61 gram
Vlot/kebutuhan larutan : 6,61 x 20 = 132,2 ml
1,3 50 𝑚𝑙
ZW Dispersi : x 6,61 g x = 8,59 ml
100 0,5 𝑔
0,3 50 𝑚𝑙
ZW Bejana : x 6,61 g x = 4,63 ml
100 0,5 𝑔
2
Zat Pendispersi : x 132,2 = 0,26 ml
1000
2
NaOH : x 132,2 = 0,26 ml
1000
4
Na2S2O4 : x 133,2 = 0,52 ml
1000
Kebutuhan Air : 132,2 – 8,59 – 4,63 – 0,26 = 118,7 ml

3. Kain 3
BB : 6,51 gram
Vlot/kebutuhan larutan : 6,51 x 20 = 130,2 ml
1,3 50 𝑚𝑙
ZW Dispersi : x 6,51 g x = 8,46 ml
100 0,5 𝑔
0,3 50 𝑚𝑙
ZW Bejana : x 6,51 g x = 4,56 ml
100 0,5 𝑔
2
Zat Pendispersi : x 130,2 = 0,26 ml
1000
1
NaOH : x 130,2 = 0,13 ml
1000
2
Na2S2O4 : x 130,2 = 0,26 ml
1000
Kebutuhan Air : 130,2 – 8,46 – 4,56 – 0,26 = 116,9 ml

4. Kain 4
BB : 6,52 gram
Vlot/kebutuhan larutan : 6,52 x 20 = 130,4 ml
1,3 50 𝑚𝑙
ZW Dispersi : x 6,52 g x = 8,47 ml
100 0,5 𝑔
0,3 50 𝑚𝑙
ZW Bejana : x 6,52 g x 0,5 𝑔
= 4,56 ml
100
2
Zat Pendispersi : x 130,4 = 0,26 ml
1000
2
NaOH : x 130,4 = 0,26 ml
1000
4
Na2S2O4 : x 130,4 = 0,52 ml
1000
Kebutuhan Air : 130,4 – 8,47 – 4,56 – 0,26 = 117,1 ml

3.5.2 Proses Pembangkitan Warna


1. Kain 1
BB : 6,66 gram
Vlot/kebutuhan larutan : 6,66 x 20 = 133,2 ml
5
H2O2 : x 133,2 = 0,67 ml
1000
Kebutuhan Air : 133,2 – 0,67 = 133,53 ml

2. Kain 2
BB : 6,61 gram
Vlot/kebutuhan larutan : 6,61 x 20 = 132,2 ml
5
H2O2 : x 132,2 = 0,67 ml
1000
Kebutuhan Air : 132,2 –0,67 = 132,53 ml

3. Kain 3
BB : 6,51 gram
Vlot/kebutuhan larutan : 6,51 x 20 = 130,2 ml
10
H2O2 : x 130,2 = 1,3 ml
1000
Kebutuhan Air : 130,2 – 1,3 = 128,9 ml

4. Kain 4
BB : 6,52 gram
Vlot/kebutuhan larutan : 6,52 x 20 = 130,4 ml
10
H2O2 : x 130,4 = 1,3 ml
1000
Kebutuhan Air : 130,4 – 1,3 = 128,94 ml
3.5.3 Proses Pencucian
BB total : 26,3 gram
Vlot/kebutuhan larutan : 20 x 26,3
: 526 ml
1
Teepol : 1000 x 526 = 0,53 ml

Kebutuhan Air : 526 – 0,53 = 525,47 ml

3.6 Fungsi Zat


 Zat warna Dispersi : Memberi warna pada serat polyester.
 Zat warna Bejana : Memberi warna pada serat kapas.
 Asam Asetat : Pengatur pH larutan, pemberi suasana asam agar
tidak terjadi kerusakan pada serat poliester.
 Zat Pendispersi Anionik : Untuk mendispersikan zat warna dispersi agar
terdispersi monomolekuler didalam larutan.
 NaOH : Untuk melarutkan leuco zat warna bejana (merubah
asam leuco yang tidak larut menjadi garam leuco
yang larut)
 Na2S2O4 : Untuk membantu dan penyeimbang proses
pembejanaan zat warna bejana.
 H2O2 : Untuk mengoksidasi garam leuco zat warna bejana
agar kembali kebentuk semula yang tidak larut (untuk
pembangkitan warna)
 Sabun : Untuk proses pencucian setelah proses
pencelupan guna menghilangkan zat warna dispersi
yang menempel dipermukaan serat.
3.7 Langkah Kerja
1. Menyiapkan alat cuci bersih
2. Menyiapkan bahan dan mesin
3. Menimbang kain yang akan dicelup
4. Menghitung kebutuhan resep yang akan digunakan
5. Menimbang zat zat yang akan digunakan dalam proses pencelupan
6. Membuatan larutan induk zat warna
7. Menimbang dan masukan zat warna dispersi dan bejana, asam asetat, zat
pendispersi dan kain kedalam tabung rapid, lalu masukkan ke dalam mesin HT
dyeing.
8. Melakukan proses pencelupan sesuai skema proses, yaitu pada suhu 130 oC
selama 30 menit.
9. Menambahan Na2S2O4 dan NaOH pada suhu 800C sebagai proses
pembejanaan selama 15 menit.
10. Kemudian melakukan proses oksidasi dengan menambahkan H2O2 dan
diproses selama 15 menit pada suhu 800C.
11. Melakukan proses cuci sabun sesuai resep yaitu menggunakan sabun sesuai
skema proses pada suhu 80 oC selama 10 menit.
12. Mengeringkan bahan menggunakan stenter pada suhu 1990C seama 1 menit.
13. Lakukan evaluasi terhadap ketuaan, kerataan warna secara visual dan tahan
luntur warna terhadap gosokan basah dan kering menggunakan crockmeter
pada kain hasil celup.

IV. DATA PERCOBAAN


4.1 Ketuaan Warna Secara Visual
Kain Pengamat 1 Pengamat 2 Pengamat 3 Pengamat 4 Rata – rata
1 3 3 3 3 3
2 1 1 1 1 1
3 3 3 3 3 3
4 1 1 1 1 1

Keterangan nilai ketuaan warna 1 : Sangat tua


2 : Tua
3 : Cukup
4 : Muda
4.2 Kerataan Warna Secara Visual
Kain Pengamat 1 Pengamat 2 Pengamat 3 Pengamat 4 Rata – rata
1 2 2 2 2 2
2 2 2 2 2 2
3 2 2 2 2 2
4 2 2 2 2 2

Keterangan nilai kerataan warna 1 : Sangat rata


2 : Rata
5 : Cukup
6 : Kurang rata
4.3 Tahan Luntur Warna Terhadap Gosokan Menggunakan Crockmeter
Kain Basah Kering
1 4-5 4-5
2 4-5 4-5
3 4-5 4-5
4 4-5 4-5

Keterangan nilai tahan luntur warna :

Nilai Tahan Evaluasi Tahan


Luntur Warna Luntur Warna
5 Baik sekali
4–5 Baik
4 Baik
3–4 Cukup baik
3 Cukup
2–3 Kurang
2 Kurang
1–2 Jelek
1 Jelek
V. PERCOBAAN
Pada praktikum pencelupan kali ini kami melakukan pencelupan disperse-bejana
pada kain campuran T/C dengan system exhaust metode one bath one stage, variasi
yang kami terapkan adalah konsentrasi penggunaan oksidator H2O2 pada proses
pembangkitan warna dan penggunaan reduktor NaOH dan Na2S2O4. Variasi resep yang
kami terapkan bertujuan untuk mengetahui konsentrasi mana yang optimum pada
proses pencelupan zat warna disperse-bejana pada kain campuran T/C. variasi tersebut
dapat mempengaruhi hasil akhir pencelupan terutama pada ketuaan warna dan
kerataan. Selain itu pada proses pencelupan zat warna bejana dilakukan oksidasi
(pembangkitan warna) sehingga akan terlihat perbedaan hasil pencelupan terutama
pada ketuaan warna.

Berdasarkan hasil pencelupan yang sudah dilakukan ada beberapa hal yang dapat di
diskusikan antara lain :

Ketuaan warna
Perbandingan resep 1 dan 2
Pada resep 1 dan 2 variasi yang digunakan adalah penggunaan kosentrasi
reduktor yang digunakan, pada resep 1 NaOH dan Na2S2O4 sebanyak 2 dan 1 gram
sedangkan pada resep 2 konsentrasi NaOH dan Na2S2O4 yang digunakan sebanyak
4 dan 2 gram. Penggunaan kosentrasi yang berbeda pada tiap resep memberikan
hasil pencelupan yang berbeda juga, terutama pada ketuaan warna. Seperti pada
resep 1 dengan penggunaan NaOH dan Na2S2O4 yang lebih sedikit dibandingkan
dengan resep 2 hasil pencelupan nya lebih muda jika dibandingkan dengan resep 2.
Hal ini terjadi karena dengan konsentrasi NaOH yang lebih banyak mengakibatkan
perubahan molekul zat warna yang semula tidak larut berubah menjadi larut atau
menjadi leuco, sehingga sifat zat warna bejana yang semuka hidfrob berubah
menjadi leuoco yang dapat larut dalam air selain itu dibantu juga dengan Na 2S2O4
yang dapat membantu proses pembejanaan sehingga proses pembejanaan akan
berlangsung dengan baik dan juga lebih stabil. Berbeda dengan resep 1 dengan
variasi konesntrasi penggunaan NaOH dan Na2S2O4 yang lebih sedikit
mengakibatkan proses pembejanaan yang berlangsung menjadi kurang maksimal
sehingga zat warna bejana tidak dapat larut dengan sempurna pada larutan
pencelupan. Semakin banyak nya molekul zat warna bejana yang llarut maka migrasi
zat warna terhadap serat akan semakin baik sehingga molekul zat warna yang
menempel pada permukaan serat akan menjadi lebih banyak dan ketika terjadi
proses difusi ikatan yang terbentuk antara zat warna dengan serat akan lebih baik
sehingga warna yang dihasilkan akan menjadi lebih tua. Maka dari itu hasil
pencelupan pada resep no 2 warna nya lebih tua jika dibandingkan dengan resep no
1.

Perbandingan resep no 3 dan 4


Pada resep no 3 dan 4 variasi yang digunakan hampir sama dengan resep no
1 dan 2. Pada resep no 3 Penggunaan konsentrasi NaOH dan Na2S2O4 lebih sedikit
jika dibandingkan dengan resep no 4. Dengan kondisi tersebut mengakibatkan
proses pembejanaan pada resep no 4 akan berlangsung lebih baik jika dibandigkan
dengan resep no 3. Dengan terjadi hal tersebut maka pada proses pencelupan nya
ikatan yang terbentuk antara zat warna dengan akan lebih baik sehingga serat akan
lebih terwarnai dan memberikan warna yang lebih tua jika dibandingkan dengan
resep no 3. Untuk resep no 3 dengan konsentrasi NaOH dan Na2S2O4 yang lebih
sedikit mengakibatkan proses pembejanaan yang terjadi kurang baik atau tidak
semua molekul zat warna berubah menjadi leuco yang larut dalam air, sehingga
masih ada molekul zat warna bejana yang tidak llarut pada larutan pencelupan. hal
tersebut dapat mengakibatkan zat warna hanya menempel pada permukaan serat
saja ketika proses pencelupan terjadi dan tidak dapat membentuk ikatan dengan
serat sehingga zat warna tidak terserap kedalam serat dengan optimum. Hal tersebut
dapat mempengaruhi hasil akhir dari proses pencelupan sehingga warna yang
dihasilkan akan menjadi lebih muda. maka dari itu hasil pencelupan pada resep no 3
lebih muda jika dibandingkan dengan resep no 4.

Kerataan warna
Untuk kerataan warna semua resep memiliki kerataan yang sama persis
walaupun konsentrasi penggunaan NaOH dan Na2S2O4 yang berebeda-beda tiap
resep nya. Variasi yang diterapkan hanya berpengaruh pada ketuaan warna saja
untuk kerataan warna hasil yang didapat relatife sama selain itu komposisi serat juga
berpengaruh pada prose pencelupan kali ini. Komposisi polyester pada kain T/C
lebih banyak jika dibandingkan dengan serat selulosa, sehingga pada hasil
pencelupan warna biru lebih dominan terlihat pada kain T/C warna biru yang
dihasilkan bersal dari zat warna disperse pada serat polyester, zat warna yang
tercelup menyebar merata pada permukaan serat sehingga kebelangan warna tidak
terlihat. Kerataan warna ini juga dibantu dengan penggunaan zat pendispersi yang
membantu dalam pendispersian agar molekul zat warna disperse menyebar merata
pada permukaan serat. sedangkan untuk zat warna bejana hanya terlihat garis-garis
kehijauan saja pada permukaan kain T/C .

Pembangkitan warna
Pada proses pembangkitan warna atau oksidasi molekul zat warna bejana
yang semula larut akan berubah kembali menjadi tidak bentuk semula hal ini
dilakukan agar zat warna bejana yang sudah masuk kedalam serat tidak keluar
kembali ke larutan.. selain itu sifat zat warna bejana tidak bias mewarnai secara
langsung, maka dari itu dalam proses pencelupan nya diperlukan oksidasi agar
warna yang ada dapat keluar pada serat. Di sini kami memvariasikan konsentrasi
H2O2 yang digunakana. Pada setiap resep konsentrasi yang digunakan berbeda-
beda untuk resep 1 dan 2 digunakna konsentrasi sebanyak 5gr/l sedangkan untuk
resep 3 dan 4 digunakan konsetrasi sebanyak 10 gr/l. dengan perbedaan
konsentrasi ini maka hasil oksidasi yang diberikan akan berbeda, seperti pada resep
1 dan 3 konsentrasi H2O2 pada resep no 3 lebih besar dibandingkan dengan resep
no 1, hasil yang didapat juga dapat terlihat pada kain hasil pecenlupan dimana kain
no 3 memiliki warna kuning yang lebih terlihat dibandingkan dengan kain pada resep
no 1. Selain itu permukaan kain terlihat efek warna kuning kehijauan dari zat warna
bejana, sedangkan pada resep no 1 hanya terlihat beberapa bagian saja dan juga
tidak terlalu jelas. Dengan penggunaan konsentrasi H2O2 yang lebih banyak
mengakibatkan pembangkitan zat warna bejana yang terjadi menjadi lebih baik
sehingga warna yang diberikan akan lebih terlihat pada hasil pencelupan. Untuk
resep no 1 dan 3 memiliki variasi reduktor yang sama akan tetapi penggunaan H2O2
yang lebih banyak memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan resep
no 1. Sama hal nya pada resep 3 dan 4 dimana pada resep no 4 warna yang
dihasilkan lebih terlihat jika dibandingkan dengan resep no 3. Selain memberikan
warna pada hasil pencelupan, Dengan pembangkitan warna ini mengakibatkan leuco
yang semula larut dalam air akan kembali berubah kebentuk semula sehingga zat
warna bejana akan terperangkap di dalam serat dan memberikan efek ketahanan
luntur yang baik

Ketahanan luntur warna terhadap gosokan


Untuk ketahanan luntur warna setiap resep memiliki nilai ketahanan luntur
warna yang relative sama hal ini terlihat dari kain hasil uji gosok dimana tidak terlihat
ada noda yang luntur ketika dilakukan pengujian tahan luntur warna terhadap
gosokan baik uji gosok kering atau pun basah. Hal ini bisa terjadi karena sifat dari zat
warna disperse dan zat warna bejana yang tidak larut dalam air, seperti zat warna
disperse yang bersifat hidrofob dan ketika sudah dicelup dengan serat polyester zat
warna disperse akan terperangkan kedalam serat polietser yang memiliki ruang yang
sempit dan juga membentuk ikatan dengan serat polyester sehingga akan memiliki
ketahanan gosok yang baik. Sama hal nya seperti zat warna bejana dimana zat
warna bejana yang semula larut berubah kembali kebentuk semula menjadi tidak
larut, proses tersebut mengakibatkan molekul zat warna terjebak pada serat selulosa
sehingga molekul zat warna tidak akan keluar kembali ke larutan pencelupan dan
memeberikan ketahanan luntur warna yang baik pada hasil pencelupan nya. Dengan
sifat kedua zat warna dan serat tersebut maka kain T/C yang merupakan serat
campuran antara polyester-kapas akan memiliki hasil ketahanan luntur warna
terhadap gosokan yang baik.
VI. KESIMPULAN
 Berdasarkan hasil praktikum pencelupan pada kain T/C dengan zat warna dispersi-
bejana metoda 1 Bath 1 Stage dapat disimpulkan bahwa konsentrasi penggunaan
NaOH, Na2S2O4 dan H2O2 pada proses pencelupan akan mempengaruhi hasil dari
proses pencelupan tersebut baik itu dari segi ketuaan warna ataupun kerataan
warna.
 Kondisi optimum pada pencelupan ini ada pada resep no 4 dengan konsentrasi zat
NaOH 2 gr/l, Na2S2O4 4 gr/l dan H2O2 10 gr/l
VII. DAFTAR PUSTAKA
 Arthur D Broadbent, Basic Principles of Textile Coloration, Manchester, 2001 (diakses
pada tanggal 27 April 2017)
 Isminingsih, Gitopadmojo, Pengantar Kimia Zat Warna, ITT, 1978. (diakses pada tanggal
27 April 2017)
 Noerati., Gunawan., Ichwan, Muhammad., dan Sumiharti, Atin. (diakses pada tanggal 27
April 2017)
 013. Teknologi Tekstil. Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung.
 Soeprjono., dkk., Serat-serat Tekstil, Institut Teknologi Tekstil., 1976. (diakses pada
tanggal 27 April 2017)
 Trotman, Dyeing and Chemical Technology of Textile Fibres, 4th edition, A Wiley
Interscience Publication, New York, 1984. (diakses pada tanggal 27 April 2017)
 http://borosh.blogspot.co.id/2014/02/zat-warna-bejana-smk-tekstil-texmaco.html (diakses
pada tanggal 27 April 2017)
 http://minatosandria.blogspot.co.id/2013/01/zat-warna-tekstil.html (diakses pada tanggal
27 April 2017)

Anda mungkin juga menyukai