Anda di halaman 1dari 24

Eksposur Draf

Standar Penilaian Indonesia 302


(SPI 302)
Penilaian Properti Agri

Dipublikasikan tanggal : 14 November 2017

Masukan dan/atau tanggapan atas Eksposur Draft SPI 302 ini diharapkan
selambatnya tanggal 14 Februari 2018 dapat diterima secara tertulis ke KPSPI –
MAPPI melalui email: info@kpspi.or.id atau dikirim langsung ke sekretariat MAPPI,
jalan Kalibata Raya, No. 11-12E, Jakarta 12740; Fax No. 021-7949081

Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI)


Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (KPSPI)
Jl. Kalibata Raya No. 11-12E, Jakarta Selatan 12740
Telp : 62 21 7949079 – 79181706;Fax : 62 21 7949081
Email : mappi@cbn.net.id;Website : http://www.mappi.or.id

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) -1-


Pertanyaan dan Masukan

Indonesia merupakan negara yang termasuk kaya dengan sumber daya ekonomi yang
berasal dari kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian yang tercakup dalam suatu usaha
apakah dijalankan oleh entitas besar maupun entitas kecil dapat memiliki variasi dari
kegiatan dalam dua sektor utama, terdiri dari sektor perkebunan dan peternakan. Kedua
sektor utama dimaksud sangat relevan berhubungan dengan kebutuhan penilaian dalam
menentukan nilai asetnya untuk keperluan pendanaan atau pelaparan keuangan.

Penilaian Properti Agri termasuk yang diatur dalam standar khusus dan mencoba
mengatur supaya Penilai dapat berpraktek secara benar dan meyakinkan. Sehubungan
dengan hal tersebut, KPSPI telah mempersiapkan eksposur draft SPI 302 yang merupakan
standar revisi dari standar yang telah berlaku sebelumnya sejak tahun 2007. Dalam
pemenuhan penyempurnaan, KPSPI mengundang semua pemangku kepentingan dapat
memberikan tanggapan dan komentar terhadap beberapa pertanyaan yang disebutkan
di bawah ini.

1. SPI 303 mengambil judul Penilaian Properti Agri. Apakah anda setuju bila SPI ini
mencakup judul Penilaian Properti Agri? Bila tidak setuju berikan alasan dan
usulannya.

2. SPI 302 yang mengatur Properti Agri yang dapat diartikan pengembangan usaha
pertanian yang terdiri dari usaha budidaya tanaman dan peternakan. Apakah
menurut anda perikanan yang dibudidayakan secara komersial seperti budidaya
perikanan darat atau hasil perikanan lainnya dapat termasuk bagian dari Properti
Agri?

3. Seluruh pendekatan penilaian sepanjang sesuai dapat diterapkan untuk penilaian


Properti Agri. Dalam pemilihan pendekatan penilaian, Penilai harus mengikuti hirarki
penggunaan pendekatan penilaian yang didahului dengan pendekatan pasar,
pendekatan pendapatan dan pendekatan biaya. Pemilihan satu atau lebih dari
ketiga pendekatan tersebut harus disertai dengan alasan. Apakah anda setuju bila
SPI 302 mengatur pemilihan pendekatan penilaian dengan hirarki yang dimaksud
serta perlunya pemberian alasan?
4. Untuk tujuan tertentu, hasil penilaian atas Properti Agri disusun secara terinci
berdasarkan masing-masing jenis aset yang melingkupi aset secara keseluruhan.
Misalnya untuk keperluan perbankan dimintakan adanya pemisahan nilai tanah,
tanaman, bangunan dan aset lainnya secara individual. Apa pendapat Anda dengan
adanya permintaan tersebut?

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) -2-


5. Bila tidak ditentukan lain (seperti untuk laporan keuangan), penilaian tanaman harus
dilihat dari satu kesatuan nilai antara tanaman berikut lahannya (tanah). Apakah
Anda setuju dengan pernyataan tersebut? Bila tidak berikan alasannya.

6. Lahan atau tanah perkebunan yang masih belum tertanam (tanah kosong) atau telah
tertanam namun ingin dipisah, penilaiannya dapat dilakukan dengan metode
perbandingan data pasar dan/atau pendekatan pendapatan dengan metode DCF
dengan teknik penyisaan tanah (land residual) atau teknik pengembangan lahan (land
development). Apa pendapat anda bila SPI 302 mengatur lebih teknis (detail)
penggunaan teknik penyisaan tanah atau pengembangan lahan dalam
mengantisipasi penilaian lahan perkebunan?

7. Dikecualikan untuk tujuan bersifat khusus (seperti pelaporan keuangan), suatu


perkebunan yang memiliki sejumlah tanaman yang berumur tua, sehingga
memungkinkan untuk penanaman kembali (replanting). Apakah anda sependapat bila
SPI 302 membenarkan perlakuan penanaman kembali dapat diasumsikan dalam
perhitungan DCF?

8. Penilaian Properti Agri untuk tujuan pelaporan keuangan harus dilihat dalam konteks
standar akuntansi keuangan agrikultur yang berlaku. Berdasarkan PSAK 69 tentang
Agrikultur diatur salah satu aset biologis yang termasuk dapat dikonsumsi adalah
produk agrikultur. Produk agrikultur dari unsur buah akan menjadi perhatian Penilai,
karena buah yang dimaksud dalam posisi titik panen apakah hanya buah yang siap
panen pada tanggala penilaian dan termasuk sisa buah yang tersedia dipohon yang
dapat dipanen. Apakah anda setuju apabila buah yang akan dinilai bukan hanya
buah yang siap untuk dipanen namun termasuk sisa buah yang akan dipanen?

9. Untuk mendapatkan indikasi Nilai Wajar pada tanggal penilaian, proyeksi arus kas
bersih perlu dilakukan proses diskonto pada tingkat diskon (discount rate) tertentu
dengan memperhatikan tingkat bunga bebas risiko yang wajar. Apakah Anda setuju
bila tingkat diskonto yang digunakan dalam DCF untuk objek produk agrikultur
sama dengan tingkat bunga bebas risiko (risk free rate)? Bila anda tidak setuju
berikan alasan dan usulannya.

10. Di Indonesia hak atas tanah yang berhubungan dengan budidaya,


kepemilikan/penguasaan dapat dibuktikan dengan Hak Guna Usaha (HGU), dimana
hak ini umumnya dimiliki suatu badan usaha seperti berbadan hukum perseroan. HGU
yang melekat dengan kepemilkan badan usaha bila dipindah tangankan haknya,
akan selalu berhubungan transaksi usaha atau perusahaan. Apakah anda setuju bila
Nilai Pasar atau Nilai Wajar suatu perkebunan selalu dilihat dari suatus transaksi
hipotesis usaha ketimbang transaksi aset tetap? berikan alasannya.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) -3-


Eksposur Draf
Standar Penilaian Indonesia 302
(SPI 302)
Penilaian Properti Agri
Standar ini hendaknya dibaca dalam konteks sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam
Pendahuluan maupun dalam Konsep dan Prinsip Umum Penilaian

1.0 Pendahuluan

1.1 Salah satu sektor yang terkait pengembangan atas tanah adalah sektor
Pertanian (Agri). Sektor ini pada umumnya menghasilkan beberapa
komoditi pertanian yang merupakan aset bagi suatu entitas dan secara
bersamaan turut mendukung sistem perekonomian Negara.
1.2 Tanah yang dikhususkan untuk penggunaan lahan pertanian menjadi
objek jasa penilaian untuk berbagai alasan termasuk pengalihan hak
kepemilikan individu dan publik, kepentingan perpajakan, kepentingan
penjaminan utang, kepentingan laporan keuangan dan kepentingan
lainnya. Penilaian yang handal atas suatu lahan (bidang tanah) menjadi
penting dalam meyakinkan kepentingan permodalan yang diperlukan
agar dapat mendukung kelangsungan ekonomi, mempromosikan
produktifitas penggunaan tanah, menjaga kepercayaan dari pasar
modal (capital market) dan untuk memenuhi kebutuhan pelaporan
keuangan secara umum.
1.3 Penyediaan jasa penilaian yang handal dan akurat untuk jasa penilaian
properti agri membutuhkan Penilai yang memiliki pengetahuan dan
pemahaman terhadap elemen fisik dan ekonomi yang mempengaruhi
produktifitas lahan pertanian dan nilai komoditi yang dihasilkannya.
1.4 Karakteristik fisik dan ekonomi lahan pertanian berbeda dengan
lahan/tanah non pertanian atau lingkungan pemukiman dalam tingkat
kepentingannya.
1.4.1 Tanah (soils) di lingkungan pemukiman harus sesuai untuk
mendukung pengembangan di atasnya. Pada properti agri,
karateristik dan tipe tanah merupakan elemen pokok dalam
menghasilkan produksi, memiliki keragaman kelas lahan dalam
mendukung sejumlah komoditi tertentu atau suatu kelompok
komoditi.
1.4.2 Dalam lingkungan pemukiman, penggunaan ekonomi atas
properti dan atau fasilitas yang diberikan mungkin tidak

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) -4-


berobah dari periode ke periode serta mungkin diikat melalui
pengaturan perjanjian atau pemberian hak yang tak terbatas.
Pada properti agri, penggunaan yang sama mungkin diperluas
untuk jangka waktu yang lama (seperti perkebunan menghasilkan
produk setelah 25 tahun). Untuk hal lainnya, keuntungan yang
diperoleh secara ekonomi dapat bervariasi dari tahun ke tahun,
tergantung komoditi yang diproduksi.
1.4.3 Pendapatan atas Properti Agri akan bervariasi dari tahun ke
tahun, tergantung pada tipe komoditi atau budidaya yang
diproduksi serta tergantung kepada siklus pasarnya.
1.5 Properti Perkebunan yang dikenal selama ini merupakan bagian dari
properti agri dengan melihat kareteristik propertinya secara khusus. Lihat
Lampiran A: Penilaian Properti Perkebunan dan Lampiran B: Penilaian
Aset Biologis Untuk Keperluan Pelaporan Keuangan
2.0 Ruang Lingkup
2.1 Standar ini membahas dan mengatur hal-hal mengenai penilaian Properti
Agri untuk berbagai keperluan.
2.2 Standar ini juga terkait dengan beberapa standar teknis lain,
diantaranya:
SPI 300 - Penilaian Real Properti
SPI 310 - Penilaian Personal Properti
SPI 303 - Penilaian Properti dengan Bisnis Khusus
SPI 362 - Inspeksi dan Hal yang Dipertimbangka.
2.3 Secara umum standar ini mengatur :
2.3.1 Karakteristik nilai yang dihubungkan dengan Properti Agri
(Pertanian), dan
2.3.2 Persyaratan dasar penilaian dan aplikasi penggunaannya dalam
penilaian Properti Agri.

3.0 Definisi
Penggunaan usaha pertanian pada suatu Properti dapat dikelompokkan menjadi
beberapa bagian secara garis besar, dengan definisi sebagai berikut :
3.1 Properti Agri (Agricultural Property) adalah seluruh hak, kepentingan dan
manfaat yang berkaitan dengan tanah dan/atau pengembangan
kegiatan pertanian yang ada di atasnya.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) -5-


3.2 Aset non Tanaman (Non Planting Aset) adalah sarana dan prasarana
serta fasilitas penunjang lainnya termasuk unit pengolahan (bila ada)
yang merupakan bagian yang tidak terlepas dari satu kesatuan aset
pada suatu entitas pertanian. Lihat juga Properti Perkebunan (Plantation
Property) dan Aset Tanaman (Planting Aset).
3.3 Aset Tanaman (Planting Aset) yang dimaksud adalah tanaman yang
dibudidayakan secara komersial pada suatu lahan tertentu dan dikelola
berdasarkan teknis budidaya yang berlaku umum pada suatu tempat
tertentu. Lihat juga Properti Perkebunan (Plantation Property), Tanaman
Tahunan (Perennial Planting) dan Aset Biologis (Biological Asset).
3.4 Fasilitas Peternakan Khusus (Specialised Livestock) . Lihat juga Peternakan
Penghasil Susu (Dairy Farms), Lahan Pengembalan Ternak (Livestock
Ranch/stations).
3.5 Hak Pengusahaan Hutan Industri (Forestry/Timberland). Lahan yang
dikembangkan untuk pertumbuhan tanaman hutan yang secara periodik
dipanen melebihi periode pertumbuhannya (5 atau 10 tahun atau lebih).
Pertimbangan sebagai Properti Agri karena properti ini dapat
memproduksi kayu (log), walaupun membutuhkan periode pertumbuhan
jangka panjang. Lihat juga Tanaman Tahunan (Perennial Planting).
Beberapa komoditi merupakan tanaman tahunan (annual crops) yang
dibudidaya pada suatu lahan melebihi satu siklus tanam selama 12
bulan, per ketetapan kontrak atau dalam kondisi dimana pasar tidak
mendukung. Tanaman ini dapat bertahan untuk lebih dari setahun setelah
masa panen tetapi dipertimbangkan untuk menjadi tanaman yang tetap.
Lihat juga Tanah Irigasi (Irrigated Land), Tanaman Tahunan (Perennial
Planting).
3.6 Lahan Pengembalan Ternak (Livestock Ranches/Stations). Properti Agri
yang digunakan untuk mengembangkan dan memberi makan hewan
ternak seperti sapi, babi, kambing, kuda, atau kombinasinya.
Penggunaan yang sebenarnya dari properti ini dapat terdiri beraneka
ragam bentuk. Hewan ternak dapat divaritaskan, dikembangbiakan dan
dijual selama masa operasional. Hewan ternak yang masih muda mungkin
dibutuhkan dari luar dan kemudian dikembangkan di dalam. Hewan
ternak dapat dikembangkan untuk dikonsumsi atau untuk
pemuliaan/pembibitan.
Makanan hewan dapat diproduksi dari properti sendiri, impor, atau
disuplai dari keduanya. Properti yang digunakan untuk budidaya dan
pensuplai makanan ternak membutuhkan modal investasi yang cukup
signifikan dalam struktur pengembangannya (kandang, naungan, gudang

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) -6-


dan pagar) dan mungkin atau tidak mungkin didepresiasikan tergantung
dari ketentuan yang berlaku.
3.7 Lahan Pertanian (Cropping) Farms). Properti Agri yang digunakan untuk
mengembangkan suatu komoditi yang dapat dipanen dalam siklus 12
bulan (satu tahun). Properti yang digunakan untuk tanaman budidaya
setahun (musiman) mungkin dapat tumbuh lebih dari satu jenis komoditi
pada tahun yang sama, dengan atau tidak menggunakan irigasi untuk
memproduksi tanamannya. Contohnya adalah tanaman palawija atau
kelompok hortikultur.
3.8 Peternakan Penghasil Susu (Dairy Farms). Properti Agri yang digunakan
untuk memproduksi susu dari sapi atau produk susu ternak lainnya.
Properti ini umumnya memiliki aset pengembangan yang intensif (gudang
penyimpanan, tanki susu, silo) dan peralatan (peralatan penyimpanan,
mesin produksi). Pakan ternak mungkin dapat diproduksi dari properti
langsung atau diimpor atau disuplai dari keduanya.
3.9 Properti dengan Penggunaan Khusus (Specialised, or Special Purpose
Properties). Properti Agri tidak hanya secara khusus memproduksi, tetapi
digunakan juga untuk sarana pengangkutan, unit pengolahan atau
gudang hasil panen. Properti-properti ini secara terus menerus
membutuhkan areal lahan yang cukup (lebih kecil) dimana dibangun dan
disediakan bangunan permanen (tempat pengumpul hasil) dan
disediakan peralatan (mesin pendukung pertanian). Properti ini juga
dapat diklasifikasi untuk penggunaan secara khusus berdasarkan
komoditi yang dibudidayakan. Misalnya truk/kendaraan pengangkut,
pertenakan ayam, pemuliaan dan pembudidayaan bunga atau tanaman
hortikultur serta pengembalaan dan pelatihan kuda.
3.10 Properti Perkebunan (Plantation Property) adalah tanah dalam satuan
lahan yang diusahakan pada luasan tertentu, dengan satu atau lebih dari
satu komoditas tanaman yang dibudidayakan, sarana dan prasarana
serta fasilitas penunjang lainnya yang dikelola dengan standar
manajemen perkebunan yang berlaku umum. Lihat juga Tanaman Tahunan
(Perennial Planting).
3.11 Tanah Irigasi (Irrigated Land). Tanah yang digunakan untuk budidaya
produksi komoditi pertanian untuk waktu yang lama dan yang
membutuhkan air selain dari air hujan dan dapat disebut sebagai Lahan
Irigasi. Properti yang kekurangan sumber air selain dari hujan alam
merujuk kepada properti pertanian lahan kering.
3.12 Tanaman Tahunan (Perennial Plantings). Tanaman budidaya yang
memiliki siklus pertumbuhan lebih dari satu tahun atau satu siklus
budidaya. Contohnya adalah tanaman tahunan atau tanaman keras

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) -7-


seperti kelapa sawit dan karet serta tanaman tahunan lainnya. Tipe
properti ini membutuhkan modal investasi yang signifikan dalam
pembangunan aset tanamannya dan tanaman tersebut dapat
didepresiasi. Lihat juga Hak Pengusahaan Hutan Industri
(Forestry/Timberland).

Definisi berdasarkan International Accounting Standard (IAS) 41 atau


Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 69:

3.13 Aktivitas agrikultur (agricultural activity), adalah manajemen tranformasi


biologis dan panen aset biologis oleh entitas untuk dijual atau untuk
dikonversi menjadi produk agrikultur atau menjadi aset biologis
tambahan.
3.14 Aset biologis (biological asset), adalah hewan atau tanaman hidup.
3.15 Kelompok aset biologis (group of biological asset), adalah
penggabungan dari hewan atau tanaman hidup yang serupa.
3.16 Panen (harvest), adalah pelepasan produk dari aset biologis atau
pemberhentian proses kehidupan aset biologis.
3.17 Produk agrikultur (agricultural produce), adalah produk yang dipanen dari
aset biologis.
3.18 Tanaman produktif (bearer plant) adalah tanaman hidup yang:
a. digunakan dalam produksi atau penyediaan produk agrikultur;
b. diharapkan untuk menghasilkan produk untuk jangka waktu lebih dari
satu periode; dan
c. memiliki kemungkinan yang sangat jarang untuk dijual sebagai
produk agrikultur kecuali untuk penjualan sisa yang insidental
(incidental scrap).
3.19 Transportasi biologis (biological transformation), terdiri dari proses
pertumbuhan degenerasi, produksi dan prokreasi yang mengakibatkan
perubahan kualitatif atau kuantitatif aset biologis.

4.0 Hubungan Dengan Standar Akuntansi


Lihat Lampiran B pada standar ini

5.0 Panduan Teknis


5.1 Berbagai jenis komoditi dengan berbagai bentuk produksi dan teknik
budidayanya menjadi salah satu ciri dari Properti Agri. Pada umumnya,
Properti Agri terdiri dari kombinasi atau gabungan aset seperti tanah,
tanaman, bangunan, peralatan dan fasilitas lainnya. Penilai harus
menerapkan Nilai Pasar atau nilai selain Nilai Pasar sesuai dengan
tujuan penilaian sebagaimana yang diatur dalam SPI 103.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) -8-


5.4 Elemen bukan Realty
5.4.1 Bila pada penilaian Properti Agri yang mungkin menyertakan
elemen bukan realty (elemen yang tidak terikat ke tanah), seperti
ternak, hasil pertanian dan peralatan lainnya, maka Penilai
harus memahami kapan tanaman atau komoditi lain tersebut
berupa Real Properti dan kapan akan menjadi Personal
Properti.
Contohnya, kayu (log) adalah bagian dari Real Properti sewaktu
tumbuh sebagai tanaman, tetapi akan menjadi Personal Properti
bila telah ditebang. Demikian juga dengan bibit kelapa sawit
yang masih dibibitkan di polibag akan berbentuk Personal
Properti, namun setelah ditanam secara permanen akan menjadi
Real Properti.
5.5 Penilai harus memahami hal-hal yang bersifat mendasar dari
kareteristik Properti Agri seperti, teknis budidaya, produktifitas dan
pasar dari komoditi yang diusahakan berikut siklus pasarnya.
5.5.1 Pada penilaian Properti Agri, aspek fisik dan lingkungan atas
properti adalah penting untuk diketahui. Hal ini termasuk iklim,
jenis tanah (soil type), kemampuan produksinya, ada tidaknya
ketersediaan air untuk irigrasi dan ketersedian bahan
pakan/makanan untuk peternakan.
Faktor-faktor eksternal harus dipertimbangkan termasuk adanya
ketersediaan fasilitas pendukung seperti gudang penyimpanan,
unit pengolahan (diluar yang memiliki unit pengolahan) dan
sistem transportasi.
Hal yang terpenting atas faktor-faktor tersebut akan bervariasi
dan tergantung kepada jenis usaha pertanian yang dijalankan.
Penilai harus mempertimbangkan secara bersamaan pengaruh
faktor internal dan eksternal dalam menentukan jenis usaha
pertanian yang mana sesuai dan terbaik bagi properti tersebut.
5.5.2 Untuk menentukan Nilai Pasar, analisis Penggunaan Tertinggi dan
Terbaik atas Properti Agri selalu terikat kepada 1) kepastian
penggunaan Properti Agri yang ada saat ini terus berlanjut.
Terutama ketika muncul penggunaan tanah lainnya seperti
pengembangan lahan untuk perluasan kota, mungkin lebih sesuai,
dan 2) menentukan apakah penggunaan tanah untuk kepentingan
Agri khususnya akan terus dilanjutkan.
5.5.3 Bila Penilai diinstruksikan untuk mengabaikan penggunaan selain
penggunaan tanah yang ada sekarang, maka hasil penilaian

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) -9-


tidak akan menjadi perlu untuk memberikan Nilai Pasar atas
properti, atau perlu menyatakan premis terhadap Nilai Pasar.
Hal ini agar sepenuhnya diungkapkan dalam laporan penilaian.
5.6 Estimasi pendapatan yang stabil dari Properti Agri harus didasarkan
kepada pola produksi, siklus pasar dan wilayah pasar dimana komoditi
tersebut berada.
5.6.1 Arus Kas atas Properti Agri merupakan fungsi dari siklus produksi
dan siklus pasar komoditi. Penilai harus memahami pengaruh
siklus ini terhadap arus kas. Penilaian Properti Agri harus
didasarkan kepada kestabilan pendapatan secara konsisten
dengan siklus produksi yang biasa diterapkan di wilayah
dimana Properti berada.
5.6.2 Pendapatan atas suatu komoditi tergantung dari harga pasar
yang terjadi. Tatkala pasar komoditi dari Properti Agri
menghadapi kondisi tidak stabil seperti adanya kenaikan atau
turunnya harga secara berlebihan, maka Penilai harus
mempertimbangkan pengaruhnya secara signifikan terhadap
nilai, serta diungkapkan.
5.7 Penilai akan menghadapi aset properti yang lebih dari satu komponen
fisik atau jenis komoditi (produk) yang dibudidayakan, untuk itu Penilai
harus secara jelas menyatakan apakah nilai setiap komponen atau
penggunaannya adalah nilai atas kontribusinya sebagai bagian dari
keseluruhan properti yang ada atau nilai yang terpisah sebagai
komponen yang berdiri sendiri.
5.7.1 Komponen yang beraneka ragam dari keseluruhan Properti
mungkin mempunyai nilai sebagai bagian terpisah yang lebih
besar atau lebih kecil dari pada nilai sebagai bagian dari
keseluruhan aset. Penilai harus mempertimbangkan apakah setiap
komponen akan dinilai secara tersendiri atau sebagai bagian
dari keseluruhan.
5.7.2 Properti Agri mungkin dikelola untuk memproduksi atau
membudidayakan lebih dari satu jenis komoditi berdasarkan
kondisi fisik yang berbeda pada properti atau berdasarkan
keputusan manajemen. Dalam penilaian Properti Agri dimana
tanaman atau komoditi dapat lebih dari satu jenis komoditi yang
dikembangkan dan dipanen pada waktu yang berbeda, maka
nilai setiap jenis komoditi harus didasarkan pada kontribusinya
pada keseluruhan nilai Properti dan bukan nilai yang berdiri
sendiri.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 10 -


5.7.3 Penggunaan lahan budidaya pertanian pada suatu properti
mungkin membutuhkan pengembangan aset non tanaman (aset
non Biologis) seperti fasilitas bangunan kantor, bangunan
perumahan, bangunan tempat penyimpanan (gudang), mesin dan
peralatan serta sarana pelengkap.
Pengembangan aset non tanaman merupakan aset pendukung
bagi aset utama (aset tanaman/Biologis) dan sebagai bagian
yang tidak terlepas dari kegiatan operasional Properti. Nilai
aset non Biologis seharusnya didasarkan kepada kontribusinya
terhadap total nilai Properti dan nilai ini tergantung atas struktur
biayanya atau ukuran lain.
Secara khusus pengembangan aset non tanaman/Biologis
memiliki Nilai dalam Penggunaan, seperti kontribusinya terhadap
nilai bisnis. Dalam situasi demikian dimana alokasi nilai atas aset
mungkin diperlukan, namun alokasi tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai indikasi nilai tersendiri dari pengembangan
aset yang terpisah.
5.7.4 Properti Agri yang memiliki unit pengolahan hasil produksi
apabila memiliki keterkaitan langsung terhadap properti
utamanya seperti tanaman yang menghasilkan, seharusnya
dilihat sebagai bagian dari properti keseluruhan meskipun
adakalanya dinilai secara tersendiri maupun terintegrasi dengan
properti utamanya. Penilai perlu memberikan perhatian kepada
nilai properti tersebut dan perlu diungkapkan.
5.8 Dalam penyusunan Lingkup Penugasan, Penilai harus menggunakan
SPI 103 dengan memperhatikan:
5.8.1 Identifikasi status Penilai; Penilai harus memastikan dirinya
kompeten dalam melakukan penilaian Properti Agri. Dalam hal
tertentu Penilai memiliki keahlian terbatas dalam mendukung
penilaian Properti Agri, maka Penilai sebagai penanggung jawab
penugasan harus menggunakan tenaga ahli dari luar dan hal ini
perlu diinformasikan dalam Lingkup Penugasan berikut
pernyataan lainnya sesuai dengan SPI yang berlaku.
5.8.2 Maksud dan Tujuan Penilaian; Penilaian Properti Agri dapat
terikat dengan berbagai keperluan antara lain untuk kepentingan
penjaminan utang dan pelaporan keuangan. Penilai harus
mengungkapkan dengan jelas maksud dan tujuan penilaian sesuai
dengan kebutuhan pemberi tugas.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 11 -


5.8.3 Dasar nilai; Penggunaan dasar nilai harus sejalan dengan tujuan
penilaian sebagaimana diatur dalam SPI 103. Pengungkapan
dasar nilai dalam Lingkup Penugasan harus didefinisikan sesuai
SPI.
5.8.4 Objek penilaian; Luasnya cakupan yang termasuk dalam Properti
Agri mengharuskan Penilai untuk dapat memastikan objek
penilaian yang akan dinilai sebagaimana yang ditentukan oleh
pemberi tugas. Pengungkapan jenis, volume dan lokasi objek
penilaian dalam LIngkup Penugasan harus dapat dijelaskan,
sehingga hal ini menjadi kesepakatan antara pemberi tugas dan
Penilai.
5.8.5 Tingkat kedalaman investigasi; Terdapat suatu kemungkinan
Penilai akan mempunyai keterbatasan dalam melakukan
pemeriksaan atau verifikasi atas objek penilaian karena luasnya
wilayah objek penilaian dan/atau karena jumlahnya dalam
satuan yang banyak. Penilai harus mengantisipasi kondisi tersebut
dengan menyatakannya dalam tingkat kedalaman investigasi
secara jelas. Hal-hal yang membatasi dalam pelaksanaan
penugasan, perlu mendapat perhatian Penilai untuk dinyatakan di
Lingkup Penugasan dan dikaitkan dengan asumsi khusus sebagai
bagian yang akan menjadi kesepakatan dengan pemberi tugas.
5.8.5.1 Dalam hal Penilai memperoleh penugasan penilaian
dalam kondisi sebagaimana dimaksud pada 5.8.5, maka
Penilai harus menyatakan keterbatasan, kebutuhan dan
keperluan untuk melakukan investigasi dan melengkapi
data yang perlu diverifikasi, termasuk perlunya
pendataan secara sampling.
5.8.6 Asumsi dan asumsi khusus; Seluruh asumsi dan / atau asumsi khusus
yang dicantumkan dalam pelaporan penilaian harus sesuai
dengan yang dicantumkan dalam Lingkup Penugasan. Asumsi
dan/atau asumsi khusus merupakan bagian dari penentuan
batasan tingkat kedalaman investigasi.
5.9 Dalam pelaksanaan proses Implementasi, Penilai harus menerapkan
SPI 104 dengan memperhatikan:
5.9.1 Investigasi yang dilakukan harus merujuk kepada Lingkup
Penugasan terkait pengaturan tingkat kedalaman investigasi dan
asumsi atau asumsi khusus yang digunakan.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 12 -


5.9.2 Penilaian Properti Agri syarat dengan kebutuhan data yang
spesifik. Penilai perlu memastikan kepada pemberi tugas atas
kebutuhan data dan informasi yang diperlukan.
5.9.3 Seluruh pendekatan penilaian sepanjang sesuai dapat diterapkan
untuk penilaian Properti Agri. Dalam hal pendekatan yang
digunakan lebih dari satu pendekatan, maka dibutuhkan proses
rekonsiliasi nilai untuk menghasilkan kesimpulan penilaian. Setiap
penggunaan pendekatan dan/atau metode penilaian harus
disertakan alasan penggunaannya.
5.10 Penilai harus menggunakan SPI 105 tentang Pelaporan Penilaian dan
petunjuk teknis terkait lainnya.

7.0 Kutipan dan Tanggal Berlaku


7.1 Standar ini dapat dikutip sebagai SPI 302 - Penilaian Properti
Agri.
7.2 SPI ini ditetapkan pada tanggal ............ dan mulai berlaku secara
efektif pada .....

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 13 -


Lampiran A: Penilaian Properti Perkebunan

1. Tanaman merupakan unsur utama pada properti perkebunan yang memberikan


manfaat dengan kontribusi terbesar terhadap penciptaan nilai, selain adanya
properti pendukung lainnya seperti tanah, bangunan, sarana pelengkap, mesin dan
peralatan, kendaraan bermotor dan alat angkut lainnya.
2. Dilihat dari sifat dan karateristiknya, properti perkebunan (agriculture property)
termasuk kepada properti yang menghasilkan (income producing property) dimana
dasar asetnya membutuhkan areal lahan yang relatip luas, dipengaruhi oleh kualitas
lahan tertentu dengan unsur budidaya tertentu pula. Dengan demikian adalah sangat
penting bagi seorang Penilai untuk memahami dan mengetahui sifat-sifat khusus dari
properti tersebut dan selalu memperhatikan dasar dan tujuan penilaian yang akan
dilakukan.
3. Perkebunan sebagai salah satu unit usaha, secara operasional ditentukan oleh
ketentuan dan peraturan yang berbeda dengan properti lainnya. Oleh karena unsur
legalitas (perizinan) merupakan unsur utama yang perlu diperhatikan dalam
menghasilkan Nilai, maka seorang Penilai harus mengetahui dengan benar ketentuan-
ketuntuan yang berlaku dan konteks relevansinya terhadap pelaksanaan pekerjaan
penilaian.
4. Properti Perkebunan adalah tanah dalam satuan lahan yang diusahakan pada
luasan tertentu, dengan satu atau lebih dari satu komoditas tanaman yang
dibudidayakan, sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya yang
dikelola dengan standar manajemen perkebunan yang berlaku umum.
5. Aset Tanaman yang dimaksud adalah tanaman yang dibudidayakan secara
komersial pada suatu lahan tertentu dan dikelola berdasarkan teknis budidaya yang
berlaku umum pada suatu tempat tertentu.
6. Aset non Tanaman adalah sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya
termasuk unit pengolahan (bila ada) yang merupakan bagian yang tidak terlepas
dari satu kesatuan aset pada suatu entitas pertanian.
7. Beberapa sifat khusus tanaman yang harus diketahui :
a. Tanaman sebagai bagian dari aset perkebunan dapat dilihat dari status
tanaman meliputi ; Bibit, Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan Tanaman
Menghasilkan (TM) dengan jenis dan varitas tanaman yang sama maupun
tidak sama.
b. Umur tanaman adalah masa waktu tanaman dapat dibudidayakan dimulai
dari penanaman hingga akhir masa produktif (pada umumnya satu siklus).
Sedangkan umur produktif tanaman disebut juga umur ekonomis tanaman
yang dihitung mulai tanaman berproduksi hingga akhir masa produktif
tanaman. Umur produktif atau umur ekonomis tanaman dapat disebut periode

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 14 -


tanaman menghasilkan (TM). Sedangkan periode tanaman belum
menghasilkan (dimulai dari penanaman) sampai dengan mulai menghasilkan
disebut periode tanam belum menghasilkan (TBM).
8. Oleh karena aset perkebunan dinilai sebagai suatu properti yang dapat
menghasilkan pendapatan, maka nilai perkebunan secara keseluruhan harus dilihat
dalam konteks satu kesatuan aset yang sedang berjalan, kecuali dipersyaratkan lain,
seperti penilaian untuk kepentingan pelaporan keuangan.
9. Penilai harus dapat membedakan dan memisahkan unsur-unsur yang termasuk dalam
kategori aset tetap (tangible asset) dengan aset tidak tetap (intangible asset). Penilai
seharusnya dapat memisahkan antara perkebunan sebagai aset tetap dengan
perkebunan sebagai entitas usaha. Karena perkebunan sebagai aset tetap dapat
dilihat sebagai aset individual sehingga dalam memproyeksikan pendapatannya
sangat tergantung dengan masa produksinya. Sedangkan perkebunan sebagai
entitas usaha atau perusahaan selalu dilihat sebagaian bagian bisnis yang berjalan
(going concern) secara terus menerus.
10. Pola pengembangan perkebunan di Indonesia memiliki beberapa ciri, dimana pada
masa tahapan pembangunan seperti adanya pola perkebunan inti, pola bapak
angkat dan perkebunan plasma, memiliki konsekwensi terhadap penguasaan aset
secara bersama atau masing-masing dari aset seperti tanah dan tanaman berikut
kelengkapan lainnya. Untuk hal demikian, Penilai harus teliti dan memahami unsur-
unsur kepemilikan serta batasan tanggung jawab dari masing-masing pola
pengembangan dan kepemilikan yang ada.
11. Pada perkebunan tertentu, seorang Penilai harus dapat membedakan antara
tanaman yang dikategorikan sebagai tanaman pokok (tanaman utama) dan tanaman
selingan (tumpang sari), dimana adakalanya tanaman yang bukan tanaman pokok
dapat mempengaruhi keberadaan tanaman utamanya secara signifikan.
12. Setiap jenis dan varitas tanaman dapat mengalami berbagai jenis penyakit dan
gangguan atau hama tanaman dengan berbagai tingkat serangan serta
membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Dalam hal ini, Penilai harus
memperhatikan apakah kondisi tanaman masih ekonomis untuk dipertahankan dan
dapat dipanen hasilnya.
13. Standar umur dan proyeksi produksi suatu tanaman dapat ditentukan oleh masing-
masing jenis dan varietas tanaman, asal bibit (bahan tanam) yang digunakan.
Informasi ini seharusnya didukung oleh data referensi dari Lembaga/Pusat Penelitian
atau Perusahaan yang mengeluarkan sertifikasi Bibit yang digunakan atau dari
sumber-sumber yang dapat dipercaya dan telah diakui secara umum.
14. Standar karateristik penggunaan lahan dan teknis budidaya untuk masing-masing
jenis tanaman harus didasari kepada standar normal yang berlaku dan ditentukan
oleh lembaga atau instansi yang diakui secara umum.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 15 -


15. Untuk tujuan tertentu, hasil penilaian diminta untuk dirinci berdasarkan masing-masing
unsur aset, apakah aset tetap tanaman (untuk keperluan akuntasi dikenal dengan aset
biologis dapat terdiri dari produk agrikultur dan tanaman produktif) atau non
tanaman. Dasar penilaian yang digunakan disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan
penilaian, apakah Nilai Pasar atau nilai selain Nilai Pasar. Penilai dapat
memberikan pendapat secara hati-hati dan objektif dengan tetap memperhatikan
prosedur penilaian dan asumsi-asumsi yang dapat dipertanggung jawabkan.
16. Pendekatan Penilaian yang digunakan, dan yang perlu diperhatikan dalam lingkup
penilaian perkebunan :
a. Secara umum penilaian perkebunan dapat dinilai dengan menggunakan
Pendekatan Pasar, Pendekatan Pendapatan dan/atau Pendekatan Biaya.
b. Penilaian aset tetap non tanaman dapat dinilai dengan menggunakan
metode perbandingan data pasar dan/atau Pendekatan Biaya dengan
Metode Biaya Pengganti Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost/ DRC)
sebagai komponen pembentuk nilai properti secara keseluruhan.
c. Nilai tanaman pada umumnya disimpulkan dari nilai keseluruhan properti
(menggunakan Pendekatan Pendapatan dengan metode DCF) melalui proses
ekstraksi (pemisahan). Penilai harus memperhatikan konstribusi setiap jenis
aset non tanaman yang ikut menunjang terbentuknya nilai perkebunan. IUntuk
sampai pada nilai tanaman, proses ekstraksi hendaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan konstribusi aset non tanaman dalam jumlah yang wajar.
Contoh, pada perkebunan tertentu terdapat seperti aset non tanaman seperti
perumahan, alat berat dan aset lainnya tidak beroperasi secara langsung
memberikan kontribusi terhadap kegiatan budidaya pertanian yang
bersangkutan, namun keberadaan aset non tanaman tersebut diperuntukan
untuk kepentingan mitra perkebunan (plasma) atau group perusahaan
lainnya.
d. Tanaman tahunan umumnya memiliki siklus produksi tahunan yang tidak tetap.
Oleh sebab itu, penilaian dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan
seharusnya menggunakan metode Arus Kas Terdiskonto (Discounted Cash
Flow/DCF) sebagai dasar perkiraan dari nilai yang diharapkan. Proyeksi
untuk mendapatkan pendapatan harus didasari asumsi proyeksi produksi dari
komoditi yang dihasilkan. Dimana sisa umur ekonomis dari tanaman harus
disesuaikan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi yang
dapat dilihat dari aspek teknis maupun non teknis.
e. Pengambilan asumsi pendapatan diusahakan tidak dipengaruhi oleh
kemampuan manajemen dalam memasarkan produknya. Bila dasar
penetapan pendapatan didasarkan kepada produk hasil pengolahan pabrik
yang dimiliki perkebunan, maka Penilai harus benar-benar yakin dan teliti
apakah aktivitas pabrik telah mempengaruhi nilai tanaman secara signifikan.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 16 -


Contohnya, perbandingan kapasitas pabrik dengan luas areal tertanam tidak
seimbang maka nilai tambah pabrik yang dipasok dari tanaman di luar
perkebunan milik sendiri akan sangat mempengaruhi hasil penilaian yang
didapatkan. Bila ketentuan keseimbangan tersebut tidak dapat terpenuhi,
sebaiknya Penilai dapat mengambil penetapan hasil pendapatannya dari
produk yang belum terolah, sepanjang mekanisme pasarnya ada.
f. Perkebunan yang memiliki lebih dari satu komoditi tanaman, penilaiannya
harus memperhatikan karateristik masing-masing tanaman apakah dilihat dari
unsur budidayanya, pasar komoditi, harga, biaya-biaya yang akan
diasumsikan dan tingkat diskonto yang ditetapkan. Bila nilai tanaman yang
dikehendaki dirinci untuk masing-masing jenis tanaman, Penilai harus hati-hati
dan lebih teliti dalam mengasumsikan biaya-biaya langsung terhadap
masing-masing komoditi dan alokasi biaya tidak langsung dari satu kesatuan
operasional perkebunan secara menyeluruh. Seluruh asumsi harga maupun
biaya yang diambil tetap mengacu kepada harga dan biaya setempat
sebagai acuan.
g. Penilai harus mempertimbangkan masa berlaku hak atas tanah sesuai dengan
peraturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam
memproyeksikan periode arus kas yang digunakan dalam metode DCF.
Dalam hal asumsi perpanjangan hak digunakan, maka pencadangan biaya
perpanjangan atau penerbitan hak baru atas hak tanah perkebunan harus
diperhitungkan. Adanya masa perpanjangan atas hak tanah yang
dipertimbangkan dalam periode DCF berjalan dapat berhubungan dengan
masa sisa umur ekonomis tanaman. Sehingga, dengan berakhirnya proyeksi
sisa umur ekonomis tanaman akan terdapat potensi nilai sisa dari hak atas
tanah maupun aset non tanman lainnya (bila ada). Nilai sisa tanah maupun
nisa sisa aset non tanaman lainnya seharusnya diperhitungkan sebagai
pendapatan dari nilai sisa di masa akhir periode proyeksi DCF dimana nilai
sisa dimaksud harus ditentukan secara wajar.
h. Dalam penentuan nilai Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan stock Bibit
sebagai bagian pembentuk nilai perkebunan atau bagian terpisah,
penilaiannya dapat menggunakan metode perbandingan data pasar,
metode DCF, atau pendekatan biaya dengan metode DRC. Penilai harus
memberikan alasan pemilihan salah satu atau lebih dari pendekatan atau
metode penilaian yang dipilih.
i. Bila penilaian tanaman belum menghasilkan (TBM) dinilai menggunakan
metode DCF, maka Penilai harus cermat memperhitungkan sisa biaya
pembangunan yang masih harus dikeluarkan serta mempertimbangkan resiko-
resiko yang akan muncul bila tanaman sudah mulai menghasilkan.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 17 -


j. Penentuan penggunaan tingkat diskonto dalam penerapan DCF harus
mempertimbangkan tingkat risiko yang sesuai dengan objek penilaian
khususnya Properti Agri. Penilai harus memastikan konsistensi penggunaan
asumsi dalam pembentukan tingkat diskonto yang digunakan sesuai dengan
karateristik objek penilaian yang dinilai.
k. Bila tidak ditentukan lain (seperti untuk laporan keuangan), penilaian
tanaman harus dilihat dari satu kesatuan nilai antara tanaman berikut
lahannya (tanah).
l. Lahan atau tanah perkebunan yang masih belum tertanam (tanah kosong)
atau telah tertanam namun ingin dipisah, penilaiannya dapat dilakukan
dengan metode perbandingan data pasar dan/atau pendekatan
pendapatan dengan metode DCF dengan teknik penyisaan tanah (land
residual) atau teknik pengembangan lahan (land development).
m. Untuk tujuan pelaporan keuangan (IAS 41/PSAK 69), aset tanaman dipisah
menjadi tanaman produktif (bearer plant) dan produk agrikultur (agricultural
produce). Dalam menentukan nilai tanaman produktif (tegakan tanaman di
luar produk yang akan dipanen) dengan menggunakan model revaluasi, Nilai
Wajar tanaman produktif diperoleh dari indikasi Nilai Wajar tanaman (lihat
poin 16 butir c) dikurang Nilai Wajar produk agrikultur yang dihasilkan
tanaman pada tanggal penilaian (lihat Lampiran B).
17. Pada perkebunan tertentu, didapat tanaman yang berumur tua atau masa
ekonomisnya tinggal beberapa tahun. Untuk hal demikian, Penilai harus mempelajari
dengan seksama atau mendiskusikan kepada pemberi tugas sesuai dengan tujuan
penilaian, apakah perhitungan DCF-nya perlu memasukkan unsur penanaman kembali
(replanting). Namun demikian, untuk tujuan tertentu, unsur penanaman kembali dari
tanaman tua bagian yang harus diperhitungkan sepanjang jangka waktu atas
legalitas tanah memungkinkan. Penilai harus menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan penanaman kembali tersebut di dalam laporan penilaian.
18. Penilai harus mengungkapkan semua informasi dan temuan di lapangan, terutama
untuk hal-hal yang terkait baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh kepada
nilai perkebunan.
19. Pelaporan Penilaian harus mengikuti SPI 105 dan standar teknis terkait lainnya. Hal-
hal khusus yang harus tercakup dalam laporan penilaian perkebunan antara lain :
a. Deskripsi jelas tentang lokasi perkebunan, baik dari segi jarak, waktu tempuh,
aksesibilitas dan sarana transportasi yang tersedia.
b. Deskripsi perkebunan secara keseluruhan meliputi aset tanaman maupun non
tanaman.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 18 -


c. Karateristik lahan secara umum meliputi ; Iklim (curah hujan, bulan kering dan
sinar matahari), Ketinggian dari permukaan laut, Bentuk daerah dan lereng
(topografi), Kedalaman efektip tanah, Jenis, fisk dan kimia tanah, drainase
dan batuan/krikil dipermukaan dan di dalam tanah.
d. Keadaan tanaman meliputi pembukaan lahan, pembibitan, penanaman,
pemeliharaan tanaman masa TBM maupun TM hingga kegiatan pemungutan
hasil (panen), termasuk hasil panen, gangguan hama dan penyakit.
e. Secara umum hal-hal yang bersifat teknis maupun non teknis yang dijumpai
dan mempengaruhi nilai, harus diungkapkan secara jelas.
f. Aset non tanaman yang terdapat dalam lingkup properti perkebunan, harus
diungkapkan secara jelas dan benar berikut hal-hal di luar keadaan normal
bila dijumpai.
g. Seluruh pendekatan dan atau metode penilaian yang digunakan termasuk
asumsi-asumsi yang dipertimbangkan.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 19 -


Lampiran B: Penilaian Aset Biologis Untuk Keperluan Pelaporan Keuangan
(Produk Agrikultur Berbasis Tanaman)

1. Penilaian Aset Biologis yang diatur dalam standar ini berkaitan untuk keperluan
Pelaporan Keuangan sebagaimana yang diatur dalam IAS 41 atau PSAK 69
dikhususkan kepada produk agrikultur. Beberapa istilah dan definisi terkait Aset
Biologis dapat dilihat pada bagian definisi pada SPI 302.
2. SAK mengatur bahwa Aset Biologis harus diukur pada saat pengakuan awal dan
pada saat akhir setiap periode pelaporan sebagai Nilai Wajar dikurang biaya untuk
menjual pada titik panen (IAS 41 atau PSAK 69). Dalam penerapannya, untuk
kepentingan penilaian ini, Penilai menentukan Nilai Wajar sebelum atau tidak
termasuk biaya untuk menjual pada titik panen sebagaimana yang diatur SAK.
3. Aset Biologis harus diukur menggunakan Nilai Wajar sebagaimana yang didefinisikan
dalam SPI 102 – 3.19. Aset biologis dimaksud terdiri dari:
a. Aset biologis, kecuali tanaman produktif (bearer plants);
b. Produk agrikultur pada titik panen; dan
c. Hibah pemerintah yang dicakup.
4. Penilai harus dapat membedakan aset biologis dari dua sisi. Pertama, aset biologis
yang dapat dikonsumsi adalah aset biologis yang akan dipanen sebagai produk
agrikultur atau dijual sebagai aset biologis. Contoh aset biologis yang dapat
dikonsumsi adalah ternak yang dimaksudkan memproduksi daging ternak yang
dimiliki untuk dijual, ikan yang dibudidayakan, tanaman panen seperti jagung dan
gandum, produk tanaman produktif dan pohon yang ditanaman untuk menghasilkan
potongan kayu. Kedua, aset biologis produktif adalah aset selain aset biologis yang
dapat dikonsumsi; sebagai contoh, ternak yang dimaskudkan untuk memproduksi susu,
dan pohon buah yang menghasilkan buah untuk dipanen (PSAK 69). Aset biologis
produktif yang tidak atau belum menghasilkan produk agrikultur disebut dengan
tanaman produktif (bearer plant).
5. Beberapa contoh Aset Biologis dan produk agrikultur meliputi antara lain:
Aset Biologis Produk Agrikultur Komoditi yang diproses
setelah panen
Tanaman tembakau Daun tembakau Tembakau
Tanaman teh Pucuk/daun teh Teh
Pohon kelapa sawit Tandan buah segar Minyak sawit
Pohon karet Getah karet/Lateks Produk olahan karet
Tanaman buah-buahan Buah segar yang dipanen Buah olahan
Sumber: IAS 41/PSAK 69

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 20 -


6. Berdasarkan IAS 41 atau PSAK 69, produk agrikultur harus diukur menggunakan Nilai
Wajar dikurang biaya penjualan. Tanaman produktif sebagai bagian yang
menghasilkan produk agrikultur diatur dalam IAS 16 atau PSAK 16 yang dapat
diukur menggunakan model biaya atau model revaluasi. Penilai dalam melaksanakan
penilaian untuk kepentingan aset biologis dan/atau tanaman produktik harus
berdasarkan Lingkup Penugasan yang disepakati pemberi tugas.
7. Masing-masing tanaman yang menghasilkan produk agrikultur dapat berbeda satu
sama lainnya. Terdapat jenis tanaman tahunan maupun tanaman semusim yang
menghasilkan produk agrikultur dalam berapa bentuk yang menghasilkan suatu
komoditi, diantaranya buah, getah, daun dan bunga sebagai produk yang dipanen.
Contoh, pada tanaman kelapa sawit, produk agrikultur adalah tandan buah segar
yang dapat dipanen selama buah telah memasuki periode yang dapat ditentukan
jumlah dan masa panennya. Tanda buah segar (TBS) yang telah menunjukkan hasil
untuk dapat dipanen, secara teknis budidaya berkisar kurang dari 3 – 4 bulan
menjelang TBS dapat dipetik/dipanen. Sedangkan pada tanaman karet, produk
agrikultur yang dihasilkan adalah getah karet atau lateks cair yang diperoleh melalui
perlakuan (penyadapan) terhadap kulit batang karet yang telah cukup umur untuk
diambil getahnya. Lateks cair yang dihasilkan dari batang kayu dapat ditentukan
sesuai dengan jadwal penyadapan karet pada tanggal penilaian.
8. Standar umur dan estimasi produksi suatu tanaman yang hendak dipanen ditentukan
oleh masing-masing jenis dan varietas tanaman, asal bibit (bahan tanam) dan
perawatan tanaman. Penilai perlu mendapatkan dukungan Informasi atas data
referensi yang digunakan dari Lembaga/Pusat Penelitian atau sumber-sumber yang
dapat dipercaya untuk menentukan acuan estimasi produksi.

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 21 -


9. Dalam melakukan penilaian atas produk agrikultur, Penilai harus memperhatikan
masing-masing masa titik panen produk agrikultur. Jumlah dan lama waktu produk
dipanen akan ditentukan oleh pemberi tugas. Penilai harus melakukan verifikasi atas
informasi dan data yang diberikan pemberi tugas untuk melihat kewajaran data
dimaksud dengan mempertimbangkan metode atau teknik yang dilakukan pihak
manajemen dalam mengestimasi potensi produksi yang dapat dipanen. Selanjutnya
Penilai juga melakukan verifikasi berdasarkan inspeksi lapangan. Verifikasi informasi
dan data akan menentukan tingkat keyakinan Penilai dalam memberikan opini nilai.
10. Pendekatan dan metode penilaian yang digunakan, dan yang perlu diperhatikan
dalam penilaian aset biologis khusus produk agrikultur, antara lain:
a. Secara umum pendekatan yang dapat dipakai adalah pendekatan pasar dan
pendekatan pendapatan dengan mentode DCF.
b. Pendekatan pasar dapat digunakan dalam hal produk agrikultur siap untuk
dipanen secara langsung pada tanggal penilaian. Penentuan Nilai Wajar yang
dilakukan dengan pendekatan ini didasarkan kepada data pembanding dari
produk sejenis, dengan mempertimbangkan harga yang disesuaikan dengan jenis,
kualitas, kondisi, lokasi, waktu dan jumlah satuan produk yang ada di pasar.
Dalam hal terdapat perbedaan antara objek penilaian dengan objek
pembanding, maka masing-masing data pembanding harus dilakukan penyesuian
(adjusment) untuk mendapatkan kesetaraan nilai dari produk agrikultur. Contoh,
potensi lateks yang dihasilkan dari batang karet pada tanggal penilaian
diestimasi berdasarkan data lapangan dalam satuan luas yang dapat dipanen.
Untuk menentuan indikasi nilainya, jumlah lateks yang dapat dihasilkan dikalikan
dengan harga pasaran getah karet kering yang sebelumnya telah dilakukan
penyesuaian terhadap jenis, kualitas, kadar kering dan lokasi data pembanding
dengan potensi lateks yang diperoleh.
c. Dalam hal produk agrikutur tidak dapat ditentukan menggunakan pendekatan
pasar karena data langsung tidak tersedia pada titik panen atau periode panen
melewati satu periode tertentu (lebih dari satu minggu/bulan), maka pendekatan
pendapatan dengan metode DCF dapat digunakan. Proyeksi untuk mendapatkan
pendapatan harus didasari asumsi proyeksi produksi dari komoditi yang akan
dipanen sebagaimana yang dijelaskan pada poin 7, 8 dan 9 pada uraian
sebelumnya.
d. Penentuan proyeksi pendapatan kotor ditentukan oleh harga pasar pada masing-
masing periode estimasi buah yang akan dipanen. Untuk mendapatkan
pendapatan bersih, potensi pendapatan kotor dari hasil panen perlu dikurangi
biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan arus kas bersih dari
hasil produk agrikultur selama periode masa panen. Biaya-biaya dimaksud
dapat meliputi biaya panen dan transportasi, biaya perawatan dan biaya umum
(dihitung secara proporsional) yang masih dikeluarkan agar hasil panen dapat

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 22 -


terpenuhi. Untuk mendapatkan indikasi Nilai Wajar pada tanggal penilaian,
proyeksi arus kas bersih perlu dilakukan proses diskonto pada tingkat diskon
(discount rate) tertentu dengan memperhatikan tingkat bunga bebas risiko yang
wajar dan risiko lainnya (bila ada). Pada umumnya, periode proyeksi DCF yang
dilakukan terhadap produk agrikultur adalah dalam periode bulanan atau
mingguan. Ilustrasi perhitungan untuk TBS terlampir.
11. Penilai harus mengungkapkan semua informasi dan temuan di lapangan, terutama
untuk hal-hal yang terkait baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh kepada
nilai produk agrikultur.
12. Laporan penilaian untuk kepentingan Pelaporan Keuangan harus mengikuti SPI 105
dan SPI 201 berikut dengan juknisnya. Pelaporan aset biologis sekurang-kurangnya
mencakup antara lain :
a. Deskripsi jelas tentang lokasi perkebunan;
b. Deskripsi meliputi aset tanaman maupun non tanaman;
c. Karateristik lahan secara umum;
d. Keadaan tanaman kegiatan pemungutan hasil (panen), termasuk hasil panen,
gangguan hama dan penyakit.
e. Secara umum hal-hal yang bersifat teknis maupun non teknis yang dijumpai dan
mempengaruhi nilai, harus diungkapkan secara jelas.
f. Pendekatan dan/atau metode penilaian yang digunakan dan alasannya;
g. Dasar penentuan estimasi produksi dan besarannya;
h. Asumsi-asumsi yang dipertimbangkan (harga, biaya tingkat diskonto dan lainnya).

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 23 -


Lampiran B.1: Ilustrasi DCF untuk Produk Hasil Tanaman Kelapa Sawit (TBS)

Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4


Pendapatan Kotor
Estimasi Potensi
Produksi TBS (kg) 1,000 1,100 1,120 1,050
Harga TBS Rp/kg 1,550 1,600 1,650 1,600
Sub Total Rp 1,550,000 1,760,000 1,848,000 1,680,000
Biaya operasional
Perawatan Rp 155,000 176,000 184,800 168,000
Panen dan Transport Rp 110,000 121,000 123,200 115,500
Umum Rp 310,000 352,000 369,600 336,000
Sub Total Rp 575,000 649,000 677,600 619,500
Pendapatan Bersih Rp 975,000 1,111,000 1,170,400 1,060,500
Faktor diskonto 9.0% 0.993 0.985 0.978 0.971
Total Rp 967,742 1,094,521 1,144,456 1,029,273
Nilai Wajar TBS Rp 4,235,991

*******

Eksposur Draf Standar Penilaian Indonesia 302 (SPI 302) - 24 -

Anda mungkin juga menyukai