Anda di halaman 1dari 11

Ujian Akhir Semester

Komunikasi Internasional (SOK363)


Do It Yourself (DIY) Movement dan Konsepsi Berkarya dalam Skala Global

oleh:

Masitha Dewi Pramesti


(071115031)

Departemen Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
2013/2014
Do It Yourself -Self Released-Indie

Beberapa tahun belakangan, DIY kian akrab dengan anak muda. Bukan Daerah

Istimewa Yogyakarta yang dimaksudkan di sini, melainkan Do It Yourself, sebuah istilah

yang digunakan untuk menyebut metode dalam membangun, memodifikasi, dan

mereparasi sesuatu tanpa tangan ahli atau profesional. Dengan modal akal dan

keterampilan yang dimiliki, setiap orang bisa menghasilkan kreatifitas yang berguna.

DIY juga bisa dideskripsikan sebagai sebuah kegiatan dimana individu-individu

menggunakan material-material mentah atau semi-mentah dan berbagai komponen

untuk memproduksi, mentransformasi, atau merekonstruksi barang-barang milik

pribadi. Kegiatan DIY ini dapat dipicu oleh adanya motivasi-motivasi yang sebelumnya

dikategorikan dalam motivasi pasar (keuntungan ekonomi, kurangnya ketersediaan

produk, kurangnya kualitas produk, dan kebutuhan pembuatan sesuai pesanan) dan

peningkatan identitas (keahlian, kekuasaan, pencarian komunitas, keunikan).

Istilah "do-it-yourself" telah diperkenalkan kepada masyarakat setidaknya sejak

1912 terutama dalam ranah kegiatan perbaikan dan pemeliharaan. Ungkapan

"melakukannya sendiri" menjadi istilah umum (dalam bahasa Inggris standar) sejak

tahun 1950-an, mengacu pada munculnya kecenderungan orang melakukan perbaikan

rumah dan proyek-proyek kecil berbagai kerajinan dan konstruksi lainnya sebagai

aktivitas kreatif, baik dengan tujuan rekreasi semata maupun demi menghemat biaya.

Selanjutnya, istilah DIY diartikan lebih luas mencakup berbagai macam keahlian.

DIY diasosiasikan dengan international alternative rock, punk rock, dan adegan musik

rock indie, jaringan indymedia, radiostations bajak laut, dan komunitas zine. Dalam

konteks ini, DIY terkait dengan gerakan seni dan kerajinan yang menawarkan alternatif
bagi tekanan budaya konsumen modern yang mengandalkan orang lain dalam

pemenuhan kebutuhan.

Selain barang-barang kerajinan, musik indie, film indie, bahkan belakangan

muncul penerbitan buku indie merupakan beberapa bentuk DIY dalam industri. Sebagai

produk self released, musik, film, serta buku semacam ini dalam proses produksi hingga

distribusi dilakukan secara mandiri atau dengan biaya sendiri. Tentu saja hal ini dapat

dilakukan secara perorangan maupun melalui komunitas.

Di bidang musik, biasanya musik indie merupakan musik-musik dengan aliran

yang tidak mainstream sehingga tidak dapat diproduksi secara mayor dengan kata lain

tidak bernaung di bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Diikuti dengan basis

komunitas serta mengandalkan buletin-buletin, musik indie yang awalnya membawa

embel-embel budaya underground semakin meluas tak hanya di negara-negara barat,

tetapi juga di Indonesia.

Sementara itu, film indie dipelopori oleh Robert Rodriguez yang berasal dari

Meksiko yang terkenal dengan film El Mariachi yang dapat menandingi film-film di

bioskop meski diproduksi secara indie. Di Indonesia sendiri, film indie mulai banyak

diproduksi pada akhir tahun 90an yang kebanyakan merupakan film pendek. Dalam hal

pendistribusian pun, sudah ada komunitas-komunitas yang mewadahi film-film pendek

yang berkualitas. Misalnya saja, komunitas boemboe (Lulu Ratna) yang menyeleksi film-

film untuk kemudian didistribusikan dalam media CD. Film-film pendek buatan

Indonesia pun cukup bisa diterima di fetival-festival internasional.


Begitupun dalam penerbitan buku, buku-buku self released mulai banyak beredar

di pasaran. Tak hanya diproduksi secara indie, buku-buku tersebut juga didistribusikan

melalui komunitas-komunitas atau secara mandiri.

Zine, Cikal Bakal Media DIY

Pergerakan musik maupun film indie ini tak lepas dari komunitas-komunitas

yang terhubung melalui buletin-buletin atau yang lazim dikenal sebagai fanzine. Pada

awalnya zine di Indonesia merupakan media komunikasi dalam komunitas penggemar

musik underground. Isinya hanyalah seputar musik underground, seperti: profil-profil

band, rilisan-rilisan album, info-info acara, dan lain-lain.

Fanzine musik di Indonesia pertama terbit 1995 bernama Revograms Zine

(Bandung). Tercatat sempat tiga kali terbit dan semua materinya membahas band-band

metal/hardcore lokal maupun internasional. Kemudian pada tahun 1996 hadir

Brainwashed zine (Jakarta). Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan

menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens.

Diketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out secara kolase,

serta diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin fotokopi. Pada edisi-edisi berikutnya

Brainwashed mengulas pula band-band HC/PUNK dan ska. Setelah terbit fotokopian

hingga empat edisi, pada 1997 Brainwashed sempat dicetak seperti majalah profesional

dengan cover penuh warna. Brainwashed sempat hadir sampai edisi ke tujuh pada 1999

dan di dua edisi terakhirnya mulai memasukan hal-hal yang bersifat politis, salah

satunya adalah mengangkat profil Tan Malaka. Sejak saat itu, fanzine juga memuat isu-

isu sosial, ekonomi, dan politik.


Pada 2000-an selain semakin bertambahnya para pembuat zine, juga

bertambahnya jenis-jenis zine yang ada, yang tidak hanya didominasi lagi oleh fanzine-

fanzine musik atau juga zine-zine politik. Banyak kecenderungan-kecenderungan baru,

seperti munculnya: zine personal, fanzine sport, zine seks, zine artwork, dan komik.

Lambat laun, zine sebagai media yang diproduksi self released oleh kemunitas-

komunitas tertentu semakin berkembang dan menjadi media yang mencakup berbagai

hal berkenaan dengan gaya hidup masyarakat modern. Zine juga mulai didistribusikan

lebih luas melalui berbagai media, salah satunya internet.

Media Sosial sebagai Media Pergerakan DIY

Selain melalui buletin-buletin atau zine komunitas, internet adalah media yang

kerap digunakan untuk mempublikasikan proyek-proyek DIY dengan cakupan area yang

lebih luas. Tak hanya melalui website komunitas ataupun blog pribadi yang

menampilkan zine dalam bentuk digital, media sosial juga digunakan sebagai media

sharing. Dengan penggunaan media sosial: seperti YouTube, vimeo, dan Pinterest, orang-

orang dari berbagai belahan dunia dapat mengunggah dan mengakses video atau

gambar yang berkaitan dengan kegiatan DIY ini. Di dunia fashion, misalnya. Di YouTube

dan vimeo dapat ditemukan berbagai video mode DIY dari jeans yang sudah jelek,

pemutihan jeans, mendesain ulang sebuah kemeja, dan studding denim. Tren ini

semakin populer dengan adanya lebih dari 1.000 video berisi tutorial yang

mendemonstrasikan bagaimana melakukan hal tersebut yang telah diposting. Tak hanya

itu, video-video lain seperti DIY perhiasan, DIY dekorasi ruangan, dan DIY gaya rambut

dapat dengan mudah ditemukan di YouTube dan vimeo. Juga dalam bidang musik dan

film, YouTube dan vimeo juga berperan mendistribusikan karya-karya indie.


Tak hanya Youtube dan vimeo, dalam media sosial Pinterest juga terdapat akun-

akun yang menyajikan gambar-gambar tutorial hingga hasil proyek DIY. Mulai dari

kerajinan tangan dari kayu bekas, kertas bekas, bahkan baju-baju bekas yang disulap

menjadi baju dengan model yang jauh lebih menarik dari sebelumnya. Tak cukup

sampai di situ, kini media sosial Facebook dan Twitter pun menjadi media yang juga bisa

menyebarluaskan kreativitas proyek-proyek DIY, baik dengan cara mengaitkan ke

halaman Youtube dan vimeo maupun secara langsung mengunggah gambar atau video di

situs Facebook dan Twitter tersebut.

Dengan adanya media internet, produk-produk DIY yang semula hanya

didistribusikan dalam area komunitas kini menjadi lebih luas dan dapat mencakup

berbagai area bahkan ke seluruh dunia. Sebagai akibatnya, sangat mudah bagi seluruh

lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk mengkonsumsi produk yang sama. Hal ini

berkaitan erat dengan efek globalisasi dimana penyebaran informasi dilakukan melalui

media massa yang bersifat internasional. Seperti dikatakan oleh Marshall McLuhan

menjadi sebuah global village, yang membuat batas antar negara tidak jelas. Dengan

memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi telekomunikasi yang telah berkembang

dengan pesat, maka seluruh bangsa-bangsa di dunia dapat disatukan dalam agenda

globalisasi. (McLuhan, 1964)

Proses globalisasi sering dikaitan dengan arus informasi. Arus globalisasi

mewujud melalui berbagai aspek kehidupan. Ritzer dan Goodman mengutip Appadurai

(1996) mengenai dimensi dalam arus global sebagai berikut:

1. Ethnoscapes. Ini adalah kelompok atau aktor yang mobile (turis, pengungsi,

pekerja tamu) yang memainkan peran penting dalam pergeseran-pergeseran di dunia di

mana kita tinggal. Ini melibatkan gerakan aktual dan fantasi-fantasi tentang pergerakan.
Lebih jauh, dalam dunia yang terus berubah orang-orang tidak dapat membiarkan

imajinasi mereka diam terlalu lama dan karena itu harus menjaga fantasi-fantasi itu

agar tetap hidup.

2. Technoscapes. adalah konfigurasi global dari “teknologi dan fakta bahwa

teknologi, baik teknologi tinggi maupun rendah, baik yang mekanistik maupun

informasional, kini bergerak dengan kecepatan tinggi melintasi berbagai jenis batasan

yang dulu ada.”

3. Financescapes. Ini melibatkan proses yang dengannya “pasar, bursa saham

nasional, dan spekulasi komoditas menggerakkan megamonies melalui batas-batas

nasional dengan kecepatan tinggi”.

4. Mediascapes. Yang terlibat di sini adalah “distribusi kapabilitas elektronik

untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi (koran, majalah. televisi, studio

membuat film), yang sekarang tersedia untuk kepentingan publik dan swasta yang

semakin banyak dan… imaji dunia-dunia yang diciptakan oleh media ini.

5. Ideoscapes. Seperti mediascapes, ideascapes adalah rangkaian imaji “tetapi

bersifat politik dan berhubungan langsung dengan ideologi negara dan kontraideologi

dan gerakan gerakan yang cara eksplisit berorientasi untuk merebut kekuasaan negara

atau sebagian dari kekuasaan itu. (Ritzer & Goodman, 2003)

Berdasarkan uraian di atas, dalam mediascapes media berperan dalam

menciptakan imaji dunia-dunia sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu.

Sebagai dampaknya, media mampu mengambil perhatian masyarakat. Media memilih

menyusup lewat jalur kebudayaan masyarakat untuk mendapatkan kekuatan lebih jauh.

Tanpa disadari, budaya media telah muncul dalam bentuk citra, bunyi, dan tontonan
yang membantu membangun struktur kehidupan sehari-hari. Mendominasi waktu

luang, mencekoki pandangan politik dan perilaku sosial, serta mengejewantah mewakili

identitas. Masyarakat pun cendrung tunduk pada paham behaviorisme media populer

tanpa sedikit kritis. (Ibrahim, 2011)

Dengan posisi media sebagai sumber informasi yang sangat dipercaya oleh

masyarakat, masyarakat secara global akan dengan mudah mengetahui dan mengadopsi

hal-hal baru dari tempat-tempat yang berbeda sebagai dampak dari globalisasi. Arus

globalisasi dapat dilihat melalui produk yang ditransfer antar masyarakat pada negara

yang berbeda. Ada produk yang mudah untuk mengglobal (dari suatu sumber

masyarakat negara tertentu, diterima oleh masyarakat negara lain), tetapi ada yang sulit

memasuki masyarakat berbeda. Do It Yourself merupakan salah satu produk yang

mudah mengglobal. Do It Yourself sendiri secara tidak langsung menambah konsepsi

berkarya yang dapat diketahui dan diadopsi oleh masyarakat dan itu terjadi secara

global. Kreativitas masyarakat secara global akan semakin meningkat dengan berbagai

karya yang dihasilkan dalam berbagai bidang dan tentu saja Indonesia menjadi bagian

dari itu semua. Dalam dimensi ethnoscapes, masyarakat Indonesia akan dapat terus

berkreasi dan menjadi masyarakat yang dinamis. Tentu dalam hal ini, media mengambil

peran dalam pergeseran-pergeseran yang terjadi di Indonesia.

Namun, globalisasi informasi berlangsung seiring dengan proses global secara

ekonomi, politik dan kultural. Dalam perspektif kritis, proses ini dilihat dalam interaksi

berbagai kekuatan berasal dari luar yang menyentuh kehidupan masyarakat di suatu

negara. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh negara-negara maju membuat

mereka terus memperkukuh kedudukan ekonomi. Dalam keadaan itu, negara-negara

maju mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi negara-negara sedang


membangun, terutama dari segi ideologi (Yusoff, 2005). Begitu pula yang terjadi dalam

industri Do It Yourself di Indonesia. Kemudahannya menjangkau masyarakat secara

global juga dapat menciptakan mempengaruhi ideoscapes masyarakat yang menjadi

mudah dikuasai oleh media dan gaya hidup dunia barat. Dengan demikian, konsep

berkarya dalam benak masyarakat Indonesia akan berpedoman pada karya-karya yang

dihasilkan oleh masyarakat negara-negara barat yang tentu saja lebih maju dan lebih

dahulu menguasai media. Dengan kata lain, negara-negara barat masih mendominasi

dalam referensi karya yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia.

Di sisi lain, karya-karya hasil dari proyek-proyek DIY yang disebarluaskan

melalui media internet akan memacu masyarakat Indonesia untuk menghasilkan karya-

karya agar Indonesia diakui di mata internasional. Terlebih, karya-karya yang dihasilkan

juga bernilai ekonomis. Masyarakat bisa mengambil keuntungan dari hal itu. Saat ini,

sudah banyak produk-produk DIY dari Indonesia yang diterima di pasar internasional.

Selain itu, masyarakat Indonesia juga bisa memasukkan berbagai unsur-unsur

lokal dan tradisional dalam setiap karya yang diciptakan. Misalnya saja dalam dunia

fashion, modifikasi bisa dilakukan pada pakaian khas Indonesia yang tidak dimiliki oleh

negara lain. Modifikasi pada batik atau pada kebaya sudah sangat lazim diproduksi oleh

masyarakat Indonesia. Dan terbukti, di ranah internaional produk semcam ini juga

digemari oleh orang-orang dari berbagai negara. Begitu pun di dunia musik, Indonesia

termasuk negara yang kaya dalam musik tradisional. Selain mengembangkan musik

secara universal, banyak pula masyarakat yang memanfaatkan kekayaan ini dalam

menghasilkan karya-karya DIY.

Dalam bidang film pun demikian, sineas-sineas Indonesia bisa mengeksploitasi

kekayaan alam dan budaya Indonesia untuk ditampilkan dalam film yang kemudian bisa
diperkenalkan ke seluruh dunia. Ditambah lagi, tak hanya kekayaan alam dan budaya

saja yang dapat dimanfaatkan masyarakat Indonesia dalam menghasilkan produk-

produk DIY, tetapi masyarakat juga bisa mengembangkan serta memanfaatkan

kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia.

Hal ini berkaitan dengan hubungan antara globalisasi dan lokalisasi, ia sebenarnya

bukan sekadar sebuah pertentangan biasa, tetapi yang terjadi adalah sebuah proses

dialektik. Dalam pendekatan dialektika, yang secara umum dapat dikatakan diwarisi

dari Karl Marx dan bahkan dari Hegel, sebuah tesis akan dihadapi oleh sebuah antitesis

yang kemudian menghasilkan sebuah sintesis. Dengan itu, globalisasi adalah tesis,

lokalisasi adalah antitesis, maka sintesis keduanya adalah apa yang dapat disebut

“glokalisasi” dari kata globalisasi dan lokalisasi. Istilah glocal (globalism dan localism)

diperkenalkan oleh Mike Featherstone dalam karyanya Undoing Culture, Globalization,

Postmodernism, and Identity (Featherstone, 1995).

Karena yang sesungguhnya terjadi tidak saja globalisasi secara linear tetapi juga

glokalisasi. Pada saat dunia berubah menjadi the global village, sebuah konsep Marshall

McLuhan yang ditulis dalam sejumlah bukunya, di antaranya War and Peace in the

Global Village (McLuhan, 2001), atau menjadi satu dunia (yang “sama”), ia juga pergi

menuju fragmentasi, keterpecah-pecahan, sebuah proses lokalisasi.


Daftar Pustaka

Featherstone, M. (1995). Undoing Culture: Globalization, Postmodernism and Identity. SAGE


Publications.

Ibrahim, I. S. (2011). Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape & Mediascape di
Indonesia Kontemporer. Jalasutra.

McLuhan, M. (1964). Understanding Media: Extension of Man. USA: A Signet Book.

McLuhan, M. (2001). War and Peace in the Global Village. Gingko Press.

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2003). Sociological Theory. McGraw-Hill Education.

Yusoff, W. A. (2005). Globalisasi, Internasionalisasi, dan Nasionalisme dalam Mempertahankan


Identiti Melayu. Jurnal Pengajian Melayu , 174-186.

Anda mungkin juga menyukai