Anda di halaman 1dari 51

REFERAT KEDARURATAN THT

ILMU KESEHATAN THT

ANGGOTA KELOMPOK :
Nama NIM Kelompok
Rina Biariani D. 021010101002 G2
Fitriana Wijayati 031010101072 Z2B
Bagus Haryo Kusumaputra 042010101008 H1

Dokter Pembimbing :
dr. Bambang Indra, Sp.THT

Disusun Untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madya


LAB/SMF Ilmu Kesehatan THT FK UNEJ-RSD Dr. Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2009

0
PENDAHULUAN
Kedaruratan Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) meupakan hal yang
penting untuk diketahui. Kelainan pada telinga, hidung dan tenggorokan dapat
terlokalisasi pada system organ atau keseluruhan pada multi system proses penyakit.
Kegawat daruratan yang meliputi telinga, hidung dan tenggorokan dapat menjadi
sumber kecemasan, bukan hanya untuk pasien tetapi juga bagi keluarga pasien karena
dapat mengancam jiwa, menimbulkan gangguan fungsi dan menimbulkan kecacatan.
Diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat dapat mengurangi angka kematian
dan kesakitan. Secara anatomi ruang lingkup THT yang kecil dan kompleks memiliki
dampak vital terhadap kehidupan. Secara anatomi letak telinga dan hidung dekat
dengan otak dan hidung juga berhubungan dengan orbita. Penanganan yang telat
terhadap infeksi di hidung dan telinga dapat menyebabkan komplikasi intrakranial
atau orbita yang dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian. THT juga
berhubungan dengan sistem pernapasan yang merupakan bagian penting dari
kehidupan.
Pada anak-anak sering terjadi sumbatan akibat benda asing yang ditelan oleh
anak tanpa pengawasan orang tua. Benda-benda yang sering tertelan oleh anak-anak
adalah koin, kancing dan mainan anak-anak yang kecil. Terkadang juga terdapat
makanan yang tersumbat karena terlalu besar. Anak laki-laki terinhalasi benda asing
dua kali lebih banyak daripada anak perempuan, dan kira-kira 80% dari penderita
adalah anak-anak di bawah umur 4 tahun. Kacang tanah dan kacang kacangan lainnya
yang dapat dimakan, merupakan kasus yang terbanyak didapat dan letaknya di
bronkhus kanan sedikit lebih banyak daripada di bronkhus kiri.
Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat
berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan
oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun
jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat
fatal, bila tidak segera ditolong. Beberapa virus penyebab ketulian mendadak

1
sensorineural ditemukan pada kasus-kasus penyakit MUMPS, measles, rubella, dan
influenza yang disebabkan oleh infeksi adenovirus dan sitomegalovirus (CMV).
Pada referat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kedaruratan THT yang
mana dibagi menjadi kedaruratan THT yang mengancam jiwa, menimbulkan
gangguan fungsi, dan menimbulkan kecacatan, yaitu mencakup sumbatan laring,
epistaksis posterior, komplikasi omsk, tuli mendadak, dan trauma maksilofasial.

2
SUMBATAN LARING

Gambar: Anatomi laring


Sumber: http://www.pitt.edu/~crosen/voice/anatomy2.html

Laring atau organ pembentuk suara, merupakan jalan nafas bagian atas,
terletak antara trakhea dan pangkal lidah. Pembagian laring berdasarkan kepentingan
klinik yang berkaitan dengan lokasi suatu kelainan yang timbul, maka laring dibagi
menjadi 3 bagian:
1. Supraglotis tidak lain adalah daerah vestibulum laring, yang meliputi epiglotis,
plika ariepiglotis, aritenoid dan plika ventrikularis.
2. Glotis adalah daerah laring setinggi plika vokalis. Daerah ini meliputi plika, rima
glotis dan komisura anterior serta komisura posterior.
3. Subglotis adalah daerah dibawah plika vokalis sampai tepi bawah kartilago
krikoid. (Bambang S. 1993)

Laring sebagai fungsi pernapasan merupakan saluran napas yang paling


sempit, oleh karena itu tidak dapat disangkal lagi bahwa laring merupakan saluran

3
napas yang sering mendapat gangguan. Gangguan laring yang paling serius adalah
menjadi sempitnya rima glotis yang memang sudah kecil. (Bambang S. 1993)
Pada anak-anak sering terjadi sumbatan akibat benda asing yang ditelan oleh
anak tanpa pengawasan orang tua. Benda-benda yang sering tertelan oleh anak-anak
adalah koin, kancing dan mainan anak-anak yang kecil. Terkadang juga terdapat
makanan yang tersumbat karena terlalu besar.
Etiologi yang dapat menyebabkan sumbatan laring dibagi menjadi :
1. Benda asing
2. Trauma
3. Infeksi, seperti epiglotitis
4. Neoplasma, seperti tumor laring
5. Gangguan neurogenik pada laring: Parese pita suara bilateral

Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah :


 Serak (disfoni) sampai afoni
 Sesak napas (dispnea)
 Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
 Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot
pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.
 Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
 Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
Jakson membagi sumbatan pada laring menjadi 4 stadium dengan tanda dan gejala:
Stadium 1 Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada
waktu inspirasi dan pasien masih tenang.
Stadium 2 Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal makin dalam,
ditambah lagi dengan timbulnya cekungan didaerah epigastrium. Pasien
sudah mulai gelisah. Stridor terdengar pada waktu inspirasi.
Stadium 3 Cekungan selain didaerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di

4
infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.
Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
Stadium 4 Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah,
tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung
terus maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik
karena hiperkarpnea. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal
karena asfiksia.
(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E. dalam Iskandar, N. dan Sopeardi, E. A.
2007)
Dalam penatalaksanaan sumbatan pada prinsipnya diusahakan supaya jalan
napas lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti
alergi, antibiotika, serta pemberian oksigen intermiten dilakukan sumbatan stadium 1
yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif atau resusitasi untuk membebaskan
jalan napas ini dapat dengan cara memasukkan pipa endotrakea melalui mulut
(intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma
atau melakukan krikotirotomi.
Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan
stadium 2 dan 3, sedang krikotirotomi dilakukan pada sumbatan stadium 4. Tindakan
operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasarkan analisis gas darah (pemeriksaan
gas darah).
Bila fasilitas tersedia, maka intubasi endotrakea pilihan pertama, sedangkan
jika ruangan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi. Apabila pada
sumbatan laring total dilakukan prasat Heimlich untuk pertolongan pertama untuk
mencegah kematian. (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E. dalam Iskandar,
N. dan Sopeardi, E. A. 2007)

Benda Asing

5
Benda asing yang sering masuk laring antara lain: biji-bijian, serpihan atau
potongan tulang, jarum pada valekula, sinus piriformis atau glotis.
Benda asing dilaring dapat menutup laring, tersangkut diantara pita suara atau
berada di subglotis. Gejala sumbatan laring tergantung pada besar, bentuk dan letak
benda asing. Sumbatan total di laring akan menimbulkan keadaan yang gawat
biasanya kematian mendadak karena terjadi asfiksia dalam waktu singkat. Hal ini
disebabkan oleh timbulnya spasme laring dengan gejala antara lain disfonia sampai
afoni, apne dan sianosis. Sumbatan tidak total di laring dapat menyebabkan gejala
suara parau, disfonia sampai afonia, batuk yang disertai sesak, odinofagia, mengi,
sianosis, hemoptisis dan rasa subjektif dari benda asing dan dipsnea dengan derajat
bervariasi. (Junizaf, M. H, 2007)
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laringoskopi indirekta atau direkta.
Secara prinsip benda asing di saluran napas diatasi dengan pengangkatan segera
dengan endoskopi dalam kondisi paling aman dengan trauma minimum. Pada anak
dengan sumbatan total pada laring dapat dicoba dengan memegang anak dengan
posisi terbalik, kepala dibawah, kemudian daerah punggung dipukul. Cara lain adalah
dengan perasat Heimlich. Pada sumbatan benda asing tidak total di laring, perasat
Heimlich tidak dapat digunakan. Dalam hal ini pasien masih dapat dibawa ke rumah
sakit terdekat untuk diberi pertolongan dengan menggunakan laringoskop atau
bronkoskopi, atau kalau alat alat tersebut tidak ada dilakukan traekostomi.
(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

Trauma Laring
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul yang dapat menghancurkan
struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, dan
pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti leher
terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur dash board dalam kecelakaan
waktu mobil berhenti tiba-tiba, tertendang atau terpukul waktu berolah raga beladiri,
berkelahi, dicekik atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri. Trauma akibat

6
tindakan medik juga dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas seperti tindakan
pemasangan endotrakeal tube (ETT) oleh tenaga medis yang kurang terampil
sehingga mengakibatkan terjadi pembengkakan jalan napas. Pemakaian ETT yang
terlalu lama juga sehingga terjadi stenosis pada laring atau trakea.
Gejala klinik:
 Stridor
 Suara serak ( disfoni ) sampai suara hilang ( afoni )
 Hemoptisis
 Disfagia ( sulit menelan )
 Odinofagia ( nyeri menelan )
(Munir, M., Hadiwikarta, A., Hutauruk, S.M, 2007)

Epiglotitis
Epiglotitis akut atau laringitis supraglotis adalah suatu peradangan akut dari
laring yang menyebabkan timbulnya pembengkakan dan edem dari struktur
supraglotis. Peradagan ini sering terjadi pada anak-anak dan proses ini berjalan sangat
cepat tanpa memberi gejala yang spesifik, sehingga mengakibatkan sumbatan jalan
nafas yang mendadak. Epiglotitis adalah inflamasi akut yang melibatkan epiglotis,
valekula, plika ariepiglotis dan aritenoid. Yang tersering disebabkan oleh virus
Hemofilus Influenza tipe B (Hib). (Bambang S, 1993)
Pada anak-anak epiglotitis aku lebih mudah menimbulkan problema-problema
yang berbahaya daripada orang dewasa, hal ini disebabkan karena:
1. Pada anak-anak mukosa epigloits lebih banyak jaringan longgar, rima glotis
lebnih sempit dan sudut antara epiglotis dan rima glotis lebih kecil.
2. Epiglotis berbentuk omega yang cenderung melipat dan plika vokalis tertarik
keatas.
3. Mukosa laring pada anak-anak lebih sensitif dan lebih mudah membengkak
daripada orang dewasa. (Bambang S, 1993)

7
Gambar: Epiglotitis
Pada gambar sebelah kiri sebuah endoskopi memperlihatkan obstruksi jalan napas yang
hampir total. Pada gambar sebelah kanan jalan napas telah terbuka setelah pemasangan
endotrakeal tube, terlihat adanya hiperemi dan sisa darah.
Sumber: http://www.merck.com/mmhe/print/sec23/ch272/ch272f.html

Gejala klinis epiglottitis akut berupa nyeri tenggorok (sore throat), nyeri
menelan (odinofagia) yang mengakibatkan sulit menelan (disfagia), suara berubah
(muffled voice atau hot potato voice), demam sampai menggigil, stridor inspirasi dan
sesak nafas karena sumbatan jalan nafas. Tetapi di Indonesia walaupun epiglotitis ini
banyak dijumpai pada anak-anak ataupun pada orang dewasa, gejala-gejala yang
timbul tidak separah gejala-gejala di Eropa.
Pada epiglotitis tanpa disertai gangguan jalan napas hanya diberikan
medikamentosa seperti antibiotik dan antipiretik-anti inflamasi. Tetapi pada
epiglotitis yang disertai gangguan airway yang hebat, perlu dilakukan intubasi,
trakeostomi sampai krikotirotomi. (Bambang S, 1993, Bowman, J. G,2009, Felter, R.
A. 2009)

Tumor Laring
Tumor jinak laring

8
Tumor jinak laring tidak banyak ditemukan , hanya kurang lebih 5 % dari
semua jenis tumor laring. Tumor jinak laring dapat berupa (Hermani B,
Abdurrachman H, 2007):
 Papiloma laring
 Adenoma
 Kondroma
 Mioblastoma sel granuler
 Hemangioma
 Lipoma
 Neurofibroma

Gambar: Papiloma laring


Sumber: http://www.ucdvoice.org/papilloma.html

Tumor ganas laring


Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa
hal yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok, alkohol,
sinar radio aktif, polusi udara, radiasi leher dan asbestosis. Ada peningkatan resiko
terjadinya tumor ganas laring pada pekerja-pekerja yang terpapar dengan debu kayu.
Klasifikasi letak tumor :
 Supraglotik

9
 Glotik
 Subglotik
Gejala tumor laring :
 Serak
 Dispnea
 Stridor
 Nyeri tenggorok
 Disfagia
 Batuk dan hemoptisis
Diagnosis
 Laringoskop
 Biopsi
 Pemeriksaan radiologi
 CT scan
Penatalaksanaan
 Pembedahan
 Radiasi
 Obat sitostatik
 Kombinasi
Stadium I : radiasi
Stadium II – III : operasi
Stadium IV : operasi dengan rekonstruksi
(Hermani B, Abdurrachman H, 2007)

Intubasi Endotrakea

10
Indikasi intubasi endotrakea (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007):
 Untuk mengatasi sumbatan saluran napas bagian atas
 Membantu ventilasi
 Memudahkan menghisap secret dari traktus trakeobronkial
 Mencegah aspirasi secret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari
lambung

Gambar: Teknik intubasi endotrakea


Sumber: http://members.tripod.com/~dgholgate/endotrachealintubation.html

Pipa endotrakea dibuat dari bahan polyvinilchloride dengan balon (cuff) pada
ujungnya dapat diisi dengan udara. Ukuran pipa endotrakea harus sesuai dengan
ukuran trakea pasien dan umumnya untuk orang dewasa dipakai yang diameter
dalamnya 7-8,5 mm. pipa endotrakea yang dimasukkan melalui hidung dapat
dipergunakan untuk beberapa hari. Secara umum dapat dikatakan bahwa intubasi
endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan
trakeostomi. Komplikasi yang dapat timbul adalah stenosis laring atau trakea.
(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

11
Gambar. Pipa endotrakeal
Sumber: http://www.medihel.com/doce/instrument.html

Teknik Intubasi (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007):


 Posisi pasien tidur terlentang leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi
 Laringoskop dengan spatel bengkok di pegang dengan tangan kiri,
dimasukkan melalui mulut sebelah kanan sehingga lidah terdorong kekiri
 Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula lalu laringoskop
diangkat keatas sehingga pita suara dapat terlihat.
 Dengan tangan kanan pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terus
melalui celah antara kedua pita suara kedalam trakea.
 Pipa endotrakea dapat pula dimasukkan melalui lubang hidung sampai rongga
mulut dan dengan cunam magill ujung pipa endotrakea dimasukkan kedalam
celah antara kedua pita suara sampai ke trakea.
 Kemudiian balon diisi dengan udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan
baik.
 Apabila menggunakan laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur
telentang pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepala
mudah diekstensikan maksimal.

12
 Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan
dimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat
horizontal ke atas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat.
 Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui celah
pita suara sampai di trakea.
 Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan plester.

Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior
trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma trakeostomi dibedakan letak yang tinggi
dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga. Sedangkan
menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam:
 Trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang
 Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik
(legal artis)
(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

Indikasi trakeostomi :
 Mengatasi obstruksi laring
 Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran napas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh
oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal
diruang rugi itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang
kapasitas vitalnya berkurang.
 Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam keadaan koma
 Untuk memasang respirator atau alat bantu pernapasan

13
 Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
untuk bronkoskopi.
 (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

Gambar: Jenis pipa trakeostomi


Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Tracheostomy

Tehnik Trakeostomi
Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga
memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atalantooksipital. Dengan
posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis median dekat
permukaan leher. Kulit leher dibersihkan sesuai dengan prinsip aseptik dan antiseptik
dan ditutup dengan kain steril. Obat anestetikum disuntikkan di pertengahan krikoid
dengan fossa suprasternal secara infiltrasi. Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah
leher mulai dari bawah krikoid sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan
horizontal dilakukan pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa
suprasternal atau kira-kira dua jari dari bawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan
terlalu sempit,dibuat kira-kira lima sentimeter.

14
Dengan gunting panjang yang tumpul kulit serta jaringan di bawahnya
dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul sampai
tampak trakea yang berupa pipa dengan susunan cincin tulang rawan yang berwarna
putih. Bila lapisan ini dan jaringan di bawahnya dibuka tepat di tengah maka trakea
ini mudah ditemukan. Pembuluh darah yang tampak ditarik lateral. Ismuth tiroid yang
ditemukan ditarik ke atas supaya cincin trakea jelas terlihat. Jika tidak mungkin,
ismuth tiroid diklem pada dua tempat dan dipotong ditengahnya. Sebelum klem ini
dilepaskan ismuth tiroid diikat keda tepinya dan disisihkan ke lateral. Perdarahan
dihentikan dan jika perlu diikat. Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum
pada membran antara cincin trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik. Buat stoma
dengan memotong cincin trakea ke tiga dengan gunting yang tajam. Kemudian
pasang kanul trakea dengan ukuran yang sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada
leher pasien dan luka operasi di tutup dengan kasa.
Untuk menghindari terjadinya komplikasi perlu diperhatikan insisi kulit
jangan terlalu pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya
emfisema kulit. (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)

1 – Pita Suara
2 – Kartilago Tiroid
3 - Kartilago Kricoid
4 - Kartilago Trachea
5 - Balloon cuff

Gambar: Lokasi trakeostomi skematis


Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Tracheostomy

15
Perawatan Pasca Trakeostomi
Secera setelah trakeostomi dilakukan:
1. Rontgen dada untuk menilai posisi tube dan melihat timbul atau tidaknya
komplikasi
2. Antibiotik untuk menurunkan risiko timbulnya infeksi
3. Mengajari pihak keluarga dan penderita sendiri cara merawat pipa trakeostomi
Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat menyumbat
dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering
diisap ke luar dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya dua kali sehari lalu segera
dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Bila kanul harus dipasang dalam jangka waktu
lama, maka kanul harus dibersihkan dua minggu sekali. Kain basah di bawah kanul
harus diganti untuk menghindari timbulnya dermatitis. Gunakan kompres hangat
untuk mengurangi rasa nyeri pada daerah insisi. (Hadiwikarta, A., Rumarjono dan
Soepardi, E, 2007)

Gambar: Lokasi trakeostomi


Sumber: http://drbatraent.com/wp-content/uploads/2008/05/t_52701.jpg

Krikotirotomi
Krikotirotomi: tindakan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, dengan membuka/
melubangi membran krikotiroidea. Krikotirotomi adalah segera harus dilakukan

16
untuk mengamankan jalan nafas, terutama pada kasus obstruksi jalan nafas bagian
atas yang hebat.
Indikasi operasi:
 Obstruksi jalan nafas atas yang hebat, dimana persiapan trakeostomi belum dapat
dilakukan
 Luka berat daerah hidung atau muka (dimana intubasi hidung atau mulut
dikontraindikasikan)
 Luka akibat inhalasi bahan kimia
(Wikipedia, 2009)

Kontraindikasi:
 Tidak bisa mengidentifikasi membran krikotiroid
 Adanya abnormalitas anatomi (ex: hematom, abses, tumor)
 Infeksi akut atau trauma laring
 Anak usia kurang dari 10 tahun
(Wikipedia, 2009)

Gambar: Lokasi insisi krikotirotomi

17
Sumber: http://www.ecmaj.com/cgi/content-nw/full/178/9/1133/F214
Teknik
 Dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau tanpa anestesi. Pada anestesi lokal
diperlukan lidokain dengan dosis maksimal 7 mg/ kg BB.
 Terlentang dengan hiperekstensi kepala, bahu diberi bantalan sehingga trakea
lebih tampak ke anterior, kepala diberi bantalan ‘doughnut’
 Stabilisasi larinx dengan jari dan palpasi membran krikotiroid
 Buat insisi vertikal dengan skalpel menembus membran krikotiroid, putar 900
supaya lubang terbuka, lebarkan lubang dengan klem Kelly. Hati-hati jangan
melukai kartilago krikoid.
 Pasang kanul trakeostomi kecil. Selanjutnya pasien dilakukan ventilasi
(http://bedahumum.wordpress.com/2008/10/10/krikotirotomi)

Gambar: Teknik Krikotomi


Sumber: http://comps.fotosearch.com/bigcomps/LIF/LIF145/PED01015.jpg

18
Perasat Heimlich
(Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E, 2007)
Hentakan perut pada pasien/korban dewasa dan anak yang sadar.
1) Penolong berdiri dibelakang pasien sambil memeluk badannya
2) Tangan kanan dikepalkan dan dengan bantuan tangan kiri, kedua tangan diletakkan
pada perut bagian atas
3) Lalu lakukan penekanan rongga perut ke arah dalam dan ke atas dengan hentakan
beberapa kali
4) Diharapkan dengan hentakan 4-5 kali benda asing akan terlempar keluar

Hentakan perut pada pasien/korban dewasa dan anak, tidak sadar.


1) Penolong berlutut dengan kaki pada kedua sisi pasien
2) Sebelumnya posisi muka pasien dan leher harus lurus
3) Kepalan tangan kanan diletakkan di bawah tangan kiri di daerah epigastrium
4) Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara dalam paru
akan mendorong benda asing keluar

A B

Gambar: Hentakan perut.


(A) Korban sadar. (B) Korban tidak sadar

19
Sumber: http://home.utah.edu/~mda9899/cprpics.html

Hentakan dada pada pasien/korban dewasa yang kegemukan atau wanita hamil yang
sadar.
1) Berdirilah dibelakang pasien/korban. Lengan memeluk pasien/korban melalui
bawah ketiak dibagian dada.
2) Posisikan tangan membentuk kepalan seperti pada hentakan perut tepat di atas
pertengahan tulang dada.
3) Lakukan hentakan dada sama seperti pada pasien yang sadar
4) Lanjutkan sampai jalan nafas terbuka atau pasien/korban menjadi tidak sadar.

Hentakan dada pada pasien/korban dewasa yang kegemukan atau wanita hamil yang
tidak sadar.
Langkahnya sama seperti pada pasien/korban dewasa atau anak yang tidak sadar
hanya posisi penolong berlutut disamping pasien/korbanletakkan tumit tangan pada
pertengahan tulang dada.

A B

Gambar: Hentakan dada


(A) Korban sadar. (B) Korban tidak sadar
Sumber: http://home.utah.edu/~mda9899/cprpics.html

20
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan
kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membran timpani tidak intak (perforasi)
dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul. Sekret mungkin encer
atau kental, bening atau berupa nanah dan berlangsung lebih dari 2 bulan. Perforasi
sentral adalah pada pars tensa dan sekitar dari sisa membran timpani atau sekurang-
kurangnya pada annulus. Defek dapat ditemukan seperti pada anterior, posterior,
inferior atau subtotal. Menurut Ramalingam bahwa OMSK adalah peradangan kronis
lapisan mukoperiosteum dari middle ear cleft sehingga menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan patologis yang ireversibe. (Djaafar Z. A., 2007, Helmi, 2007
dan Berman S, 2007)

Gejala Klinis
1. Telinga Berair (Otorrhoe)
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada
OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering
kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan
infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak
dijumpai adannya sekret telinga. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret
telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.
Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan
polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu
sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan Pendengaran
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta

21
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe
maligna biasanya didapat tuli konduktif berat.

3. Otalgia (Nyeri Telinga)


Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri
dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses
otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis,
subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin
akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan
vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan
menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran
infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa
terjadi akibat komplikasi serebelum
(Djaafar Z. A., 2007, Helmi, 2007 dan Berman S, 2007)

Tanda Klinis
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna (Paparella MM, Adams GL, Levine SC,
1997):
1. Adanya Abses atau fistel retroaurikular
2. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.
3. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)
4. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

Komplikasi

22
Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan
patologik yang menyebabkan otore. Walaupun demikian organisme yang resisten dan
kurang efektifnya pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi
didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu
eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat
menyebabkan komplikasi. Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat
pada eksaserbasi akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom.
A. Komplikasi ditelinga tengah :
1. Perforasi persisten membrane timpani
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis nervus fasial
B. Komplikasi telinga dalam
1. Fistel labirin
2. Labirinitis supuratif
3. Tuli saraf ( sensorineural)
C. Komplikasi ekstradural
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Petrositis
D. Komplikasi ke susunan saraf pusat
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hindrosefalus otitis
(Helmi, 2007)
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3
macam lintasan:
1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
2. Menembus selaput otak.
3. Masuk kejaringan otak.

23
Dalam hal ini komplikasi yang dapat menyebabkan keadaan serius adalah
komplikasi ekstradural dan susunan saraf pusat. (Helmi, 2007)

Komplikasi ke Ekstradural
Petrositis
Kira-kira sepertiga dari populasi manusia, tulang temporalnya mempunyai sel-
sel udara sampai ke apeks os petrosum. Terdapat beberapa cara penyebaran infesi dari
telinga tengah ke os petrosum. Yang sering ialah penyebaran langsung ke sel-sel
udara tersebut. Gejalanya diplopia, nyeri daerah parietal, temporal atau oksipital,
otore yang persisten. Kecurigaan terhadap petrosis terutama bila terdapat nanah yang
keluar terus menerus dan rasa nyeri yang menetap pasca mastoidektomi. Pengobatan
petrositis ialah operasi. Pada waktu melakukan operasi telinga tengah dilakukan juga
eksplorasi sel-sel udara tulang petrosum serta mengeluarkan jaringan patogen.
(Helmi, 2007).
Tromboflebitis Sinus Lateralis
Invasi infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati tulang mastoid akan
menyebabkan terjadinya trombosis sinus lateralis. Demam yang tidak dapat
diterangkan penyebabnya merupakan tanda pertama dari infeksi pembuluh darah.
Rasa nyeri biasanya tidak jelas, kecuali bila sudah terdapat abses perisinus. Kultur
darah biasanya positif, terutama bila darah diambil ketika demam.
Pengobatan haruslah dengan jalan bedah, membuang sumber infeksi di sel-sel
mastoid, membuang tulang yang berbatasan dengan sinus yang nekrotik, atau
membuang dinding sinus yang terinfeksi atau nekrotik. Jika sudah terbentuk
thrombus harus juga dilakukan drainase sinus dan mengeluarkan thrombus. (Helmi,
2007).
Abses Ekstradural
Abses ekstradural adalah terkumpulnya nanah di antara duramater dan tulang.
Ini berhubungan dengan jaringan granulasi dan kolesteatom yang menyebabkan erosi

24
tegmen timpani atau mastoid. Gejalanya terutama berupa nyeri telinga hebat dan
nyeri kepala. (Helmi, 2007).

Komplikasi ke Susunan Saraf Pusat


Meningitis
Komplikasi otitis media ke sususan saraf usat yang paling sering ialah
meningitis. Gejalanya biasanya berupa kaku kuduk, penurunan kesadaran, kenaikan
suhu tubuh, mual, muntah hingga proyektil, serta nyeri kepala yang hebat, Pada
pemeriksaan klinik terdapat kaku kuduk dan tanda kernig positif. Pengobatan dengan
mengobati meningitisnya dulu dengan antibiotik yang sesuai, kemudian infeksi di
telinganya ditanggulangi dengan operasi mastoidektomi. (Helmi, 2007).

Abses Otak
Abses otak biasanya merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga tengah
dan mastoid atau tromboflebitis. Umumnya didahului oleh suatu abses ekstradural.
Gejalanya berupa ataksia, afasia, disdiakdoko-kinetik, tremor intensif, tidak tepat
menunjuk suatu objek dan nadi yang lambat serta serangan kejang. Gejala lain berupa
nyeri kepala, demam, muntah serta keadaan letargik. Pengobatan abses otak ialah
dengan jalan operasi dengan melakukan drainase dari lesi. Selain itu pengobatan
dengan antibiotika harus intensif. (Helmi, 2007).

Hidrosefalus Otitis
Ini ditandai dengan peninggian tekanan likuor serebrospinal yang hebat tanpa
adanya kelainan kimiawi dari likuor itu. Gejala berupa nyeri kepala yang menetap,
diplopia, pandangan yang kabur, mual dan muntah. Pada pemeriksaan terdapat edema
papil. (Helmi, 2007).

EPISTAKSIS

25
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung merupakan suatu keluhan atau
tanda, bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan
setempat atau penyakit umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati sebabnya
(Kartika, Henny. 2009).
Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat
berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan
oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun
jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat
fatal, bila tidak segera ditolong. (Hembing. 2008 ; Ichsan, Mohammad. 2009).
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan
bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari
arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri
sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba.
Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga
merasa perlu memanggil dokter. Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan
kembali (Kartika, Henny. 2009).

Etiologi
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan
sistemik.
Lokal
 Trauma
 Infeksi
 Neoplasma
 Kelainan kongenital
 Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.
 Pengaruh lingkungan

26
Sistemik
 Kelainan darah
 Penyakit kardiovaskuler
 Infeksi akut
 Gangguan endokrin
Ada 2 macam lokasi terjadinya epistaksis :
1. Epistaksis anterior
Perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri dan kanan) bagian
depan, yaitu dari pleksus Kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior. Perdarahan
dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana
2. Epistaksis posterior
Berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan
anemia, hipovolemi dan syok (Soepardi dan Iskandar. 2001).

Diagnosis
1. Anamnesis
riwayat yang perlu diperhatikan:
 Riwayat sebelumnya dimana seringkali berdarah setelah tindakan bedah (cabut
gigi, sirkumsisi-sunat)
 Riwayat keluarga dengan perdarahan, epistaksis berulang, menstruasi berlebihan
 Penggunaan obat-obatan, contoh obat semprot hidung, obat-obatan hidung,
NSAIDS (non steroidal anti inflammatory drugs)
2. Pemeriksaan Fisik
 Rinoskopi anterior.
 Rinoskopi posterior.
 Pengukuran tekanan darah.
 Rontgen sinus

27
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah :
 Darah lengkap
 Pemeriksaan fungsi hemostatis
 Tes fungsi hati dan ginjal
4. Mencari sumber perdarahan (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan Iskandar.
2001).

Penatalaksanaan
Prinsip pertama dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga
ABC tetap baik
 A : airway : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk
menunduk
 B : breathing: pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau
keluarkan darah yang mengalir ke belakang tenggorokan
 C : circulation : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah
tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan
sirkulasi
Ada 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi, mencegah berulangnya epistaksis. Jika pasien
dalam keadaan gawat seperti syok atau anemia lebih baik diperbaiki dulu keadaan
umum pasien baru menanggulangi perdarahan dari hidung itu sendiri.
Menghentikan perdarahan:
Pada epistaksis posterior, sebagian besar darah masuk ke dalam mulut sehingga
pemasangan tampon anterior tidak dapat menghentikan perdarahan. Perdarahan
posterior lebih sukar diatasi karena perdarahan biasanya hebat dan sulit melihat
bagian belakang dari rongga hidung. Dilakukan pemasangan tampon posterior
(tampon Bellocq), yaitu tampon yang mempunyai tiga helai benang, 1 helai di setiap

28
ujungnya dan 1 helai di tengah. Tampon dipasang selama 2-3 hari disertai dengan
pemberian antibiotik peroral untuk mencegah infeksi pada sinus ataupun telinga
tengah. Pada epistaksis yang berat dan berulang, yang tak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon, perlu dilakukan pengikatan arteri etmoidalis anterior dan
posterior (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan Iskandar. 2001).
Epistaksis akibat patah tulang atau septum hidung biasanya berlangsung singkat
dan berhenti secara spontan, kadang-kadang timbul kembali beberapa jam atau
beberapa hari kemudian setelah pembengkakan berkurang. Jika hal ini terjadi
mungkin perlu dilakukan pembedahan terhadap patah tulang atau pengikatan arteri
(Hembing. 2008; Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan Iskandar. 2001)..

TULI MENDADAK
Tuli mendadak ( istilah medis: sudden deafness ) merupakan keadaan
emergensi di telinga, dimana telinga mengalami ketulian secara mendadak, kadang
tanpa disertai keluhan, umumnya mengenai satu telinga. Dikatakan emergensi karena
keadaan ini sering kali menetap, jika tidak diketahui cepat penyebabnya (Soepardi
dan Iskandar, 2001: Supriyono, 2009).
Tuli mendadak ialah tuli yang terjadi secara tiba-tiba, bersifat sensorineural
dan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui. Beberapa ahli mendefinisikan tuli
mendadak sebagai penurunan pendengaran sensorineural 30 dB atau lebih paling
sedikit pada tiga frekuensi berturut-turut yang berlangsung dalam waktu kurang dari 3
hari. Tuli mendadak bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari banyak
penyakit (NIDCD, 2003).
Suckfull dkk mendefinisikan tuli mendadak sebagai berikut: tuli
sensorineural yang berlangsung mendadak lebih dari 15 dB pada tiga frekuensi atau
lebih dibandingkan dengan telinga yang sehat atau pemeriksaan audiometri
sebelumnya, disertai dengan atau tanpa gejala tinitus dan vertigo. Kerusakannya
terutama di klokea dan sifatnya permanent (Universitas Sumatra Utara, 2008).

29
Etiologi
Etiologi tuli mendadak sampai sekarang belum diketahui secara pasti.
Banyak ahli berpendapat bahwa tuli mendadak bukanlah suatu penyakit melainkan
suatu gejala dengan banyak faktor penyebab. Terdapat 4 teori utama penyebab tuli
mendadak yang berkembang berdasarkan studi etiologi, yaitu: infeksi virus,
autoimun, kerusakan membran telinga dalam dan gangguan vaskuler (Universitas
Sumatra Utara, 2008).
Beberapa virus penyebab ketulian mendadak sensorineural ditemukan pada
kasus-kasus penyakit MUMPS, measles, rubella, dan influenza yang disebabkan oleh
infeksi adenovirus dan sitomegalovirus (CMV). Pemeriksaan serologis terhadap
pasien dengan ketulian sensorineural idiopatik menunjukkan adanya peningkatan titer
antibody terhadap sejumlah virus. Antara 25-30 % pasien dilaporkan dengan riwayat
infeksi saluran nafas atas dengan kurang satu bulan onset kehilangan pendengaran.
Pemeriksaan histopatologi tulang temporal pasien yang mengalami ketulian
mendadak menunjukkan adanya atrofi organ corti, atrofi stria vaskularis dan
membran tektorial serta hilangnya sel rambut dan sel penyokong dari koklea
(Ghossaini, 2007 : Soepardi dan Iskandar, 2001)..
Ketulian sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun telinga dalam
masih belum jelas, tapi aktivitas imunologik koklea menunjukkan fakta yang tinggi.
Pembuluh darah koklea merupakan ujung arteri (end artery), sehingga bila terjadi
gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami kerusakan. Pada
kasus emboli, trombosis, vasospasme, dan hiperkoagulasi atau viskositas yang
meningkat terjadi iskemia yang berakibat degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria
vaskularis dan ligament spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat
dan penulangan (Soepardi dan Iskandar, 2001 : Supriyono. 2009).
Ruptur membran labirin berpotensial menyebabkan kehilangan pendengaran
sensorineural yang tiba-tiba, membran basalis dan membran reissner merupakan
selaput tipis yang membatasi endolimfe dan perilimfe. Ruptur salah satu dari
membran atau keduanya dapat menyebabkan ketulian mendadak (Supriyono. 2009).

30
Gejala Klinik
Penderita mengeluh pendengarannya tiba-tiba berkurang pada satu atau
kedua telinga yang sebelumnya dianggap normal. Biasanya keadaan ini disadari
penderita ketika bangun tidur pagi hari ataupun setelah bekerja. Umumnya penderita
dapat mengatakan dengan pasti saat mulai timbulnya ketulian. Ketulian dapat
mengenai semua frekuensi pendengaran, tetapi yang sering pada frekuensi tinggi. Tuli
mendadak biasanya disertai dengan tinitus (91,0%), vertigo (42,9 %), rasa penuh pada
telinga yang sakit (40,7%), otalgia (6,3%), parestesia (3,5%), tuli saraf
sebelumnya(9,2%), tinitus sebelumnya (4,2%) dan gangguan vestibuler
sebelumnya(5,0%). (Universitas Sumatra Utara, 2008)
Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu telinga,
dapat disertai tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala dan tanda penyakit virus
seperti parotis, varisela, variola atau pada anamnesis baru sembuh dari penyakit virus
tersebut. Pada pemeriksaan klinis tidak ditemukan kelainan (Soepardi dan Iskandar,
2001).

Pemeriksaan Audiologi
1. Tes penala: Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach
memendek. Kesan: tuli sensorineural.
2. Audiometri nada murni: tuli sensorineural derajat ringan sampai sangat berat.
3. BERA (pada anak-anak atau pada pasien yang tidak kooperatif): tuli saraf ringan
sampai berat.
4. Tes SISI (short increment sensitivity index) skor 70-100%. Kesan : dapat
ditemukan rekruitmen.
5. Tes Tone Decay : tidak ada kelelahan. Kesan : bukan tuli retrokoklea.

31
6. Audiometri tutur: speech discrimination score (SDS) kurang dari 100%. Kesan :
tuli sensorineural.
7. Audiometri impedans: timpanogram tipe A (normal), refleks stapedius ipsilateral.
Negatif atau positif, sedangkan kontralateral positif. Kesan : tuli sensorineural
koklea. (Soepardi dan Iskandar, 2001 : Universitas Sumatra Utara, 2008).

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tuli mendadak sampai saat ini masih menimbulkan
perdebatan. Adanya laporan perbaikan pendengaran secara spontan berkisar antara
47%-63% menyulitkan hasil evaluasi penatalaksanaan tuli mendadak. Belum ada
penelitian yang dapat membuktikan bahwa suatu obat secara bermakna dapat
menyembuhkan tuli mendadak. Apabila penyebab tuli mendadak yang spesifik dapat
diidentifikasi, penatalaksanaan yang rasional dapat diberikan. Koreksi terhadap
penyebab, misalnya bising, DM, penyakit vaskuler. Obat-obat yang sering dipakai:
 Vasodilator yang cukup kuat misalnya complamin injeksi :
 3 x 900 mg (3 ampul) selama 4 hari
 3 x 600 mg (2 ampul) selama 4 hari
 3 x 300 mg (1 ampul) selama 6 hari
disertai vasodilator oral complamin 3X2 tablet tiap hari.
 Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang digunakan untuk mengobati
ketulian sensorineural mendadak idiopatik.
 Prednisone 4 x 10 mg tapering off tiap tiga hari, hati2 pd penderita DM.
 Obat anti virus : asiklovir dan amantadin pengobatan pada etiologi virus.
 Hiperbarik Oksigen. Terapi hiperbarik oksigen menggunakan 100% oksigen
dengan tekanan 250 kPA selama 60 menit dalam ruangan tertutup.
 Vitamin C 100 mg 2X1 tab/ hari dan neurobion 3X1 tab/ hari.
(Ghossaini, 2007 : Soepardi dan Iskandar, 2001)

32
Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan tiap minggu selama satu bulan. Bila
gangguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan, dapat dibantu dengan alat
bantu dengan (hearing aid). Rehabilitasi pendengaran agar sisa pendengaran dapat
digunakan secara maksimal bila memekai alat bantu dengar dan rehabilitasi suara
agar dapat mengendalikan volume, nada dan intonasi. Apabila dengan alat bantu
dengar juga belum dapat berkomunikasi secara adekuat dilakukan psikoterapi dengan
tujuan agar pasien dapat menerima keadaan (Soepardi dan Iskandar, 2001).

TRAUMA MAKSILOFACIAL
Struktur
Struktur tulang maksilofacial yang terdiri dari os maksila, zigomatikus dan
ethmoid yang tersusun secara khusus berperan sebagai peredam kejut yang
melindungi otak. Pemeriksaan dilakukan menyeluru dengan memperhatikan
kerusakan di tempat lain baik yang dekat maupun yang jauh terutama cedera otak.
Pemeriksaan lokal dilakukan dengan inspeksi dan palpasi ekstra oral maupun
intraoral. Pada trauma maksilofacial penyebab dari trauma dapat dibedakan menjadi
empat yaitu :
 Trauma tumpul
 Trauma tajam
 Trauma termal
 Trauma kimia.
Pada inspeksi diperhatikan adanya asimetri muka, pembengkakan, hematom,
trismus dan nyeri spontan serta maloklusi. Fraktur maksilofasial biasanya disertai
odema dan ematom sehingga muka tampak sangat bengkak (wajah balon). Lefort
membedakan fraktur maksilofasial atas tiga macam yaitu fraktur sepertiga atas
(Lefort III), fraktur Fraktur sepertiga tengah (Lefort II), fraktur sepertiga bawah
(Lefort I). Palpasi harus dilakukan secara serentak (kanan kiri bersama-sama),
seksama, dan sistematis (Iskandar dan Helmi. 2001).

33
Jika seseorang mendapat trauma pada muka yang disebabkan oleh banyak
factor, dapat menimbulkan kelainan berupa sumbatan jalan nafas, shock karena
perdarahan, gangguan pad vertebra servikalis, atau terdapatnya gangguan fungsi saraf
otak. Penanganan khusus trauma maksilofasial harus dilakukan segera atau pada
waktu berikutnya. Penanggulangan ini tergantung kepad kondisi jaringan yang
terkena trauma (Iskandar dan Helmi. 2001).
Penderita dengantrauma maksilofasial dapat timbul beberapa keluhan seperti
yang disebutkan dibawa ini misalnya :
1. Kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, abrasi dan laserasi).
2. Epistaksis (anterior dan posterior)
3. Terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan
4. Gangguan pada mata
5. Gangguan saraf sensoris
6. Gangguan saraf motorik
7. Trismus
8. Maloklusi
9. Emfisema subkutis
10. Krepitasi tulang pada maksila, mandibula, atau tulang hidung
11. Keluarnya cairan otak
12. Rasa sakit
13. Terdapat tanda infeksi pada jaringan lunak pada tempat hematoma
14. Terdapat fraktur gigi atau terlepasnya gigi tersebut
15. Adanya obstruksi hidung (Iskandar dan Helmi. 2001).

Fraktur Os Nasal
Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Sedangkan
jika disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur
wajah biasanya Le Fort tipe 1 dan 2. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan

34
cedera leher atau kepala (Soepardi dan Iskandar, 2001.:
http://www.w3.org/1999.xhtml).
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu: mendapat serangan misal dipukul,
injury karena olah raga, kecelakaan (personal accident) dan kecelakaan lalu lintas.
Dari 4 causa diatas, yang paling sering karena mendapat serangan misalnya dipukul
dan kebanyakan pada remaja. Jenis olah raga yang dapat menyebabkan injury nasal
misalnya sepak bola, khususnya ketika dua pemain berebut bola diatas kepala; olah
raga yang menggunakan raket misalnya ketika squash, raket dapat mengayun ke
belakang atau depan dan dapat memukul hidung atau karate; petinju (Ross,A.T,
2007).
Kemungkinan adanya fraktur tulang hidung harus dibuktikan dengan
pemeriksaan foto rontgen dengan proyeksi Water, foto os nasal dan pemeriksaan foto
rontgen dengan proyeksi dari atas hidung, untuk mengetahui kemungkinan timbulnya
kelainan oklusi dari rongga mulut (Soepardi dan Iskandar, 2001).

Tanda Klinis Fraktur Os Nasal


1. Edema/ hematoma di hidung dan sekitarnya.
2. Struktur hidung berubah, bengkok ke lateral atau batang hidung terdesak ke
dalam.
3. Terdapat krepitasi bila os nasalis diraba.
4. Terdapat dislokasi septum nasi.
(Iskandar dan Helmi, 2001)
Jika pyramid hidung rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat
akan menimbulkan fraktur hebat pada tulang hidung, prosesus frontal os maksial dan
prosesus nasalis os frontal. Bagian dari pyramid hidung yang terletak antara kedua
mata terdorong ke belakang, akibatnya terjadi fraktur nasoetmoid, nasomaksila dan
nasoorbita yang menimbulkan komplikasi sekuela. Komplikasi yang terjadi pada
hidung antara lain:
a. Perubahan bentuk hidung

35
b. Obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur, dislokasi atau hematome
pada septum
c. Gangguan penciuman (hiposmia atau anosmia)
d. Epistaksis posterior yang disebabkan karena robeknya arteri etmoidalis
e. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis frontalis atau
mukokel.
(Soepardi dan Iskandar, 2001 : Iskandar dan Helmi, 2001).

Penatalaksanaan
Pada keadaan dislokasi os nasalis dan septum nasi, bila tidak terdapat edema
atau hematoma, dilakukan reposisi segera, yaitu dengan memasukan 3 buah kapas
pada masing-masing lubang hidung (tampon kapas) yang diteteskan lidocain 1-2%
serta epinefrin 1/1000 selama 5 menit, atau semprotan xylocaine. Masing-masing
diletakkan pada meatus superior, antara konka media dan septum, dan antara
konkainferior dan septum nasi, kemudian ditunggu 10 menit.
 Reduksi fraktur os nasal dilakukan 1-2 jam sesudah trauma atau maksimal kurang
dari 14 hari.
 Pada trauma terbuka dilakukan eksplorasi di tempat luka, fragmen tulang
direposisi, kemudian di fiksasi dengan kawat. Bila terjadi avulsi, jaringan dijahit
kembali
(Ross, A. T, 2007 : Iskandar dan Helmi, 2001)
Perawatan Paska bedah
 Infus Ringer Laktat / Dekstrose 5 % 1 : 4 dilanjutkan selama 1 hari
 Antibiotik profilaksis diteruskan setiap 8 jam , sampai 3 kali pemberian.
 Analgetika diberikan kalau perlu.
 Penderita sadar betul boleh minum sedikit-sedikit, bila 8 jam kemudian tidak apa
apa boleh makan bubur (lanjutkan 1 minggu).

36
 Diperhatikan posisi tidur, daerah operasi tidak boleh tertekan dan rawat luka pada
hari ke 2 - 3 , angkat jahitan hari ke-7.
 Follow-Up: Tampon hidung dilepas hari 3-4, Splint septum dilepas hari 10, Gips
kupu-kupu dilepas minggu ke-3 dan kontrol tiap bulan selama 3 bulan.
(http://www.bedahumum.wordpress.com., 2008)
Fraktur Maksila
Fraktur maksila sering terjadi sebagai akibat dari trauma tumbukan dengan
energi tinggi pada tulang tengkorak. Tipe mekanisme trauma termasuk kecelakaan
sepeda motor, jatuh, dan terpukul. Dengan semakin dikenalnya peraturan
menggunakan sabuk keselamatan, luka pada pengemudi akibat efek dari terkena roda
kemudi telah beralih dari trauma pada dada menjadi trauma pada wajah. Jika terjadi
fraktur maksila harus segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan kembali fungsi
normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan dari tindakan penaggulangan ini adala
untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan
memperoleh kontur muka yang cocok (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan
Iskandar. 2001).
Harus diperhatikan juga jalan nafas yang baik serta profilaksis kemungkinan
terjadinya infeksi. Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan nafas
sehingga mungkin dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang bersal dari
arteri maksilaris interna atau arteri ethoidalis anterior sering terdapat pada fraktur
maksila dan harus segera diatasi (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan Iskandar.
2001).
Klasifkasi fraktur maksila
1. Fraktur maksila Lefort I
Fraktur Lefort I ( fraktur Guerin) meliputi fraktur bagian bawah. Bisa
unilateral maupun bilateral. Garis fraktur berjalan sepanjang maksila bagian
bawah sampai bagian bawah rongga hidung. Fraktur berjalan dari septum
hidung hingga ke bagian lateral piriformis, fraktur berjalan secara horizontal

37
diatas apikal gigi, mmenyeberang dibawah sambungan zygomatikomaksilar
dan hingga mengganggu dasar os pterigoid. Kerusakan yang mungkin terdapat
pada fraktur Le fort I ini adalah kerusakan pada:
a) Prosesus arteroralis
b) Bagian dari sinus maksilaris
c) Palatum durum
d) Bagian bawah lamina pterigoid
Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan
menggerakkan dengan jari. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal , yang biasanya
terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian (Moe, kris. 2008).

Gambar: Fraktur maksila Le fort I


Sumber: Moe, kris. 2008.. http://emedicine.medscape.com

2. Fraktur maksila Le fort II


Fraktur Le Fort II (pyramidal) dapat terjadi dari hantaman pada maksila bagian
bawah atau tengah. Fraktur ini mempunyai bentuk seperti piramida dan terjadi pada
jembatan hidung atau dibawah sutura nasofrontalis melalui prosessus frontalis
maksila, secara inferolateral melaluii tulang lakrimal dan inferior dasar orbital dan
berakhir di dekat inferior foramen orbital, dan secara inferior melalui dinding anterior
sinus maksilaris; kemudian berjalan dibawa zygoma menyeberangi fissure
pterigomaksila dan menuju ke lamina pterigoid. Fraktur pada lamina ciribriformis dan
atap sel ethmoid dapat merusak sistem lakrimalis, karena fraktur ini sangat mudah
digerakkan maka disebut floating maxilla (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan
Iskandar. 2001).

38
Gambar: Fraktur maksila Le fort II
Sumber: Moe, kris. 2008.. http://emedicine.medscape.com

3. Fraktur maksila Le fort III


Fraktur Le fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang
memisahkan secara lengkap antara tulang-tulang cranial. Garis fraktur berjalan
melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melaui fisura
orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zygomatika
frontal dan sutura temporozygomatik. Fraktur Le fort III ini biasanya bersifat
kominutif yang disebit keainan dishface. Fraktur maksila Le fort III ini sering
menimbulkan komplikasi intrakanial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak
melalui atap sel ethmoid dan lamina cribiformis (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi
dan Iskandar. 2001).

Gambar: Fraktur maksila Le fort III


Sumber: Moe, kris. 2008.. http://emedicine.medscape.com

39
Tanda dan gejala klinis
Fraktur pada tulang wajah seperti fraktur pada tulang-tulang lain
menimbulkan gejala seperti rasa sakit, memar, dan bengkak disekitar jaringan lunak.
Fraktur pada hidung, dasar tengkorak, atau maksila dapat dihubungkan dengan
epistaksis. Patah pada hidung dapat diasosiasikan dengan deformitas hidung, memar,
dan bengkak. Deformitas pada wajah seperti tulang pipi yang lebih menonjol dan gigi
yang tidak dapat menutup secara sempurna dapat dijadikan tanda adanya fraktur.
Asimetris pada wajah menandakan fraktur tulang wajah atau kerusakan pada syaraf.
Penderita patah tulang mandibula biasanya menderita rasa sakit dan kesulitan ketika
membuka mulut dan bengkak pada dagu dan bibir ( Moe, Kris.2008).
Diagnosis
Radiografi, biasa digunakan untuk mendiagnosis fraktur, agiografi dapat
digunakan untuk menentukan lokasi sumber perdarahan. CT scan lebih akurat untuk
mendeteksi patah tulang dan memeriksa jaringan lunak serta menentukan apakah
tindakan bedah memang dibutuhkan (Soepardi dan Iskandar. 2001).
Penatalaksanaan
Penanggulangan fraktur maksila (mid facial fracture) sangat ditekankan agar
rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter-maksilar
sehingga oklusi gigi menjadi sempurna. Pada tindakan ini banyak digunakan kawat
baja atau miniplate sesuai garis fraktur. Reposisi, suspensi(Le fort I,II dengan
“zygomatico circumferential wiring”, Le fort III dengan ‘fronto circumferential
wiring”) interdental wiring. Untuk fraktur maksila yang impresif perlu dilakukan
traksi skeletal. “Interdental wiring” dipertahankan satu bulan sedangkan suspensi
dipertahankan selama dua bulan ( Moe, Kris.2008).

Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula paling sering terjadi. Hal ini disebabkan kondisi mandibula
yang terpisah dari kranium. Penanganan fraktur mandibula sangat penting terutama

40
untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna,
proses mengunyah dan menelan yang sempurna. Fraktur mandibula sangat penting
dihubungkan dengan adanya otot yang bekerja dan berorigo atau berisersio pada
mandibula ini. Otot tersebut adalah otot elevator, otot depressor, dan otot protusor
(Iskandar dan Helmi. 2001).
Trauma dan fraktur pada mandibula dapat mengancam jiwa. Sebaga contoh
trauma pada ipsilateral body fracture dan contralateral subcondylar fracture. Trauma
pada symphysis dapat menyebabkan fraktur symphyseal dan fraktur bilateral
subcondylar. Dengan adanya fraktur bilateral, parasymphyseal selalu melindungi
jalan nafas dari obstruksi yang disebabkan retrodisplaced lidah. Gangguan pada jalan
nafas sering terjadi pada fraktur mandibula, sehingga dapat menyebabkan perdarahan
intraoral, odema, keilangan gigi, dan posterior dislokasi mandibula dan atau lidah
dikarenakan pergeseran segmen mandibula. Lokasi terjadinya fraktur mandibula
biasanya pada daerah condylar-subcondylar, tubuh dann angulus. Frekuensi lokasi
fraktur mandibula sebagai berikut:
 Condilus - 29%
 Angulus- 24%
 Symphysis - 22%
 Tubuh - 16%
 Ramus - 1.7%
 Coronoid - 1.3%
Tipe fraktur biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Fraktur
symphyseal dan bilateral parasymphyseal disebabkan oleh mandibula yang
menghantam roda kemudi atau dashboard (Iskandar dan Helmi. 2001; Moe, kris.
2008.).
.

41
Gambar: lokasi fraktur mandibula
Sumber: Chang, Edward.2008. http://emedicine.medscape.com

Gejala klinis
Diagnosis fraktur mandibula ditegakkan berdasarkan adanya riwayat
kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai berikut:
1. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula
2. Rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris inferior
3. Anastesia pada satu sisi bibir bawah, pada gusi, atau pada gigi dimana nervus
alveolaris inferior menjadi rusak
4. Maloklusi
5. Adanya krepitasi
6. Trismus, rasa sakit mengunyah
7. Gangguan jalan nafas
8. dll ((Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi dan Iskandar. 2001).
Diagnosis
Radiografi, biasa digunakan untuk mendiagnosis fraktur dengan melakukan
foto polos pada posisi posteroanterior, lateral, towne, lateral oblik kiri dan kanan,
agiografi dapat digunakan untuk menentukan lokasi sumber perdarahan. CT scan
lebih akurat untuk mendeteksi patah tulang dan memeriksa jaringan lunak serta
menentukan apakah tindakan bedah memang dibutuhkan (Iskandar dan Helmi. 2001;
Soepardi dan Iskandar. 2001).

42
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung pada lokasi fraktur mandibula, luasnya fraktur
dan keluhan penderita. Lokasi fraktur ditentukan dengan pemeriksaan radiografi.
Dapat digunakan juga mini atau mikro palte pada mandibula dengan tindakan
pembedahan. Penatalaksanaan non operatif dilakukan pada fraktur mandibula
minimal dan dislokasi. Pada anak-anak biasanya sering terjadi fraktur yang tidak
sempurna yang disebut fraktur greenstick dimana biasanya dilakukan perawatan
konservati pada pasien dewasa dengan fraktur minimal juga dilakukan perawatan
secara konservatif. Reposisi terbuka, fiksasi dengan “interosseous wiring” dan
interdental wiring. Interdental wiring dipertahankan selama satu bulan. Pilihan fiksasi
interna yang adalah dengan pemasangan plat dan sekrup. Fraktur daerah ramus,
kondilus, koronoid, yang maloklusinya dapat dikoreksi dengan reposisi tertutup,
cukup diimmobilisasi dengan interdental wiring (Iskandar dan Helmi. 2001; Soepardi
dan Iskandar. 2001; Chang, Edward.2008).

PARESE NERVUS FASIALIS


Kelumpuhan nervus Fasialis (parese N.VII) merupakan kelumpuhan otot-
otot wajah. N. Fasialis terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris dan
parasimpatis (Soepardi dan Iskandar, 2001).
Gangguan nervus fasialis dapat mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah,
kelopak mata tidak bisa ditutup, gangguan air mata dan ludah, gangguan rasa
pengecap di bagian belakang lidah serta gangguan pendengaran (hiperakusis).
Kelumpuhan fungsi motorik nervus fasialis mengakibatkan otot-otot wajah satu sisi
tidak berfungsi, ditandai dengan hilangnya lipatan hidung bibir, sudut mulut turun,
bibir tertarik kesisi yang sehat. Pasien akan mengalami kesulitan mengunyah dan
menelan. Air ludah akan keluar dari sudut mulut yang turun. Kelopak mata tidak bisa
menutup pada sisi yang sakit, terdapat kumpulan air mata di kelopak mata bawah
(epifora). Refleks kornea pada sisi sakit tidak ada (Sholehudin. 2008).

43
Pada tulang temporal, n.VII dibagi dalam 3 segmen yaitu segmen labirin
yang terletak antara kanal akustik internus dan ganglion genikulatum, segmen timpani
terletak diantara bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan ke arah posterior
telinga tengah, kemudian ke arah fenestra ovalis dan stapes, kemudian terletak sejajar
dengan kanal semisirkularis horizontal. Segmen mastoid, mulai dari dinding medial
dan superior kavum timpani, bagian ini merupakan bagian paling posterior dari n.VII,
sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi (Soepardi dan Iskandar, 2001).
Di dalam tulang temporal n.VII memberikan 3 cabang, yaitu nervus petrosus
superior mayor, nervus stapedius dan korda timpani. Nervus petrosus superior mayor
yang keluar dari ganglionj genikulatum. Saraf yang memberikan rangsang untuk
sekresi pada kelenjar lakrimalis. Nervus stapedius yang mensarafi muskulus stapedius
dan berfungsi sebagai peredam suara. Korda timpani yang memberikan serabut perasa
pada dupertiga lidah bagian depan (Soepardi dan Iskandar, 2001).

Etiologi Parese n.Fasialis


Penyebab kelumpuhan n.fasialis antara lain kongenital, infeksi, tumor,
trauma, gangguan pembuluh darah dan idiopatik. Kelumpuhan yang didapat secara
kongenital bersifat ireversibel dan terdapat bersamaan dengan anomali pada telinga
dan tulang pendengaran (Soepardi dan Iskandar, 2001).
Proses infeksi pada intrakranial atau infeksi telinga tengah, dapat
menyebabkan kelumpuhan n.Fasialis. Infeksi intrakranial yang menyebabkan
kelumpuhan, sindrom Ramsey-Hunt, herpes optikus, dan infeksi telinga tengah ialah
otitis media supuratif kronis yang telah merusak kanal Fallopi. Tumor ekstrakranial
yang menyebabkan kelumpuhan n.VII adalah tumor telinga tengah dan tumor parotis,
sedangkan tumor inrakranial dapat berupa tumor serebelopontin, neuroma akustik dan
neuriloma juga dapat menyebabkan kelumpuhan n.fasialis (Soepardi dan Iskandar,
2001).

44
Fraktur yang menyebabkan kelumpuhan n.Fasialis adalah fraktus pars
petrosa os temporal. Gangguan pembuluh darah misalnya trombosis arteri karotis,
a.Maksilaris dan a.serebri media (Soepardi dan Iskandar, 2001).

Pemeriksaan fungsi n. Fasialis


Tujuan pemeriksaaan untuk menentukan letak lesi dan menentukan derajat
kelumpuhannya.
 Untuk menentukan derajat kelumpuhan, dilakukan pemeriksaan fungsi motor.
Hasilnya dihitung dalam persen (%).
 Pemeriksaan gustometer, dapat ditentukan ambang kecep dari pasien.
 Tes Schimer, caranya dengan meletakkan kertas lakmus pada bagian inferior
konjungtiva. Dapat dihitung berapa banyak sekresi kelenjar lakrimalis.
 Pemeriksaan NET (nervus extability test) dengan membedakan kiri dan kanan.
Bila perbedaan lebih dari 3,5 mA menandakan fungsi n.VII dalam keadaan
serius. Dimana test ini untuk mengetahui ambang rangsang permukaan n.VII.
 Hiperakusis, jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius
maka suara-suara yang diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras
intensitasnya.
(Kedokteran dan Linux, 2008)

Penatalaksanaan
1. Pada parese N.VII dengan gangguan hantaran ringan dan fungsi motor masih
baik pengobatan ditujukan untuk menghilangkan edema saraf dengan
menggunakan obat-obatan: anti edema, vasodilatansia dan neurotronika.
2. Pada parese N.VII dengan gangguan hantaran berat atau sudah terjadi denervasi
total tindakan operatif segera harus dilakukan dengan teknik dekompresi N.VII
transmastoid.
(Soepardi dan Iskandar, 2001).

45
RINGKASAN DAN SARAN

Laring sebagai fungsi pernapasan merupakan saluran napas yang paling


sempit, sehingga merupakan saluran napas yang sering mendapat gangguan. Etiologi
yang dapat menyebabkan sumbatan laring dibagi menjadi: benda asing; trauma;
infeksi, seperti epiglotitis; neoplasma, seperti tumor laring; gangguan neurogenik
pada laring. Jakson membagi sumbatan pada laring menjadi 4 stadium dengan tanda
dan gejala. Dalam penatalaksanaan sumbatan pada prinsipnya diusahakan supaya
jalan napas lancar kembali. Pada stadium 1 tindakan konservatif dengan pemberian
anti inflamasi, anti alergi, antibiotika, serta pemberian oksigen intermiten. Pada
stadium 2 dan 3 dilakukan intubasi endotrakea dan trakeostomi. Pada stadium 4
dilakukan krikotirotomi.
Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat
berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan
oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun
jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat
fatal, bila tidak segera ditolong. epistakasis posterior dapat berasal dari arteri
sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-
sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan mencari sumber perdarahan Prinsip
pertama dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC tetap
baik. Ada 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi, mencegah berulangnya epistaksis. Jika pasien
dalam keadaan gawat seperti syok atau anemia lebih baik diperbaiki dulu keadaan
umum pasien baru menanggulangi perdarahan dari hidung itu sendiri.
OMSK mempunyai potensi serius karena komplikasinya yang dapat
mengancam kesehatan bahkan kematian. Biasanya ini terdapat pada pasien OMSK
tipe maligna. Komplikasi yang dapat menyebabkan keadaan serius adalah komplikasi
ekstradural dan susunan saraf pusat. Pengobatan medikamentosa yang tidak

46
mengurangi gejala klinis seperti otorea yang tidak berhenti, harus dicurigai
kemungkinan terjadinya komplikasi. Pemeriksaan fisik dan radiologik yang tepat
dapat menegakkan diagnosis sehingga mempercepat pemberian terapi yang efektif.
Tuli mendadak (sudden deafness) merupakan keadaan emergensi, bersifat
sensorineural dan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui, umumnya mengenai
satu telinga. Gejala tuli mendadak biasanya disertai dengan tinitus, vertigo, rasa
penuh pada telinga yang sakit, otalgia, parestesia dan gangguan vestibuler
sebelumnya. Belum ada penelitian yang dapat membuktikan bahwa suatu obat secara
bermakna dapat menyembuhkan tuli mendadak.
Fraktur maksila sering terjadi sebagai akibat dari trauma tumbukan dengan
energi tinggi pada tulang tengkorak. Jika terjadi fraktur maksila harus segera
dilakukan tindakan untuk mendapatkan kembali fungsi normal dan efek kosmetik
yang baik. Harus diperhatikan juga jalan nafas yang baik serta profilaksis
kemungkinan terjadinya infeksi. Fraktur maksila diklasifikasikan menjadi fraktur
maksila Le Fort I, fraktur maksila Le Fort II, dan fraktur maksila Le Fort III. Fraktur
pada tulang wajah seperti fraktur pada tulang-tulang lain menimbulkan gejala seperti
rasa sakit, memar, dan bengkak disekitar jaringan lunak. Penanggulangan fraktur
maksila (mid facial fracture) sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah
dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter-maksilar sehingga oklusi gigi menjadi
sempurna.
Fraktur mandibula paling sering terjadi. Hal ini disebabkan kondisi mandibula
yang terpisah dari kranium. Penanganan fraktur mandibula sangat penting terutama
untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna,
proses mengunyah dan menelan yang sempurna. Diagnosis fraktur mandibula
ditegakkan berdasarkan adanya riwayat kerusakan rahang bawah dengan
memperhatikan gejala-gejalanya. Penatalaksanaan tergantung pada lokasi fraktur
mandibula, luasnya fraktur dan keluhan penderita. Penatalaksanaan non operatif
dilakukan pada fraktur mandibula minimal dan dislokasi.

47
Kelumpuhan nervus Fasialis merupakan kelumpuhan otot-otot wajah.
Penyebab kelumpuhan antara lain kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan
pembuluh darah dan idiopatik. Pemeriksaaan dilakukan untuk menentukan letak lesi
dan derajat kelumpuhannya. Bila gangguan hantaran ringan pengobatan ditujukan
untuk menghilangkan edema saraf dan gangguan berat dengan tindakan operatif.
Pada fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah, dengan tanda-
tanda adanya edema/ hematoma, struktur hidung berubah, terdapat krepitasi dan
dislokasi septum nasi. Penatalaksanaan dengan reduksi dan pada trauma terbuka
dilakukan eksplorasi di tempat luka.

48
DAFTAR PUSTAKA

Anna H messner, MD. Et al. 2009. Epidemiology and etiology of epistaxis in


children. http://eccap0602p.utd.com

Bambang S. 1993. Laringologi. Balai penerbit UNDIP: Semarang.

Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July 2006. Available from
URL: http://www.pediatrics.org/

Bowman, J. G. 2009. Epiglottitis. eMedicine. http://emedicine.medscape.com/article /


763612-overview

Chang, Edward. 2008. Mandible fractures general principle and occlusion.


http://emedicine.medscape.com

Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007.

Felter, R. A. 2009. Epilgottitis. eMedicine. http://emedicine.medscape.com/article/


801369-overview

Ghossaini. 2007. Sudden Hearing Loss. http://www.american-hearing.org.

Hadiwikarta, A., Rumarjono dan Soepardi, E. Penanggulangan Sumbatan Laring.


Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta 2007.

Helmi. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis Dan Mastoiditis. Dalam : Soepardi
EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2007.

Hembing. 2008. Mengatasi dan Mencegah Perdarahan Hidung (Mimisan). http://


cybermed.cbn.net.id.htm

Ichsan, Mohammad. 2009. Penatalaksanaan Epistaksis. http://cdk.mht

Iskandar dan Helmi. 2001. Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat THT. FKUI.
Jakarta

49
Jeffry A Evans, MD. Et al. 2008. Epistaksis. http://emedicine.com

Junizaf, M. H. Benda Asing Di Saluran Napas. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N,


Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher.
Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007.

Kartika, Henny. 2009. Epistaksis. http://hennykartika@gmail.com

Kedokteran dan Linux. 2008. Pemeriksaan Saraf. http://www.medlinux.com

Moe, kris. 2008. Facial Trauma, maxillary , and Le Fort Fractures. http://emedicine.
medscape.com

Munir, M., Hadiwikarta, A., Hutauruk, S.M.. Trauma Laring. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2007.

NIDCD. 2003. Sudden Deafness. USA. http://www.nidcd.nih.gov

Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam:
Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC, 1997

Ross, A.T. 2007. Nasal and Septal Fractures. http://www.emedicine.com

Sholehudin. 2008. Gangguan pada Nervus Cranialis. http://www.cermin-


kedokteran.com

Supriyono. 2009. Tuli Mendadak. http://nawalahusada.wordpress.com/artikel-


kedokteran

Universitas Sumatra Utara. 2008. Tuli Mendadak. USU Digital Library

Wikipedia. 2009. Tracheotomy. http://en.wikipedia.org/wiki/Tracheostomy

Wikipedia. 2008. Cricothyrotomy. http://en.wikipedia.org/wiki/Cricothyrotomy

http://bedahumum.wordpress.com/2008/10/10/krikotirotomi. Krikotirotomi. 2008

http://bedahumum.wordpress.com. Reposisi Fraktur Nasal. 2008

http://www.w3.org/1999.xhtml. Fraktur Nasal. 1999

50

Anda mungkin juga menyukai