Anda di halaman 1dari 78

EPISTAKSIS

DIAGNOSIS &
PENATALAKSANAAN
TERKINI

Oleh : Abdul Qadar Punagi

Hak Cipta © 2017, pada penulis

Hak publikasi pada Penerbit Digi Pustaka


Dilarang memperbanyak, memperbanyak sebagian atau seluruh
isi dari buku ini dalam bentuk apapun, tanpa izin tertulis dari
penerbit.

ISBN 978-602-17126-2-7

Cetakan ke 01
Tahun 2017

Digi Pustaka
Jl. Rappocini Raya No. 114
Makassar, Sulawesi Selatan
Telp. 081242056156
Email : elvin@digipustaka.co.id
Epistaksis

SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS

Pertama-tama perkenankan saya ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-


tingginya kepada Dr.dr. Abdul Qadar Punagi, Sp.THT-KL(K) atas diterbitkannya buku
epistaksis ini.

Penulis adalah seorang pengajar di Departemen ilmu kesehatan THT-KL khususnya


divisi Rinologi,

Buku ini diharapkan dapat digunakan oleh mahasiswa kedokteran untuk mencapai
kompetensi yang diinginkan dan peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS-1) Ilmu
Kesehatan THT-KL serta dokter praktek.

Semoga dengan diterbitkannya buku ini, upaya penanganan epistaksis secara


komprehensif dapat menurunkan tingkat morbilitas dan mortalitas dimasyarakat dan
memperkaya khazanah publikasi staf pengajar di fakultas kedokteran universitas
Hasanuddin, Makassar.

Makassar,5 Oktober 2015

Prof.Dr.dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS, FICS


Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

ii
Epistaksis

SAMBUTAN KETUA DEPARTEMEN I.K.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS

Pertama-tama perkenankan saya ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-


tingginya kepada penulis atas diterbitkannya buku Epistaksis : Diagnosis dan
Penatalaksanaan Terkini ini.

Buku yang sangat komprehensif ini diharapkan dapat digunakan oleh mahasiswa
kedokteran untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dan peserta program pendidikan
dokter spesialis (PPDS-1) Ilmu Kesehatan THT-KL serta dokter praktek.

Semoga dengan diterbitkannya buku ini, upaya penanganan epistaksis secara


komprehensif dapat menurunkan tingkat morbilitas dan mortalitas dimasyarakat dan
memperkaya khazanah publikasi staf pengajar di fakultas kedokteran universitas
Hasanuddin, Makassar.

Makassar,5 Oktober 2015

Dr.dr. Abdul Qadar Punagi, Sp.THT-KL(K),FICS


Ketua Departemen I.K.THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

iii
Epistaksis

Puji syukur kami panjatkan yang setinggi-tingginya kepada Allah SWT, oleh karena
itu berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan buku ini yang berjudul Epistaksis,
berhasil rampung dan diselesaikan dengan baik. Buku ini berisi suntingan dari berbagai buku
dan publikasi ilmiah terbaru, yang membahas secara menyeluruh penanganan epistaksis
mulai dari etiologi sampai penatalaksaan terkini

Buku ini menguraikan secara ringkas segala sesuatu tentang epistaksis, dari
pengetahuan dasar seperti anatomi, patofisiologi, penanganan secara medikamentosa,
radiologis dan terapi bedah.

Epistaksis biasanya terjadi secara tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga
sedikit. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut, dan
mungkin hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan
sederhana dengan jalan menekan hidung.

Kolegium ilmu kesehatan THT-KL dan modul THT yang mendefinisikan bahwa
epistaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung dapat lokal atau sistemik, spontan atau
akibat rangsangan dan berlokasi sebelah anterior atau posterior. Epistaksis terjadi karena
adanya perubahan mekanisme penghentian perdarahan dapat disebabkan karena mukosa
yang abnormal, kelainan pembuluh darah atau kelainan pada sistem pembukuan darah.
Perkembangan patofisiologi dan pengobatan epistaksis telah meningkat dengan cepat .

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan pada epistaksis yaitu dari bagian
posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri
etmoidalis anterior, sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri ethmoidalis
posterior.

Epistaksis merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa


jika tidak tertangani secara cepat dan tepat. Sumber perdarahan epistaksis a. ethmoidalis
anterior.
iv
Epistaksis

Penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Hasanuddin, Prof.Dr.dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS dan Rektor Universitas
Hasanuddin, Prof.Dr.dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA yang telah menberikan kesempatan
kepada penulis dalam menyusun hingga diterbitkannya buku ini.

Kepada semua pihak, khususnya Digi Pustaka yang telah membantu merampungkan
dan memungkinkan penerbitan buku ini, tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih.
Akhirnya kepada para mahasiswa dan akademis yang tertarik untuk memiliki buku ini,
penulis tak lupa menghaturkan apresiasi yang tinggi. Amin

Makassar, 3 Juni 2015

Penulis

v
Epistaksis

Ucapan terima kasih dan hormat saya sampaikan kepada guru saya dan pelopor
pendirian Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL fakultas kedokteran Universitas
Hasanuddin, Prof (emeritus) Sedjawidada, Sp.THT-KL(K) atas dorongan dan upaya beliau
sehingga penulis dapat mengabdi sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan TKT-
KL fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin sejak tahun 1997.

Selanjutnya saya berterima kasih sekali kepada Dr.dr. Muh. Fadjar Perkasa, Sp.THT-
KL(K) , dr. Azmi Mir’ah Zakiah, M.Kes, Sp.THT-KL, serta peserta didik program
pendidikan dokter spesialis THT-KL fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin pada divisi
rinologi, dr. Gunterus Evans, dr. Rismayanti Nawir, dr. Andi Tenri Sanna, dr. Pancawati, dr.
Lisa Retno Dewi dan dr. Ahmad Ardhani yang banyak sekali membantu penulis khususnya
dalam bidang editorial.

vi
Epistaksis

Kata Sambutan Dekan FKUNHAS ii


Kata Sambutan Ketua Departemen I.K.THT-KL FKUNHAS iii
Kata Pengantar iv
Ucapan Terima Kasih vi
Daftar Isi vii
Pendahuluan 1
Anatomi 4
Etiologi 6
Diagnosis 16
Pemeriksaan THT Rutin 18
Pemeriksaan Tekanan Darah 21
Penunjang Radiologis 23
Penatalaksanaan 30
Proteksi dan Penanganan Jalan Napas & Pernapasan 31
Hemostasis Manual 31
Kauterisasi 32
Tampon Hidung 36
Ligasi Arteri 42
Embolisasi 46
Fibrin Glue 51
Penatalaksanaan HHT 51
Penatalaksanaan Faktor Komorbid 54
Algoritma Penanganan Epistaksis 54
Komplikasi 57
Syok Hipovolemi 57
Komplikasi Akibat Penggunaan Tampon Hidung 59
Toxic Shock Syndrome 59

vii
Epistaksis

Epistaksis atau perdarahan hidung adalah keadaan yang sering dijumpai dalam
kehidupan sehari - hari. Sebagian besar kasus epistaksis bersifat benigna, terjadi spontan dan
sembuh sendiri tetapi biasanya bisa terjadi berulang. Berdasarkan lokasinya, epistaksis
dibagi menjadi epistaksis anterior atau epistaksis posterior yang menentukan sumber
perdarahan.

Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90%
dapat berhenti sendiri. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, terutama terjadi pada
anak-anak dan usia lanjut. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak usia dibawah 10
tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun keatas. Epistaksis jarang terjadi pada bayi
tanpa adanya suatu keadaan koagulopati atau patologis pada hidung (misalnya, atresia
koanal, neoplasma). Anak-anak yang lebih tua dan remaja juga memiliki insiden lebih
jarang. Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) dibandingkan
perempuan (42%). Penyalahgunaan kokain pada penderita remaja cenderung meningkatkan
epistaksis. Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% manusia selama hidupnya dan 6% dari
mereka mencari penanganan medis.

Hampir semua kejadian epistaksis merupakan hal yang terabaikan dan tidak
mendapat perhatian dari tenaga medis. Kejadian epistaksis dapat bervariasi dan berganti-
ganti mulai dari kunjungan poliklinik tersering dengan perdarahan hidung bagian anterior
dengan episode ringan dan intermitten hingga kasus yang lebih jarang, kadang merupakan
konsul dari instalasi gawat darurat dengan sebuah onset baru perdarahan anterior dan
posterior berat yang tidak dapat dihentikan oleh petugas instalasi gawat darurat dan secara
nyata dapat mengancam jiwa. Insiden episode epistaksis selama masa hidup seseorang
diperkirakan mencapai 60%, kurang dari 10% diantaranya memerlukan perhatian medis
yang serius. Hampir setiap orang yang mengalami episode epistaksis tidak mencari
pertolongan tenaga medis karena perdarahannya sedikit dan terkadang berhenti dengan
cepat.
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari vestibulum nasi, kavum nasi atau
nasofaring. Epistaksis merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan dalam bidang
1
Epistaksis

otorinolaringologi di seluruh dunia dan menimbulkan kesulitan dalam penanganan kasus ini
utamanya di pusat pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas terbatas. Epistaksis dapat
mengakibatkan gangguan hemodinamik dan menimbulkan kecemasan pada penderita dan
keluarganya.
Umumnya epistaksis yang berasal dari bagian anterior hidung dapat dihentikan
dengan mudah menggunakan bahan kimia, elektrokauter atau tampon kavum nasi anterior.
Epistaksis anterior timbul akibat pecahnya pembuluh darah dari pleksus Kiesselbach yang
terletak pada bagian anteroinferior septum nasi, dikenal sebagai Little’s Area. Epistaksis
anterior umumnya unilateral, stabil dan tidak masif. Kejadian epistaksis anterior lebih sering
daripada epistaksis posterior, yaitu lebih dari 80% kasus.
Epistaksis posterior yang masif sering memerlukan rawat inap dan penanganan yang
lebih. Epistaksis posterior berasal dari kavum nasi posterior dan septum nasi bagian
posterior, biasanya terjadi secara spontan dan tiba-tiba disertai dengan mual, hematemesis,
anemia, hemoptisis atau melena.

Lebih dari 90% episode epistaksis terjadi pada septum nasi bagian anterior pada
daerah Kiesselbach. Suplai darah berasal dari arteri karotis eksterna melalui cabang labial
superior dari arteri fasialis, cabang terminal dari arteri sfenopalatina dan dari cabang arteri
karotis interna melalui arteri etmoidalis anterior dan posterior. Kira-kira 10 % perdarahan
hidung terjadi di bagian posterior, sepanjang septum nasi dan lebih sering pada usia lanjut,
dengan rata-rata usia penderita lebih dari 60 tahun.

Berbagai kondisi, baik lokal dan sistemik dapat menjadi pemicu epistaksis dengan
tingkat keparahan bervariasi. Penanganan epistaksis termasuk melakukan diagnosis kondisi
yang mendasari dan secara khusus ditentukan oleh keparahan epistaksis. Penanganan dapat
mulai dari pertolongan pertama dan kauterisasi, pemasangan variasi tampon hingga ligasi
arteri atau embolisasi. Kauterisasi dengan kontrol endoskopi dan atau ligasi endoskopi arteri
sphenopalatina dapat mengurangi kebutuhan tampon jangka panjang.

2
Epistaksis

Daftar Pustaka
1. Quoc A, Nguyen. Epistaxis; Medscape References; Available at American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery.2014. p.1.
2. Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I (ed).
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2012. p.96-100.
3. Massick D, Tobin EJ. Epistaxis. In: Cummings CW, Flint PW, Haughey B, Robbins T,
Thomas R, Harker LA, et al., editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4th ed.
USA: Elsevier; 2005. p. 942-62.
4. Wormald PJ. Epistaxis. In: Bailey, J B, Johnson, T J, Newlands, D S, editors. Head &
Neck Surgery-Otolaryngology. 1. USA: Lippincot William and Wilkins; 2006. p. 507-
14.
5. Areaux D. Epistaxis: The Common and Not So Common Nosebleed. Clinical Advisor.
6. Gilyoma JM, Chalya PL. Etiological Profile and Treatment Outcome of Epistaxis At a
Tertiary Care Hospital in Northwestern Tanzania: A Prospective Review of 104 Cases.
BMC Ear, Nose and Throat Disorders 2011; 11(8): p. 1-6.
7. Murer K, Roth BA, Holzmann D et al. THREAT Helps to Identify Epistaxis Patients
Requiring Blood Transfusions. Journal of Otolaryngology Head and Neck Surgery 2013;
42(4). p. 1-6.
8. Schlosser RJ. Epistaxis. Epidemiology and etiology of epistaxis in children;
Wolters.KluwersHealth. New England Journal Medicine[serial online] 2009 Feb 19
[cited 2013 July 05Anna H. p. 1.
9. Lund VJ. Acute and Chronic Nasal Disorder. In: Snow JB, editor. Ballenger’s Manual of
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. London: BC Decker; 2002. p. 275.

3
Epistaksis

1. Anatomi

Epistaksis dapat dibagi menjadi dua menurut asal pendarahannya, epistaksis anterior
dan epistaksis posterior. Hidung kaya akan sumber vaskularisasi, yaitu Arteri Karotis
Interna dan Arteri Karotis Eksterna. Sistem arteri karotis eksterna memperdarahi hidung
via arteri fasialis dan arteri maksila interna. Arteri labial superior adalah salah satu cabang
terminal dari arteri fasial. Arteri tersebut memperdarahi dasar kavum nasi anterior dan
septum anterior via cabang septal.

Arteri maksila interna masuk kedalam fossa pterigomaksila dan bercabang menjadi a.
alveola superior, a. palatina descendens, a. infraorbita, a. sfenopalatina, a. kanalis
pterigoideus.

Arteri karotis interna memberikan pendarahan ke hidung via arteri oftalmika. Arteri
ini memasuki daerah mata via fisura orbita superior dan terbagi menjadi dua cabang yaitu
arteri etmoid posterior yang keluar dari mata menuju foramen etmoid posterior dan arteri
etmoid anterior yang lebih besar meninggalkan mata menuju foramen etmoid anterior.
Keduanya terbagi menjadi cabang septal dan cabang lateral untuk memperdarahi septum
nasi dan dinding nasi lateral.

Hampir lebih dari 90% kasus terjadi pada daerah anterior dari Pleksus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach adalah daerah anastomosis dari pembuluh darah yang terletak pada
daerah septum anterior bagian kartilagenus. Mendapatkan pendarahan dari arteri karotis
interna dan arteri karotis eksterna. Pleksus Woodruff, merupakan pleksus pembuluh darah
besar yang terletak pada bagian posterior dari meatus inferior. Epistaksis posterior terjadi
pada daerah belakang kavum nasi, biasanya lebih profus. Perdarahan posterior memiliki
kemungkinan komplikasi jalan napas yang lebih tinggi, aspirasi darah, dan lebih sulit
ditangani

4
Epistaksis

Gambar 1. Vaskularisasi Kavum Nasi


(Modifikasi dari Netter F.H., Craig J.H., Perkins J. 2002. Atlas of Neuroanatomy
and Neurophysiology)

5
Epistaksis

Gambar 2. Pembuluh darah dari septum dan lateral hidung


(modifikasi dari dari Dhingra,PL.Epistaxis in Disease of Ear, Nose, and Throat & Head and
Neck Surgery 6th Edition. 2014)

II.2. Etiologi

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah yang berjalan di


submukosa hidung. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau
kelainan sistemik.

6
Epistaksis

A. LOKAL
a) Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya bersin, mengorek hidung,
trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Iritasi gas yang merangsang dan trauma
pada saat pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.

Benda asing yang berada di kavum nasi dapat menyebabkan trauma lokal, misalnya pada
pemasangan pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebabkan trauma pada
mukosa hidung.

Epistaksis juga sering terjadi karena adanya deviasi septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat deviasi itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan.

Bagian anterior septum nasi yang mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran
udara pernapasan yang dapat mengeringkan sekret hidung. Pembentukan krusta yang
keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta
berulang menyebabkan erosi membran mukosa septum dan kemudian mengakibatkan
terjadinya perdarahan.

Perdarahan yang disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan
yang terjadi minimal, tetapi jika terjadi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan
perdarahan masif.

b) Infeksi

Infeksi hidung seperti rinosinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra
dapat menyebabkan epistaksis.

c) Neoplasma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermitten, kadang-
kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah. Neoplasma yang dapat menyebabkan
epistaksis masif seperti hemangioma, karsinoma, serta angiofibroma nasofaring.
7
Epistaksis

d) Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah perdarahan telangiektasis


herediter (hereditary hemorrhagic telangiectasis / Osler’s disease). Penyakit ini
merupakan kelainan pembuluh darah dimana terjadi kerapuhan kapiler sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan.

e) Pengaruh lingkungan

Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering
terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan dehumidifikasi
mukosa nasal. Angka kejadian epistaksis meningkat jika terjadi kegagalan fungsi
humidifikasi, atau ketika mukosa hidung terpapar udara dingin dan kering sebagai faktor
musiman. Angka kejadian meningkat sejalan dengan penurunan suhu dan kelembaban.
Pada negara dengan empat musim, jumlah pasien biasanya meningkat di musim dingin.
Kunjungan meningkat 30% pada hari dimana temperatur dibawah 50C.
f) Operasi
Perdarahan post operatif setelah bedah endoskopik skull base juga memerlukan perhatian
khusus, bukan hanya karena potensial untuk paparan terhadap struktur penting
neurovaskuler tetapi juga karena fakta bahwa packing dapat potensial untuk terjadinya
kerusakan neurologis yang tiba-tiba.

A B C

Gambar 3. Penyebab lokal epistaksis sekunder. A) Pasien HHT dengan telangiektasis pada
bagian anterior septum sisi kanan dan konka inferior. B) Granuloma piogenik pada internal
valve kanan pada pasien hamil. C) Inverted papilloma sisi kanan (Modifikasi dari Bleier, BS.
Epistaxis in Bailey Head and Neck Surgery-Otolaryngology Fifth Edition. 2014)

8
Epistaksis

B. SISTEMIK
a) Kelainan darah
i. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/µl.
Trombositopenia akan memperpanjang waktu koagulasi dan memperbesar resiko
terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah yang lebih kecil di seluruh tubuh.
ii. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-
Linked resesif, yang mana gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme herediter,
yaitu adanya defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX
(hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku secara normal,
hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.
iii. Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang
diproduksi oleh sumsum tulang. Sumsum tulang dalam tubuh manusia memproduksi
3 tipe sel darah diantaranya lekosit, eritrosit dan trombosit. Pada leukemia terjadi
peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan
pembentukan sel-sel darah lain di sumsum tulang termasuk trombosit, sehingga
terjadi trombositopenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.
iv. Obat-obatan seperti:
Menyebabkan trombositopeni: Obat kemoterapi, quinidine, golongan sulfa, H2
blockers, obat2 diabetes oral, heparin, alkohol.
Mempengaruhi proses koagulasi darah: Warfarin, Heparin.
Mempengaruhi fungsi platelet: Aspirin, clopidogrel, OAINS .
Obat2an herbal: Dong quai, Danshen, Feverfew, bawang, jahe, Gingko, Ginseng.

b) Penyakit kardiovaskuler
i. Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan
diastolik lebih dari 90 mmHg. Perdarahan yang terjadi akibat kerapuhan pembuluh
darah dan kontraksi pembuluh darah terus menerus sehingga pembuluh darah yang
rapuh mudah pecah.
ii. Arteriosklerosis adalah terjadinya kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan
tekanan darah meningkat, pembuluh darah yang tidak elastis akan mengalami
ruptur.
9
Epistaksis

c) Infeksi Akut
Epistaksis dapat terjadi pada infeksi-infeksi akut seperti demam berdarah, infeksi virus
dengue akan mengakibatkan reaksi kompleks antigen-antibodi yang akan mengaktivasi
sistem komplemen dan juga menyebabkan agregasi trombosit serta mengaktivasi sistem
koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Agregasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan pada demam berdarah. Agregasi trombosit terjadi sebagai
akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran adenosine di phospat (ADP), sehingga trombosit melekat
satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh Reticulo
Endothelial system (RES) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan fibrinogen
degredation product (FDP) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Mekanisme Pembekuan Darah

A. Mekanisme Ekstrinsik
Mekanisme ekstrinsik sebagai awal pembentukan activator protrombin dimulai
dengan dinding pembuluh luar yang rusak, dan berlangsung melalui langkah-
langkah, yaitu :
1. Pelepasan faktor jaringan. Jaringan yang luka melepaskan beberapa faktor yang
disebut faktor jaringan atau tromboblastin jaringan. Faktor ini terutama terdiri
dari fosfolipid dari membrane jaringan dan kompleks lipoprotein yang
mengandung enzim preteolitik yang tinggi.
2. Aktifasi dari Faktor X-peranan faktor VII dan faktor jaringan. Kompleks
lipoprotein dari faktor jaringan selanjutnya bergabung dengan faktor VII dan
bersamaan dengan hadirnya ion kalsium, faktor ini bekerja sebagai enzim
terhadap faktor X untuk membentuk faktor X yang teraktifasi.
3. Efek dari faktor X yang teraktivasi dalam membantu aktifator protrombin-
peranan faktor V. faktor X yang teraktivasi segera berikatan dengan fosfolipid
jaringan, atau dengan fosfolipid tambahan yang dilepaskan dari trombosit, juga
dengan faktor V. yang membentuk senyawa yang disebut activator protrombin.
10
Epistaksis

Kemudian senyawa ini memecah protrombin menjadi thrombin, dan


berlangsunglah proses pembekuan darah. Pada tahap permulaan, faktor V yang
terdapat dalam kompleks activator protrombin bersifat inaktif. Tetapi sekali
proses pembekuan darah ini dimulai dan thrombin mulai terbentuk, kerja
proteolitok dari thrombin akan mengaktifkan akselerator tambahan yang kuat
dalam mengaktivasilah yang menyebabkan pemecahan protrombin menjadi
thrombin.

B. Mekanisme Intristik
Mekanisme kedua untuk pembentukan activator protrombin, dan dengan
demikian juga merupakan awal dari proses pembekuan, dimulai dengan
terjadinya trauma terhadap darah itu sendiri atau berkontak dengan kolagen pada
dinding pembuluh darah yang rusak, dan kemudian berlangsunglah serangkaian
reaksi yang bertingkat.
1. Pengaktifan faktor XII dan pelepasan fosfolipid thrombosit oleh darah yang
terkena trauma. Trauma terhadap darah atau berkontaknya darah dengan
kolagen pembuluh darahkan mengubah dua factor pembekuan penting dalam
darah: faktor XII dan thrombosit. Bila faktor XII terganggu, misalnya karena
berkontak dengan kolagen atau dengan permukaan yang basah seperti gelas,
ia akan berubah menjadi bentuk baru yaitu sebagai enzim proteolitk yang
disebut faktor XII yang teraktivasi. Pada saat yang bersamaan, trauma
terhadap darah juga akan merusak trombosit akibat bersentuhan dengan
kolagen atau dengan permukaan basah, dan ini akan melepaskan fosfolipid
trombosit yang mengandung lipoprotein, yang disebut 3 faktor pembekuan
selanjutnya.
2. Pengaktifan faktor XI, faktor XII yang teraktivasi bekerja secara enzimatik
terhadap faktor XI dan juga mengaktifkannya, ini merupakan langkah kedua
dalam jalur instrinsik. Reaksi ini memerlukan kininogen HMW (berat
molekul tinggi), dan dipercepat oleh prekalikrein.
3. Pengaktifan faktor IX oleh faktor XI yang teraktivasi bekerja secara
enzimatik terhadap faktor XI dan mengaktifkannya
11
Epistaksis

4. Mengaktifkan faktor X-peranan Faktor VIII. Faktor IX yang teraktivasi dan


dengan fosfolipid trombosit dan faktor 3 dari trombosit yang rusak,
mengaktifkan faktor X.
5. Kerja faktor X teraktivasi dalam pembentukan aktivastor protrombin-peran
faktor V. Langkah dalam jalur intristik ini pada prinsipnya sama dengan
langkah pada jalur ekstrinsik. Artinya faktor X yang teraktivasi berbentuk
suatu kompleks yang disebut aktivator protrombin.

c) Gangguan endokrin

Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progesteron yang tinggi di pembuluh
darah yang menuju ke seluruh membran mukosa dalam tubuh termasuk di hidung yang
menyebabkan mukosa edema dan rapuh sehingga terjadi epistaksis.

d) Alkoholisme

Meningkatnya tekanan intravaskular yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh


darah sehingga terjadi epistaksis.

e) Penyakit Von Willebrand.

Perdarahan pada penyakit Von Willebrand dapat terjadi pada dua tahap terakhir proses
pembekuan darah

1. Pada tahap ke-3, penderita kemungkinan tidak memiliki cukup faktor Von
Willebrand (VWF) dalam darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi
secara normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk
menyanggah trombosit di sekitar pembuluh darah yang mengalami
kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi pembuluh darah.
2. Pada tahap ke-4, VWF membawa faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu
protein yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa
adanya faktor VIII dalam jumlah normal akan menyebabkan proses
pembekuan darah memanjang. VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat

12
Epistaksis

untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang


mengalami kerusakan.

Jika pembuluh darah terluka, terdapat 4 tahapan pembentukan bekuan darah yang normal :

A. Darah akan keluar dari pembuluh darah yang terluka


B. Pembuluh darah menyempit untuk mengurangi aliran darah ke daerah
luka
C. Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang
rusak. Proses ini dikenal sebagai adesi trombosit. Trombosit yang
menyebar akan melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain di
dekatnya sehingga akan menggumpal membentuk gumpalan trombosit
pada tempat yang terluka. Proses ini disebut agregasi trombosit
D. Permukaan trombosit yang teraktivasi akan menjadi tempat terjadinya
bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar dalam darah
diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk jaringan bekuan fibrin.

13
Epistaksis

Gambar 4. Mekanisme Pembekuan Darah.


Dikutip dari Medscape.Neurosurgery Focus. American Association of Neurological
Surgeons. 2004

14
Epistaksis

Daftar Pustaka

1. Quoc A, Epistaxis; Medscape References; Available at American Academy of


Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
2. Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I
(ed). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2012:
96-100.
3. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Medicine[serial online]
2009;360:783-789
4. Anna H; Epidemiology; Epidemiology and etiology of epistaxis in children.
Available at Wolters.KluwersHealth
5. Evans JA. Epistaxis: treatment & Medication. eMedicine Specialities [cited 2014
april 6]. Available at American Laryngological Rhinological and Otological
Society.
6. Bleier, BS. Epistaxis in Bailey Head and Neck Surgery-Otolaryngology Fifth
Edition. Baltimore, Lippincott Williams and Wilkins, 2014: 501-503.

15
Epistaksis

Pada sebagian besar kasus, penyebab epistaksis sudah dapat ditentukan


melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila tidak dijumpai kehilangan darah yang
berat, tidak ada kecurigaan faktor sistemik dan lokasi perdarahan anterior telah
dapat ditentukan, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Perlu diingat bahwa
seringkali penyebab perdarahan ringan berulang merupakan idiopatik. Namun pada
penderita yang sumber perdarahan atau kelainan lokal tidak jelas dapat dinyatakan
idiopatik jika pendekatan untuk mencari kelainan primer telah dilakukan dan tidak
didapati kelainan.
Pada anamnesis harus ditanyakan tentang awal terjadinya perdarahan,
riwayat perdarahan sebelumnya, penyakit penyerta, pemakaian obat-obatan seperti
aspirin atau warfarin, serta riwayat kelainan darah atau leukemia dalam keluarga.
Kebanyakan perdarahan dari hidung diakibatkan oleh trauma ringan pada septum
nasi anterior, oleh karena itu anamnesis harus mencakup kemungkinan tersebut.
Riwayat perdarahan hidung yang sering berulang, disertai bagian tubuh lain yang
mudah memar, atau perdarahan lainnya memberikan kecurigaan terhadap penyebab
sistemik dan dianjurkan pemeriksaan hematologis.
Penderita dengan epistaksis sering menyatakan bahwa perdarahan berasal
dari bagian depan atau belakang hidung. Sebagai pemeriksa, yang harus
diperhatikan tertuju pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau
pada bagian hidung yang paling banyak mengeluarkan darah.
Pada pemeriksaan fisis, setelah memeriksa keadaan umum penderita dan
memastikan tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Hidung harus
diperiksa dengan teliti untuk menentukan lokasi dan penyebab perdarahan. Untuk
mendapatkan visualisasi yang baik diharuskan menggunakan peralatan THT yang
cukup lengkap.
Alat-alat yang harus disiapkan untuk pemeriksaan adalah :
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung dengan ukuran yang sesuai ( anak atau dewasa),
16
Epistaksis

3. Alat penghisap dan


4. Pinset bayonet,
Bahan-bahan yang harus disiapkan adalah :
1. Kapas,
2. Kain kasa,
3. Larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2%
4. Larutan epinefrin 1:100.000 dan 1:200.000

Gambar 5. Persiapan Alat – alat untuk Penanganan Epistaksis. 1. Bunsen,2.


Spekulum Hidung, 3. Cawan Ginjal, 4. Forceps Aligator, 5. Spatel Lidah, 6.
Pinset Bayonet,7.Gunting

17
Epistaksis

3
1

Gambar 6. Berbagai Macam Tampon Hidung 1. Tampon Rongga Hidung Posterior


(Bellocq), 2. Tampon Sinonasal, 3. Tampon Kapas Rongga Hidung.

Konsentrasi vasokonstriktor dalam anestesi lokal yang digunakan untuk infiltrasi


adalah epinefrin = 1 : 100.000 dan 1 : 200.000 dalam lidokain 1% atau 2% sedangkan
untuk tampon di kamar operasi adalah perbandingan epinefrin : lidokain = 1 : 4

Cara cepat untuk membuat larutan konsentrasi adrenalin 1 : 100.000 dari


konsentrasi 1 : 1000 dengan volume 1 ml, maka 100 (pengenceran untuk konsentrasi 1 :
100.000) ∞ 1 ml ( 20 tetes). 100 ml ∞ 20 tetes (adrenalin / epinefrin) 10 ml ∞ 2 tetes.
Artinya dibutuhkan 2 tetes adrenalin dalam 10 ml pelarut ( bisa aqua bides / lidokain 1 – 2
%.) Demikian pula cara yang sama dapat digunakan untuk mencari konsentrasi lebih

18
Epistaksis

rendah, misalnya 1 : 200.000. Cara untuk membuat konsentrasi yang lebih tinggi, misalnya
1 : 4, adalah dengan mencampur 1 ml adrenalin / epinefrin konsentrasi 1 : 1000 dengan 4
ml pengencer, penggunaan konsentrasi yang lebih tinggi hati – hati pada stroke, hipertensi,
dekompensasi kordis, dan penyakit – penyakit lain yang dapat memicu peningkatan
tekanan darah. Kelebihan menggunakan lidokain adalah memberikan efek analgesia yang
lebih baik, dimana pada keadaan nyeri, terjadi peningkatan laju denyut nadi, dan
perdarahan akan semakin aktif.
Untuk eksplorasi dan tindakan minimal pada rongga hidung dengan atau tanpa
endoskopi, anestesi lokal dan dekongestif yang optimal, alternatif lain yang juga bisa
digunakan adalah tampon xylocaine jelly dengan adrenalin atau epinefrin 1:5000 atau dengan
larutan efedrin 1 – 2 %.

Untuk pemeriksaan yang adekuat penderita harus ditempatkan dalam


posisi yang memudahkan pemeriksa bekerja dan cukup sesuai untuk mengobservasi
atau mengeksplorasi kavum nasi penderita.
Dengan menggunakan spekulum, hidung dibuka dan dengan alat pengisap
dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun bekuan
darah, sesudah dibersihkan seluruh kavum nasi diobservasi untuk mencari sumber
perdarahan dan k e m u n g k i n a n faktor penyebab perdarahan. Kemudian
masukkan kapas yang telah disemprot dengan larutan epinefrin : lidokain 1 : 4 ke
dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah
10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Penderita yang mengalami perdarahan berulang atau sekret bercampur
darah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus penanganan yang
berbeda dibandingkan penderita dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas
utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
A. Pemeriksaan THT rutin yang harus dilakukan,
1. Rinoskopi anterior: Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari
anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding
lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat,
19
Epistaksis

2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan menggunakan cermin nasofaring pada
penderita dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronis yang
bercampur darah penting untuk menyingkirkan adanya neoplasma.
3. Nasoendoskopi dilakukan untuk evaluasi bagian kavum nasi dan muara sinus
secara langsung menggunakan tampilan berkualitas tinggi. Ini adalah
prosedur yang biasa dilakukan di bagian THT dan berfungsi sebagai alat
diagnostik objektif dalam mengevaluasi mukosa hidung, anatomi sinonasal,
dan patologi hidung. Nasoendoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan
teleskop serat optik atau teleskop kaku. (Gambar 7 dan 8)
Nasoendoskopi memiliki peran yang jelas dalam identifikasi penyakit
sinonasal pada penderita ke poliklinik THT. Prosedur pemeriksaan ini harus
dilihat sebagai komponen penting dari pemeriksaan lengkap dari hidung dan
sinus.

Gambar 7. Teleskop Serat Optik . Endoskopi fleksibel.


Dikutip dari Stephen JD.Flexible Endoscopes in Minimally invasive surgery. University of
Georgia

20
Epistaksis

Gambar 8. Teleskop Kaku 00 dan 300


Dikutip dari Stephen JD.Flexible Endoscopes in Minimally invasive surgery.
University of Georgia

Indikasi untuk nasoendoskopi sebagai berikut:

a. Identifikasi awal penyakit pada penderita yang mengalami gejala kelainan sinonasal
(misalnya, sekret mukopurulen, nyeri wajah, sumbatan hidung, atau penurunan indra
penghidu)
b. Evaluasi respon penderita terhadap pengobatan medis (misalnya polip, sekret purulen,
atau edema mukosa dan inflamasi setelah pengobatan dengan steroid topikal hidung,
antibiotik, steroid oral, dan antihistamin)
c. Evaluasi penderita dengan komplikasi dari rinosinusitis
d. Pengeluaran lendir dan fibrin dari hidung dan rongga sinus pasca bedah sinus endoskopik
fungsional (BSEF)
e. Evaluasi untuk kekambuhan penyakit setelah BSEF (ini sangat penting dalam pemantauan
kekambuhan tumor sinonasal)
f. Evaluasi dan biopsi tumor atau lesi pada hidung
g. Evaluasi nasofaring untuk hiperplasia limfoid, masalah tuba Eustachius, dan sumbatan
hidung
h. Evaluasi dan penanganan kebocoran cairan serebrospinal

21
Epistaksis

i. Evaluasi dan penanganan epistaksis


j. Evaluasi hiposmia atau anosmia
k. Evaluasi dan penanganan benda asing hidung

Gambar 9. A. gambar endoskopi pada epistaksis dari Pleksus Kiesselbach B. gambar


dinding lateral kavum nasi yang menunjukkan arteri sfenopalatina pada diseksi kadaver.
Dikutip dari Shukla AP.Current Threatment Strategiest for Epistaxist in Journal of
Neurointerventional Surgery 2013;5(2):151-156

B. Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
C. Pemeriksaan Penunjang Radiologis
1. Foto kepala posisi Waters, Lateral dan Caldwell
a. Posisi Waters disebut juga posisi mento – occipital. Posisi ini dikembangkan
oleh Waters dan Waldron pada tahun 1915. Foto kepala posisi waters paling
sering digunakan. Pada foto waters, secara ideal piramid tulang petrosum
diproyeksikan pada dasar sinus maksila. Tujuannya adalah untuk
22
Epistaksis

memproyeksikan tulang petrosum supaya terletak di bawah antrum maksila


sehingga kedua sinus maksila dapat dievaluasi seluruhnya. Hal ini didapatkan
dengan menengadahkan kepala penderita sedemikian rupa sehingga dagu
menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medialis mata dan
tragus membentuk sudut 45 derajat dengan film. Foto waters umumnya
dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat
menilai daerah dinding posterior sinus sphenoid dengan baik.
Tujuannya untuk melihat gambaran sinus paranasal.
b. Foto kepala lateral dilakukan dengan film terletak sebelah lateral dengan
sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksila
berhimpit satu sama lain.
Tujuannya untuk melihat detail-detail tulang kepala, dasar kepala, dan struktur
tulang wajah.
c. Posisi Caldwell disebut juga posisi fronto – occipital. Posisi ini sangat ideal
untuk melihat sinus frontal. Dalam posisi ini sinus frontalis berada dalam
kontak langsung dengan film. Posisi ini didapatkan dengan meletakkan hidung
dan dahi di atas meja sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang
menghubngkan kantus lateralis mata denagn batas superior kanalis auditorius
eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 derajat
kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion.

2. Computed Tomography Scan (CT Scan)


CT scan digunakan dalam dunia kedokteran sebagai alat diagnostik dan
pemandu untuk prosedur intervensi. Ukuran gambar yang didapat pada CT-scan
adalah radiodensitas. Ukuran tersebut berkisar antara skala -1024 to +3071 pada
skala Hounsfield unit. Hounsfield sendiri adalah pengukuran densitas dari
jaringan.
Dengan berkembangnya teknologi CT-Scan maka dosis radiasi yang
diberikan makin menurun, mempercepat prosedur pemeriksaan scaning dan
peningkatan kemampuan merekonstruksi gambar yang dihasilkan.

23
Epistaksis

Gambaran jaringan pada CT scan :


a. Udara : -1000 HU
b. Lemak : -100 HU
c. Cairan serebrospinal : 0 HU
d. Darah : 100 HU
e. Tulang : 1000 HU

CT scan merupakan modalitas pencitraan yang sangat baik untuk


mengevaluasi rongga sinonasal. Ini memberikan penilaian yang akurat dari sinus
paranasal dan tulang kraniofasial serta luasnya pneumatisasi sinus paranasal.
Potongan 5 milimeter cukup memadai untuk evaluasi struktur sinonasal dan
dasar tengkorak. Potongan aksial diperoleh dengan pasien berbaring supine di
atas meja pemeriksa dan posisi pasien diatur senyaman mungkin. Kepala
diletakkan tepat di pemindaian gantry. Mid sagital plane segaris tengah meja.
Mid axial kepala tepat pada dumber pemindaian gantry. Hal ini berbeda dengan
potongan koronal yang diperoleh dengan pasien berbaring dalam posisi prone
atau supine di atas meja pemeriksaan. Kepala hiperekstensi membentuk sudut
terhadap pemindaian gantry untuk mendekati sinus bidang coronal.

Protokol pencitraan yang optimal untuk praoperasi adalah CT scan sinus


paranasalis, termasuk persiapan penderita, teknik CT, dan menampilkan data,
telah dilaporkan oleh banyak penulis.

Pada epistaksis, pemeriksaan CT Scan sangat penting mengingat epistaksis


seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Pemeriksaan CT
Scan dilakukan untuk menilai rongga hidung dan sinus paranasalis terhadap
kemungkinan adanya penyakit primer yang menjadi penyebab dari epistaksis.

Beberapa penyakit yang dapat menjadi penyebab dari epistaksis antara lain
trauma, neoplasma maupun kelaianan kongenital dapat ditegakkan diagnosis
dengan bantuan CT Scan.

Hasil pemeriksaan CT yang terbaik untuk menilai kelainan pada mukosa


rongga sinonasal pada kasus peradangan kronis serta rinitis alergi, didapatkan
24
Epistaksis

apabila telah dilakukan pengobatan dengan medikamentosa yang tepat dan


persiapan yang cukup dari penderita. Potongan 3 milimeter secara langsung pada
CT scan koronal, dengan penderita sebaiknya dalam posisi prone dan kepala
hiperekstensi, saat ini mampu memberikan evaluasi pra operasi terbaik untuk
bedah sinus endoskopik. Studi yang kompleks tentang CT scan sinus paranasalis
harus mencakup potongan aksial dan koronal, walaupun dalam satu seri potongan
koronal pada sebagian besar kasus telah memberikan sejumlah informasi yang
dibutuhkan untuk mengevaluasi kompleks ostiomeatal tersebut. Potongan koronal
harus diperluas dari bagian anterior sinus frontal sampai ke bagian posterior sinus
sfenoid. Namun, kombinasi koronal dan aksial dari CT scan memungkinkan ahli
bedah lebih komperhensif untuk menilai aspek 3 dimensi kompleks ostiomeatal.
CT scan aksial harus disertakan ketika CT scan koronal menunjukkan massa atau
mukosa patologis yang mengalami perluasan ke rongga – rongga sinus.

CT dengan kontras tidak harus menjadi bagian dari CT pra operasi untuk
bedah sinus endoskopik. Kontras digunakan hanya ketika evaluasi awal dari CT
scan menunjukkan adanya massa. Sebagai tambahan bahan kontras harus
diberikan ketika terdapat komplikasi ekstrakranial (orbital) dan komplikasi
intrakranial pada kasus infeksi sinonasal atau tumor.

Untuk tumor sinonasal, kombinasi CT dan MRI memberikan informasi


pencitraan diagnostik maksimal.

Kelebihan CT scan :

a. Gambar yang dihasilkan memiliki resolusi yang baik dan akurat.


b. Tidak invasif (tindakan non-bedah)
c. Waktu perekaman cepat.
d. Gambar yang direkonstruksi dapat dimanipulasi dengan komputer sehingga
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.

Kekurangan CT scan :

25
Epistaksis

a. Paparan radiasi akibat sinar X yang digunakan yaitu sekitar 4% dari


radiasi sinar X saat melakukan foto rontgen.
b. Munculnya artefak (gambar yang seharusnya tidak ada tapi terekam). Hal
ini biasanya timbul karena penderita bergerak selama perekaman.
c. Reaksi alergi pada zat kontras yang digunakan untuk membantu tampilan
gambar.

Gambar 10. CT Scan A. potongan axial, B. potongan koronal. Massa yang besar mengisi
sinus etmoid kiri, sinus maksila dan koana (bintang putih). Melebar ke infundibulum kiri.
Dikutip dari Jin Lee S. A case of Pleomorphic Rabdomyosarcoma of maxillary Sinus
Accompained with Inverted Papilloma. Korean Journal of Otorhinolaryngology-Head and
Neck surgery. 2009 jan:52(1):70-74

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI merupakan sebuah teknik radiologi yang menggunakan magnetisasi,
radiofrekuensi dan komputer untuk menghasilkan gambaran struktur tubuh manusia.
Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air (H2O) yang mengandung 2 atom
hydrogen yang pada intinya terdapat satu proton. Inti hydrogen merupakan kandungan
inti terbanyak dalam jaringan tubuh manusia dan memiliki daya magnetic terkuat dari
elemen lain. Dalam aspek klinisya, perbedaan jaringan normal dan bukan normal
didasarkan pada deteksi dari kerelatifan kandungan air (proton hydrogen) dari jaringan
26
Epistaksis

tersebut. Secara ringkas prosedur pembentukan gambar pada pemeriksaan MRI adalah
pasien diletakkan dalam medan magnet yang kuat selanjutnya dipancarkan sebuah
gelombang radio, ketika gelombang radio dimatikan pesien memancarkan signal yang
berasal dari proton-proton tubuh pasien dan signal tersebut akan diterima oleh anterna
dan dikirim ke system computer untuk direkonstruksi menjadi sebuah gambar. Proses
terjadinya signal MRI yang bersal dari pasien tersebut melalui 3 fase fisika yaitu : fase
Presesi (magnetisasi), fase resonansi dan fase relaksasi.
Pada fase relaksasi dibagi menjadi T1 dan T2. T1 didefinisikan sebagai waktu
yang diperlukan proton-proton hydrogen sekitar 63% telah berada kembali kea rah
longitudinal (magnetisasi longitudinal). T1 mencerminkan tingkat transfer energy
frekuensi radio dari proton-proton keseluruh jaringan sekitar. Sedangkan T2
merupakan waktu yang diperlukan proton-proton dari keadaan magnetisasi transversal
berkurang hingga 37%.
Pendapat yang sering dikemukakan berkaitan dengan pencitraan sinonasal bahwa
MRI seringkali tidak membantu dibandingkan dengan CT scan. Ini mungkin benar
untuk beberapa kelainan tertentu seperti lesi fibro-osseus, namun untuk tumor jinak
dan ganas, MRI lebih baik dibandingkan CT scan dalam membedakan tumor dari
sekitarnya terkait penyakit inflamasi.
Ekstensi tumor intrakranial dan komplikasi intrakranial pada infeksi sinonasal
lebih baik dievaluasi dengan MRI dibandingkan CT scan. Secara umum, kombinasi
MRI dan CT dalam kebanyakan kasus akan memungkinkan untuk evaluasi yang lebih
baik dari penyakit dan kadang-kadang untuk membuat seorang ahli radiologi membuat
sebuah diagnosis yang spesifik.
Keuntungan MRI antara lain :
a. Tidak memakai sinar X
b. Tidak mengganggu kesehatan pada penggunaan yang tepat
c. Banyak pemeriksaan yang dapat digunakan tanpa menggunakan zat kontras
d. Gambar yang dihasilkan memberikan informasi yang lebih jelas, MRI juga dapat
menunjukkan parameter biologik (spektroskopi)

27
Epistaksis

e. Potongan yang dihasilkan dapat 3 dimensi (axial, koronal dan sagital) dan banyak
potongan yang dapat dihasilkan hanya dalam satu periode (dapat membuat lebih
dari 8 potongan sekaligus}

Kerugian MRI antara lain :

a. Harga alat mahal


b. Pemeriksaan membutuhkan waktu cukup lama
c. Penderita yang mengandung metal tak dapat diperiksa terutama penderita dengan
alat pacu jantung, sedangkan penderita dengan wire dan stent ataupun pen dapat
diperiksa

Gambar 11. MRI sinus paranasalis (T2W1) A) potongan axial, B) potongan koronal. Massa
ukuran 3,5x3x1,5 cm pada sinus maksilaris kiri, kavum nasi dan meluas sampai koana.
Massa tidak meluas ke dinding orbita, otak dan pallatum durum. Densitas yang tinggi pada
daerah bukkal kiri disebabkan oleh inflamasi (tanda panah). Dikutip dari Jin Lee S. A case of
Pleomorphic Rabdomyosarcoma of maxillary Sinus Accompained with Inverted Papilloma.
Korean Journal of Otorhinolaryngology-Head and Neck surgery. 2009 jan:52(1):70-74

28
Epistaksis

Daftar Pustaka
1. Lubis B, Tata laksana epistaksis berulang pada anak dalam sari pediatri, vol 9, No. 2,
bagian ilmu kesehatan anak FK USU, agustus 2007
2. Probst R, Grevest G. Diagnostic of the Nose and Paranasal Sinuses in Basic
Otorhinolaryngology. Georg Thieme Verlag. New York. 2006:16-25
3. Pasha R MD. Rhinology and Paranasal Sinuses in Otolaringology Head and Neck
Surgery. Singular/Thomson Learning:23-28
4. Kumar V, Prasad R. Rigid Nasal Endoscopy in the Diagnosis and Treatment of
Epistaxis. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2013: v.7(5)
5. Schlosser RJ. Epistaxis. The New England Journal of Medicine. 2009; 360:784-789
6. Moisio MA. Diagnostic Test in Understanding Laboratory and Diagnostic Test.
Delmar Publisher. New York. 1998;260-263
7. AL Hughes. Nasal Endoscopy; Medscape References; Available at
http;//emedicine.medscape.com/article/863220-overview.Updated Apr 30,2014
8. Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I (ed).
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2012: 96-100.
9. Dobson MB. Anestesi Konduksi dalam Penuntun Praktis Anestesi. EGC. Jakarta.
1994:89-90
10. Shukla AP.Current Threatment Strategiest for Epistaxist in Journal of
Neurointerventional Surgery 2013;5(2):151-156
11. Lee S. A case of Pleomorphic Rabdomyosarcoma of maxillary Sinus Accompained
with Inverted Papilloma. Korean Journal of Otorhinolaryngology-Head and Neck
surgery. 2009 jan:52(1):70-74

29
Epistaksis

Untuk pertolongan pertama, jika kita menemui adanya kasus epistaksis anterior yang
tidak disertai dengan penyulit, kita dapat menggunakan potongan tissue yang
dibentuk/dipilin menyerupai batang rokok dan dimasukkan ke dalam lubang hidung yang
mengalami perdarahan. Tissue tersebut dibiarkan dan diganti setiap kali basah atau sekitar
10-15 menit. Biasanya dengan cara seperti ini, kita dapat menunggu sekitar 30 menit dan
darahnya dapat berhenti mengalir. Apabila dalam waktu sekitar 30 menit tidak ada
perubahan, pasien dapat dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut.

A B

C D

Gambar 12. Pemasangan tampon dari pilinan tissue.


Koleksi foto Stella Fitrianty Attu

30
Epistaksis

Prinsip penatalaksanaan dari epistaksis dapat dijabarkan langkah demi langkah sebagai
berikut,

1. Proteksi dan Penanganan Jalan Napas dan Pernapasan


Prinsip bantuan hidup dasar dapat diaplikasikan pada penanganan epistaksis,
penanganan pertama adalah proteksi jalan napas dan penanganan jalan napas. Setelah
jalan napas aman, baru dapat melakukan langkah berikutnya yaitu kontrol perdarahan.
2. Hemostasis Manual / Kontrol Perdarahan
Penanganan pertama dimulai dengan penekanan langsung ala nasi kiri dan kanan
bersamaan selama 5 – 30 menit, tanpa melihat terlalu sering. Biasanya setiap 5 – 10
menit sekali dievaluasi apakah perdarahan telah terkontrol atau belum.
Penderita sebaiknya tetap tegak namun tidak hiperekstensi untuk menghindari darah
mengalir ke faring yang dapat mengakibatkan aspirasi.
Apabila penekanan langsung dirasa kurang cukup, dapat dilakukan pemasangan kasa
yang disemprot dengan lidokain 1% dan epinefrin dengan perbandingan 1:100.000
selama 3 – 5 menit pada kavum nasi untuk membantu vasokonstriksi dan hemostasis.
Selama melakukan kontrol perdarahan juga dilakukan pemasangan jalur intravena untuk
penggantian volume yang hilang, pemasangan kateter vena.

Gambar 13. Penekanan Langsung Pada Ala Nasi (a) Benar, (b) Salah
Modifikasi dari Dhillon,RS, East CA.An Illustrated Colour Text
Ear,Nose,Throat,Head and Neck Surgery 2nd Edition. 2000

31
Epistaksis

3. Kauterisasi
Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach (daerah Little) dapat ditangani
dengan kauteriasi kimia perak nitrat 30%, asam triklorasetat 30%, atau polikresulen
pada pembuluh darah yang mengalami perdarahan selama 2 – 3 detik (Gambar 13).
Keuntungan penggunaan asam triklorasetat dibandingkan dengan perak nitrat adalah
tidak adanya bercak kecoklatan pada bekas luka yang terkadang mengganggu secara
estetika (Gambar 14).

Gambar 14. Skematik aplikasi cairan kauterisasi kimia menggunakan aplikator


kapas langsung pada sumber perdarahan. Dikutip dari Turbinate Hypertrophy.
Ear,Nose,and Throat Alliance Hearing and Balance Center.2013.

Hindari kauterisasi acak dan agresif dan kauterisasi pada daerah yang berseberangan
dengan septum, karena dapat meningkatkan resiko terjadinya perforasi septum.

32
Epistaksis

Gambar 15. Kauterisasi Sumber Perdarahan dengan Perak Nitrat 30%. Dikutip dari
Bleier,Benjamin;Bailey’s Otorhinolarynglogy Head and Neck Surgery Edisi ke-5
.2014.

Prosedur elektrokauterisasi juga dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada


perdarahan yang lebih masif yang kemungkinan berasal dari daerah posterior, dan
kadang memerlukan anestesi lokal. Terdapat dua macam mekanisme elektrokauter,
yaitu monopolar dan bipolar. Keunggulan elektrokauter bipolar, adalah aliran arus
listrik berasal dari kedua ujung kauter dan efek kauterisasi terbatas pada jaringan
diantara kedua ujung kauter, sedangkan aliran arus kauter monopolar berasal dari
generator ke ujung kauter melewati tubuh penderita dan kembali ke generator,
sehingga dari mekanisme tersebut, tenaga yang diperlukan pada kauter bipolar lebih
kecil dibandingkan dengan kauter monopolar. Efektifitas kedua metode kauterisasi
33
Epistaksis

ini meningkat dengan penggunaan endoskopi kaku, khususnya pada kasus dengan
lokasi perdarahan pada posterior (Gambar 16).

Gambar 16. Elektrokauterisasi Arteri Etmoidalis anterior. A. Perdarahan bersumber dari a.


etmoidalis anterior, B. Dilakukan elektrokauterisasi dari arteri, C. Perdarahan a. etmoidalis
anterior berhenti.
(Foto Koleksi Fadjar Perkasa)

Dewasa ini, kauterisasi atau koagulasi arteri sfenopalatina dengan atau tanpa ligasi
transnasal endoskopik cukup mendapatkan perhatian, dengan angka keberhasilan 87 – 100 %
dan tanpa komplikasi.

Gambar 17. Skema potongan sagital dari foramen sfenopalatina kanan. Kamel R. Endoscopic
anatomy of the lateral nasal wall, ostiomeatal complex and anterior skull base a step-by-
step guide. Department of ENT-Rhinology, Cairo-Egypt, 2004.p.29
34
Epistaksis

Langkah pertama dalam mengidentifikasi arteri sfenopalatina yaitu dengan


melakukan insisi mukosa pada insersi posterior concha media, selanjutnya dengan
menggunakan resparatorium Freer, jabir subperiosteum dibebaskan sampai tampak foramen
sfenopalatina dengan krista etmoidalis sebagai landmark, dengan ini akan tampak cabang
terminal dari arteri sfenopalatina, selanjutnya dilakukan elektrokauterisasi menggunakan
kauter bipolar pada arteri tersebut.

Gambar 18. Penampakan arteri sfenopalatina pada pada daerah dimana arteri memasuki
foramen sfenopalatina. (Castelnuovo P. Endoscopic cadaver dissection of the nose and
paranasal sinuses. An anatomical-operative tutorial on the basic techniques of endoscopic
nasal and paranasal sinus surgery. Departement of Otorhinola-ryngology University of
Insubria, Varese Viale Borri- Italy, 2005.p.32-33)

Setelah perdarahan terkontrol, instruksikan penderita untuk menggunakan spray NaCl


0,9% hidung dan menggunakan salep antibiotik untuk menghindari infeksi. Obat anti
inflamasi non steroid sebaiknya dihindari. Manipulasi pada hidung juga dihindari.

35
Epistaksis

Vasokonstriktor topikal dapat digunakan apabila terjadi perdarahan ringan saat pelepasan
jaringan parut.

4. Tampon Hidung
Tampon hidung dapat digunakan untuk menangani epistaksis yang tidak responsif
terhadap kauterisasi. Terdapat dua tipe tampon, tampon anterior dan tampon posterior.
Pada keduanya, dibutuhkan anestesi dan vasokonstriksi yang adekuat.
a. Tampon Anterior
Untuk tampon anterior, dapat dibagi menjadi dua, tampon fabrikan dan buatan.
Untuk tampon fabrikan contohnya NetCel (PVA), Rapid Rhino ( Hydrocolloid
fabric), Surgicell (Carboxymethyl celloulosa), serta Surgicall Patties. Pembagian
menurut macam bahannya adalah, , bahan yang tidak dapat diserap dan yang dapat
diserap. Contoh tampon yang terbuat dari bahan yang tidak dapat diserap, seperti
tampon Boorzalf atau tampon sinonasal atau tampon pita (ukuran 1,2 cm x 180
cm), yaitu tampon yang dibuat dari kassa gulung yang diberikan vaselin putih
(petrolatum) dan asam borat 10%, atau dapat menggunakan salep antibiotik,
misalnya Oksitetrasiklin 1%, tampon ini merupakan tampon tradisional yang sering
digunakan. Bahan lain yang dapat dipakai adalah campuran bismuth subnitrat 20%
dan pasta parafin iodoform 40%, pasta tersebut dicairkan dan diberikan secara
merata pada tampon sinonasal / pita, tampon ini dapat dipakai untuk membantu
menghentikan epistaksis yang hebat. Pasang dengan menggunakan spekulum
hidung dan pinset bayonet, yang diatur secara bersusun dari inferior ke superior
dan seposterior mungkin untuk memberikan tekanan yang adekuat. Apabila
tampon menggunakan boorzalf atau salep antibiotik harus dilepas dalam 2 hari,
sedangkan apabila menggunakan bismuth dan pasta parafin iodoform dapat
dipertahankan sampai 4 hari.
Bahan yang dapat diserap (gelfoam, surgicel, avitene) dapat digunakan pada
penderita dengan koagulopati untuk mencegah trauma saat pelepasan tampon.
Berikan antibiotik profilaksis untuk semua penderita dengan tampon, dan
instruksikan untuk menghindari manipulasi dan mengejan selama 1 minggu.

36
Epistaksis

Gambar 19. Skema Pemasangan Tampon Hidung Anterior (Tampon Boorzalf) A. Masukkan
tampon secara perlahan menyusuri dasar kavum nasi sampai ke daerah nasofaring dengan
menggunakan pinset bayonet. B. Susun tampon dengan bertingkat ke arah superior. C.
Tampon tersusun dengan rapi dan cukup padat dalam rongga hidung. Dikutip dari Kucik, J
Corry et al. Management of Epistaxis. American Family Physician. 2005.

Pengembangan bahan hemostatik topikal yang dapat diserap telah menyebabkan


terjadinya pergeseran dari tampon yang tidak dapat diserap. Material ini
mengandung oksidatif, selulosa, kolagen mikrofibrilar, porcine atau gelatin bovine,
dan larutan thrombin manusia. Material ini menyebabkan kurangnya penggunaan
tampon mekanik, oleh karena dapat berpenetrasi ke dalam labirin sinonasal dan
kontak langsung dengan area perdarahan. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa
penggunaan tampon gelatin secara signifikan mengurangi perdarahan ulang dalam
jangka waktu 1 minggu dibandingkan dengan penggunaan tampon yang tidak dapat
diserap. Pasien lebih nyaman menggunakan tampon yang dapat diserap, akan tetapi
harganya lebih mahal dibanding tampon tradisional.
Terdapat beberapa material yang menunjang hemostasis, kebanyakan actin
menunjukkan kesamaan agregasi trombosit dan fibrin. Mekanisme alternatif
hemostasis menunjukkan suatu kelas baru dari aminopolisakarida yang dikenal
sebagai chitosan. Chitosan merupakan polimer biokompatibel mukoadheren yang
dikenal bersifat adhesive terhadap jaringan dan memperbesar efek obat. Chitosan
merupakan kationik kuat dan dapat menarik sel darah merah pada daerah vaskuler
yang terluka sehingga terjadi hemostasis independen pada permulaan pembekuan

37
Epistaksis

darah. Chitosan/ dextran gel bersifat hemostatik dan mampu untuk menghambat
pembentukan sinekia setelah operasi sinus.

A B

Gambar 20. Penggunaan tampon yang dapat diserap dan tidak dapat diserap. A) Pemasangan
larutan gelatin hemostatik pada daerah perdarahan pada saat operasi pengangkatan tumor. B)
Pemasangan sponge PVA pada cavum nasi dekstra. Sponge dibungkus oleh bagian jari
sarung tangan non lateks untuk mencegah perlekatan mukosa. C) CT scan sagital
menunjukkan posisi yang tepat pengembangan balon kateter pada nasofaring. (Modifikasi
dari Bleier, BS. Epistaxis in Bailey Head and Neck Surgery-Otolaryngology Fifth Edition.
2014)

38
Epistaksis

b. Tampon Posterior

Epistaksis yang tidak terkontrol menggunakan tampon rongga hidung anterior


dapat ditambahkan tampon posterior. Secara tradisional, menggunakan tampon yang
digulung, dikenal sebagai tampon Bellocq. Pemasangan tampon posterior sudah dikenal
sejak jaman Hippocrates, namun penyempurnaan pemakaian tampon posterior seperti
tampon Bellocq mulai diperkenalkan pada abad ke 19.
Dewasa ini, sering digunakan alat yang memiliki balon yang dapat dikembangkan
menyerupai kateter Foley khusus untuk epistaksis (Gambar 21). Kateter tersebut dapat
dikembangkan baik menggunakan air atau udara, namun pengembangan menggunakan
udara kurang menguntungkan karena dilaporkan dapat mengempis dalam 24 jam.
Pengembangan balon yang berlebihan dihindari untuk menghindari nyeri dan dislokasi
palatum mole, yang dapat mengganggu proses menelan.

21 22

Gambar 21. Kateter Balon khusus Epistaksis. Diambil dari Ultra-stat Epistaxis Nasal
Balloon. Invotec USA.2014
Gambar 22. Skema pemasangan kateter balon pada rongga hidung. Dikutip dari Randal, A
David. Epistaxis Treatment Step by Step. British Medical Journal.

39
Epistaksis

Gambar 23. Skema Pemasangan Tampon Bellocq. A. Masukkan kateter / pipa nasogastrik
melalui rongga hidung, tangkap ujung kateter yang tampak pada daerah orofaring, dan
keluarkan melalui rongga mulut. B. Ikat tampon Bellocq pada ujung kateter yang berada di
rongga mulut, lalu tarik kateter yang berada di rongga hidung.C. Dengan bantuan jari
telunjuk, posisikan tampon pada daerah nasofaring, bersamaan dengan penarikan ujung
kateter. D. Fiksasi tampon Bellocq, dengan mengikat ujung tampon pada gulungan kassa di
depan hidung. Dikutip dari Kucik, J Corry et al. Management of Epistaxis. American
Family Physician. 2005.

40
Epistaksis

D.

Gambar 24. Pemasangan Tampon Hidung Posterior (Bellocq).


Foto Koleksi Evans Gunter, dan Tenri Sanna

Apabila melakukan pemasangan tampon posterior, maka tampon anterior seyogyanya


tetap dipasang. Penderita dengan tampon posterior sebaiknya dirawat di Intensive Care Unit
(ICU) untuk pengawasan oksigenasi, status cairan, dan penanganan nyeri. Antibiotik
intravena tetap diberikan untuk mencegah rinosinusitis dan syok septik.

41
Epistaksis

Gambar 25. Skematik Kombinasi Pemasangan Tampon Rongga Hidung Anterior dan
Posterior. Modifikasi dari Cornelius, Carl-Peter et al. Midface Special Consideration. AO
Foundation.2009

5. Ligasi Arteri
Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi bergantung pada lokasi epistaksis.
Secara umum, semakin dekat ligasi ke lokasi perdarahan, maka kontrol perdarahan
semakin efektif.

a. Arteri Karotis eksterna


Ligasi arteri karotis eksterna dapat dilakukan pada penderita dengan anestesi lokal dan
anestesi umum. Insisi kulit horizontal dibuat antara os. hyoid dan batas superior
kartilago thyroid. Flap kulit subplatisma diangkat, dan m. sternokleidomastoideus
ditarik ke arah posterior.
Kemudian, selubung Karotis dibuka dan identifikasi pembuluh darah dan saraf. arteri
karotis eksterna diidentifikasi dengan mengikuti arteri Karotis interna beberapa
sentimeter dan diseksi arteri karotis eksterna ke superior sampai beberapa cabang
42
Epistaksis

pertamanya. Setelah arteri karotis eksterna berhasil diidentifikasi, dilakukan ligasi


distal dari arteri tiroidea superior. Suplai darah selanjutnya berasal dari anastomosis
sistem Karotis kontralateral atau dari arteri karotis interna ipsilateral.

Langkah – langkah ligasi arteri karotis eksterna secara skematis dijelaskan pada
gambar berikut :

A B

C D

Gambar 26. A. Ligasi Arteri Karotis Eksterna. Insisi kulit dimulai dari tepi anterior
muskulus sternokleidomastoideus. B. Ligasi Arteri Karotis Eksterna. A. Selubung karotis
terlihat pada batas posterior muskulus sternokleidomastoideus, dan batas anterior strap
muscle.B. Klem tumpul digunakan untuk membuka selubung karotis secara searah. C. Vena
jugularis interna (a), ansa hipoglosi dan nervus vagus diretraksi ke arah posterior, dimana
arteri karotis komunis (b) ditarik ke arah anterior. Arteri karotis komunis ditelusuri ke arah
superior melewati bifurkasi, dimana divisi arteri karotis eksterna (c) memiliki banyak cabang
dan berada lebih anterior. D. Arteri karotis eksterna (a) diligasi dengan benang silk 2-0,
diikat diatas arteri tiroidea superior (b). Dikutip dari Blustone, Charles. Epistaxis:Surgical
Atlas of Pediatric Otolaryngology.2002
43
Epistaksis

b. Arteri Maksila Interna

Ligasi arteri maksila interna memiliki angka kesuksesan yang lebih tinggi daripada ligasi
arteri karotis eksterna karena daerah intervensi yang lebih distal.

Gambar 27. Akses Arteri Maksila Interna Transantral melalui pendekatan sublabial
(Caldwell-Luc). A. Insisi pada sulkus gingivobukal, sampai tampak periosteum, B. Elevasi
periosteum sampai tampak dinding anterior antrum, C. Perluas elevasi sampai batas
44
Epistaksis

infraorbita, identifikasi nervus infraorbitalis. Dengan menggunakan osteotom, dinding


anterior antrum dibuka. D. Dengan menggunakan forceps back-biting Kerrison, lubang
tersebut diperluas. E. Identifikasi a. maksila interna yang terletak di posteromedial, lalu
lakukan ligasi. Dikutip dari Lore M.John, Medina, E. Jesus. An Atlas of Head and Neck
Surgery Edisi ke 4. Philadelphia:Elsevier.2005
Sederhananya, arteri maksila interna diakses secara transantral melalui pendekatan
sublabial misalnya Caldwell-Luc. Dengan bantuan mikroskop operasi, dinding posterior
sinus diangkat, dan periosteum posterior dibuka secara hati – hati. Arteri maksila interna dan
tiga cabangnya (sfenopalatina, palatina descendens, dan faringeal) diangkat dan di klip.
Dinding posterior sinus lalu disumbat dengan gelfoam, dan luka gingivobukal di jahit.

c. Arteri Etmoidalis

Apabila perdarahan berasal dari atas kavum nasi, pikirkan untuk ligasi arteri
etmoidalis anterior atau arteri etmoidalis posterior. Prinsipnya dilakukan etmoidektomi
eksterna, dimulai dengan insisi melengkung pada kantus medial (Insisi Killian) pada sisi
lateral hidung. Jaringan lunak dan periosteum disingkirkan. Periosteum orbita dari dinding
mediat tulang orbital dilepas dengan elevator sampai tampak arteri etomidalis, kemudian
arteri tersebut dijepit dan diikat. Arteri etmoidalis anterior terletak kira – kira 22 mm dari
sulkus lakrimalis anterior.

45
Epistaksis

A B

Gambar 28. Akses Arteri Etmoidalis Anterior dan Posterior. Dikutip dari Lore M.John,
Medina, E. Jesus. An Atlas of Head and Neck Surgery Edisi ke 4.
Philadelphia:Elsevier.2005

Arteri etmoidalis posterior dapat diligasi, kira – kira 12 mm posterior dari arteri
etmoidalis anterior, arteri ini harus di klip, bukan dikauterisasi, karena terletak hanya 4 – 7
mm anterior dari nervus optikus.

6. Embolisasi
Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis eksterna dapat diembolisasi. Dilakukan
angiografi preembolisasi untuk mengevaluasi sistem arteri karotis eksterna dan arteri
karotis interna. Embolisasi dilakukan pada arteri maxilaris interna dan externa.
Angiografi postembolisasi dapat digunakan untuk menilai tingkat oklusi.

Flow-directed microcateter digunakan untuk embolisasi dengan bahan embolan cair


yang sudah di rancang untuk aspek keamanan maupun kehandalannya sehingga dapat
menjangkau bagian yang paling distal dari sirkulasi intrakranial.

46
Epistaksis

Gambar 29. Pre dan Pasca Embolisasi Arteri Karotis Eksterna. Dikutip dari
Bleier,Benjamin;Bailey’s Otorhinolarynglogy Head and Neck Surgery Edisi ke-5 .2014.

Microcateter maupun guidewire mempunyai bagian dengan tingkat kelembutan yang


berbeda. Bagian proksimal mempunyai ciri yang kaku dan berdinding tebal untuk
mempermudah melakukan gerakan longitudinal maupun memutar. Bagian tengah
mempunyai dinding yang lebih tipis dan lebih fleksibel tetapi masih bisa untuk
dilakukan gerakan mendorong. Bagian distal merupakan bagian yang paling kecil
dengan diameter 1.3 – 1.8-Fr , berdinding tipis, sangat lembut dan fleksibel.

47
Epistaksis

Microcateter mempunyai selubung luar yang hidrofilik untuk menurunkan


thrombogenicity sehingga dapat digunakan untuk memasuki pembuluh darah yang kecil
dan berkelok-kelok, serta dapat mencegah adesi dengan bahan emboli.

Guidewire yang di dirancang untuk arteri serebral (0,008-0,014-inch) mempunyai


bagian distal yang sangat fleksibel dan lembut. Guidewire juga terlindungi oleh
selubung hidrofilik untuk menurunkan friksi dengan cateter.

Short-acting barbiturate (amobarbital) di injeksikan intra arteri melalui microcateter di


tempat yang direncanakan akan dilakukan embolisasi.

Secara umum terdapat tiga bahan emboli, yaitu solid occlusive devices (coils, silk,
threads, balloons), particulates (polyvinyl alcohol (PVA) particles), dan liquids
(cyanoacrylates, Onyx, ethanol). Solid occlusive devices digunakan untuk mengoklusi
AV fistula direct yang besar. Particulates embolan menggunakan PVA telah digantikan
oleh cairan N-butyl cyanoacrylate (NBCA) pada kebanyakan center, sedangkan liquid
embolan yang paling direkomendasikan oleh Food and Drug Administration (FDA)
adalah Onyx.

Gambar 30. Coil Embolisasi. Cook Medical Embolization Coil. medmovie.com. 2015

PVA merupakan embolan yang paling sering digunakan sebelum liquid embolan sering
digunakan seperti NBCA dan Onyx. Partikel PVA mempunyai ukuran yang bervariasi
dari 50 sampai 1000 µm, mempunyai sifat yang tidak radioopak sehingga harus
48
Epistaksis

dicampur dengan kontras pada saat pemberiannya. PVA sering kali dikombinasikan
dengan coils dan silk, terutama pada AV shunt yang lebar.

Gambar 31. Pertikel polyvinyl alcohol. Boston Scientific Corporation. 2001

PVA memiliki kelemahan seperti yang diungkapkan oleh Sorimachi et al. , bahwa PVA
lebih mengumpul dan mengoklusi arteri feeder dari pada nidusnya. Sebagai tambahan,
analisis histopatologi mengungkap bahwa post embolisasi di dalam lumen berisi
kumpulan partikel embolan dengan thrombus dari pada lumen yang penuh dengan PVA.
Hal ini mungkin mengungkapkan alasan kenapa AVM yang telah mengalami obliterasi
total setelah embolisasi dengan PVA dapat muncul kembali.

Meskipun begitu, pada suatu penelitian terungkap bahwa PVA masih mempunyai
tingkat keefektifan yang sama dengan NBCA dalam embolisasi preoperatif pada AVM
di otak.

N-Butyl cyanoacrylate (NBCA) mempunyai banyak kegunaan untuk embolisasi AVM


di otak. Cairan monomer dapat diinjeksikan melalui microcateter flow-directed yang
kecil (1.5 dan 1.8-Fr) sehingga dapat diposisikan di distal feeder arteri atau di dalam

49
Epistaksis

nidus, dengan demikian dapat mengurangi resiko terjadinya embolisasi pada cabang
arteri yang normal.

NBCA monomer mengalami proses exothermic polymerization catalized yang cepat


oleh nucleophiles yang ditemukan di darah dan endothelium vaskuler untuk membentuk
sifat yang adhesif . Pembuluh darah secara permanen akan teroklusi ketika polimer
secara penuh mengisi lumen. NBCA merangsang adanya respon inflamasi dari dinding
pembuluh darah dan jaringan di sekitarnya sehingga menimbulkan nekrosis pembuluh
darah dan pertumbuhan jaringan fibrous kedalam. Respon secara histologis inilah yang
mengkontribusi terjadinya oklusi permanen oleh NBCA. Pernyataan tersebut didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Wikholm yang mengikuti perkembangan 12 pasien
post embolisasi AVM di otak dengan NBCA yang dilakukan evaluasi dengan angiografi
antara 4 sampai 78 bulan dengan hasil tidak didapatkan rekanalisasi.

Pemberian NBCA biasanya di bawah conscious sedation dari pada dengan general
anastesi , hal ini dilakukan supaya tetap dapat dilakukan provocative test. NBCA ,
ethiodol dan tantalum disiapkan menggunakan sarung tangan steril dan pada meja steril
yang terpisah, hal ini untuk mencegah kontaminasi dengan katalis ionik. Konsentrasi
NBCA adalah sekitar 25-33%, dibuat dengan cara mencampur 1 cc NBCA dengan 2 – 3
cc ethiodol dalam gelas. Serbuk tantalum digunakan untuk meningkatkan radioopacity
dari embolan yang akan diinjeksikan. Microcateter kemudian diirigasi menggunakan
larutan dextrose 5 % untuk menghilangkan katalis ionik dari lumen, selanjutnya NBCA
yang telah diencerkan tadi di injeksikan secara perlahan ke dalam nidus selama 15-60
detik dibawah kontrol fluoroscopy substracsi yang continue. Kecepatan injeksi
disesuaikan sehingga tidak menimbulkan reflux, jika NBCA masuk ke draining vein
maka injeksi dihentikan sementara selama beberapa detik. Injeksi kemudian dilanjutkan
dan dilihat apakah masuk ke nidus lagi, jika masuk ke vena lagi maka injeksi dihentikan.
Injeksi juga dihentikan jika terjadi reflux ke proximal. Setelah selesai, dengan cepat
microcateter harus ditarik kembali dan ujungnya harus di diawasi dengan fluoroscopy.
Kemudian dilakukan angiografi post tindakan embolisasi.

50
Epistaksis

Onyx merupakan embolan cair yang sudah dicampur sebelumnya yang terdiri dari
ethylene-vinyl alcohol copolymer (EVOH) dan tantalum powder (untuk radioopasitas)
yang terlarut di dimethyl sulfoxide (DMSO). Onyx merupakan embolan yang kohesif
dan tidak adhesif. Terdapat dua konsentrasi EVOH yaitu Onyx 18 (6% EVOH) dan
Onyx 34 (8% EVOH). Onyx 18 dapat masuk lebih dalam ke dalam nidus karena
memiliki viscosity dan precipitation rate yang rendah. Onyx 34 direkomendasikan
untuk mengemboli high-flow fistula. Kedua formula tersebut membutuhkan waktu
sekitar 5 menit untuk menjadi solid. DMSO dipilih sebagai pencampur karena dapat
cepat bercampur dan mempunyai efek fisiologis pada manusia yaitu angiotoksik. DMSO
dengan angiotoksisitasnya mempunyai efek lanjutan berupa vasospasme, angionecrosis,
arterial trombosis, dan ruptur vaskuler.

Pada saat pemberian Onyx (Gambar 24) , pasien dapat merasakan sakit , oleh karena itu
seringkali general anastesi diberikan. Onyx yang akan diberikan harus dikocok terlebih
dahulu dengan kuat selama 20 menit untuk tercampurnya tantalum secara maksimal.
cateter di flush menggunakan normal saline kemudian dead space diisi menggunakan
DMSO, kemudian Onyx dimasukkan menggunakan 1 cc syringe dengan kecepatan
0,25mL/90 sec. Injeksi dilanjutkan dengan kecepatan 0,1 mL/min ketika Onyx mulai
keluar dari microcateter. Jika terjadi refluks ke proximal maka injeksi dihentikan selama
30 detik, kemudian dilanjutkan kembali, demikian juga pada saat masuk ke draining
vein.

Setelah dilakukan embolisasi pasien dirawat di neurointensive care unit selama 24 jam
dan biasanya diperbolehkan pulang pada hari kedua post embolisasi.

7. Fibrin Glue

Fibrin glue dikembangkan dari kriopresipitat plasma manusia dan mengikatkan diri
pada pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Tehniknya dengan menyemprotkan
lapisan tipis fibrin glue pada lokasi perdarahan dan dapat diulangi seperlunya. Dalam suatu
penelitian, dilaporkan bahwa komplikasi seperti edema local, atrofi mukosa hidung, dan
sekret yang berlebihan, jauh lebih rendah dibandingkan elektrokauter, perak nitrat, dan
tampon hidung. Tingkat perdarahan ulang sekitar 15% dibanding elektrokauter.
51
Epistaksis

8. Penatalaksanaan Hereditary Hemorhagic Thelangiectasy

Penatalaksanaan HHT tergantung pada beberapa factor independen, seperti jumlah


dan lokasi lesi intranasal, keparahan dan frekuensi epistaksis, jumlah dan lokasi lesi pada
gastrointestinal, otak dan paru, jumlah transfuse darah, efek epistaksis pada kualitas hidup
pasien dan riwayat pengobatan sebelumnya. Terapi medikamentosa untuk HHT, sebagai
tambahan pada epistaksis secara umum, berfokus pada penggunaa n estrogen dan
progresteron. Pengobatan ini berdasarkan observasi bahwa epistaksis cenderung berkurang
selama kehamilan pada penderita. Terapi antifibrinolitik menggunakan asam aminocaproic
juga telah diperbincangkan. Belum ada satupun dari pengobatan ini yang terbukti efektif
untuk mengatasi epistaksis dalam jangka waktu lama, tetapi ada juga yang memiliki
beberapa keuntungan. Oleh karena kegagalan metode ini, beberapaa modalitas telah dicoba,
termasuk sclerotherapy, brachytheraphy, elektrokauter, ligase arteri, embolisasi,
septodermoplasti, penutupan cavum nasi dan koagulasi dengan laser. Maksud yang jelas dari
laporan ini adalah bahwa belum ada pengobatan yang tepat untuk HHT, disamping semua
usaha pengobatan tersebut, epistaksis rekuren dapat terjadi.

Penulis menyarankan agar meminimalisasi perdarahan sambil menghindari


komplikasi. Untuk alasan ini, usaha ekstrem seperti brachytherapy, embolisasi, dan
pembedahan invasive sebaiknya dihindari. Sehubungan dengan pengobatan laser pada HHT,
terdapat kontroversi mengenai tipe laser yang terbaik. Karbon dioksida, ND:YAG, diode dan
laser KTP telah digunakaan untuk tujuan ini, tetaapi laser KTP saaat ini merupakan alat yang
paling sering digunakan. Laser dapat mengablasi dengaan mudah bagian perifer dari lesi
yang luas untuk mengurangi perdarahan, tetapi laser yang langung berfokus pada pusat lesi
dapat menyebabkan perdarahan yang masif sehingga menyulitkan untuk penatalaksanaan
lebih lanjut.

Septodermoplasti termasuk mengangkat mukosa nasal pada bagian anterior cavum


nasi dan mengganti dengan split skin graft. Tehnik ini ditemukan memiliki hasil awal yang
baik pada pasien HHT, yang sayangnya mengalami kemunduran oleh karena kontraksi dan
revaskularisasi graft. Tehnik ini juga berhubungan dengan krusta nasal dan halitosis.
Penutupan kavum nasi, disebut juga prosedur Young, merupakan suatu tehnik yang radikal

52
Epistaksis

yang melibatkan penutupan vestibulum nasi. Meskipun dapat memberikan kelegaan jangka
panjang pada pasien dengan epistaksis sekunder HHT derajat sedang hingga berat, tetapi
memiliki beberapa kekurangan (mulut kering, anosmia, dan obstruksi nasi total) yang
kadang tidak dapat ditoleransi oleh pasien. Prosedur Young baik dilakukan pada pasien HHT
yang tidak responsive dengan modalitas pengobatan yang lain.

Koablasi radiofrekuensi merupakan tehnik yang relatif baru yang semakin sering
digunakan pada operasi THT. Koablasi menunjukkan penyembuhan yang baik dan
melindungi jaringan sekitar yang normal. Meskipun temperature rendah, pembuluh darah
kecil dapat ditutup dengan prosedur ini. Koablasi raadiofrekuensi secaraa teoritis dapat
menyebabkan ablasi dan hemostasis pada telangiektasis daan malformasi arteri-vena, dengan
menggunakan alat yang sama. Penggunaan koablasi pada epistaksis oleh karena HHT
merupakan prosedur yang jauh lebih konservtif, yang dapat dilakukan berulang dengan aman
tanpa adanya komplikasi yang signifikan.

Peningkatan level plasma pada vascular endothelial groeth factor (VGEF) memainkan
peranan kunci dalam pathogenesis HHT. Bevacizumab, antibody anti-VGEF monoclonal,
mencegah perlekatan VGEF dengan reseptor VGEF pada sel endothelial, sehingga
menghambat proliferasi seluler dan angiogenesis. Sebagai hasilnya, Bevacizumab telah
digunakan sebagaai terapi potensial untuk epistaksis rekuren. Penelitian sebelumnya
menunjukkan adanya perbaikan pada pemberian Bevacizumab intravena. Pengobatan
intranasal dengan Bevacizumab, baik dengan injeksi submukosal atau topical nasal spray,
dilaporkan merupakan alternative yang aman dibaandingkan pemberian intravena.

9. Penatalaksanaan Faktor Komorbid Sistemik


Jika perdarahan telah terkontrol, efek sistemik dari perdarahan dapat
dipertimbangkan. Jika terdapat kondisi hipovolemi, cairan dan plasma ekspander sebaiknya
diberikan. Transfusi darah sebaiknya dilakukan jika terdapat perdarahan yang signifikan.
Pada pasien yang sehat, resiko berhubungan dengan transfusi sebaiknya dipertimbangkan
terhadap status hemodinamik keseluruhan dan ketersediaan metode alternative dalam
resusitasi cairan. Penanganan hipertensi, trombositopenia dan koagulopati, juga membantu
dalam penanganan epistaksis dan pencegahan rekurensi.

53
Epistaksis

Gambar 32. Algoritma Epistaksis. Modifikasi dari Probst, Rudolph,et al. Basic
Otorhinolaryngology. New York:Thieme. 2006

54
Epistaksis

55
Gambar 33. Algoritma Penanganan Epistaksis menurut
Kelompok Studi Rinologi Indonesia 2015.
Epistaksis

Daftar Pustaka

1. Johnson, Jonas T, et al. Bailey’s Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 5th Edition.
China:Lippincott Williams & Wilkins.2014.hal 501-507
2. Flint, Paul W,et al. Cumming’s Otolaryngology – Head and Neck Surgery 5th Edition.
Philadelphia:Mosby. 2010.hal 682-693.
3. Snow Jr, B Snow,et al. Ballenger’s Otorhinology Head and Neck Surgery 17th Edition.
Ontario:BC Decker.2009.hal 551-555
4. Lore M.John, Medina, E. Jesus. An Atlas of Head and Neck Surgery 4th Edition.
Philadelphia:Elsevier.2005.hal 217-219,278
5. Probst, Rudolph,et al. Basic Otorhinolaryngology. New York:Thieme. 2006.hal 32-35
6. Van de Water, Thomas, et al. Otorhinolaryngology – Basic Science and Clinical Review.
New York:Thieme. 2006.hal 455-477
7. Blustone, Charles. Epistaxis:Surgical Atlas of Pediatric Otolaryngology.2002.hal 397-
401
8. Soepardi, Efiaty Arsyad, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga – Hidung – Tenggorok
– Kepala – Leher Edisi ke-5. Jakarta: Gaya Baru.2006
9. Punagi, AQ. Endoscopic Sphenopalatine Artery Cauterization in Epistaxis. Medicinus
vol 22. 2009.hal 113-115
10. Nguyen, A Quoc, Meyers, Arlen D. Epistaxis. 2013.
11. Zieve, David, et al. Nosebleed. 2012.
12. Johnson, Kimball. First Aid Emergencies : Nosebleed. 2012.
13. Huda, El Adha. Embolisasi pada AVM otak. Yogyakarta :Bagian Radiologi FK-
UGM.2013
14. Kelompok Studi Rinologi PERHATI-KL. Algoritme Epistaksis. Modul Rinologi Revisi
2015.
15. Panduan Praktis Klinis Tindakan (PPKT)l PP PERHATI-KL. 2015. Hal 28
16. Bleier, BS. Epistaxis in Bailey Head and Neck Surgery-Otolaryngology Fifth Edition.
Baltimore, Lippincott Williams and Wilkins, 2014: 501-503.
17. Pope, LE & Hobbs, Epistaxis: an update on current management. Postgraduate Medical
Journal Vol. 81, No. 955, CG (2005). pp. 309-314
18. Joshi, H, Woodworth, BA & Carney, Coblation for epistaxis management in patients
with hereditary haemorrhagic telangiectasia: a multicentre case series. The Journal of
Laryngology & Otology. AS (2011). pp. 1-5,

56
Epistaksis

Epistaksis merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam jiwa. Semua pasien
dengan perdarahan aktif memerlukan pemeriksaan penuh dan resusitasi jika perlu. Status
klinis pada pasien yang lebih tua dapat cepat menurun hingga resusitasi yang agresif
merupakan hal yang penting. Alat pelindung sebaiknya digunakan sebelum melakukan
tindakan termasuk masker dan pelindung mata. Tanda vital sebaiknya dimonitor secara
teratur. Pemeriksaan darah sebaiknya dilakukan. Komplikasi epistaksis dapat terjadi oleh
karena epistaksis itu sendiri maupun dari tindakan seperti pemasangan tampon hidung.

1. Syok Hipovolemi

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan faktor pembekuan sebaiknya


dilakukan jika dicurigai adanya gangguan perdarahan. Terapi cairan sebaiknya diberikan jika
dicurigai terjadi syok hipovolemi. Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat
jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah. Bila perdarahan terus
berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-
gejala klinis. Secara umum, syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi
jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang
jelek, ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat. Pasien hamil bisa saja
menunjukkan tanda dan gejala syok hipovolemik yang atipikal hingga kehilangan 1500 ml
darah tanpa terjadi perubahan tekanan darah.

Keparahan dari syok hipovolemik tidak hanya tergantung pada jumlah kehilangan
volume dan kecepatan kehilangan volume, tetapi juga usia dan status kesehatan individu
sebelumnya. Penatalaksanaan awal pada syok hipovolemik meliputi penilaian ABC, yaitu
pada airway dan breathing, pastikan jalan napas paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat. Pemberian oksigen tambahan dapat diberikan untuk mempertahankan saturasi
oksigen di atas 95%. Pada circulation, hal utama yang perlu diperhatikan adalah kontrol
perdarahan yang terlihat, lakukan akses intravena, dan nilai perfusi jaringan.

57
Epistaksis

Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter intravena ukuran besar


(minimal nomor 16) pada vena perifer. Lokasi terbaik untuk intravena perifer pada orang
dewasa adalah vena di lengan bawah atau kubiti. Namun, bila keadaan tidak memungkinkan
pada pembuluh darah perifer, maka dapat digunakan pembuluh darah sentral. Bila kaketer
intravena sudah terpasang, contoh darah diambil untuk pemeriksaan golongan darah dan
crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang sesuai, dan tes kehamilan pada semua wanita
usia subur.

Setelah akses intravena terpasang, selanjutnya dilakukan resusitasi cairan. Tujuan


resusitasi cairan adalah untuk mengganti volume darah yang hilang dan mengembalikan
perfusi organ. Tahap awal terapi dilakukan dengan memberikan bolus cairan secepatnya.
Dosis umumnya 1-2 liter untuk dewasa. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan
isotonik NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan
dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamik. Jumlah darah dan cairan yang diperlukan
untuk resusitasi sulit diprediksi dalam evaluasi awal pasien. Adalah sangat penting untuk
menilai respon pasien terhadap resusitasi cairan dengan adanya bukti perfusi dan oksigenasi
yang adekuat, yaitu produksi urin, tingkat kesadaran, dan perfusi perifer serta kembalinya
tekanan darah yang normal.

Jika setelah pemberian cairan tidak terjadi perbaikan tanda-tanda hemodinamik,


maka dapat dipersiapkan untuk memberi transfusi darah. Tujuan utama transfusi darah
adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam intravaskular. Untuk
melakukan transfusi, harus didasari dengan jumlah kehilangan perdarahan, kemampuan
kompensasi pasien, dan ketersediaan darah.

Evaluasi harus dilakukan untuk melihat perbaikan pasien syok hipovolemik. Jumlah
produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif dari perfusi ginjal karena
menandakan aliran darah ke ginjal yang adekuat. Jumlah produksi urin yang normal sekitar
0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa. Defisit basa juga dapat digunakan untuk evaluasi
resusitasi, prediksi morbiditas serta mortalitas pada pasien syok hipovolemik.

58
Epistaksis

2. Komplikasi Akibat Penggunaan Tampon Hidung

Dalam praktek THT akhir-akhir ini, penggunaan tampon hidung dalam penanganan
epistaksis telah digantikan oleh penatalaksanaan secara endoskopi. Akan tetapi oleh karena
kurangnya sumber daya, hingga penggunaan tampon hidung tetap digunakan secara luas dan
lebih ekonomis. Durasi penggunaan tampon hidung tidak disebutkan dengan jelas dalam
literature. Sementara itu, penggunaannya juga memiliki banyak implikasi terhadap pasien,
antara lain :
- Menyebabkan rasa tidak nyaman.
Keberadaan tampon di dalam hidung menyebabkan pasien merasa tidak nyaman
sehingga terpaksa bernafas melalui mulut dan akibatnya menyebabkan rasa kering di
tenggorokan.
- Gangguan transport mukosiliar dan stimulasi konstan kelenjar mukosa yang mengacu
kepada statis sekret, inflamasi mukosa dan sakit kepala.
- Lakrimasi (epifora) akibat sumbatan pada duktus nasolakrimalis. Disampin itu,
keberadaan tampon hidung juga menyebabkan stimulasi konstan apparatus lakrimalis
yang menyebabkan lakrimasi yang berlebihan.
- Nasovagal reflex, dimana reflex ini terjadi selama pemasangan tampon pada cavum
nasi, yang kemudian menstimulasi vagal, dengan konsekuensi hipotensi dan
bradikardi.
- Sleep apnea, disebabkan oleh penurunan aliran udara pada hidung yang
menyebabkan terjadinya hipoksia selama tidur.
- Berpindahnya tampon ke orofaring dengan resiko terjadinya obstruksi akut pada
jalan nafas.
- Pengeluaran tampon hidung dapat memicu terjadinya perdarahan ulang.

3. Toxic Shock Syndrome

Toxic shock syndrome (TSS) merupakan salah satu komplikasi dari pemakaian
tampon hidung. TSS merupakan suatu kondisi yang jarang ditemukan, dan dapat
mengancam jiwa oleh karena intoksikasi bakteria sistemik yaitu bakteri Staphylococcus
59
Epistaksis

aureus. Dapat terjadi pada berbagai kondisi klinis dan menyerupai kondisi febril pada
umumnya. TSS bersifat akut, tidak menular, ditandai oleh adanya demam tinggi, hipotensi,
rash pada kulit, disfungsi multi organ dan deskuamasi kutaneus selama periode konvalesen.
Sebagian disebabkan oleh eksotoksin yang berhubungan dengan Staphylococcus. Eksotoksin
S.aureus merupakan senyawa protein yang disekresikan pada periode waktu tertentu selama
pertumbuhan bakteri. Toksin TSS yang paling sering yaitu toxic shock syndrome toxin-1
(TSST-1, ditemukan pada 75% kasus) dan staphylococcal enterotoxin-B (SEB, ditemukan
sekitar 20-25% kasus).
Pathogenesis TSS adalah sebagai berikut :
- Kolonisasi pada manusia atau infeksi oleh strain S.aureus yang dapat menghasilkan
toksin TSS (strain toksigenik).
- Produksi toksin.
- Absorbs toksin.
- Intoksikasi

Rerata bawaan cross-sectional S.aureus adalah 15-40%. Bagian anterior nasofaring


merupakan lokasi yang paling sering ditemukan, lokasi yang lain seperti aksila, vagina dan
perineum. Sekitar 25% strain S.aureus bersifat toksigenik. Kasarnya sekitar 4-10% orang
normal dapat terpapar strain toksigenik kapan saja. Meskipun strain toksigenik secara
genetik potensial untuk menghasilkan toksin, tetapi dilakukan hanya dalam jangka waktu
yang terbatas, waktu ketika produksi toksin menyediakan kebutuhan bakteri untuk bertahan
hidup. Sifat alami dari lingkungan yang mengisyaratkan bakteri untuk menghasilkan toksin
secara in vivo belum dapat dipahami sepenuhnya. Meskipun sedikit yang diketahui mengenai
kebutuhan dan mekanisme uptake toksin, tetapi sirkulasi toksin dapat ditunjukkan pada
pasien TSS.

Intoksikasi oleh toksin TSS merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Toksin
tersebut mempengaruhi sistem imun inang, menyebabkan respon inflamasi patologi inang
yang berlebihan. Antibodi langsung terhadap toksin TSS berfungsi untuk melindungi
terhadap toksin TSS, dan pada sebagian besar orang mulai berkembang pada usia dewasa
muda. Adapun gejala klinis TSS adalah :
60
Epistaksis

- Demam, dengan suhu ≥ 38,90C


- Rash, eritroderma macular difus (sunburn)
- Hipotensi, tekanan darah sistolik 90 mmHg (dewasa) atau 5 persen dari umur (pada
anak dibawaah 16 tahun), ataau hipotensi ortostatik, dizziness atau pingsan.
- Disfungsi multisistem, sekurangnya tiga :
a. Gastrointestinal : muntah atau diare pada awal sakit.
b. Otot : myalgia berat, atau peningkatan level serum creatine phosphokinase
(CPK) ≥ dua kali nilai normal.
c. Membran mukosa : vagina, orofaring, atau hyperemia konjungtiva.
d. Ginjal : kadar blood urea nitrogen (BUN) atau kreatinin ≥ 2x nilai normal,
atau pyuria (≥ 5 leukosit per lapangan pandang) pada kasus infeksi saluran
kemih.
e. Hepar : total bilirubin serum atau kadar transaminase ≥ 2x nilai normal.
f. Hematologi : trombosit ≤ 100.000
g. Susunan saraf pusat : disorientasi atau alterasi dalam kesadaran tetapi tidak
ada tanda neurologis fokal ketika demam dan tidak ada hipotensi.
- Deskuamasi, 1-2 minggu setelah onset penyakit (khususnya telapak tangan dan kaki).
- Bukti terhadap diagnosis alternatif, jika ada, kultur darah yang negatif, tenggorok,
atau cairan serebrospinal. Tidak adanya peningkatan titer antibodi terhadap agen
leptospirosis, measles, atau demam Rocky Mountain.

Penatalaksanaan TSS sendiri melibatkan beberapa komponen penting :


a. Identifikasi dan dekontaminasi lokasi produksi toksin.
Drain atau debridemen lesi, mengeluarkan benda asing dan irigasi sebanyak-
banyaknya. Luka operasi sebaiknya dieksplorasi dan diirigasi meskipun tanda
inflamasi sudah menghilang.
b. Resusitasi cairan
Kehilangan cairan ke kompartemen ekstravaskuler sangatlah penting.
Mempertahankan tekanan pengisian jantung penting untuk mencegah kerusakan
organ. Pasien dewasa dengan TSS memerlukan sekitar 10 liter cairan dalam 24 jam
pertama.
61
Epistaksis

c. Pemberian antibiotik antistaphylococcal.


Penicillin semisintetik telah banyak digunakan pada kasus TSS. Bukti terbaru
menunjukkan bahwa protein sintesis inhibitor clindamycin lebih manjur dalam kasus
ini. Direkomendasikan pada pasien yang dicurigai TSS diterapi dengan clindamycin
(900 mg iv per 8 jam pada pasien dewasa, 13 mg/kgBB iv per 8 jam paada anak-
anak), dapat diberikan tunggal atau dikombinasikan dengan agen aktif cell wall (
penicillin semisintetik atau vancomycin). Jika diagnosis TSS tidak jelas, maka
diperlukan antibiotic spectrum luas.
d. Penggunaan human immunoglobulin.
Sebaiknya diberikan pada kasus yang refrakter atau kasus yang berhubungan dengan
focus infeksi yang tidak dapat didrainase. Semua preparat immunoglobulin komersial
mengandung level tinggi antibody anti TSST-1. Infusan tunggal 400 mg/kg iv akan
memberikan efek protektif pada pasien non imun.

62
Epistaksis

Daftar Pustaka

1. Pope, LE & Hobbs, Epistaxis: an update on current management. Postgraduate Medical


Journal Vol. 81, No. 955, CG (2005). pp. 309-314.
2. Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2(3): 178-182.
3. Kolecki, P. and Menckhoff, C. R. 2014. Hypovolemic Shock. Medscape Reference.
http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview.
4. Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M. dan Setiati, S. 2009. Syok
Hipovolemik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
5. Parsonnet J. Nonmenstrual toxic shock syndrome: new insights into diagnosis,
pathogenesis, and treatment. In: Remington JS, Swartz MN, eds. Current Clinical
Topics in Infectious Diseases. Vol. 16.Cambridge, MA: Blackwell Science, 1996:1-20.
6. Deresiewicz RL. Staphylococcal toxic shock syndrome. In: Leung DYM, Huber BT,
Schlievert PM, eds. Superantigens: Molecular biology, immunology and relevance to
human disease. New York: Marcel Dekker, 1997: 435-79.

63
Epistaksis

Curiculum Vitae
Abdul Qadar Punagi

Abdul Qadar Punagi, lahir di Ujung Pandang, pada


tanggal 16 Februari 1963. Lulus sebagai dokter umum
dari Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada
tahun 1989. Sebagai seorang spesialis Telinga, Hidung,
Tenggorok, Bedah Kepala Leher pada tahun 1997, serta
sebagai seorang Doktor (S3) dalam bidang yang sama
dan pada fakultas yang sama pada tahun 2008, serta
mendapatkan gelar konsultan rinologi oleh Kolegium
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah
Kepala Leher Indonesia pada tahun 2009.

Sebagai salah seorang staf dosen pada departemen ilmu kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang
berdedikasi tinggi. Penulis juga pernah menjabat sebagai koordinator pendidikan mahasiswa
(KPM) S1 dan profesi dokter periode 2003 - 2005, sekretaris program studi (SPS) periode
2005 - 2007, serta ketua program studi (KPS) PPDS-1 ilmu kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin periode 2007 -
2014. Dan sampai sekarang penulis menjabat sebagai ketua divisi rinologi sejak 2010 dan
ketua departemen ilmu kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin sejak 2014. Penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi
skala nasional sebagai wakil ketua kelompok studi (KODI) rinologi Indonesia, serta ketua III
PERHATI-KL Indonesia sejak tahun 2013.

Motto
“ Kalau bukan sekarang, kapan lagi...”

64

Anda mungkin juga menyukai