Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Malformasi anorektal merupakan suatu spektrum dari anomali kongenital


yang terdiri dari anus imperforata dan kloaka persisten.Anus imperforata atau
atresia ani merupakan kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak
sempurna, sedangkan kloaka persisten merupakan suatu kondisi yang diakibatkan
karena pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia, dan traktus digestivus
tidak terjadi. 1]

Jadi, atresia ani adalah kelainan kongenital anus dimana anus tidak
mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan
kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah
terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan
yang cermat atau pemeriksaan perineum.

Secara epidemiologi, atresia ani diperkirakan terdapat dalam 1:5000


kelahiran, dengan insiden yang sama antara pria dan wanita. [1]

1
BAB II

ATRESIA ANI

2.1. DEFINISI

Atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah
suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ
tubular secara kongenital yang disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak
adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau
rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian
karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.2

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus


imperforata meliputi anus, rektum, atau keduanya. Atresia ani adalah malformasi
kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar. Ada juga yang
menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik
pada bagian distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal.2

Gambar 1. Atresia ani

2.2. EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI

Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut dan


Hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernapasan bagian bawah,
esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.
Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon

2
ascenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut
hingga ke membran kloaka, membran ini tersusun dari endoderm kloaka, dan
ektoderm dari protoderm / analpit . Hindgut membentuk sepertiga distal dan kolon
tranversum , kolon desenden, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. Endoderm
hindgut ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra. Bagian
akhir hindgut bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm
yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah pertemuan
antara endoderm dan ektoderm membentuk membrana kloaka.4

Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum


urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh ke arah
kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus urogenitalis
primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur
7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daerah ini
terbentuklah korpus perinealis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi
membrana analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan.3

Sementara itu, membrana analis dikelilingi oleh tonjolan-tonjolan


mesenkim, dan pada minggu ke-8 selaput ini terletak di dasar cekungan ektoderm,
yang dikenal sebagai celah anus atau proktoderm. Pada minggu ke-9 membran
analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dengan dunia luar. Bagian atas
kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nadi hindgut,
yaitu arteri mesenterika inferior. Akan, tetapi sepertiga bagian bawah kanalis
analis berasal dari ektoderm dan diperdarahi oleh aa. Rektales, yang merupakan
cabang dari arteri pudenda interna. Tempat persambungan antara bagian
endoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di
bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi
epitel berlapis gepeng. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai
primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis
menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak
rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan
genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak

3
normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau
rudimenter.3

Tahap-tahap pertumbuhan terjadi pada formasi anatomi normal dari bagian


bawah yaitu anus, rektum dan saluran urogenital. Pada minggu ke-4 pertumbuhan
terdapat kloaka dan struktur yang disebut membran kloaka. Kloaka adalah struktur
normal pada burung dan ada pada manusia untuk waktu yang singkat pada tahap
pertumbuhan. Sebelum manusia lahir, kloaka adalah struktur dimana kolon,
saluran urin, dan genital bermuara kemudian keluar dari tubuh melalui satu
lubang. Manusia melalui suatu tahap pertumbuhan dimana kloaka merupakan
struktur yang normal, kemudian tumbuh lubang yang terpisah untuk rektum dan
traktus urin dan pada wanita juga terbentuk vagina. Perkembangan normal ini juga
terjadi pada perkembangan struktur yang disebut membran kloaka. Jika membran
ini tidak berkembang normal, kloaka mungkin masih terdapat setelah kelahiran
pada wanita atau pada pria akan berkembang bentuk dari anus imperforata.3

Secara anatomi, kanalis analis merupakan bagian yang paling sempit,


tetapi normal dari ampula rekti. Menurut definisi ini, maka sambungan anorektal
terletak pada permukaan atas dasar pelvis yang dikelilingi oleh muskulus sfingter
ani eksternus. Dua pertiga bagian atas kanal ini merupakan derivat hindgut,
sedangkan satu pertiga bawah berkembang dari anal pit. Kanalis analis berasal
dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan rektum berasal
dari entoderm.Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus, sedangkan kanalis
analis oleh anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar3.

Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis
epitel.Perubahan jenis epitel yang terjadi adalah dari kolumner ke stratified
squamous cell. Perubahan jenis epitel ini terletak pada linea dentata atau biasa
disebut garis anorektum, garis mukokutan, atau linea pektinata. Di daerah ini
terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Infeksi yang
terjadi di daerah ini dapat menimbulkan abses sehingga anorektum dapat
membentuk fistel. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya kaya akan persarafan

4
sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rektum
mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. (3,4)

Kanalis analis memiliki panjang kurang lebih 3 centimeter. Sumbunya


mengarah ke ventrokranial yaitu ke arah umbilikus dan membentuk sudut yang
nyata ke dorsal dengan rektum dalam keadaan istirahat. Lekukan antar-sfingter
sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan colok dubur dan
menunjukkan batas antara sfingter interna dan eksterna (garis Hilton). (3,4)

Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter
interna dan sfingter eksterna. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari
fusi sfingter interna, otot longitudinal, bagian tengah dari otot levator
(puborektalis), dan komponen muskulus sfingter eksternus. Muskulus sfingter
internus terdiri atas serabut otot polos, sedangkan muskulus sfingter eksternus
terdiri atas serabut otot lurik. (3,4)

Pada bayi normal, terdapat susunan otot serat lintang yang berfungsi
membentuk bangunan seperti cerobong yang melekat pada os. Pubis, bagian
bawah sakrum, dan bagian tengah pelvis. Ke arah medial otot-otot ini membentuk
diafragma yang melingkari rektum, menyusun ke bawah sampai kulit perineum.
Bagian atas bangunan cerobong ini dikenal sebagai muskulus levator dan bagian
terbawah adalah muskulus sfingter eksternus. Pembagian secara lebih rinci dari
struktur cerobong ini adalah muskulus ischiococcygeus, illeococcygeus,
pubococcygeus, puborectalis, deep external, sfingter eksternus dan superficial
external sphinter. Muskulus sfingter eksternus merupakan serabut otot parasagital
yang saling bertemu di depan dan belakang anus. Bagian di antara muskulus
levator dan sfingter eksternus disebut muscle complex atau vertical fiber. 4

Di dalam kolon tidak terjadi pencernaan. Sisa makanan yang tidak dicerna
di dorong ke bagian belakang dengan gerakan peristaltik. Air dan garam mineral
diabsorbsi kembali oleh dinding kolon yaitu kolon ascendens. Sisa makanan
berada pada kolon selama 1 sampai 4 hari.3

5
Pada waktu pembusukan dibantu oleh bacteria E. Coli. Selanjutnya
dengan gerakan peristaltik, sisa makanan terdorong sedikit demi sedikit ke tempat
penampungan tinja yaitu di rektum. Apabila lambung dan usus halus telah terisi
makanan kembali akan merangsang kolon untuk melakukan defekasi (reflek
gastrokolik). Peregangan rektum oleh feses akan mencetuskan kontraksi reflek
otot-otot rektum dan keinginan BAB, pada saat tekanan rektum meningkat sampai
sekitar 18 mmHg.3

Apabila tekanan ini mencapai 15 mmHg, sfingter interior maupun


eksterior melemas dan isi rektum terdorong keluar. Sebelum tekanan yang
melemaskan sfingter eksterior tercapai, terjadilah kontraksi otot-otot abdomen
(mengejan), sehingga membantu refleks pengosongan rektum yang teregang.3

Gambar 2. Anatomi anus dan rektum

Vaskularisasi anorektal

Kanalis analis dan rektum mendapatkan vaskularisasi dari arteri


hemoroidalis superior, arteri hemoroidalis media, dan arteri hemoroidalis inferior.
Arteri hemoroidalis superior merupakan akhir dari arteri mesenterika inferior dan
melalui dinding posterior dari rektum dan mensuplai dinding posterior, juga ke

6
kanan dan ke kiri dinding pada bagian tengah rektum, kemudian turun ke
lineadentata. Arteri hemoroidalis media merupakan cabang dari arteri illiaca
interna. Arteri hemoroidalis inferior merupakan cabang dari arteri pudenda
interna, ia berjalan di medial dan vertikal untuk mensuplai kanalis analis di bagian
distal dari linea dentata. 3

Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta,


sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang vena
illiaca.Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus dan
berjalan kearah kranial ke dalam vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui
vena lienalis ke vena porta.Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke
dalam vena pudenda interna dan ke dalam vena iliaca interna dan sistem kava.3

Gambar 4. Vaskularisasi anorektal

7
Persarafan

Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatis dan parasimpatis.Inervasi


parasimpatis berasal dari nervus sacralis III, V yang kemudian membentuk
nervusepiganti, memberikan cabang ke rektum dan berhubungan dengan pleksus
Auerbach. Saraf ini berfungsi sebagai motor dinding usus dan inhibitor sfingter
serta sensor distensi rektum. Pesarafan simpatis berasal dari ganglion lumbalis II,
III, V dan pleksus para aurticus, kemudian membentuk pleksus hipogastrikus
kemudian turun sebagai nervuspresakralis. Saraf ini berfungsi sebagai inhibitor
dinding usus dan motor sfingter internus. Inervasi somatik dari muskulus levator
ani dan muscle complex berasal dari radiks anterior nervussacralis III,V(3,4).

Sistem Limfatik

Sistem limfe dari rektum mengalirkan isinya melalui pembuluh limfe


sepanjang pembuluh hemoroidalis superior ke arah kelenjar limfe paraaorta
melalui kelenjar limfeilliaca interna, sedangkan limfe yang berasal dari kanalis
analis mengalir ke arah kelenjar inguinal4.

2.3. EPIDEMIOLOGI

Secara epidemiologi, atresia ani diperkirakan terdapat dalam 1:5000


kelahiran, dengan insiden yang sama antara laki-laki dan perempuan.Pada laki-
laki, yang lebih sering terjadi adalah atresia ani dengan fistula rektouretral, diikuti
fistula rektoperineal kemudian fistula rektovesika, sedangkan pada perempuan
adalah fistula rektovagina dan fistula rektovestibuler kemudian kloaka persisten.
40% - 70% dari penderita mengalami satu atau lebih defek tambahan dari sistem
organ lainnya.Defek urologi adalah anomali yang paling sering berkaitan dengan
kelainan ini, diikuti defek pada vertebra, ekstremitas, dan sistem kardiovaskular.
(1,5)

8
2.4. ETIOLOGI

Etiologi secara pasti dari atresia ani belum diketahui, namun ada sumber
mengatakan bahwa kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Menurut
penelitian beberapa ahli, diduga faktor genetik berpengaruh terhadap terjadinya
atresia ani, namun masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi
penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini
mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan.
30% anak yang mempunyai sindrom genetik, kelainan kromosom, atau kelainan
kongenital lain juga berisiko untuk menderita atresia ani, contohnya adalah
penderita Down Syndrome.

Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:


1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubangdubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3
bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah
usus, rektum bagian distal, serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara
minggu keempat sampai keenam usia kehamilan1.

Sebanyak 60% pasien dengan atresia ani dapat disertai dengan beberapa
kelainan kongenital saat lahir yang disebut dengan Sindroma VACTERL
(Vertebrae,vAnal, Cardial, Tracheoesophageal, Renal, Limb). Kelainan yang ada,
yaitu1:
1. Kelainan pada sistem kardiovaskular
- Atrial Septal Defect
- Patent Ductus Arteriosus
- Tetralogy of Fallot
- Ventricular Septal Defect
2. Kelainan sistem pencernaan

9
- Obstruksi duodenal
- Kelainan tracheoesophageal
Kelainan yang sering terjadi adalah atresia esofagus.
3. Kelainan sistem perkemihan
Kelainan ini merupakan kelainan yang paling sering terjadi, dan terdapat pada
50% pasien dengan atresia ani. Refluk vesikoureter dan hidronefrosis
merupakan kondisi yang paling sering terjadi, namun juga dapat terjadi renal
agenesis, horseshoe, dan dysplastic.Semakin tinggi letak anomali yang ada,
maka semakin besar frekuensi terjadinya abnormalitas urologi. [1,8]
4. Kelainan tulang belakang
- Hemivertebrae
- Skoliosis
- Syringomyelia
- Spinal lipoma
- Myelomeningocele
Tidak adanya dua atau lebih vertebrae berhubungan dengan prognosis yang
buruk terhadap kontinensia dari usus dan vesica urinaria. [8]

2.5. KLASIFIKASI

Secara fungsional, pasien dengan anus imperforata/atresia ani dibagi


menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Tanpa anus, tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinal dicapai
melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula
rektovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering
dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adekuat
sementara waktu. (1,3)
2. Tanpa anus dan tanpa fistula atau traktus yang tidak adekuat untuk jalan
keluar feses.

10
Pada kelompok ini, tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan
dekompresi spontan kolon, sehingga memerlukan beberapa bentuk intervensi
bedah segera.(1,3)

Secara tradisional, klasifikasi atresia ani dibagi menjadi dua berdasarkan


letak terminasi rektum terhadap dasar pelvis, yaitu:
1. Anomali letak rendah
Rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rektum paling jauh 1 cm. Anomali ini dapat berupa stenosis anus yang
hanya membutuhkan dilatasi membran atau merupakan membran anus tipis
yang mudah dibuka segera setelah anak lahir. Baik pada laki-laki maupun
perempuan, anomali letak rendah berhubungan dengan perineal fistula. Pada
laki-laki, fistula berhubungan dengan midline raphe dari skrotum atau penis
(Gambar 5). Pada perempuan, fistula dapat berakhirpada vestibulum vagina
(fistula rektovestibular), karena rektum lebih ke depan mendekati vestibulum
(Gambar 6). Terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik
dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius. 1,9

Gambar 5. Anomali letak rendah pada laki-laki, perineal fistula midline raphe

11
Gambar 6. Fistula vestibular, pada fistula dimasukkan sebuah kateter

2. Anomali letak tinggi (supralevator)


Pada anomali letak tinggi, ujung rektum tidak mencapai tingkat muskulus
levator ani dengan jarak antara ujung buntu rektum sampai kulit perineum
lebih dari 1 cm. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistel genitourinarius –
rektovesikal (pria) atau rektovagina (perempuan). Pada perempuan, anomali
letak tinggi sering berhubungan dengan kloaka persisten. Jika fistula yang
terbentuk adekuat, maka secara klinis tidak terdapat tanda-tanda obstruksi.
Sedangkan bila tidak adekuat, maka terdapat tanda-tanda obstruksi yang lebih
nyata. 1,9

Sumber lain menyebutkan, bahwa klasifikasi dari atresia ani dibagi


menjadi 3 berdasarkan letak anatominya . 8

Stephen dan Smith

Tipe Atresia Ani berdasarkan letak menurut Stephens dan Smith (1984)
yaitu :
1. High / tinggi (Supra levator).
2. Intermediate / sedang (sebagian translevator).

12
3. Low / rendah (fully translevator).

Tabel 1. Klasifikasi atresia ani

Klasifikasi Perempuan Laki-laki


Letak tinggi Agenesis anorektal dengan Agenesis anorektal dengan
atau tanpa fistula atau tanpa fistula uretra
rektovaginal, atresia rekti. rektoprostatik, atresia rekti.
Intermediat Agenesis anorektal dengan Agenesis anorektal dengan
atau tanpa fistula atau tanpa fistula uretra
rektovaginal, agenesis rektobulbar, agenesis anus
anus
Letak rendah Fistula anovestibular atau Fistula anokutaneus
fistula anokutaneus (anteriorly displaced anus),
(anteriorly displaced stenosis anus
anus), stenosis anus

Cloaca

Melbourne
Melbourne membagi atresia ani berdasarkan garis pubococcygeus dan
garis yang melewati ischii:
1. Letak tinggi, rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus
pubococcygeus).
2. Letak intermediet, akhiran rektum terletak di muskulus levator anitetapi tidak
menembusnya. Lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang
normal.
3. Letak rendah, akhiran rektum berakhir di bawah muskulus levator ani. [4]

Laki-laki
1. Fistula perineal

13
Fistula perineal adalah kelainan yang paling sederhana yang dapat terjadi baik
pada pria maupun wanita. Pasien memiliki lubang kecil yang terletak pada
perineum anterior ke pusat sfingter eksternal, dekat dengan skrotum pada pria
atau vulva pada wanita.Pasien ini biasanya memiliki sakrum yang baik, alur
garis tengah, dan lesung anal. Frekuensi kerusakan organ lain terkait yang
mempengaruhi sekitar 10%. Diagnosis ditetapkan oleh inspeksi perineum
sederhana, tetapi sering kali diagnosis ini terlewatkan karena pemeriksaan
neonatal yang kurang memadai.Keterlambatan diagnosis mungkin memiliki
dampak signifikan yaitu obstipasi.10

Gambar 7. Fistula perineal

2. Fistula rektouretral
Dalam fistula rektouretral,rektum berkomunikasi dengan bagian bawah uretra
(uretra bulbar) atau bagian atas dari uretra (uretra prostat).Mekanisme sfingter
pada umumnya baik, tetapi pada sebagian pasien memiliki otot-otot perineal
dan perineum datar. Sakrum juga memiliki derajat perkembangan yang
berbeda, terutama dalam kasus fistula rektouretral prostat. Sebagian besar
pasien memiliki sakrum yang kurang berkembang, perineum yang datar,
skrotum terpecah menjadi dua belah, dan letak lesung anal sangat dekat
dengan skrotum.10

14
Gambar 8. Fistula rektouretral

3. Fistula rektovesikal (bladder neck)


Pada pasien yang memiliki fistula rektovesikal, rektum berkomunikasi
dengan saluran kemih pada tingkat leher kandung kemih. Mekanisme sfingter
pada umumnya kurang berkembang. Sakrum kurang berkembang dan
perineum terlihat datar.Kelainan ini terjadi pada 10% dari jumlah pasien laki-
laki.Prognosis biasanya tidak baik.10

Gambar 9. Fistula rektovesikal

4. Anus imperforata tanpa fistula

15
Kelainan ini memiliki karakteristik yang sama pada kedua jenis kelamin.
Anus yang tertutup biasanya ditemukan 2 cm diatas kulit perineum.Sakrum
dan mekanisme sfingter pada umumnya berkembang dengan baik.Prognosis
pada umumnya juga baik.Kelainan ini sering dikaitkan dengan sindrom
down.10

Gambar 10. Anus imperforata tanpa fistula

5. Atresia rektum
Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang terjadi, yaitu hanya 1% dari
anomali anorektal. Karakteristik pada kedua jenis kelamin sama. Gambaran
yang unik dari kelainan ini yaitu bahwa pasien memiliki lubang anus yang
normal dan anus yang normal.Sebuah halangan terdapat sekitar 2cm diatas
permukaan kulit.Prognosis fungsionalnya sangat baik karena memiliki
sfingter yang normal dan sensasi yang normal. 10

Perempuan
1. Fistula vestibular
Kelainan ini merupakan kelainan yang sering pada wanita. Rektum terbuka
didepan alat kelamin wanita diluar selaput dara. Pasien sering disalahartikan
sebagai fistula rektovaginal. Prognosis fungsionalnya baik, sakrum biasanya
normal, alur garis tengah perineum, dan lesung anal yang semuanya
menunjukkan mekanisme sfingter masih utuh. 10

Gambar 11. Fistula vestibular

16
2. Kloaka persisten
Dalam kasus kloaka persisten, rektum, vagina, dan saluran kemih bertemu
dalam satu saluran tunggal. Perineum memperlihatkan suatu lubang tunggal
tepat dibelakang klitoris. Panjang saluran ini bervariasi antara 1-10 cm,
panjang dari saluran ini menunjukkan suatu prognosis. Pasien dengan saluran
dengan panjang <3cm pada umumnya sakrum dan sfingter berkembang
dengan baik. Pasien dengan panjang saluran >3cm sering kali menunjukkan
kelainan yang lebih kompleks dengan sakrum dan sfingter yang kurang
berkembang dengan baik. Pasien dengan kloaka persisten merupakan suatu
kedaruratan urologi karena 90% memiliki kelainan urologi. Sebelum
dilakukan kolostomi, diagnosis urologi harus segera ditegakkan untuk
dekompresi saluran kemih. 10

Gambar 12. Kloaka persisten

17
2.6. PATOFISIOLOGI

Asal anus dan rektum merupakan stuktur embriologis yang disebut


kloaka.Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut, dan
Hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernapasan bagian bawah,
esofagus, lambung, sebagian duodenum, hati, sistem bilier, serta pankreas. Midgut
membentuk usus halus, sebagian duodenum, caecum, apendiks, kolon ascenden
sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke
membran kloaka, membran ini tersusun dari endoderm kloaka dan ektoderm dari
protoderm/analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif
gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan
anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau
translevator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital.
Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak
normal.Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau
rudimenter. 4

Atresia ani terjadi akibat kegagalan punurunan septum anorektal pada


kehidupan embrional. Terjadinya atresia ani adalah karena kelainan kongenital
dimana saat proses perkembangan embriogenik tidak lengkap pada proses
perkembangan anus dan rektum. Dalam perkembangan selanjutnya, ujung ekor
dari belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan berkembang jadi genito
urinari dan struktur anorektal. Atresia ani ini terjadi karena ketidak sempurnaan
migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7- 10 minggu selama
perkembangan janin. Kegagalan migrasi tersebut juga karena gagalnya agenesis
sakral dan abnormalitas pada daerah uretra dan vagina atau juga pada proses
obstruksi. Atresia ani dapat terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar
yang keluar anus sehingga menyebabkan feses tidak dapat dikeluarkan. 4

Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.


Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,

18
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
feses mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. 4

Skema 1. Patofisiologi anomali letak tinggi

Agenesis sakral Kegagalan perkembangan Abnormalitas uretra


septum urorektalis dan vagina

Anomali letak tinggi Fistula

m. levator ani tidak normal Urine Feses

m. sfingter eksternus dan


internus tidak ada/rudimenter

2.7. DIAGNOSIS

Pasien dengan atresia ani biasanya berada dalam kondisi yang stabil dan
diagnosisnya segera tampak setelah kelahiran. Cara penegakkan diagnosis adalah
semua bayi yang lahir harus dilakukan pemasukan termometer melalui anusnya,
tidak hanya untuk mengetahui suhu tubuh, tapi juga untuk mengetahui apakah
terdapat atresia ani atau tidak.Selain itu juga diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjangsecara cermat. 1

A. Anamnesis

Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya
mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal, adanya
membran anal, dan fistula eksternal pada perineum.

19
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48
jam. Gejala itu antara lain:10
- Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (tidak bisa
buang air besar sampai 24 jam setelah lahir).
- Perut membuncit dan pembuluh darah di kulit abdomen terlihat menonjol.
Perut kembung biasanya terjadi antara empat sampai delapan jam setelah
lahir.
- Muntah (cairan muntahan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau
juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium).

Adapun perbedaan gejala klinis antara anomali letak rendah dan letak tinggi,
yaitu:
- Obstruksi usus halus letak tinggi memiliki gejala muntah lebih dahulu dan
dehidrasi yang sangat cepat.
- Obstruksi usus halus letak rendah, nyeri lebih dominan pada sentral
distensi. Muntah biasanya lebih lambat.

Gejala yang ada terjadi karena adanya obstruksi usus, oleh karena itu banyak
penyakit lain yang dapat menjadi diagnosis banding (Tabel3). [9]

Tabel 3. Penyakit penyebab obstruksi usus

Penyakit Keterangan

Atresia Intestinal Dapat berupa multiple.

Fibrosis Kistik Dapat menyebabkan obstruksi usus


akibat mekonium inspissated.

Malrotasi Intestinal Merupakan predisposisi dari volvulus


midgut letal.

Alimentary Tract Duplications Dapat menyebabkan obstruksi,

20
perdarahan, atau intususepsi.

Hirschsprung’s Disease Mekonium yang tidak keluar setelah


lahir.

Malformasi Anorektal Cek keadaan anus pada bayi dengan


obstruksi usus.

B. Pemeriksaan fisik

Inspeksi dan Palpasi Perianal

- Apakah terdapat anus atau tidak, bisa juga tidak ada anus dan hanya
berupa lengkungan (anal dimple).
- Jika tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula.
- Bila terdapat mekonium pada perineum mengindikasikan defek letak
rendah dan mekonium di urine merupakan bukti adanya fistula di saluran
kemih. Bila terdapat mekonium bercampur urin, maka terdapat 2
kemungkinan, yaitu fistula rektouretral atau rektovesika. Pada fistula
rektouretral didapatkan mekoneum mula-mula keluar bersama miksi,
urine selanjutnya makin lama makin jernih, dan dapat juga mekoneum
keluar tanpa melalui miksi. Sedangkan pada fistula rektovesika,
didapatkan miksi bercampur bersama dengan mekoneun dan dari awal
sampai akhir miksi berwarna kehitaman. Selain itu, cara membedakannya
juga dapat dengan menggunakan kateter. Jika setelah dipasang kateter
didapatkan urin jernih, maka fistula rektouretral karena fistula tertutup
oleh kateter, sedangkan bila terdapat urin bercampur mekonium maka
fistula rektovesika.
- Pada perempuandiperiksa genitalia eksterna (fistula vestibulum).
- Pada perempuan jika urine bercampur mekonium dan terdapat hematuria
maka defek berupa letak tinggi. Jika dari uretra keluar mekonium,
kencing jernih, dan terdapat fistula pada perineum maka defek letak
rendah.

21
- Dilihat pada saat anak menangis apakah anus menonjol atau tidak, jika
menonjol maka anomali letak rendah, sedangkan jika tidak maka anomali
letak tinggi.
- Pada bayi yang baru lahir, hal yang harus kita lakukan adalah mengukur
suhu rektum sekaligus melihat apakah terdapat adanya lubang pada anus
dengan menggunakan termometer yang sudah diberi gel.
- Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi = perut tampak kembung
Palpasi = distensi, nyeri tekan tidak dijumpai.
Perkusi = hipertimpani
Auskultasi = Peristaltik meningkat, dapat terdengar metalic sound
- Jika dalam 24 jam pertama tidak tampak mekonium baik pada perineum
ataupun urin, dapat dilakukan cross table lateral x-ray dengan posisi bayi
tengkurap.

C. Pemeriksaan Penunjang
Meskipun diagnosis atresia ani dapat dibuat dengan pemeriksaan fisik,
sering kali sulit untuk menentukan apakah bayi memiliki lesi tinggi atau
rendah. Sebuah radiograf polos dari perut dapat membantu menemukan lesi.
Selain itu, harus dicari adanya kelainan lain yang terkait (Sindrom
VACTERL) sampai tidak terbukti adanya kelainan tersebut. Untuk
memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut :
- Invertogram (Radiografi Abominal Lateral dengan marker radiopaque
pada perineum)
Teknik pengambilan foto ini dapat dibuat setelah udara yang ditelan oleh
bayi sudah mencapai rektum, dan bertujuan untuk menilai jarak puntung
distal rektum terhadap tanda timah atau logam lain pada tempat bakal anus
di kulit peritoneum. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah
bayi lahir agar usus terisi udara, dengan cara Wangensteen & Rice (kedua
kaki dipegang dengan posisi badan vertikal dengan kepala di bawah) atau

22
knee chest position (sujud), dengan sinar horizontal diarahkan ke
trochanter mayor. Prinsipnya adalah agar udara menempati tempat
tertinggi.Selanjutnya, diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung
distal rektum ke tanda logam (marker Pb) di perineum. Cara Wangensteen
dan Rice digunakan pada kondisi dengan fistula, sedangkan pada knee
chest position digunakan pada kondisi tanpa fistula dengan adanya gejala
ostruksi usus. Dengan menggunakan invertogram, dapat diketahui anomali
yang terjadi merupakan letak rendah atau tinggi (Gambar 13). 1,3,9

Gambar 13. Perbedaan invertogram pada anomali letak rendah (gambar a)


dan anomali letak tinggi (gambar b)

Adapun perbedaan gambaran radiologis antara anomali letak rendah dan


letak tinggi, yaitu:
- Obstruksi usus halus letak tinggi terdapat distensi minimal dan sedikir
air fluid level pada pemeriksaan radiologi.
- Obstruksi usus halus letak rendah terdapat multiple central air fluid
level terlihat pada pemeriksaan radiologi.

Syarat dari pembuatan invertogram adalah sebagai berikut:


1. Setelah usia > 24 jam (paling cepat 18 jam, karena udara sudah
sampai ke anus).
2. Hip joint fleksi maksimal.
3. Arah cahaya dari lateral.

23
4. Kepala di bawah, kaki ke atas agar udara naik ke atas dan mekanium
akan ke bawah.
5. Interpretasi pada invertogram
a. Pada Wangensteen dan Rice
Bila letak udara paling distal: > 1 Cm = letak tinggi / high
< 1 cm = letak rendah / low
=1cm= letak intermediate / sedang
b. Pada knee chest position
Dengan Pubococcygeal line (PC line), yaitu dibuat garis imajiner
antara Pubo/Pubis (tumpang tindih dengan trochanter mayor)
dengan os coccygeal (Gambar 14). 11
Interpretasinya adalah sebagai berikut:
Ujung buntu di atas PC Line = letak rendah
Ujung buntu di bawah PC Line = letak tinggi
Gambaran radiologi pada anomali letak tinggi dan letak rendah
dengan PC line dapat dilihat pada gambar 15 dan gambar 16.
- USG
USG abdomen dapat membantu menentukan apakah ada anomali saluran
kemih atau saraf pada tulang belakang. Selain itu, Ultrasound pada
perineum (daerah dubur dan vagina) juga berguna untuk menentukan jarak
antara rektum distal mekonium. 1,5
- Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat kelainan
bawaan pada jantung pasien.

24
Gambar 14. Pubococcygeal line

Penegakkan diagnosis anomali letak tinggi dan letak rendah dapat ditegakkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti yang
diperlihatkan pada skema 2.
Skema 2. Algoritma penegakkan diagnosis

Mekonium Kembung Muntah

(+) (-) Lambat Dominan Menonjol Lambat


muan

Urine Urine+ Gejala Menangis


jernih mekonium dehidrasi

Menonjol (-)
Kateter Kateter Cepat Lambat
jernih campur
Mekonium mekonium
Penemuan Termometer

Fistula
rektouretral Fistula
-Stenosis Fistula Anus (-) Anus
rektovesi
-Membran (+)
kuler
anal
(+) (-)

25
Perineal Invertogram
rektovagina
rektovestibuler
Foto Jarak

Air fluid Distensi < 1cm > 1cm


level
Mekonium
Banyak Minimal
Sedikit Multiple

Anomali letak Anomali letak


tinggi rendah

2.8. PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan pada atresia ani berpusat pada penentuan


klasifikasinya, yaitu anomali letak tinggi atau letak rendah, ada atau tidak adanya
fistula, dan mengevaluasi apakah terdapat kelainan kongenital lain yang
menyertai. Dibutuhkan waktu sampai 24 jam sebelum fistula dapat ditemukan,
oleh karena itu, observasi pada neonatus sangat dibutuhkan sebelum operasi
definitif dilakukan. Semua pasien dimasukkan nasogastric tubesebelum makan
untuk melihat adanya atresia esofagus dan dimonitoring apakah terdapat
mekonium pada perineum atau urine. Selain itu, dalam 24 jam pertama, bayi harus
mendapatkan terapi cairan dan antibiotik. Pada anomali letak tinggi dengan atau
tanpa fistel dan atresia ani dengan fistula yang tidak adekuat, sifat tatalaksananya
adalah emergency, sedangkan pada ada atresia ani dengan fistula yang adekuat
dan anterior anus adalah elektif. 1,8,9

Penatalaksanaan Anomali Letak Rendah

26
Pada anomali letak rendah, tindakan yang dilakukan adalah operasi
perineal tanpa kolostomi. Operasi yang dilakukan berupa repair yaitu
anoplasti.Terdapat 3 pendekatan yang dapat dilakukan. Untuk anal stenosis,
dimana pembukaan anus berada pada lokasi yang normal, maka dilatasi serial
merupakan penatalaksanaan kuratif. Dilatasi dapat dilakukan sehari-hari oleh
orang tua atau pengasuh anak dan ukuran dari dilator harus dinaikkan secara
progresif (dimulai dari 8 atau 9 French dan dinaikkan ke 14 atau 16 French). Jika
pembukaan anal berada di sebelah anterior dari sfingter eksternus dengan jarak
yang kecil antara pembukaan dan bagian tengah dari sfingter eksternus, dan
perineal intak, maka anoplasti cutback dilakukan. Tindakannya terdiri dari insisi
dari orifisium anal ektopik menuju bagian tengah dari sfingter anus, dan dengan
demikian terjadi pelebaran pembukaan anal. Namun, jika jaraknya lebar antara
pembukaan anal dengan bagian tengah dari sfingter ani eksternus, maka yang
dilakukan adalah anoplasti transposisi, dimana pembukaan anal yang tidak pada
tempatnya dipindahkan ke posisi yang normal pada bagian tengah dari otot
sfingter, dan perineal di rekonstruksi. 1,8,9

Penatalaksanaan Anomali Letak Tinggi

Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dan intermediat membutuhkan


tiga tahapan rekonstruksi. Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah
kolostomi terlebih dahulu segera setelah lahir untuk dekompresi dan diversi,
diikuti dengan operasi definitif berupa prosedur abdominoperineal pullthrough
(Swenson, Duhamel, Soave) setelah 4-8 minggu (sumber lain menyebutkan 3-6
bulan) dan diakhiri dengan penutupan dari kolostomi yang dilakukan beberapa
bulan setelahnya. Tindakannya berupa pemisahan fistula rektourinari atau
rektovagina secara pull-through dari kantong rektal bagian terminal menuju posisi
anus yang normal. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi definitif dan
dilanjutkan beberapa bulan setelahnya dengan penutupan kolostomi. 1,8,9

Pena dan DeVries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi


definitif dengan pendekatan postero-sagital anorectoplasty (PSARP), yaitu

27
dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani
untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel dengan
stimulasi elektrik dari perineum. Jika terdapat adanya kloaka persisten, maka
traktus urinarius perlu dievaluasi secara hati-hati saat kolostomi untuk
memastikan terjadinya pengosongan yang normal dan menentukan apakah vesica
urinaria perlu di drainase dengan vesikostomi. Pada perempuan, jika terdapat
kloaka persisten maka perlu dilakukan rekonstruksi traktus urinarius dan vagina.
Jika terdapat keraguan dalam penentuan letak anomalinya, lebih baik dilakukan
kolostomi. Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta
antisipasi trauma psikis. Sebagai tujuan akhirnya adalah defekasi secara teratur
dan konsistensinya baik. 1,8,9

Akhir-akhir ini, teknik operasi definitif dapat difasilitasi dengan prosedur


laparoskopi transabdominal sebagai penatalaksanaan untuk anomali letak tinggi
dan intermediat. Teknik ini memiliki keuntungan teoritis karena dilakukan dengan
penglihatan secara langsung dan menghindari pemotongan struktur-struktur lain
yang ada. Namun, perbandingan hasil akhir jangka panjang antara PSARP dan
teknik ini belum diketahui. 1,8

Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dilakukan secara operatif, yaitu:

1. Kolostomi
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yaitu pembuatan lubang sementara atau permanen dari usus
besar melalui dinding perut untuk mengeluarkan feses. Kolostomi dapat
dilakukan pada kolon transversalis ataupun sigmoid yang merupakan organ
intraabdominal. Kolon dipisahkan pada daerah sigmoid, dengan usus bagian
proksimal sebagai kolostomi dan usus bagian distal sebagai mukus fistula.
Pemisahan secara komplit dari usus akan meminimalkan kontaminasi feses
menuju fistula rektourinarius sehingga mengurangi risiko terjadinya
urosepsis. Selanjutnya, bagian distal usus di evaluasi secara radiografik untuk

28
menentukan lokasi dari fistula rektourinarius. Kolostomi dilakukan pada
kolon transversum sebelah kiri di flexura lienalis atas pertimbangan sebagai
proteksi karena di sebelah kiri tidak ada organ-organ penting, kolon lebih
mobile sehingga lebih mudah, dan pada daerah ini tidak terjadi dehidrasi
karena absorbsi elektrolit maksimal di daerah tersebut sehingga konsistensi
feces tidak keras.

Adapun indikasi kolostomi adalah sebagai berikut:


- Dekompresi usus pada obstruksi
- Stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang atau perforasi
- Sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis
distal.

Manfaat kolostomi, yaitu:


a. Mengatasi obstruksi usus.
b. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan
lapangan operasi yang bersih.
c. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
menemukan kelainan bawaan yang lain.

Tipe kolostomi yang dapat digunakan pada bayi dengan atresia ani adalah
kolostomi loop yaitu dengan membuat suatu lubang pada lengkung kolon
yang dieksteriorisasi.Jenis anestesi pada tindakan kolostomi adalah anestesi
umum.

29
Gambar 17. Kolostomi

2. Postero Sagital Anorectoplasty (PSARP)

Suatu tindakan operasi definitif pada pasien atresia ani dengan teknik operasi
menggunakan irisan kulit secara sagital mulai dari tulang koksigeus sampai
batas anterior bakal anus. Prosedur ini memberikan beberapa keuntungan
seperti kemudahan dalam operasi fistula rektourinaria maupun rektovaginal
dengan cara membelah otot dasar perlvis, sling, dan sfingter.Saat ini, teknik
yang paling banyak dipakai adalah minimal, limited atau fullPSARP.

Macam-macam PSARP

1. Minimal PSARP
Tidak dilakukan pemotongan otot levator maupun vertical fibre, yang
penting adalah memisahkan common wall untuk memisahkan rektum
dengan vagina dan yang dibelah hanya otot sfingter eksternus.Indikasi dari
minimal PSARP, yaitu dilakukan pada fistula perineal, anal stenosis, anal
membran, bucket handle dan atresia ani tanpa fistula yang akhiran rektum
kurang dari 1 cm dari kulit.

2. Limited PSARP
Yang dibelah adalah otot sfingter eksternus, muscle fiber, muscle complex
serta tidak membelah tulang koksigeus. Yang penting adalah diseksi
rektum agar tidak merusak vagina.Indikasi dari limited PSARP
adalahatresia ani dengan fistula rektovestibuler.

3. Full PSARP
Dibelah otot sfingter eksternus, muscle complex, dan koksigeus.Indikasi
dari full PSARP, yaitu atresia ani letak tinggi dengan gambaran
invertogram gambaran akhiran rektum lebih dari 1 cm dari kulit, pada
fistula rektovaginalis, fistula rektouretralis, atresia rektum, dan stenosis
rektum.

30
Teknik operasi PSARP 1,4

1. Dilakukan dengan anestesi umum, dengan endotrakeal intubasi, dengan


posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan (prone jackknife position).
2. Stimulasi perineum dengan alat pena muscle stimulator untuk identifikasi
anal dimple.
3. Insisi bagian tengah sakrum ke arah bawah melewati pusat sfingter dan
berhenti 2 cm di depannya.
4. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex.
Os coccygeus dibelah sampai tampak musculus levator, lalu muskulus
levator dibelah sampai tampak dinding belakang rektum.
5. Fistula yang ada dari rektum menuju ke vagina atau traktus urinarius
dipisahkan.
6. Rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya.
7. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.
8. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai terjadi tension (dilakukan
rekonstruksi pada muskulus dan dijahit ke rektum)

Gambar 18. Sebelum dan sesudah PSARP

Perawatan Pasca Operasi PSARP

1. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari dan salep antibiotik


diberikan selama 8-10 hari.

31
2. Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari.
Sedangkan padakasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-
14 hari. Drainase suprapubik diindikasikan pada pasien persisten kloaka
dengan saluran lebih dari 3 cm.
3. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi dengan Heger dilatation.
Untuk pertama kali dilakukan oleh ahlibedah, kemudian dilatasi dua kali
sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun keluarga.Setiap minggu,
lebar dilator ditambah 1 mm hingga tercapai ukuran yang diinginkan.
Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat lewat
dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan
diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu
dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan.
Setelah ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.
Indikasi penutupan kolostomi adalah apabila sudah tercapai ukuran pada
dilatasi anal yang sudah sesuai dengan umur (maksimal 16 French pada
usia 3 tahun).
4.
Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi
karena kulitperineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya.
Salep tipikal yang mengandungvitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin
dapat digunakan untuk mengobati eritema popok ini. 12,13

Umur Ukuran

1-4 bulan #12

4-12 bulan #13

8-12 bulan #14

1-3 Tahun #15

3-12 tahun #16

32
>12 tahun #17

Tabel 4. Tabel ukuran businasi menurut usia

Frekuensi Dilatasi

Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan

Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan

Tiap 1 minggu 2x dalam 1 bulan

Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan

Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan

Tabel 5. Tabel frekuensi dilatasi

Skoring Koltz
VARIABEL KONDISI SKOR
1-2x sehari 1
2 hari 1x 1
1. Defekasi 3-5x hari sekali 2
3 hari sekali 2
>4 hari sekali 3
Tidak pernah 1
2. Kembung Kadang-kadang 2
Terus menerus 3
Normal 1
3. Konsistensi Lembek 2
Encer 3

33
Perasaan ingin buang air Terasa 1
4.
besar Tidak terasa 3
Tidak pernah
1
Terjadi bersama
5. Soiling 2
flatus
3
Terus menerus
>1 menit
1
Kemampuan menahan feses <1 menit
6. 2
yang keluar Tidak bisa
3
menahan
Tidak ada 1
7. Komplikasi Komplikasi minor 2
Komplikasi mayor 3

Tabel 6. Skoring Koltz

Penilaian hasil skoring: Nilai scoring 7-21


<7 = sangat baik
8-10 = baik
11-13 = cukup
>14 = kurang

Algoritma penatalaksanaan atresia ani pada laki-laki dan perempuan dapat dilihat
pada skema 3. 12,14

34
Skema 3. Algoritma penatalaksanaan atresia ani pada laki-laki dan perempuan

Newborn with Anorectal Malformation

Observation 18-24 Hrs


Abdominal ultrasound

Perineal Inspection
And Urinalysis

Fistula No Fistula

Male Female Cross-


table
Lateral,
Film
with
35
Patient
in Prone
Position
Perineal “Flat Bottom”, Cloaca Vestibular Perineal
Fistula, Meconium in (or
“Bucket urine vaginal)
Handle”,
Minimal
Midline Emergency
PSAP,
Raphe Colostomy Colostomy
GU No
Fistula
Evaluation Colostomy
Colos-
PSARP Limited
Minimal tomy, < 1cm > 1cm
PSARP
PSAP, And if Bowel Bowel
No necessary skin skin
Colosto Vaginos- distance distance
my tomy
Urinary
diversion Colostomy
6 month 4-8 wks – Rule out
Associated Malformations
PSARVUP
Verify Normal Growth
PSARP

2.9. KOMPLIKASI

Komplikasi yang terjadi post operasi banyak disebabkan oleh karena


kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, dan keterampilan operator yang kurang serta
perawatan post operasi yang buruk.5

Komplikasi awal dari PSARP adalah infeksi dari luka, perdarahan, anus
salah letak, fistula berulang, serta cedera pada uretra dan kandung kemih. Pada
komplikasi selanjutnya, pada umumnya terjadi stenosis, striktur anorektal,
prolaps, dan inkontinensia. 5

Komplikasi awal dapat dihindari dengan penutupan luka yang adekuat


tanpa meninggalkan celah.Sebagian besar pasien yang melakukan operasi untuk

36
memperbaiki atresia ani memiliki berbagai derajat konstipasi. Gejala ini lebih
berat terjadi pada kelainan letak rendah dan intermediat.Pasien yang sebelumnya
dilakukan kolostomi baik didaerah proksiamal maupun distal dapat mengalami
obstipasi maka dari itu pasien memerlukan diet kaya serat dan kadang-kadang
sampai dibutuhkan obat pencahar. 5

2.10. PROGNOSIS

Morbiditas yang ada pasien berhubungan dengan anomali lain yang ada
pada pasien. Tujuan utama dari tatalaksana pada atresia ani adalah kontinensia
feses. Sebanyak 75% pasien memiliki pergerakan usus volunter. Konstipasi
merupakan sekuele yang paling umum. Prognosis pada atresia dapat dievaluasi
dengan cara melihat fungsi klinisnya dan psikologisnya. 8

Evaluasi Fungsi Klinis

- Kontrol feses dan kebiasaan buang air besar


- Sensasi rektal dan soiling
- Kontraksi otot yang baik pada colok dubur

Pada anomali letak rendah, hasil akhir yang sering terjadi adalah konstipasi,
sedangkan pada anomali letak tinggi adalah inkontinensia feses. 8,9

Evaluasi Psikologis

Fungsi kontinensi tidak hanya tergantung integritas atau kekuatan sfingter atau
sensasi saja, tetapi tergantung juga pada bantuan orangtua dan kerja sama serta
keadaan mental penderita. 11

Pasien dengan fistula perineal, atresia rektal, dan anus imperforata tanpa
fistula pada umumnya setelah dilakukan operasi perbaikan memiliki fungsi
defekasi yang baik. Sekitar 80% dapat mencapai kontrol usus anatara usia 3- 4
tahun.

37
Pasien pria dengan fistula prostat rektouretral sekitar 60% dapat mencapai
kontrol usus pada usia 3 tahun. Pasien dengan fistula rektovesikal prognosisnya
kurang baik sekitar 20% dapat mencapai kontrol usus atau buang air besar secara
normal pada usia 3 tahun. Pada sakrum yang tidak normal atau letak rendah pada
umumnya akan terjadi inkontinensia feses, dan sakrum yang tidak normal pada
umumnya terjadi pada fistula rektovesikal dan prostat rektouretral.

Pasien wanita dengan fistula rektovestibular sekitar 90% dapat memiliki


gerakan usus yang normal pada usia 3 tahun. Pasien wanita dengan kloaka dengan
saluran kurang dari 3 cm sekitar 80% dapat mencapai gekaran usus yang normal
pada umur 3tahun. Bila saluran lebih dari 3cm pada umumnya juga terdapat
kelainan pada sakrum, maka prognosisnya sekitar 25 % terjadi inkontinensia
feses, dan 70 % dari pasien kloaka persisten dengan saluran lebih dari 3 cm
menbutuhkan katerisasi intermiten untuk mengosongkan kandung kemih. 15,16

Pasien dengan inkontinensia fekal dan diare pada umumnya memerlukan


kolostomi permanen. 16

BAB III

KESIMPULAN

Malformasi anorektal merupakan suatu spektrum dari anomali kongenital


yang terdiri dari anus imperforata dan kloaka persisten.Anus imperforata atau
atresia ani merupakan kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak
sempurna, sedangkan kloaka persisten diakibatkan karena pemisahan antara
traktus urinarius, traktus genitalia, dan traktus digestivus tidak terjadi.Etiologi
secara pasti atresia ani belum diketahui, namun faktor genetik diduga berpengaruh
terhadap insiden tersebut.

38
Berdasarkan letak anatomi, atresia ani dapat dibagi mejadi 3 yaitu letak
tinggi, intermediet, dan rendah. Dan dapat juga di klasifikasikan berdasarkan ada
atau tidaknya fistula dan letak fistula.

Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.


Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan
segala akibatnya.Diagnosis didapatkan dengan melihat manifestasi klinis yang
muncul dan dengan inspeksi pada regio perianal. Tindakan yang dilakukan untuk
evakuasi feses yang utama yaitu dengan kolostomi dilanjutkan dengan PSARP
disesuaikan dengan kelainan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews
JB, et al. Pediatric Surgery. In: Schwartz’s Principles of Surgery. 9th
edition. McGraw Hill; 2010.p. 2777-2780.
2. Suriadi. Asuhan Keperawatan Anak.Jakarta: Seto Agung; 2006.hlm 159
3. Sjamsuhidajat R. De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.hlm. 668-70.
4. Anonymus. Ilmu Bedah.[citedMay 11, 2012]. Available at:
http://www.bedahugm.net/atresia-ani. ac.

39
5. Texas Pediatric Associates. Imperforate Anus.[cited May 12,2012].
Available: http://www.pedisurg.com/PtEduc/Imperforate_Anus.htm.
6. Kaneshiro NK. Imperforate Anus.[cited May 12,2012]. Available:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001147.htm.
7. Adotey JM, Jebbin NJ. Anorectal disorders requiring surgical treatment in
the University of Port Harcourt Teaching Hospital, Port Harcourt.
Nigerian journal of medicin : journal of the National Association of
Resident Doctors of Nigeria2004; 13 (4): 350–4.
8. Mahmoud N, Rombeau J, Ross HM, et al.In: Townsend CM, Beauchamp
RD, Evers BM, Mattox KL, editors. Pediatric Surgery. Sabiston Textbook
of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17 th edition.
Elsevier Saunders; 2004.p.1746-8.
9. Williams N, Bulstrode CJK, O’connell PR. Bailey and love short practice
of surgery. 25th edition. Edward Arnold (Publisher) Ltd;2008.p.87-88,
1247.
10. Pena A. Surgical Condition of the Anus, Rectum, and Colon. Pediatric
Surgery. Germany: Springer; 2006.p. 289 -312.
11. Swenson. Anorectal malformation. Pediatric surgery. WB Saunder; 2000.

12. Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of


Pediatric SurgeryVol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2005.p. 1395-1434
13. Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation.Orphanet Journal of Rare
Diseases2007,2:33. [cited May 25,2012]. Available:
http://www.ojrd.com/content/2/1/33.
14. University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery
University of Michigan. [cited May 25,2012]. Available:
http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/a/anorectalmal
formation.
15. Wakhlu A. Management of Congenital Anorectal Malformation. Pediatric
Surgery. [citedMay 12, 2012]. Available at
http://indianpediatrics.net/nov1995/1239.pdf.

40
16. Hidayat,Alimul AA.Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2. Jakarta:
Salemba Medika; 2005.

41

Anda mungkin juga menyukai