Cover
Cover
MUSLIMAT
seandainya waktu sehari bisa lebih dari 24 jam, pastilah blog ini bisa lebih terawat. Sebenarnya sedih juga
membiarkannya kosong sekian lama, tapi memang akhirnya harus membuat skala prioritas untuk berbagai
pekerjaam yang ada, termasuk pekerjaan domestik di rumah. Dan maaf yah... blog ini masuk di nomor buncit
dari daftar prioritas…
Okay, baiklah… tidak usah mendayu-dayu… langsung saja deh kalau mau menulis hehe…. Postingan kali ini
adalah re-publish dari tulisanku di Harian Tribun hari Minggu tanggal 22 Mei kemarin, dengan slight
modification. Tulisan ini berangkat dari keprihatinan mengapa berita tentang jatuhnya sekian banyak korban
miras masih saja terulang…. juga berita artis ini atau pejabat itu yang terlibat penggunaan NAPZA (Narkotika,
Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lain)… Dan tentu saja itu hanyalah fenomena gunung es di mana kasus
yang sebenarnya jauh lebih banyak dari yang diberitakan. Kebetulan pula beberapa waktu yang lalu aku
diundang oleh Subdit Pengawasan Prekursor, Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
BPOM untuk menjadi narasumber dalam sebuah pertemuan di Pontianak, di mana aku diminta berbicara tentang
farmakologi dari obat-obat yang sering disalahgunakan. Dan tau tidak kawan… karena narkotika dan
psikotropika sudah makin ketat pengawasannya, para abuser mencoba mencari obat-obat lain yang
disalahgunakan, yaitu tramadol, haloperidol, amitriptilin, triheksifenidil danklorpromazin. Miris bukan? Obat-
obat ini sekarang digolongkan menjadi Obat-obat Tertentu (OOT) yang harus makin diperketat pengawasannya.
Mengapa sih orang susah lepas dari jeratan NAPZA ketika sudah terperangkap ke dalamnya? Mereka mencoba
menggunakan dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan barang haram itu demi memenuhi
kebutuhannya. Sekalinya mereka terperangkap dalam cengkeraman NAPZA, nampaknya sulit sekali untuk keluar
dan hidup normal. Mengapa ya orang-orang yang jatuh dalam kubangan NAPZA seringkali kesulitan untuk
menghentikan kebiasaannya walaupun tahu dampak buruknya? Itulah yang namanya “kecanduan” atau adiksi.
Tulisan ini mencoba mengupas dari aspek kesehatan, apa yang terjadi dengan otak manusia ketika sudah
dipengaruhi NAPZA.
Banyak macam alasan orang untuk pertama kalinya mencicipi NAPZA. Mulai dari yang karena penasaran, karena
ajakan teman, untuk bersenang-senang, untuk meningkatkan stamina, supaya percaya diri, sampai untuk
melarikan diri dari masalah hidup. Alasan ini sangat bervariasi antar individu. Sebenarnya penggunaan pertama
ini tidak serta merta menyebabkan penyalahgunaan, dan tidak ada batasan tertentu sampai sebanyak apa
penggunaan miras atau NAPZA bisa menyebabkan masalah kecanduan. Tidak semua pengguna miras akan
berkembang menjadi pecandu alkohol, demikian pula pengguna NAPZA. Masalahnya bukan pada jumlah atau
frekuensi penggunaan, tetapi pada efek obat dan alkohol didalam tubuh seseorang. Sehingga, meskipun hanya
mengkonsumsi sedikit, sebagian pengguna alkohol atau NAPZA dapat berkembang menjadi pecandu dan
penyalahguna obat.
Orang sering berpikir bahwa penyalahgunaan obat atau miras adalah sekedar masalah sosial atau budaya akibat
iman dan moral yang lemah. Dan sebagian dari masyarakat juga yakin bahwa sebenarnya hanya perlu kesadaran
dan kehendak yang kuat untuk bisa keluar dari jeratan NAPZA. Namun sebenarnya masalahnya tidaklah sesimpel
itu. Mengapa? Karena masalah kecanduan dan penyalahgunaan adalah suatu proses yang mempengaruhi kerja
otak. Obat dan miras dapat mempengaruhi kerja otak sehingga menghentikan kecanduan obat dan miras bukan
lagi hanya masalah kemauan. Seringkali diperlukan perlakuan dan pengobatan khusus untuk membantu orang
berhenti dari kecanduan dan dapat melanjutkan kehidupan yang produktif.
Golongan NAPZA adalah senyawa kimia yang dapat masuk dan mempengaruhi system komunikasi di otak dan
dapat mengganggu aktivitas sel syaraf untuk mengirim, menerima dan memproses informasi secara normal. Ada
sedikitnya dua cara di mana obat-obat dan alkohol melakukan hal ini. Yang pertama adalah mereka bertindak
menyerupai senyawa alami di otak yang disebut neurotransmitter, yaitu senyawa penghantar pesan di otak. Yang
kedua, obat/alkohol dapat mempengaruhi “ rewardsystem” di otak dengan meningkatkan aktivasi dari sistem
reward.
Sistem reward adalah satu system di otak yang mengatur rasa senang, sehingga ketika diaktifkan kita merasa
senang, dan ingin mengulang dan mengulang lagi. Peristiwa ini melibatkan mesolimbic reward pathway yaitu
jalur terdiri atas neurondopaminergik yang berasal dari Vental Tegmental Area (VTA)
menuju ke nucleus
accumbens (NA) dan diteruskan ke otak bagian prefrontal cortex. Sistem ini memerlukan keberadaan
neurotransmitter dopamin untuk mengaktifkannya.
Banyak hal yang bisa mengaktifkan system reward di otak. Stimulus alami bagi system reward adalah makanan,
minuman, sex, kasih sayang, semua ini menyebabkan rasa nyaman dan senang. Kita tidak pernah bosan dengan
makan, minum, kasih sayang, dan selalu ingin mengulangi dan mengulang lagi untuk mendapatkannya. Obat-
obat NAPZA dan alkohol juga dapat mengaktifkan system reward di otak dengan berbagai mekanisme.
Ganja dan heroin misalnya, memiliki struktur yang mirip dengan senyawa alami di otak yaitu endorphin,
sehingga bisa mengaktifkan reseptornya di otak dan “mengakali” otak sehingga mengirim pesan yang abnormal
ke system reward, sehingga membuat perasaan senang. Obat lain seperti kokain dan Ecstassy, bekerja dengan
cara meningkatkan pelepasan neurotransmitter dopamine dan serotonin dari ujung saraf, dan mencegah
kembalinya neurotransmiter ini ke saraf. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar neurotransmitter yang berlebih
di tempat aksinya dan mengaktifkan system reward.
Hampir semua obat golongan NAPZA yang sering disalahgunakan, termasuk alkohol (dan bahkan rokok –
nikotin), bekerja secara langsung maupun tidak langsung mengaktifkan system reward dengan meningkatkan
ketersediaan dopamin di otak. Dopamin adalah satu jenis neurotransmitter di otak yang bekerja mengontrol
gerakan, emosi, motivasi, dan perasaan senang. Stimulasi yang berlebihan pada system reward, yang normalnya
adalah berespon terhadap stimulus alami menghasilkan efek euphoria ketika menggunakan NAPZA. Reaksi ini
kemudian membentuk suatu pola di otak yang mendorong orang untuk melakukan dan melakukan lagi perilaku
ini (penggunaan NAPZA) untuk memperoleh kesenangan.
Jika orang tersebut terus menerus menggunakan NAPZA, maka otak akan beradaptasi terhadap keberadaan
dopamin yang tinggi dengan cara mengurangi produksi dopamin atau mengurangi reseptor dopamin. Hal ini
menyebabkan pengguna NAPZA berusaha untuk terus menggunakan NAPZA untuk menjaga agar fungsi dopamin
kembali ke “normal”, atau berusaha menambah dosis NAPZA untuk mencapai kadar dopamin yang tinggi untuk
mencapai “tingkat kesenangan” yang diinginkan. Tidak jarang pula mereka mencoba jenis NAPZA yang lain dan
dicampur dengan alkohol dan aneka tambahan lain untuk mendapatkan efek kesenangan yang diharapkan.
Penggunaan yang terus menerus akan menyebabkan perubahan pada system dan sirkuit di otak. Penelitian
menunjukkan bahwa pada penderita kecanduan NAPZA terjadi perubahan area di otak pada bagian yang
mengatur kemampuan menilai, pengambilan keputusan, belajar dan mengingat serta control perilaku.
Bersamaan dengan itu, perubahan fungsi otak ini juga mendorong pengguna untuk mencari dan menggunakan
obat terus menerus, yang kita kenal dengan istilah kecanduan obat atau adiksi obat. Mereka tidak
mempedulikan lagi bahayanya jika terjadi overdosis maupun efek-efeknya terhadap organ tubuh lainnya,
bahkan sampai kematian pun mereka tidak pikirkan. Jika mereka tidak mendapatkan obat, tubuh mereka
akan “sakaw” karena pada saat tidak mendapat obat, otak mereka akan kekurangan dopamin sehingga
mengakibatkan berbagai gejala fisik maupun psikis. Hal ini yang menyebabkan mereka terus terdorong untuk
mendapatkan obat bagaimanapun caranya. Manifestasi “sakaw” dari masing-masing obat berbeda tergantung
dari jenis obatnya.
Tidak ada faktor tunggal yang bisa memprediksi apakah seseorang akan mengalami kecanduan NAPZA atau
tidak. Risiko terjadinya kecanduan dipengaruhi oleh sifat biologis orang itu sendiri, kondisi sosial ekonomi,
lingkungan sosial, dan usia atau tahapan perkembangan. Semakin banyak faktor risikonya, semakin besar
kemungkinan seseorang menjadi pencandu.
Faktor biologi. Tidak bisa dipungkiri, faktor genetik yang dikombinasi dengan pengaruh lingkungan, merupakan
penentu dari separuh kerentanan seseorang terhadap kecanduan obat. Selain itu, jenis kelamin, etnik, dan
adanya gangguan kejiwaan lain bisa mempengaruhi risiko terjadinya penyalahgunaan obat dan kecanduan
Lingkungan. Lingkungan keluarga dan teman sampai status sosial ekonomi dan kualitas hidup adalah beberapa
faktor lingkungan umum yang bisa mempengaruhi kejadian kecanduan obat. Faktor lain yang khusus antara lain
adalah tekanan dari teman, stress, pola asuh orangtua, dll.
Tahap perkembangan. Semakin dini usia seseorang menggunakan NAPZA untuk pertamakalinya, makin mungkin
berkembang untuk menjadi kecanduan yang serius. Dan karena otak remaja itu masih dalam kondisi
perkembangan, maka remaja paling berisiko untuk menjadi pencandu.
Pada tahap tertentu, kecanduan NAPZA perlu mendapatkan penatalaksanaan yang tepat. Sebagian besar diawali
dengan detoksifikasi dan terapi terhadap kondisi “sakaw” jika diperlukan. Detoksifikasi adalah suatu proses
dimana tubuh membersihkan diri dari obat, dan perlu diatur secara khusus untuk mencegah efek-efek fisiologis
akut yang mungkin terjadi ketika obat dihentikan tiba-tiba. Proses detoksikasi kadang memerlukan obat-obat
tertentu untuk mengatasi gejala-gejala putus obat yang kadang juga berbahaya bagi penderita. Gejala putus
obat heroin misalnya akan diatasi dengan metadon. Gejala putus obat diazepam bisa diatasi dengan lorazepam.
Tatalaksana ini harus dilakukan di bawah pengawasan dokter yang kompeten, dan dilakukan di tempat
pelayanan kesehatan yang sesuai. Setelah itu, detoksifikasi harus dilanjutkan dengan suatu penilaian terhadap
kondisi pasien dan tatalaksana terhadap kecanduan. Program mengatasi kecanduan juga melibatkan terapi
perilaku dan terapi lainnya yang mendukung. Hasil yang diharapkan adalah penderita dapat berhenti
menyalahgunakan NAPZA, bisa bertahan bebas NAPZA dan hidup normal dengan lebih produktif.
Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa mengapa tidak mudah orang lepas dari jeratan NAPZA ketika
mereka sudah terperangkap di dalamnya, karena NAPZA memang bisa mengubah kemampuan seseorang untuk
berpikir dan mengambil keputusan. Namun demikian, kecanduan NAPZA adalah penyakit yang bisa dicegah.
Karena itu, program pencegahan menjadi kunci utama. Perlu terus menerus dilakukan kampanye-kampanye
pencegahan penyalahgunaan NAPZA untuk mengurangi semakin banyaknya kasus-kasus kecanduan NAPZA.
Penelitian telah menunjukkan bahwa program pencegahan yang melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat, dan
media cukup efektif dalam mengurangi penyalahgunaan NAPZA. Meskipun banyak peristiwa dan faktor budaya
mempengaruhi tren penyalahgunaan NAPZA, ketika pemuda menganggap penyalahgunaan NAPZA adalah
berbahaya, diharapkan mereka mengurangi penggunaan obat mereka atau bahkan tidak mau mencoba
memulainya.
Melanjutkan mengenai artikel standar akreditasi rumah sakit 2013 maka kali ini akan diposting mengenai Standar Akreditasi Rumah Sakit
2013 Pokja MPO atau Manajemen Penggunaan Obat. Ini adalah Standar Akreditasi Rumah Sakit 2013 Pokja Manajemen Penggunaan Obat
Terbaru.
BAB 6.
MANAJEMEN DAN PENGGUNAAN OBAT (MPO)
PENYIMPANAN
Elemen Penilaian MPO.3
Setiap elemen a) sampai dengan f) tersebut diatas dinilai/skor secara terpisah, karena mewakili hal yang kritis dan berisiko tinggi.
1. Obat disimpan dalam kondisi yang sesuai bagi stabilitas produk.
2. Bahan yang terkontrol dilaporkan secara akurat sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku
3. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk menyiapkan obat diberi label secara akurat untuk isi, tanggal kadaluwarsa dan peringatan
4. Seluruh tempat pernyimpanan obat diinspeksi secara berkala sesuai kebijakan rumah sakit untuk memastikan obat disimpan secara
benar;
5. Kebijakan rumah sakit sakit menjabarkan cara identifikasi dan penyimpanan obat yang dibawa oleh pasien
PEMBERIAN (Administration)
Elemen Penilaian MPO.6
1. Rumah sakit mengidentifikasi petugas, melalui uraian jabatannya atau proses pemberian kewenangan, mendapatkan otorisasi untuk
memberikan obat
2. Hanya mereka yang mempunyai ijin dari rumah sakit dan pemberi lisensi yang terkait, undang-undang dan peraturan bisa memberikan
obat
3. Ada proses untuk menetapkan batasan, bila perlu, terhadap pemberian obat oleh petugas
PEMANTAUAN (Monitoring)
Elemen Penilaian MPO.7
1. Efek pengobatan terhadap pasien dimonitor, termasuk efek KTD
2. Proses monitoring dilakukan secara kolaboratif
3. Rumah sakit mempunyai kebijakan yang mengidentifikasi efek KTD yang harus dicatat dalam status pasien dan yang harus dilaporkan
ke rumah sakit
4. Efek KTD didokumentasikan dalam status pasien sebagaimana diharuskan oleh kebijakan
5. Efek KTD dilaporkan dalam kerangka waktu yang ditetapkan oleh kebijakan
Semoga artikel mengenai Standar Akreditasi Rumah Sakit 2013 Pokja Menejemen Penggunaan Obat ini bermanfaat.