Anda di halaman 1dari 19

KRISIS TIROID

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 5

1. Arif Hidayat
2. Cantika Putri Utami
3. Dea Vanike Azinora
4. Repi Karlina
5. Windi Fibraili

Dosen Pembimbing :
Ns. Rumentalia Sulistini, S.Kep, M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
D-IV KEPERAWATAN
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis tiroid merupakan komplikasi hypertiroidisme yang jarang terjadi tetapi


berpotensi fatal. Krisis tiroid harus dikenali dan ditangani berdasarkan manifestasi
klinis karena konfirmasi laboratoris sering kali tidak dapat dilakukan dalam rentang
waktu yang cukup cepat. Pasien biasanya memperlihatkan keadaan hypermetabolik
yang ditandai oleh demam tinggi, tachycardi, mual, muntah, agitasi, dan psikosis.
Pada fase lanjut, pasien dapat jatuh dalam keadaan stupor atau komatus yang disertai
dengan hypotensi.

Krisis tiroid adalah penyakit yang jarang terjadi, yaitu hanya terjadi sekitar
1-2% pasien hypertiroidisme. Sedangkan insidensi keseluruhan hipertiroidisme
sendiri hanya berkisar antara 0,05-1,3% dimana kebanyakannya bersifat subklinis.
Namun, krisis tiroid yang tidak dikenali dan tidak ditangani dapat berakibat sangat
fatal. Angka kematian orang dewasa pada krisis tiroid mencapai 10-20%. Bahkan
beberapa laporan penelitian menyebutkan hingga setinggi 75% dari populasi pasien
yang dirawat inap. Dengan tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini krisis
tiroid, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%.

Karena penyakit Graves merupakan penyebab hipertiroidisme terbanyak dan


merupakan penyakit autoimun yang juga mempengaruhi sistem organ lain,
melakukan anamnesis yang tepat sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Hal
ini penting karena diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan
pada gambaran laboratoris. Hal lain yang penting diketahui adalah bahwa krisis
tiroid merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan
pengawasan terus-menerus. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang
adekuat, prognosis biasanya akan baik. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang
tepat tentang krisis tiroid, terutama mengenai diagnosis dan penatalaksaannya.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari krisis tiroid?


2. Apa sajakah etiologi dari krisis tiroid?
3. Bagaimanakah manifestasi klinis dari krisis tiroid?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari krisis tiroid?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan dari krisis tiroid?
6. Apa sajakah pemeriksaan penunjang yang dilakukan?
7. Apa sajakah komplikasi yang terjadi pada krisis tiroid?
8. Bagaimanakah asuhan keperawatan dari krisis tiroid?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian dari krisis tiroid?


2. Mengetahui etiologi dari krisis tiroid?
3. Mengetahui manifestasi klinis dari krisis tiroid?
4. Mengerti patofisiologi dari krisis tiroid?
5. Memahamipenatalaksanaan dari krisis tiroid?
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan?
7. Mengetahui komplikasi yang terjadi pada krisis tiroid?
8. Mengerti asuhan keperawatan dari krisis tiroid?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Krisis tiroid adalah bentuk lanjut dari hipertiroidisme yang sering berhubungan
dengan stres fisiologi atau psikologi. Krisis tiroid adalah keadaan krisis terburuk
dari status tirotoksik. Penurunan kondisi yang sangat cepat dan kematian dapat
terjadi jika tidak segera tertangani (Hudak & Gallo, 1996).
Merupakan eksaserbasi keadaan hipertiroidisme yang mengancam jiwa yang
diakibatkan oleh dekompensasi dari satu atau lebih sistem organ (Bakta &
Suastika, 1999).

2.2 Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan krisis tiroid adalah:
1. Operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada
bagian tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol
hormon tiroidnya
2. Stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid
3. Pemakaian kontras iodium seperti pada pemeriksaan rontgen
4. Infeksi
5. Stroke
6. Trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat
memicu terjadinya krisis tiroid, meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme
sebelumnya.
7. Penyakit Grave, Toxic multinodular, dan “Solitary toxic adenoma”
8. Tiroiditis
9. Penyakit troboblastik
10. Ambilan hormon tiroid secara berlebihan
11. Pemakaian yodium yang berlebihan
12. Kanker pituitari
13. Obat-obatan seperti Amiodarone
Ada tiga mekanisme fisiologis yang diketahui dapat menyebabkan krisis tiroid:
1. Pelepasan seketika hormon tiroid dalam jumlah besar
2. Hiperaktivitas adrenergik
3. Lipolisis dan pembentukan asam lemak yang berlebihan (Hudak & Gallo, 1996).

Factor pencetus krisis hingga kini belum jelas namun diduga dapat berupa free- hormon
meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 paska transkripsi, meningkatnya
kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Dan factor resikonya dapat berupa surgical crisis
(persiapan operasi yang kurang baik, belum eutiroid), medical crisis (stress apapun, fisik
maupun psikologis, infeksi dan sebagainya) (Sudoyo, dkk, 2007).
2.3 Patofisiologi

WOC Krisis Tiroid

G3 Fungsi Hipotalamus
G3 organik kelenjar
/hipofisis
tiroid

Produksi TSH ↑

Produksi hormone
tiroid ↑

Metabolisme tubuh Peningkatan Peningkatan


Proses Aktifitas GI
meningkat aktv SSP rangsangan SSP
glikogenesis meningkat
meningkat
Produksi Kebutuhan Perub Peningkatan
kalor ↑ cairan ↑ konduksi aktivitas SSP Nafsu
listrik jantung Proses
makan
pembakaran
meningkat
suhu Disfungsi lemak
Defisit
tubuh ↑ volume cairan SSP meningkat
Beban kerja
jantung naik
Agitasi, Penurunan
kejang, koma berat badan
Aritmia, takikardi

penurunan curah
jantung

Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH)


yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating
hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon
tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang
mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu
triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak
terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding
globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan
gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika
keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini
melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari
kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH.
Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit
ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH
dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid.
Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1.
Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh
3,’5′-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga
merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon
tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem
organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis
berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring
meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau
meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon
sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan
menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan
reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor
alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal
pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah
diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar
hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa
komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor
adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar
tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan
hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah
efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan
munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin,
mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma
dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan
mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik
dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca
operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas.
Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi
selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah
terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk
perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin
yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid
sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.

2.4 Manifestasi klinis


Menurut Smeltzer dan Bare (2002), tanda-tanda pada orang dengan krisis tiroid berupa:
1. Takikardia (lebih dari 130x/menit)
2. Suhu tubuh lebih dari 37,70C
3. Gejala hipertiroidisme yang berlebihan (Diaphoresis, Kelemahan, Eksoftalmus,
Amenore)
4. Penurunan berat badan, diare, nyeri abdomen (system gastrointestinal)
5. Psikosis, somnolen, koma (neurologi)
6. Edema, nyeri dada, dispnea, palpitasi (kardiovaskular).

Menurut Hudak dan Gallo (1996), manifestasi klinis hipertiroidisme adalah berkeringat
banyak, intoleransi terhadap panas, gugup, tremor, palpitasi, hiperkinesis, dan
peningkatan bising usus. Kondisi umum dari tanda gejala ini trutama disertai deman
lebih dari 100 F, takikardi yang tidak sesuai dengan keadaan demam, dan disfungsi
Sistem Saraf Pusat (SSP), merupakan tanda dari tiroid storm. Abnormalitas sistem saraf
pusat termasuk agitasi, kejang, atau koma.
2.5 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada krisis tiroid mempunyai 4 tujuan yaitu menangani
faktor pencetus, mengontrol pelepasan hormon tiroid yang berlebihan, menghambat
pelepasan hormon tiroid, dan melawan efek perifer hormon tiroid (Hudak & Gallo,
1996).
Penatalaksanaan medis krisis tiroid meliputi:
a. Koreksi hipertiroidisme
1) Menghambat sintesis hormon tiroid
Obat yang dipilih adalah propiltiourasil (PTU)atau metimazol. PTU lebih
banyak dipilih karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 di
perifer. PTU diberikan lewat selang NGT dengan dosis awal 600-1000 mg
kemudian diikuti 200-250 mg tiap 4 jam. Metimazol diberikan dengan dosis
20 mg tiap 4 jam, bisa diberikan dengan atau tanpa dosis awal 60-100mg.
2) Menghambat sekresi hormon yang telah terbentuk
Obat pilihan adalah larutan kalium iodida pekat (SSKI) dengan dosis 5 tetes
tiap 6 jam atau larutan lugol 30 tetes perhari dengan dosis terbagi 4.
3) Menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer
Obat yang digunakan adalah PTU, ipodate, propanolol, dan kortikosteroid.
4) Menurunkan kadar hormon secara langsung
Dengan plasmafaresis, tukar plasma, dialisis peritoneal, transfusi tukar, dan
charcoal plasma perfusion. Hal ini dilakukan bila dengan pengobatan
konvensional tidak berhasil.
5) Terapi definitif
Yodium radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi subtotal atau total).
b. Menormalkan dekompensasi homeostasis
1) Terapi suportif
a) Dehidrasi dan keseimbangan elektrolit segera diobati dengan cairan
intravena
b) Glukosa untuk kalori dan cadangan glikogen
c) Multivitamin, terutama vitamin B
d) Obat aritmia, gagal jantung kongstif
e) Lakukan pemantauan invasif bila diperlukan
f) Obat hipertermia (asetaminofen, aspirin tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan kadar T3 dan T4)
g) Glukokortikoid
h) Sedasi jika perlu
2) Obat antiadrenergik
Yang tergolong obat ini adalah beta bloker, reserpin, dan guatidin. Reserpin
dan guatidin kini praktis tidak dipakai lagi, diganti dengan Beta bloker.
Beta bloker yang paling banyak digunakan adalah propanolol. Penggunaan
propanolol ini tidak ditujukan untuk mengobati hipertiroid, tetapi mengatasi
gejala yang terjadi dengan tujuan memulihkan fungsi jantung dengan cara
menurunkan gejala yang dimediasi katekolamin. Tujuan dari terapi adalah
untuk menurunkan konsumsi oksigen miokardium, penurunan frekuensi
jantung, dan meningkatkan curah jantung.
c. Pengobatan faktor pencetus
Obati secara agresif faktor pencetus yang diketahui, terutama mencari fokus
infeksi, misalnya dilakukan kultur darah, urine, dan sputum, juga foto dada
(Bakta & Suastika, 1999).

2. Penatalaksanaan keperawatan
Tujuan penatalaksanaan keperawatan mencakup, mengenali efek dari krisis yang
timbul, memantau hasil klinis secara tepat, dan memberikan perawatan suportif
untuk pasien dan keluarga. Intervensi keperawatan berfokus pada hipermetabolisme
yang dapat menyebabkan dekompensasi sistem organ, keseimbangan cairan dan
elektrolit, dan memburuknya status neurologis. Ini termasuk penurunan stimulasi
eksternal yang tidak perlu, penurunan konsumsi oksigen secara keseluruhan dengan
memberikan tingkat aktivitas yang sesuai, pemantauan kriteria hasil. Setelah periode
krisis, intervensi diarahkan pada penyuluhan pasien dan keluarga dan pencegahan
proses memburuknya penyakit (Hudak &Gallo, 1996).

2.6 Pemeriksaan penunjang


Menurut Smeltzer dan Bare(2002) terdapat beberapa jenis pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi
masalah pada kelenjar tiroid.
1. Test T4 serum
Test yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan tekhnik
radioimunoassay atau pengikatan kompetitif nilai normal berada diantara 4,5 dan
11,5 µg/dl ( 58,5 hingga 150 nmol/L) dan terjadi peningkatan pada krisis tiroid.
2. Test T3 serum
Adalah test yang mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau T3 total dalam
serum dengan batas normal adalah 70 hingga 220 µg/dl ( 1,15 hingga 3,10 nmol/L)
dan meningkat pada krisis tiroid.
3. Test T3 Ambilan Resin
Merupakan pemeriksan untuk mengukur secara tidak langsung kadar TBG tidak
jenuh. Tujuannnya adalah untuk menentukan jumlah hormon tiroid yang terikat
dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan yang ada. Nilai Ambilan Resin T3
normal adal 25% hingga 35% ( fraksi ambilan relatif : 0,25 hingga 0,35 ) yang
menunjukan bahwa kurang lebih sepertiga dari tempat yang ada pada TBG sudah
ditempati oleh hormone tiroid. Pada krisis tiroid biasanya terjadi peningkatan.
4. Test TSH ( Thyroid – Stimulating Hormone )
Pengukuran konsetrasi TSH serum sangat penting artinya dalam menegakkan
diagnosis serta penatalaksanaan kelainan tiroid dan untuk membedakan kelainan
yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar tiroid sendiri dengan kelainan yang
disebabkan oleh penyakit pada hipofisis atau hipothalamus.
5. Test Thyrotropin_Releasing Hormone
Merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH dihipofisis dan akan
sangat berguna apabila hasil test T3 serta T4 tidak dapat dianalisa. Test ini sudah
jarang dikerjakan lagi pada saat ini, karena spesifisitas dan sensitifitasnya
meningkat.
6. Tiroglobulin
Tiroglobulin merupakan prekursor untuk T3 dan T4 dapat diukur kadarnya dalam
serum dngan hasil yang bisa diandalkan melalui pemeriksaan radioimunnoassay.
Pemeriksaan ini diperlukan untuk tindak lanjut dan penanganan penderita
karsinoma tiroid, serta penyakit tiroid metastatik.

Melihat kondisi krisis tiroid merupakan suatu keadaan gawat medis maka diagnosis
krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika
gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena
menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis.
Kecurigaan akan terjadinya krisis tiroid harus diketahui dengan jelas oleh perawat.
Kecurigaan akan terjadinya krisis tiroid terdapat dalam triad 1). Menghebatnya
tanda tirotoksikosis 2). Kesadaran menurun 3). Hipertermi. Apabila terdapat tiroid
maka dapat meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis kritis tiroid dari
Burch – Wartofsky. Skor menekankan 3 gejala pokok hipertermia, takikardi dan
disfungsi susunan saraf.

2.7 Komplikasi
Meski tanpa adanya penyakit arteri koroner, krisis tiroid yang tidak diobati
dapat menyebabkan angina pektoris dan infark miokardium, gagal jantung
kongestif, kolaps kardiovaskuler, koma, dan kematian (Hudak&Gallo, 1996).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Tanda dan gejala krisis tiroid adalah bervariasi dan nonspesifik. Tanda klinik yang
dapat dilihat dari peningkatan metabolism adalah demam, takikardi, tremor, delirium,
stupor, coma, dan hiperpireksia.
1. B1 (Breathing)
Peningkatan respirasi dapat diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen
sebagai bentuk kompensasi peningkatan laju metabolisme yang ditandai dengan
takipnea.
2. B2 (Blood)
Peningkatan metabolisme menstimulasi produksi katekolamin yang
mengakibatkan peningkatan kontraktilitas jantung, denyut nadi dan cardiac
output. Ini mengakibatkan peningkatan pemakaian oksigen dan nutrisi.
Peningkatan produksi panas membuat dilatasi pembuluh darah sehingga pada
pasien didapatkan palpitasi, takikardia, dan peningkatan tekanan darah. Pada
auskultasi jantung terdengar mur-mur sistolik pada area pulmonal dan aorta. Dan
dapat terjadi disritmia,atrial fibrilasi,dan atrial flutter. Serta krisis tiroid dapat
menyebabkan angina pectoris dan gagal jantung.
3. B3 (Brain)
Peningkatan metabolisme di serebral mengakibatkan pasien menjadi iritabel,
penurunan perhatian, agitasi, takut. Pasien juga dapat mengalami delirium,
kejang, stupor, apatis, depresi dan bisa menyebabkan koma.
4. B4 (Bladder)
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nocturia).
5. B5 (Bowel)
Peningkatan metabolisme dan degradasi lemak dapat mengakibatkan kehilangan
berat badan. Krisis tiroid juga dapat meningkatkan peningkatan motilitas usus
sehingga pasien dapat mengalami diare, nyeri perut, mual, dan muntah.
6. B6 (Bone)
Degradasi protein dalam musculoskeletal menyebabkan kelelahan, kelemahan,
dan kehilangan berat badan.
B. Diagnosis Keperawatan dan Perencanaan
DIAGNOSIS PERENCANAAN
NO KEPERAWAT TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
AN
1 Defisit volume Setelah diberi 1. Kaji status volume 1. Takikardia, dispnea,
cairan asuhan cairan (TD, suhu, atau hipotensi dapat
berhubungan keperawatan, cairan bunyi jantung) tiap 1 mengindikasikan
dengan status tubuh seimbang jam kekurangan volume

hipermetabolik dengan kriteria: cairan


a. Tanda-tanda 2. Kaji turgor kulit dan 2. Turgor kulit tidak
vital tetap membrane mukosa elastis dan dan
stabil (TD 100- mulut setiap 8 jam membran mukosa
120/60-90 kering dapat menjadi

mmHg, N: 60- 3. Ukur asupan dan gejala kurang cairan.


haluaran setiap 1 3. Haluaran urin yang
100x/menit, R”
sampai 4 jam. Catat rendah
16-22x/menit,
dan laporkan mengindikasikan
S: 36-37,5 OC)
perubahan yang hipovolemi.
b. Warna kulit
signifikan termasuk 4. Cairan intravena yang
dan suhu dalam
urine. cukup dapat
batas normal 4. Berikan cairan IV menormalkan
c. Balance cairan sesuai instruksi. dekompensasi
seimbang homeostasis
d. Turgor kulit 5. Nilai elektrolit
elastis dan 5. Kaji semua data abnormal dapat
membrane laboratorium, menjadi tanda
mukosa lembab laporkan nilai kekurangan cairan
elektrolit abnormal dan elektrolit
6. Beta adrenergik dapat
6. Berikan beta menurunkan gejala
adrenergik sesuai yang dimediasi
instruksi katekolamin sehingga
memulihkan fungsi
jantung
2 Hipertermia Setelah diberi 1. Pantau Tanda Vital 1. Menilai peningkatan
berhubungan asuhan (Suhu ) Tiap 1 jam dan penurunan suhu
dengan status keperawatan, tidak 2. Anjurkan banyak tubuh
hipermetabolik terjadi hipertermi minum bila tidak ada 2. Hidrasi yang cukup
dengan kriteria: kontraindikasi dapat menurunkan
a. Suhu dalam 3. Beri kompres hangat suhu tubuh
batas normal
3. Kompres hangat
36-37,5OC
mendilatasi
b. Tidak ada
4. Gunakan pakaiantipis pembuluh darah
konvulsi
dan menyerap sehingga
c. kulit tidak
keringat mengurangi panas
memerah
d. tidak ada 4. Pakaian tipis dan

takikardi menyerap keringat


5. Pertahankan cairan menurunkan
intravena sesuai metabolisme
progam sehingga
menurunkan panas
6. Berikan antipiretik 5. Cairan intravena
sesuai program memenuhi
kebutuhan cairan
sehingga
menurunkan panas
6. Antipiretik
menghambat
produksi
prostaglandin di
hipotalamus anterior
sehingga
menurunkan suhu
3 Perubahan Setelah diberi 1. Kaji status neurologi 1. Menskrining
perfusi jaringan asuhan tiap jam perubahan tingkat
serebral keperawatan, kesadaran dan status
berhubungan perfusi jaringan neurologis

dengan serebral efektif, 2. Lakukan tindakan 2. Kejang merupakan


dengan kriteria: pencegahan terhadap tanda perburukan
hipertiroidisme a. Tingkat kejang terhadap perubahan
kesadaran status neurologi
meningkat 3. Kaji adanya 3. Ketidakpatenan
(GCS: E:4, kelemahan, patensi jalan nafas,
M:6, V:5) jalan napas, kelemahan, bisa
b. Klien tidak keamanan, jika terjadi karena
mengalami tingkat kesadaran peningkatan status
cedera pasien menurun neurologi
c. Jalan napas 4. Lakukan tindakan 4. Cedera rawan terjadi
paten pengamanan untuk pada pasien dengan
mencegah cedera perubahan status
neurulogi
4 Penurunan Setelah diberi 1. Pantau tekanan darah 1. Hipotensi umum
curah jantung asuhan tiap jam atau ortostatik dapat
berhubungan keperawatan, tidak terjadi sebagai
dengan gagal terjadi penurunan akibat dari

jantung, status curah jantung, vasodilatasi perifer


dengan kriteria: yang berlebihan dan
hipermetabolik
a. Nadi perifer 2. Periksa kemungkinan penurunan volume
dapat teraba adanya nyeri dada sirkulasi
normal (60- atau angina yang 2. Merupakan tanda
100x/menit, dikeluhkan pasien. adanya peningkatan
kuat) 3. Auskultasi suara kebutuhan oksigen
b. TD:100- nafas. Perhatikan oleh otot jantung
120/80- adanya suara yang atau iskemia.
90x.menit, RR: tidak normal (seperti 3. S1 dan murmur yang
16-20x/menit, krekels) menonjol
S:36-37,50C berhubungan dengan
c. Capilary reffil 4. Observasi tanda dan curah jantung
<2 detik gejala haus yang meningkat pada
d. Status mental hebat, mukosa keadaan
baik membran kering, nadi hipermetabolik
e. Palpitasi lemah, penurunan 4. Dehidrasi yang
berkurang produksi urine dan cepat dapat terjadi
hipotensi,pengisian yang akan
kapiler lambat menurunkan volume
5. Kolaborasi : berikan sirkulasi dan
obat sesuai dengan menurunkan curah
indikasi : Penyekat jantung
beta seperti:
propranolol, atenolol, 5. Diberikan untuk
nadolol mengendalikan
pengaruh
tirotoksikosis
terhadap takikardi,
tremor dan gugup
serta obat pilihan
pertama pada krisis
tiroid akut.
Menurunkan
frekuensi/ kerja
jantung oleh daerah
reseptor penyekat
beta adrenergic dan
konversi dari T3 dan
T4.
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I.M. dan Suastika, I.K. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam.
Jakarta: EGC.

Chang, E. dkk. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta:


EGC

Dongoes Marilynn, E.1993.Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta :


EGC.

Guyton, Arthur C. & John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9.
Editor: Irawati Setiawan. Jakarta :EGC.

Hariawan, Hamdan. 2013 . Askep Krisis Tiroid. http://hamdan-hariawan-


fkp13.web.unair.ac.id/artikel_detail-88249-askep%20endokrin-
askep%20krisis%20tiroid.html. Diunduh tanggal 26 Februari 2014.

Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Price Sylvia, A.1994. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid


2. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Nanda International. 2007. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

Rumahorbo, H. 1999. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Endokrin. Jakarta: EGC.

Smeltzer dan Bare.2002.Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8.
Volume 3. Jakarta: EGC.

Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi IV. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai