PENDAHULUAN
1
LAPORAN KASUS
2
Riwayat penggunaan Obat : ibu pasien lupa nama obat
Riwayat kebiasaan : Tidak ada
ANAMNESA TRAKTUS
Traktus Sirkulatorius : Jantung berdebar-debar (-), nyeri dada tidak
dijumpai
Traktus Respiratorius : Sesak nafas dan batuk tidak dijumpai
Traktus Digestivus : Mual dan muntah tidak dijumpai
Traktus Urogenitalis : Miksi (+) normal dan defekasi (konstipasi)
Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan : Penyakit jantung (-), Riwayat terjatuh
(3x)
Intoksikasi dan Obat-obatan : Tidak dijumpai
ANAMNESA KELUARGA
Faktor Herediter : Tidak dijumpai
Faktor Familier : Tidak dijumpai
Lain-lain : Tidak dijumpai
ANAMNESA SOSIAL
Kelahiran dan Pertumbuhan : Normal
Imunisasi : Tidak jelas
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Perkawinan dan Anak : Janda belum punya anak
PEMERIKSAAN JASMANI
PEMERIKSAAN UMUM
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/i
Frekuensi Nafas : 20 x/i
Temperatur : 36,5oC
3
Kulit dan Selaput Lendir : kandidiasis oral (+)
Kelenjar Getah Bening : pembengkakan leher (+)
Persendian : Dalam batas normal
RONGGA ABDOMEN
Inspeksi : Simetris, Datar
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan tidak ada
Hepar dan Lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik usus dalam batas normal
GENITALIA
Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan
STATUS NEUROLOGI
4
SENSORIUM : Compos mentis, E:4, V:5, M:6
KRANIUM
Bentuk : Normocephali
Fontanella : Tertutup, Keras
Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi2 : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Transiluminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
PERANGSANGAN MENINGEAL
Kaku Kuduk : Tidak dijumpai
Tanda Kernig : Tidak dijumpai
Tanda Lasegue : Tidak dijumpai
Tanda Brudzinski I : Tidak dijumpai
Tanda Brudzinski II : Tidak dijumpai
5
Visus : TDP TDP
Lapangan Pandang
Normal : Dalam batas normal Dalam batas normal
Menyempit : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Hemianopsia : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Scotoma : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
6
Motorik
Membuka dan Menutup Mulut: Dalam batas normal Dalam batas normal
Palpasi otot maseter&temporal: TDP TDP
Kekuatan gigitan : TDP TDP
Sensorik
Kulit : Dalam batas normal
Selaput lendir : Kandidiasis oral
Refleks kornea
Langsung : Dalam batas normal Dalam batas normal
Tidak langsung : Dalam batas normal Dalam batas normal
Sensorik
Pengecapan 2/3 depan lidah: Tidak dilakukan pemeriksaan
Produksi kelenjar ludah : Dalam batas normal
Hiperakusis : Tidak dijumpai
Refleks stapedial : SDN
NERVUS VIII Kanan Kiri
7
Auditorius
Pendengaran : menurun menurun
Test Rinne : TDP TDP
Test Weber : TDP TDP
Test Schwabach : TDP TDP
Vestibularis
Nistagmus : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Reaksi Kalori : Tidak dilakukan pemeriksaan
Vertigo : Tidak dijumpai
Tinnitus : (-)
NERVUS IX, X
Pallatum mole : Dalam batas normal
Uvula : Medial
Disfagia : Tidak dijumpai
Disartria : Tidak dijumpai
Disfonia : Tidak dijumpai
Refleks Muntah :+
Pengecapan 1/3 belakang : Tidak dilakukan pemeriksaan
NERVUS XI
Mengangkat bahu : Dalam batas normal
Fungsi otot Sternokleidomastoideus : Dalam batas normal
NERVUS XII
Lidah
Tremor : Tidak dijumpai
Atrofi : Tidak dijumpai
Fasikulasi : Tidak dijumpai
Ujung lidah sewaktu istirahat : Medial
8
Ujung lidah sewaktu dijulurkan : Medial
TES SENSIBILITAS
Eksteroseptif : Raba, nyeri, suhu dalam batas normal
Propioseptif : gerak, sikap, tekan dalam batas normal
9
REFLEKS
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Biceps : ++ ++
Triceps : ++ ++
Radioperiost : ++ ++
APR : ++ ++
KPR : ++ ++
Strumple : + +
KOORDINASI
Lenggang : TDP
Bicara : TDP
Menulis : TDP
Percobaan Apraksia : TDP
Mimik : Dalam batas normal
Test telunjuk-telunjuk : Sulit dinilai
Tes Telunjuk-hidung : Sulit dinilai
10
Tes tumit-lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan
VEGETATIF
Vasomotorik : Dalam batas normal
Sudomotorik : Dalam batas normal
Pilo-erektor : Tidak dilakukan pemeriksaan
Miksi : Dalam batas normal
Defekasi : Konstipasi
Potensi dan Libido : Tidak dilakukan pemeriksaan
VERTEBRA
Bentuk
Normal : Dalam batas normal
Scoliosis : Tidak dijumpai
Hiperlordosis : Tidak dijumpai
Pergerakan
Leher : Dalam batas normal
Pinggang : Dalam batas normal
GEJALA-GEJALA SEREBELLAR
11
Ataksia : Tidak dijumpai
Disartria : Tidak dijumpai
Tremor : Tidak dijumpai
Nistagmus : Tidak dijumpai
Fenomena Rebound : Tidak dijumpai
Vertigo : Tidak dijumpai
Dan lain-lain : Tidak dijumpai
GEJALA-GEJALA EKSTRAPRAMIDAL
Tremor :Tidak dijumpai
Rigiditas : Tidak dijumpai
Bradikinesia : Tidak dijumpai
Dan lain-lain : Tidak ada
FUNGSI LUHUR
Kesadaran Kualitatif : Compos mentis
Ingatan Baru : TDP
Ingatan Lama : TDP
Orientasi
Diri : TDP
Tempat : TDP
Waktu : TDP
Situasi : TDP
Intelegensia : TDP
Daya Pertimbangan : TDP
Reaksi Emosi : TDP
Afasia
Represif : TDP
Ekspresif : TDP
Apraksia : TDP
Agnosia
12
Agnosia visual : TDP
Agnosia jari-jari : TDP
Akalkulia : TDP
Disorientasi Kanan-Kiri : TDP
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 8 Desember 2017
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Haemaglobin 8.8 g/dl 13.2 -17.3
Hitung Eritrosit 3.1 10^6/µL 4.5 - 6.5
Hitung Leukosit 5,700 /µL 5,000 – 15,000
Hematokrit 27.9 % 35 – 45
Hitung Trombosit 193,000 /µL 40 – 52
Index Eritrosit
MCV 89.5 Fl 80 – 100
MCH 28.2 Pg 26 – 34
MCHC 31.5 % 32 – 36
Hitung Jenis
Leukosit
Eosinofil 1 % 1–3
Basofil 0 % 0–1
N. Stab 0 % 2–6
N. Seg 60 % 53 – 75
Limfosit 36 % 20 – 45
Monosit 3 % 4–8
Laju Endap Darah 105 Mm/jam 0 – 10
13
Kimia klinik
Glukosa darah
Glukosa darah 96 mg/Dl 70-105
sewaktu
Fungsi Hati
Bilirubin Total 0.42 mg/Dl 0,3-1
Biliubin Direk 0.26 mg/Dl <0,25
ALT (SGPT) 30 U/I <40
Fungsi Ginjal
Ureum 13 mg/Dl 20-40
Kreatinin 0.70 mg/Dl 0.6-1.1
Elektrolit
Natrium (Na) 134 mq/L 135-155
Kalium (K) 3.9 mq/L 3.5-5.5
Chlorida (Cl) 96 mq/L 98-106
HASIL CT-SCAN
Nama : JULIANA BR PASARIBU
Umur : 48 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal : 13 Desember 2017
Dokter : dr. Luhu A. Tapiheru. Sp,S
CT-SCAN : Head tanpa kontras dan head dengan
kontras
14
LAPORAN KLINIS CT-SCAN KEPALA
CT-SCAN : Head tanpa kontras
15
Riwayat penyakit terdahulu : Gangguan perilaku
Riwayat penggunaan Obat : ibu pasien lupa nama obat
STATUS PRESENT
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/i
Frekuensi Nafas : 20 x/i
Temperatur : 36,3oC
II.4 PENATALAKSANAAN
1. Tirah Baring, head up 30o
2. IVFD RL 20 gtt/i
3. Inj. Dexametasone 2 amp bolus pertama => 1 amp/6 jam => tap off/ 3 hari
4. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
5. paracetamol tab 3 x 500 mg
6. fenitoin tab 2 x 100 mg
7. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => kalau perlu
FOLLOW-UP
Tanggal 9 Desember 2017
16
S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan
O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 110/60 mmHg
HR : 72 x/i
RR : 24 x/i
T : 36,5OC
A : Hemiparese Dextra ec Susp SOL intrakranial dd TE, abses serebri, stroke + oral
candidiasis ec. susp SIDA
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H2)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
rencana : Head Ct-scan + contras
17
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
rencana :
- Head Ct-scan + contras
- screning HIV
18
- screning HIV
19
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
20
Tanggal 16 Desember 2017
21
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
9. ceptriaxone 2 gr/12 jam
22
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 37 OC
A : Hemiparese Dextra ec TE + HIV AIDS grade III
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
9. ceptriaxone 2 gr/12 jam
23
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
9. ceptriaxone 2 gr/12 jam
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
25
Gambar 2.1 Doktirn Monroe-Kellie
Tekanan Intra Kranial (TIK) dipertahankan 10 mmHg. Jika TIK lebih dari
20 mmHg dianggap tidak normal, jika TIK lebih dari 40 mmHg termasuk
kenaikan TIK berat. 11
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal
tersebut dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio.
Sehingga akan menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra
kranial yang cukup berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya
tambahan massa, maka secara kompensasi akan menyebabkan tekanan intra
kranial yang meningkat. Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan
penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi antara 24-48
jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10. 11
26
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan Perfusi
Otak), sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus
diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka dapat
terjadi kematian. 11
27
intrakranial normal akan menggeser sebagai konsekuensi dari space
occupying lesion (SOL).
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus
ventrikel lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini berasal
dari sekresi pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua ventrikel
lateral. Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus koroideus dan
kemudian melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan yang
disekresikan di ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke dalam ventrikel
ketiga. Setelah mendapat sejumlah cairan dari ventrikel ketiga, cairan
tersebut mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii ke dalam
ventrikel keempat. Cairan ini keluar dari ventrikel keempat melalui tiga
pintu kecil, yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu foramen
Magendie di tengah, dan memasuki sisterna magna, yaitu suatu rongga
cairan yang terletak di belakang medula dan di bawah serebelum. 12
Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang
mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal
kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan mengalir ke dalam
vili arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar
dan sinus venosus lainnya di serebrum. 8
28
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh
jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati
suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial
normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4 – 15 mm Hg. Ruang intrakranial
adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan
unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan serebrospinal
(sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah
satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. 5
29
Gambar 2.4 Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan
Kompresi Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.
30
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi
destruktur tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung
membentuk metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.
31
Gambar 2.5 Skema Faktor Peningkatan Tekanan Intrakranial
Dikutip dari: Buka Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010
32
Cushing Kernohan
Astrositoma Astrositoma grade I dan II
Oligodendroglioma Oligodendroglioma grade I−IV
Ependioma Ependioma
Meduloblastoma Meduloblastoma
Glioblastoma multiforme Astrositoma grade III dan IV
Pinealoma (teratoma) Pinealoma
Ganglioneuroma (glioma) Neuroastrositoma grade I
Neuroblastoma Neuroastrositoma grade II−III
Papiloma pleksus khoroid Tumor campur
Tumor “unclassified”
Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010
Astrositoma
33
Gambar 2.4 Astrositoma
Oligodendroglioma
34
sitogenik yang sering terjadi pada oligodendroglioma adalah
hilangnya heterozigositas di lengan panjang kromosom 19 dan lengan
pendek kromosom 1. Secara makroskopis, oligodendroglioma
biasanya lunak dan galantinosa. Tumor ini memiliki batas yang lebih
tegas dibandingkan dengan astrositoma infiltratif dan sering terjadi
kalsifikias. Secara mikroskopis, oligodendroglioma dibedakan
dengan adanya sel infiltratif dengan nukleus bulat seragam. 6
Ependimoma
35
Gambar 2.7 Ependimoma
Glioblastoma
36
Gambar 2.8 Glioblastoma
37
Meduloblastoma
38
Gambar 2.10 Gambaran Skematik Meduloblastoma
39
hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala
sehingga hematom bertambah besar. 11
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya
lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan
bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus hipokampus) mengalami
herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya
tanda-tanda neurologik. 11
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru
setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala,
mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik
yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar.11
40
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul
pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga
hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga. 12
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting
dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering
berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang tinggi.
Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat
antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala
minor. Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen
magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol
atas denyut nadi dan tekanan darah. 8
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cidera.
Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom subdurak subakut adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya
diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun, setelah jangka
waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa
jam. Meningkatnya tekanan intrakranial akibat timbunan hematom yang
menyebabkan menjadi sulit dibangunkan dan tidak merespon terhadap
rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan tekanan intrakranial dan
pergeseran isi kranial akibat timbunan darah akan menyebabkan terjadinya
herniasi unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi
batang otak. 8
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal. Pada
orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal demensia.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural
sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa.
Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk
peredaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam
41
hematoma. Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat menyebabkan
perdarahan lebih lanjut akibat robekan membran atau pembuluh darah di
sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan hematoma. Jika
dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-unsur kandungan
hematom subdural akan mengalami perubahan-perubahan yang khas.
Hematoma subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik,
tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.
Gejala dan tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif
dalam tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian dan
menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang
lebih tinggi. 12
42
Gambar 2.13 Hematom Subdural
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak
terdorong kesisi lain
Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural.
Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput
arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang subdural.
Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering
tanpa tanda fokal. 11
II.3 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space Occupying
Intracranial
II.3.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial
43
ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya
gejala. 5
1. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli
bedah saraf dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia
lokal karena tulang tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak
tanpa nyeri. Struktur sensitif nyeri didalam kranium adalah
arteria meningeal media beserta cabangnya, arteri besar didasar
otak, sinus venosus dan bridging veins, serta dura didasar fossa
kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak
yang terjadi membendung dan menggeser pembuluh darah
serebral atau sinus venosus serta cabang utamanya dan
memperberat nyeri lokal. Nyeri yang lebih terlokalisir
diakibatkan oleh peregangan atau penggeseran duramater
didaerah basal dan batang saraf sensori kranial kelima,
kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh
spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini mungkin berdiri
sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks bila mekanisme
nyeri bekerja. 4
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara klasik
bangun pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam satu-
dua jam. Nyeri kepala pagi ini pertanda terjadinya peningkatan
tekanan intrakrania; selama malam akibat posisi berbaring,
peninggian PCO2 selama tidur karena depresi pernafasan dan
mungkin karena penurunan reabsorpsi cairan serebrospinal. 11
2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh
semua sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan
diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini
mungkin jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel
keempat yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi
44
hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat obstruksi
aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah
menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat
peninggian tekanan intrakranial biasanya timbul setelah bangun,
sering bersama dengan nyeri kepala pagi. Walau sering
dijelaskan sebagai projektil, maksudnya terjadi dengan kuat
dan tanpa peringatan, hal ini jarang merupakan gambaran
yang menarik perhatian.
3. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau
pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan intrakranial yang menetap selama lebih dari beberapa
hari atau minggu. Oedema ini berhubungan dengan obstruksi
cairan serebrospinal, dimana peningkatan tekanan intrakranial
pada selubung nervus optikus menghalangi drainase vena dan
aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan
pembengkakan pada diskus optikus dan retina serta pendarahan
diskus. Papila oedema tahap lanjut dapat menyebabkan terjadinya
atrofi sekunder papil nervus optikus.
45
memberikan gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala
umum.
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan:
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium dapat
berakhir hingga koma. Tekanan intrakranium yang meninggi dapat
menyebabkan ruang tengkorak yang tertutup terdesak dan dapat pula
menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan otak sendiri akan
bereaksi dengan menimbulkan edema, yang berkembang karena
penimbunan katabolit di sekitar jaringan neoplasmatik. Stasis dapat pula
terjadi karena penekanan pada vena dan disusuk dengan terjadi edema.
Pada umumnya tumor di fosa kranium posterior lebih cepat menimbulkan
gejala-gejala yang mencerminkan tekanan intrakranium yang meninggi.
Hal ini mungkin disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus yang
berpusat di fosa kranium posterior dapat tersebumbat sehingga tekanan
dapat meninggi dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari fosa
kranium medial dan biasanya mendesak tepi medial unkus dan girus
hipokampus ke arah garis tengah dan ke kolong tepi bebas daun
tentorium. Karena desakan itu, bukan diansefalon yang pertama kali
mengalami gangguan, melainkan bagian ventral nervus okulomotoris.
Akibatnya, pada awalnya akan kan terjadi dilatasi pupil kontralateral
barulah disusul dengan gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini
akan terjadi herniasi tentorial, yaitu keadaan terjepitnya diansefalon
oleh tentorium. Pupil yang melebar merupakan cerminan dari
terjepitnya nervus okulomotoris oleh arteri serebeli superior. Pada
tahap berkembangnya paralisis okulomotoris, kesadaran akan
menurun secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak
46
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang supratentorial
dan secara berangsur-angsur akan menimbulkan kompresi ke bagian
rostral batang otak. Tanda bahwa suatu tumor supratentorial mulai
menggangu diansefalon biasanya berupa gangguan perangai. Yang
pertama-tama terjadi adalah keluhan cepat lupa, tidak bisa
berkonsentrasi dan tidak bisa mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak akan
menyebabkan :
Respirasi yang kurang teratur
Pupil kedua sisi sempit sekali
Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri dan
kanan
Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan
terjadi :
Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak
terus
Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan tidak
lagi bereaksi terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula oblongata.
Gejala-gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler dan tekanan darah
berikut nadi yang menandakan gangguan pada medula oblongata,
pons, ataupun mesensefalon akan terjadi.
2. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit
kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema,
mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih
progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal
depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang
47
sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya
hanya memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior
atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan gejala fokal
dulu baru kemudian memberikan gejala umum.8
a. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak
yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan
intermitten. Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh perubahan
posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan
bersama nyeri kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral
pada tumor supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian
frontal. Tumor pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput
dan leher. Sakit kepala merupakan gejala umum yang dirasakan pada
tumor intrakranium. Sifat dari sakit kepala itu adalah nyeri berdenyut-
denyut atau rasa penuh di kepala seolaholah mau meledak. Nyerinya
paling hebat di pagi hari, karena selama tidur malam PCO2 arteri
serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan dari CBF
dan dengan demikian meningkatkan lagi tekanan intrakranium.
Lokalisasai nyeri yang unilateral akan sesuai dengan lokasi tumornya.
Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas, mungkin
saja sakit kepala belum dirasakan. Misalnya, glioma pada tahap dini
dapat mendekam di otak tanpa menimbulkan gejala apapun.
Sebaliknya, astrositoma derajat 1 sekalipun dapat berefek buruk jika
menduduki daerah yang penting, misalnya daerah bicara motorik
Brocca.
Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior (tumor
infratentorial) dapat dengan cepat menekan saluran CSS. Karena itu,
sakit kepala akan terasa sejak awal dan untuk waktu yang lama tidak
menunjukkan gejala defisit neurologik. Tumor infratentorial yang
berlokasi di samping (unilateral) cepat menimbulkan gejala defisit
neurologik akibat pergeseran atau atau desakan terhadap batang otak.
Maka dari itu, tuli sesisi, vertigo, ataksia, neuralgia trigeminus,
oftalmoplegia (paralisis otot-otot mata) dan paresis (paralisis ringan)
perifer fasialis dapat ditemukan pada pemeriksaan.
48
Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat dibedakan
dengan jelas. Pusing kepala biasanya disebabkan oleh oftalmoplegia
(yang menimbulkan diplopia). Kombinasi pusing kepala ataupun sakit
kepala dan diplopia harus menimbulkan kecurigaan terhadapa adanya
tumor serebri, terutama tumor serebri infratentorial.
b. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari
massa tumor tersebut juga mengindikasikan adanya pergeseran otak.
Muntah berulang pada pagi dan malam hari, dimana muntah yang
proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya massa
intrakranial.
Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur. Hal ini
disebabkan oleh tekanan intrakranium yang meninggi selama tidur
malam, di mana PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah dari
penderita dengan tekanan intrakranium meninggi adalah khas, yaitu
proyektil atau muncrat yang tanpa didahului mual.
c. Kejang fokal
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan intrakranium
yang melonjak secara cepat, terutama sebagai gejala dari glioblastoma
multiform. Kejang tonik biasanya timbul pada tumor di fosa kranium
posterior.
d. Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian,
perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala
umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau temporal.
Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat
menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma. (4,9,10) Tumor di
sebagian besar otak dapat mengakibatkan gangguan mental, misalnya
demensia, apatia, gangguan watak dan serta gangguan intelegensi dan
psikosis. Gangguan emosi juga akan terjadi terutama jika tumor
tersebut mendesak sistem limbik (khususnya amigdala dan girus
cinguli) karena sistem limbik merupakan pusat pengatur emosi.
e. Edema Papil
49
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab
dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema
papil pada awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya kemampuan
untuk melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat
menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang
perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap.
f. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat
seperti astrositoma, oligodendroglioma dan meningioma. Paling
sering terjadi pada tumor di lobus frontal baru kemudian tumor pada
lobus parietal dan temporal.
50
dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda lokal
tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia
jika hemisfer dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral
menunjukkan adanya tumor bulbus olfaktorius.
2. Tumor di daerah presentralis
Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah motorik
sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral sebagai gejala
dini. Bila tumor di daerah presentral sudah menimbulkan destruksi
strukturil, maka gejalanya berupa hemiparesis kontralateral. Jika
tumor bertumbuh di daerah falk serebri setinggi daerah presentralis,
maka paparesis inferior akan dijumpai.
3. Tumor di lobus temporalis
Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis kurang
menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan timbul serangan
“uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan terjadi gangguan pada
funsgi penciuman serta halusinasi auditorik dan afasia sensorik. Hal
ini logis bila dikaitkan dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman
dan lobus temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus
temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,
defisit lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi
memori dan kejang parsial kompleks.
4. Tumor di lobus parietalis
Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah sensorik.
Jika tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil, maka segala
macam perasa pada daerah tubuh kontralateral yang bersangkutan
tidak dapat dikenali dan dirasakan. Han ini akan menimbulkan
astereognosia dan ataksia sensorik. Bila bagian dalam parietalis yang
terkena, maka akan timbul gejala yang disebut “thalamic over-
reaction”, yaitu reaksi yang berlebihan terhadap rangsang protopatik.
Selain itu, dapat terjadi lesi yang menyebabkan terputusnya optic
radiation sehingga dapat timbul hemianopsia Daerah posterior dari
lobus parietalis yang berdampingan dengan lobus temporalis dan
lobus oksipitalis merupakan daerah penting bagi keutuhan fungsi
luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan menyebabkan
51
agnosia (hilangnya kemampuan untuk mengenali rangsang sensorik)
dan afasia sensorik, serta apraksia (kegagalan untuk melakukan
gerakan-gerakan yang bertujuan walaupun tidak ada gangguan
sensorik dan motorik). Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia,
gangguan sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan
gejala utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain
diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,
hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral dan
simple motor atau kejang sensoris.
5. Tumor pada lobus oksipitalis
Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala yang
muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput. Kemudian
dapat disusul dengan gangguan medan penglihatan.
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym
yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan
persepsi kontralateral episodik terhadap cahaya senter, warna atau
pada bentuk geometri.
6. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,
terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala yang
baru dialami dan mereda. Demensia uga akan sering timbul dosertai
kejang tergantung pada lokasi dan luar tumor yang menduduki korpus
kalosum.
7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga
menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan
hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel
sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal dan verteks,
muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini juga menyebabkan
gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea, galaktorea dan
gangguan pengecapan dan pengaturan suhu.
8. Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan
pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi
52
pada ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan
menimbulkan gejala-gejala umum.
9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan
gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo
dan nistagmus mungkin menonjol.
53
pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka tekanan darah
akan mulai turun .
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung, suhu
tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah,
peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus
atau edema pada traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil
yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang
menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak
atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan
penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan
herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang
permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi
pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana
ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki
ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya terhadap
cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang penglihatan serta
pemeriksaan gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil nervus
optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks fisiologi,
reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.
Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG)
Foto polos kepala
54
Arteriografi
Computerized Tomografi (CT Scan)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan
ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan
peningkatan ICP memerlukan intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang
dari 8 harus diintubasi untuk melindungi airway. Yang menjadi
perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini
mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat
meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan menghasilkan
inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP. Hati-hati
dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan usus.
Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus
dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus
diberikan walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar. Posisi kepala
pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat menurunkan
55
ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala melalui
mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan
aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan untuk
elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan kepala
menghadap lurus ke depan karena apabila kepala pasien menghadap ke
salah satu sisinya dan disertai dengan fleksi pada leher akan
meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna dan
memperlambat aliran balik vena. Hipoksia sistemik, gangguan
hemodinamik dan gangguan pada autoregulasi yang kemudian disertai
dengan kejang dapat membahayakan kondisi pasien dengan peningkatan
ICP. Sehingga banyak praktisi kesehatan yang kemudian menggunakan
terapi profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan cedera kepala,
perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan kondisi yang
lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein dengan
tumor otak dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya
kejang, tapi dengan efek samping yang juga cukup besar
2. Penanganan Sekunder
Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang
lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada
perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen
darah dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga
agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF
akan turun dan volume darah otak berkurang dan dengan
demikian mengurangi ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan
harus dihindari dan menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam.
Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal
dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-140
mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi pupil atau
tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan (sebaiknya
56
dengan Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik O2,
hipotermia masih dalam tahap percobaan, terutama di Jepang.
Mereka pada dasarnya menyebabkan vasokonstriksi serebral dan
mengurangi volume darah otak dan ICP (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika
permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan
osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik
untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika digunakan dengan
benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum digunakan.
Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger radikal bebas.
Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol dan urea
merupakan golongan yang jarang digunakan saat ini.
BAB IV
KESIMPULAN
57
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta
setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space
occupying lesion intrakranial meliputi tumor, hematoma, dan abses. Terapi dapat
dilakukan dengan non medikamentosa dan medikmentosa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Brown RH, Adams RDI, Victor M. Adams and Victor's
principles of neurology. Edisi ke-8. New York: McGrawHill; 2014.
58
2. Satyanegara. Ilmu bedah saraf satyanegara. Edisi ke-5. Jakarta: PT Gramedia;
2014. hlm. 265.
3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: PT dian rakyat;
2007. hlm. 242.
4. Longmore M, Wilkinson IB, Baldwin A, Wallin E. Oxford handbook of
clinical medicine. Edisi ke-9. United States: Oxford University Press; 2014. hlm.
460.
5. American Association of Neurological Surgeons (AANS). Brain Tumors.
Rolling meadows: AANS; 2012.
6. Dorland WAN. Kamus Kedokteran Dorland Edisi ke-29. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2015. 7. University of Pittsburgh.Types of Brain Tumors.
Pittsburg: University of Pittsburg;2014.
7. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Djogjakarta: Perimpunan ddokter
spesialis saraf Indonesia dengan Gadjah mada university press; 2015.
8. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC;2005.
9. Butt ME, Khan SA, Chaudrhy NA, Qureshi GR. Intra-Cranial space
occupying lesions : A morphological analysis. Biomedica. 2005; 21:31-5.
10. Cross SS. Underwood’s pathology: A clinical approach. Edisi ke-6. China:
Elsevier;2013.
11. Sjamsuhidajat R, Jong WD.Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2011.
12. Maxine AP, Stephen JM, Michael WR. Current medical diagnosis and
treatment. McGrawHill; 2013. hlm. 979.
LAPORAN KASUS
59
Ilmu Neurologi Di Rumah Sakit Haji Medan
Sumatera Utara
Pembimbing :
Disusun oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini tepat
waktu.
60
Paper ini untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase
(KKS) Ilmu Neurologi RSU HAJI MEDAN, selain itu paper ini juga bertujuan
supaya pembaca dapat mengetahui dan memahami secara jelas mengenai SOL
INTRAKRANIAL.
Demikian paper ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan paper ini.
Penulis
DAFTAR IS
61
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... iv
2.8 Penatalaksanaan................................................................. 57
BAB 4 Kesimpulan................................................................................... 58
DaftarPustaka
62