Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

Space occupying lesion merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi


pada ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Penyebabnya meliputi
hematoma, abses otak dan tumor otak.1
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan
dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan
cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu
dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya
dan menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu
contoh konsep pemahaman peningkatan tekanan intracranial.9
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying lesion.
Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun, sedang
menurut Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10% dari seluruh
penyakit neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum. 2
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan.
Insiden tumor otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa pada
usia 30-70 dengan pundak usia 40-65 tahun.3

1
LAPORAN KASUS

II.1 STATUS PASIEN


IDENTITAS PRIBADI
Nama : Ny. J
Umur :48 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Batak
Agama : Kristen
Alamat : Dsn Musyawarah Desa Sentis Percut Sai Tuan
Status : Janda
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status perkawinan : Janda
Tanggal Masuk : 8 Desember 2017
Tanggal Keluar :-

II.2 ANAMNESIS (ALLOANAMNESA)

Keluhan Utama: Lemah lengan dan tungkai sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan lemah
lengan dan tungkai sebelah kanan. Hal ini sudah dialami pasien sejak 1 minggu ini
sebelum masuk rumah sakit. Lemah lengan dan tungkai sebelah kanan dialami
pasien secara perlahan-lahan. Sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengalami
demam ± 1 bulan yang bersifat menetap, demam juga disertai dengan kejang sejak
1 minggu ini, kejang bersifat menyetak seluruh tubuh dengan frekuensi 1x sehari
dengan durasi 2-3 menit setiap kali kejang. riwayat sakit kepala (+). riwayat muntah
(-).

Riwayat penyakit terdahulu : Gangguan perilaku

2
Riwayat penggunaan Obat : ibu pasien lupa nama obat
Riwayat kebiasaan : Tidak ada

ANAMNESA TRAKTUS
Traktus Sirkulatorius : Jantung berdebar-debar (-), nyeri dada tidak
dijumpai
Traktus Respiratorius : Sesak nafas dan batuk tidak dijumpai
Traktus Digestivus : Mual dan muntah tidak dijumpai
Traktus Urogenitalis : Miksi (+) normal dan defekasi (konstipasi)
Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan : Penyakit jantung (-), Riwayat terjatuh
(3x)
Intoksikasi dan Obat-obatan : Tidak dijumpai

ANAMNESA KELUARGA
Faktor Herediter : Tidak dijumpai
Faktor Familier : Tidak dijumpai
Lain-lain : Tidak dijumpai

ANAMNESA SOSIAL
Kelahiran dan Pertumbuhan : Normal
Imunisasi : Tidak jelas
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Perkawinan dan Anak : Janda belum punya anak

PEMERIKSAAN JASMANI
PEMERIKSAAN UMUM
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/i
Frekuensi Nafas : 20 x/i
Temperatur : 36,5oC

3
Kulit dan Selaput Lendir : kandidiasis oral (+)
Kelenjar Getah Bening : pembengkakan leher (+)
Persendian : Dalam batas normal

KEPALA DAN LEHER


Bentuk dan Posisi : Normocephali
Pergerakan : Dalam batas normal
Kelainan Panca Indera : Dalam batas normal
Rongga mulut dan Gigi : Kandidiasis oral (+)
Kelenjar Parotis : Dalam batas normal
Desah : Tidak dijumpai
Dan lain-lain : Tidak ada

RONGGA DADA DAN ABDOMEN


RONGGA DADA
 Inspeksi : Simetris, fusiformis
 Palpasi : Stem Fremitus kanan sama dengan kiri
 Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru
 Auskultasi : Vesikuler dikedua lapangan paru

RONGGA ABDOMEN
 Inspeksi : Simetris, Datar
 Palpasi : Soepel, Nyeri tekan tidak ada
Hepar dan Lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Peristaltik usus dalam batas normal

GENITALIA
 Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan

STATUS NEUROLOGI

4
SENSORIUM : Compos mentis, E:4, V:5, M:6

KRANIUM
Bentuk : Normocephali
Fontanella : Tertutup, Keras
Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi2 : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Transiluminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

PERANGSANGAN MENINGEAL
Kaku Kuduk : Tidak dijumpai
Tanda Kernig : Tidak dijumpai
Tanda Lasegue : Tidak dijumpai
Tanda Brudzinski I : Tidak dijumpai
Tanda Brudzinski II : Tidak dijumpai

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL


Muntah : Tidak dijumpai
Sakit Kepala : (+)
Kejang : (+)

SARAF OTAK/NERVUS KRANIALIS


NERVUS I Meatus Nasi Dextra Meastus Nasi Sinstra
Normosmia : Dalam batas normal Dalam batas normal
Anosmia : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Parosmia : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Hiposmia : Tidak dijumpai Tidak dijumpai

NERVUS II Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)

5
Visus : TDP TDP
Lapangan Pandang
 Normal : Dalam batas normal Dalam batas normal
 Menyempit : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Hemianopsia : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Scotoma : Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Refleks Ancaman: Dalam batas normal Dalam batas normal


Fundus Oculi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Warna : TDP TDP
 Batas : TDP TDP
 Ekstavasio : TDP TDP
 Arteri : TDP TDP
 Vena : TDP TDP

NERVUS III, IV, VI Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)


Gerakan Bola Mata :Dalam batas normal Dalam batas normal
Nistagmus : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Pupil
 Lebar : 3 mm 3 mm
 Bentuk : Bulat, isokor Bulat,isokor
 Refleks cahaya langsung : Dalam batas normal Dalam batas normal
 Refleks cahaya tak langsung : Dalam batas normal Dalam batas normal
 Rima Palpebra : 7 mm 7 mm
 Deviasi Konjugate : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Fenomena Doll’s Eye : TDP TDP
 Strabismus : Tidak dijumpai Tidak dijumpai

NERVUS V Kanan Kiri

6
Motorik
 Membuka dan Menutup Mulut: Dalam batas normal Dalam batas normal
 Palpasi otot maseter&temporal: TDP TDP
 Kekuatan gigitan : TDP TDP
Sensorik
 Kulit : Dalam batas normal
 Selaput lendir : Kandidiasis oral

Refleks kornea
 Langsung : Dalam batas normal Dalam batas normal
 Tidak langsung : Dalam batas normal Dalam batas normal

Refleks maseter : TDP TDP


Refleks bersin : Dalam batas normal

NERVUS VII Kanan Kiri


Motorik
 Mimik : Dalam batas normal Dalam batas normal
 Kerut kening : Dalam batas normal Dalam batas normal
 Menutup mata : Dalam batas normal Dalam batas normal
 Meniup sekuatnya : SDN
 Memperlihatkan gigi : SDN
 Tertawa : SDN

Sensorik
 Pengecapan 2/3 depan lidah: Tidak dilakukan pemeriksaan
 Produksi kelenjar ludah : Dalam batas normal
 Hiperakusis : Tidak dijumpai
 Refleks stapedial : SDN
NERVUS VIII Kanan Kiri

7
Auditorius
 Pendengaran : menurun menurun
 Test Rinne : TDP TDP
 Test Weber : TDP TDP
 Test Schwabach : TDP TDP
Vestibularis
 Nistagmus : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Reaksi Kalori : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Vertigo : Tidak dijumpai
 Tinnitus : (-)

NERVUS IX, X
Pallatum mole : Dalam batas normal
Uvula : Medial
Disfagia : Tidak dijumpai
Disartria : Tidak dijumpai
Disfonia : Tidak dijumpai
Refleks Muntah :+
Pengecapan 1/3 belakang : Tidak dilakukan pemeriksaan

NERVUS XI
Mengangkat bahu : Dalam batas normal
Fungsi otot Sternokleidomastoideus : Dalam batas normal

NERVUS XII
Lidah
 Tremor : Tidak dijumpai
 Atrofi : Tidak dijumpai
 Fasikulasi : Tidak dijumpai
Ujung lidah sewaktu istirahat : Medial

8
Ujung lidah sewaktu dijulurkan : Medial

SISTEM MOTORIK Dextra Sinistra


Trofi : Eutrofi Eutrofi
Tonus : Normotonus Normotonus
Kekuatan Otot :
ESD : 33333 ESS :55555
33333 55555
EID : 22222 EIS :55555
22222 55555

Gerakan Spontan Abnormal


 Tremor : Tidak dijumpai
 Khorea : Tidak dijumpai
 Ballismus : Tidak dijumpai
 Mioklonus : Tidak dijumpai
 Ateotsis : Tidak dijumpai
 Distonia : Tidak dijumpai
 Spasme : Tidak dijumpai
 Tic : Tidak dijumpai
 Dan lain-lain : Tidak dijumpai

TES SENSIBILITAS
Eksteroseptif : Raba, nyeri, suhu dalam batas normal
Propioseptif : gerak, sikap, tekan dalam batas normal

Fungsi kortikal untuk sensibilatas


 Sterognosis : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Pengenalan 2 titik : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Grafestesia : Tidak dilakukan pemeriksaan

9
REFLEKS
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
 Biceps : ++ ++
 Triceps : ++ ++
 Radioperiost : ++ ++
 APR : ++ ++
 KPR : ++ ++
 Strumple : + +

Refleks Patologis Kanan Kiri


 Babinski : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Oppenheim : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Chaddock : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Gordon : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Schaeffer : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Hoffman – Tromner : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Klonus Lutut : Tidak dijumpai Tidak dijumpai
 Klonus Kaki : Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Refleks Primitif : Tidak dijumpai Tidak dijumpai

KOORDINASI
Lenggang : TDP
Bicara : TDP
Menulis : TDP
Percobaan Apraksia : TDP
Mimik : Dalam batas normal
Test telunjuk-telunjuk : Sulit dinilai
Tes Telunjuk-hidung : Sulit dinilai

10
Tes tumit-lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan

VEGETATIF
Vasomotorik : Dalam batas normal
Sudomotorik : Dalam batas normal
Pilo-erektor : Tidak dilakukan pemeriksaan
Miksi : Dalam batas normal
Defekasi : Konstipasi
Potensi dan Libido : Tidak dilakukan pemeriksaan

VERTEBRA
Bentuk
 Normal : Dalam batas normal
 Scoliosis : Tidak dijumpai
 Hiperlordosis : Tidak dijumpai

Pergerakan
 Leher : Dalam batas normal
 Pinggang : Dalam batas normal

TANDA PERANGSANGAN RADIKULER


Laseque : Tidak dijumpai
Cross Laseque : Tidak dijumpai
Tes Lhermitte : Tidak dijumpai
Test Naffziger : Tidak dijumpai
Patrick’s sign : Tidak dijumpai
Cross Patrick : Tidak dijumpai

GEJALA-GEJALA SEREBELLAR

11
Ataksia : Tidak dijumpai
Disartria : Tidak dijumpai
Tremor : Tidak dijumpai
Nistagmus : Tidak dijumpai
Fenomena Rebound : Tidak dijumpai
Vertigo : Tidak dijumpai
Dan lain-lain : Tidak dijumpai

GEJALA-GEJALA EKSTRAPRAMIDAL
Tremor :Tidak dijumpai
Rigiditas : Tidak dijumpai
Bradikinesia : Tidak dijumpai
Dan lain-lain : Tidak ada

FUNGSI LUHUR
Kesadaran Kualitatif : Compos mentis
Ingatan Baru : TDP
Ingatan Lama : TDP
Orientasi
 Diri : TDP
 Tempat : TDP
 Waktu : TDP
 Situasi : TDP
Intelegensia : TDP
Daya Pertimbangan : TDP
Reaksi Emosi : TDP
Afasia
 Represif : TDP
 Ekspresif : TDP
 Apraksia : TDP
Agnosia

12
 Agnosia visual : TDP
 Agnosia jari-jari : TDP
 Akalkulia : TDP
Disorientasi Kanan-Kiri : TDP

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 8 Desember 2017
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI
Darah Rutin
Haemaglobin 8.8 g/dl 13.2 -17.3
Hitung Eritrosit 3.1 10^6/µL 4.5 - 6.5
Hitung Leukosit 5,700 /µL 5,000 – 15,000
Hematokrit 27.9 % 35 – 45
Hitung Trombosit 193,000 /µL 40 – 52
Index Eritrosit
MCV 89.5 Fl 80 – 100
MCH 28.2 Pg 26 – 34
MCHC 31.5 % 32 – 36
Hitung Jenis
Leukosit
Eosinofil 1 % 1–3
Basofil 0 % 0–1
N. Stab 0 % 2–6
N. Seg 60 % 53 – 75
Limfosit 36 % 20 – 45
Monosit 3 % 4–8
Laju Endap Darah 105 Mm/jam 0 – 10

13
Kimia klinik
Glukosa darah
Glukosa darah 96 mg/Dl 70-105
sewaktu

Fungsi Hati
Bilirubin Total 0.42 mg/Dl 0,3-1
Biliubin Direk 0.26 mg/Dl <0,25
ALT (SGPT) 30 U/I <40

Fungsi Ginjal
Ureum 13 mg/Dl 20-40
Kreatinin 0.70 mg/Dl 0.6-1.1

Elektrolit
Natrium (Na) 134 mq/L 135-155
Kalium (K) 3.9 mq/L 3.5-5.5
Chlorida (Cl) 96 mq/L 98-106
HASIL CT-SCAN
Nama : JULIANA BR PASARIBU
Umur : 48 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal : 13 Desember 2017
Dokter : dr. Luhu A. Tapiheru. Sp,S
CT-SCAN : Head tanpa kontras dan head dengan
kontras

14
LAPORAN KLINIS CT-SCAN KEPALA
CT-SCAN : Head tanpa kontras

infratentorial cerebellum, pons dan ventricel 4 tidak tampak kelainan.


supratentorial tampak lesi hypodens dibasal ganglian kanan/kiri, thalamus
kanan/kiri, cortex occipital kanan/kiri dan pariental kanan/kiri. tidak tampak
midline shift. cortical sulci dan ventriculer kanan/kiri baik.

kesan : lesi hypodens dibasal ganglia kanan/kiri, thalamus kanan/kiri, cortex


occipital kanan/kiri, dan dan cortex parietal kanan/kiri.

CT-SCAN : Head dengan kontras

tampak bercak-bercak enshanscment pada basal ganglia kanan/kiri, thalamus


kanan/kiri dan parietal kanan/kiri. tidak tampak midlien shift.

kesan : lesi hypodense dengan bercak-bercak enshanscment pada basal ganglia


kanan/kiri, thalamus kanan/kiri dan parietal kanan/kiri sugestif encephalitis.

II.3 KESIMPULAN PEMERIKSAAN

Keluhan Utama: Lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


Telaah:
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan lemah
lengan dan tungkai sebelah kanan. Hal ini sudah dialami pasien sejak 1 minggu ini
sebelum masuk rumah sakit. Lemah lengan dan tungkai sebelah kanan ini dialami
pasien secara perlahan-lahan. Sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengalami
demam ± 1 bulan yang bersifat menetap, demam juga disertai dengan kejang sejak
1 minggu ini, kejang bersifat menyetak seluruh tubuh dengan frekuensi 1x sehari
dengan durasi 2-3 menit setiap kali kejang. riwayat sakit kepala (+).

15
Riwayat penyakit terdahulu : Gangguan perilaku
Riwayat penggunaan Obat : ibu pasien lupa nama obat

STATUS PRESENT
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/i
Frekuensi Nafas : 20 x/i
Temperatur : 36,3oC

DIAGNOSA FUNGSIONAL : Hemiparese Dextra, Afasia


DIAGNOSA ANATOMI : Basal ganglia
DIAGNOSA ETIOLOGIK : SOL Intrakranial
DIAGNOSA KERJA : Hemiparese Dextra ec SOL Intrakranial

II.4 PENATALAKSANAAN
1. Tirah Baring, head up 30o
2. IVFD RL 20 gtt/i
3. Inj. Dexametasone 2 amp bolus pertama => 1 amp/6 jam => tap off/ 3 hari
4. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
5. paracetamol tab 3 x 500 mg
6. fenitoin tab 2 x 100 mg
7. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => kalau perlu

Rencana: - Pemeriksaan Darah Lengkap


- KGD
- Renal function test
- elektrolit

FOLLOW-UP
Tanggal 9 Desember 2017

16
S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan
O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 110/60 mmHg
HR : 72 x/i
RR : 24 x/i
T : 36,5OC
A : Hemiparese Dextra ec Susp SOL intrakranial dd TE, abses serebri, stroke + oral
candidiasis ec. susp SIDA
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H2)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
rencana : Head Ct-scan + contras

Tanggal 11 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 120/70 mmHg
HR : 74 x/i
RR : 22 x/i
T : 36,3OC
A : Hemiparese Dextra ec Susp SOL intrakranial dd TE, abses serebri, stroke + oral
candidiasis ec. susp SIDA
P:
1. Tirah Baring, head up 30o

17
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
rencana :
- Head Ct-scan + contras
- screning HIV

Tanggal 12 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 22 x/i
T : 36,8OC
A : Hemiparese Dextra ec Susp SOL intrakranial dd TE, abses serebri, stroke + oral
candidiasis ec. susp SIDA
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
rencana :

18
- screning HIV

Tanggal 13 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 22 x/i
T : 36,8OC
A : Hemiparese Dextra ec Susp SOL intrakranial dd TE, abses serebri, stroke + oral
candidiasis ec. susp SIDA
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang

Tanggal 14 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg
HR : 82 x/i
RR : 22 x/i
T : 37 OC
A : Hemiparese Dextra ec Susp SOL intrakranial dd TE, abses serebri, stroke + oral
candidiasis ec. susp SIDA

19
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang

Tanggal 15 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 130/80 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 22 x/i
T : 36,8OC
A : Hemiparese Dextra ec Susp SOL intrakranial dd TE, abses serebri, stroke + oral
candidiasis ec. susp SIDA
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
9. ceptriaxone 2 gr/12 jam

20
Tanggal 16 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 130/80 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,8OC
A : Hemiparese Dextra ec susp TE + oral candidiasis + HIV AIDS grade III
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
9. ceptriaxone 2 gr/12 jam

Tanggal 18 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
HR : 72 x/i
RR : 20 x/i
T : 37 OC
A : Hemiparese Dextra ec TE + HIV AIDS grade III
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu

21
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
9. ceptriaxone 2 gr/12 jam

Tanggal 19 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg
HR : 72 x/i
RR : 20 x/i
T : 37 OC
A : Hemiparese Dextra ec TE + HIV AIDS grade III
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
9. ceptriaxone 2 gr/12 jam
Tanggal 20 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg

22
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 37 OC
A : Hemiparese Dextra ec TE + HIV AIDS grade III
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
9. ceptriaxone 2 gr/12 jam

Tanggal 21 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 37 OC
A : Hemiparese Dextra ec TE + HIV AIDS grade III
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg

23
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
9. ceptriaxone 2 gr/12 jam

Tanggal 22 Desember 2017

S : lemah lengan dan tungkai sebelah kanan


O : Sensorium : Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 37 OC
A : Hemiparese Dextra ec TE + HIV AIDS grade III
P:
1. Tirah Baring, head up 30o
2. O2 2-4 L (k/p) => kalau perlu
3. IVFD RL 20 gtt/i
4. Inj. Dexametasone 1 amp/6 jam (H4)
5. inj. ranitidine 1 amp/12 jam
6. paracetamol tab 3 x 500 mg
7. fenitoin tab 2 x 100 mg
8. Inj. diazepam 1 amp (k/p) => jika kejang
9. ceftriaxone 2 gr/12 jam

24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Prinsip hukum Monroe-Kellie


Ruang intra kranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200
mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra
kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat
sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Ruang intra
kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya
dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak (1400 g), cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume
pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial. 4
Ruang intra krnial dibatasi oleh tuang-tulang kranium sehingga volume dari
ruang tersebut relatif tetap. Keseimbangan isi komponen dalam ruang intra
kranial diterangkan dengn konsep Doktrin Monro-Kellie. 7
Isi ruang intra kranial adalah: 7
1. Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan komponen paling
besar, kurang lebih 70%.
2. Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri, arteriole, kapiler,
venula, dam vena-vena besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi
kapasitas variasi yang cukup besar.
3. Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc, 15-20% pada
keadaan tertentu sangat potensial untuk pengobatan, karena CSS
dapat dikeluarkan.

25
Gambar 2.1 Doktirn Monroe-Kellie

Tekanan Intra Kranial (TIK) dipertahankan 10 mmHg. Jika TIK lebih dari
20 mmHg dianggap tidak normal, jika TIK lebih dari 40 mmHg termasuk
kenaikan TIK berat. 11
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal
tersebut dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio.
Sehingga akan menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra
kranial yang cukup berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya
tambahan massa, maka secara kompensasi akan menyebabkan tekanan intra
kranial yang meningkat. Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan
penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi antara 24-48
jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10. 11

26
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan Perfusi
Otak), sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus
diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka dapat
terjadi kematian. 11

Gambar 2.2 Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya

II.2 Space Occupying Lesion Intrakranial


II.2.1 Definisi Space Occupying Lesion
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder,
serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di
dalam otak. Space occupying lesion intrakranial meliputi tumor,
hematoma, dan abses. 10

II.2.2 Mekanisme Patofisiologi Space Occupying Lesion


Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen yaitu
otak, cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai sebuah
lubang keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki tentorium
yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Timbulnya massa
yang baru di dalam kranium seperti neoplasma, akan menyebabkan isi

27
intrakranial normal akan menggeser sebagai konsekuensi dari space
occupying lesion (SOL).
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus
ventrikel lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini berasal
dari sekresi pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua ventrikel
lateral. Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus koroideus dan
kemudian melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan yang
disekresikan di ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke dalam ventrikel
ketiga. Setelah mendapat sejumlah cairan dari ventrikel ketiga, cairan
tersebut mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii ke dalam
ventrikel keempat. Cairan ini keluar dari ventrikel keempat melalui tiga
pintu kecil, yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu foramen
Magendie di tengah, dan memasuki sisterna magna, yaitu suatu rongga
cairan yang terletak di belakang medula dan di bawah serebelum. 12
Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang
mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal
kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan mengalir ke dalam
vili arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar
dan sinus venosus lainnya di serebrum. 8

Gambar 2.3 Pembentukan Cairan Serebrospinal

28
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh
jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati
suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial
normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4 – 15 mm Hg. Ruang intrakranial
adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan
unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan serebrospinal
(sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah
satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. 5

Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu


dipertahankan konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15
mmHg. Tekanan abnormal apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas
40 mmHg dikategorikan sebagai peninggian yang parah. Penyebab
peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang diakibatkan trauma
kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga mencapai
tingkatan tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan
intrakranial pasca pecah aneurisma sering kali diikuti dengan
meningkatnya kadar laktat cairan serebrospinal dan hal ini mengindikasi
terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor otak yang makin membesar
akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah perlahan-lahan. 2

29
Gambar 2.4 Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan
Kompresi Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.

II.2.3 Macam-Macam Space Occupying Lesion


1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses desak
ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga tengkorak baik
di dalam kompartemen supertentorial maupun infratentorial. 2
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosanya
didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang berkaitan
dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan tumor otak didasari oleh
hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis neoplasma,
dikelompokkan atas kategori-kategori : 2
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas,
tidak infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain
itu, ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya
metastasis maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan
total. Secara histologis, menunjukkan struktur sel yang reguler,
pertumbuhan la,a tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan
diferensiasi struktur yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun
teratur tanpa adanya formasi baru.

30
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi
destruktur tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung
membentuk metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.

Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.


Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua faktor,
yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial. 8
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak
dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan
jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang
bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah
arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut
dan gangguan serebrovaskular primer. Serangan kejang sebagai manifestasi
perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan
perubahan suplai darah ke jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista
yang juga menekan parenkim otak sekitar sehingga memperberat gangguan
neurologis fokal. 8
Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema
sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal. Pertumbuhan
tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan
mendesak ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku.
Obstruksi vena dan edema akibat kerusakan sawar darah otak dapat
menimbulkan peningkatan volume intrakranial dan tekanan intrakranial.
Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruangan
subarakhnoid menimbulkan hidrosefalus. 8

31
Gambar 2.5 Skema Faktor Peningkatan Tekanan Intrakranial
Dikutip dari: Buka Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010

Peningkatan tekanan intrakranial dapat membahayakan jiwa apabila


terjadi cepat akibat salah satu penyebab tersebut. Mekanisme kompensasi
antara lain bekerja menurunkan volume darah intrakranial, volume cairan
serebrospinal, kandungan cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim.
Peningkatan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau
serebelum. Herniasi unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis
tergeser ke inferior melelui incisura tentorial oleh massa dalam hemisfer
otak. Herniasi menekan mesensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran
dan menekan saraf otak ketiga. Pada herniasi serebelum, tonsil serebelum
bergeser ke bawah melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior. 8

Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow berdasarkan


tampilan sitologinya dan dalam perkembangan selanjutnya
dikemukakakn berbagai variasi modifikasi peneliti-peneliti lain dari
berbagai negara. Klasifikasi universal awal dipeloporo oleh Bailey
dan Cushing (1926) berdasarkan histogenesis sel tumor dan sel
embrional yang dikaitkan dengan diferensiasinya pada berbagai
tingkatan dan diperankan oleh faktor-faktor, seperti lokasi tumor, efek
radiasi, usia penderita, dan tindakan operasi yang dilakukan.
Sedangkan pada klasifikasi Kernohan (1949) didasari oleh sistem
gradasi keganasan di atas dan menghubungkannya dengan prognosis.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing dan Kernohan

32
Cushing Kernohan
Astrositoma Astrositoma grade I dan II
Oligodendroglioma Oligodendroglioma grade I−IV
Ependioma Ependioma
Meduloblastoma Meduloblastoma
Glioblastoma multiforme Astrositoma grade III dan IV
Pinealoma (teratoma) Pinealoma
Ganglioneuroma (glioma) Neuroastrositoma grade I
Neuroblastoma Neuroastrositoma grade II−III
Papiloma pleksus khoroid Tumor campur
Tumor “unclassified”
Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010

Astrositoma

Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer yang


tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang
berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma
pilositik hingga neoplasma infiltratif yang sangat ganas seperti
glioblastoma multiforme. Astrositoma berdiferensiasi baik biasanya
adalah lesi infiltratif berbatas samar yang menyebabkan parenkim
membesar dan batas substansia grisea/substansia alba kabur.6

33
Gambar 2.4 Astrositoma

Gambar 2.6 MRI Anaplastik Astrositoma

Oligodendroglioma

Oligodendroglioma paling sering ditemukan pada masa dewasa


dan biasanya terbentuk dalam hemisferium serebri. Kelainan

34
sitogenik yang sering terjadi pada oligodendroglioma adalah
hilangnya heterozigositas di lengan panjang kromosom 19 dan lengan
pendek kromosom 1. Secara makroskopis, oligodendroglioma
biasanya lunak dan galantinosa. Tumor ini memiliki batas yang lebih
tegas dibandingkan dengan astrositoma infiltratif dan sering terjadi
kalsifikias. Secara mikroskopis, oligodendroglioma dibedakan
dengan adanya sel infiltratif dengan nukleus bulat seragam. 6

Prognosis untuk pasien dengan oligodendroglioma lebih sulit


diperkirakan. Usia pasien, lokasi tumor, ada tidaknya peningkatan
kontras dalam pemeriksaan radiografik, aktivitas proliferatif, dan
karakteristik sitogenik juga memiliki pengaruh pada prognosis. 6

Ependimoma

Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar muncul


di dalam salah stu rongga ventrikel atau di daerah sentralis di korda
spinalis. Ependimoma intrakranial paling sering terjadi pada dua
dekade pertama kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama pada
orang dewasa. Ependioma intrakranial paling sering timbul di
ventrikel keempat, tempat tumor ini mungkin menyumbat CSS dan
menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial. 6

Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari


dinding ventrikel. Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam
rongga ventrikuler sebagai massa padat, kadang-kadang dengan
papilar yang jelas. 4

Gambaran klinis ependimoma bergantung pada lokasi neoplasma.


Tumor intrakranial sering menyebabkan hidrosefalus dan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Karena lokasinya di dalam sistem
ventrikel, sebagian tumor dapat menyebar ke dalam ruang
subarakhnoid. 3

35
Gambar 2.7 Ependimoma

Glioblastoma

Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang berbatas tegas atau


neoplasma yang infiltratif secara difuse. Potongan tumor dapat berupa
masa yang lunak berwarna keabuan atau kemerahan, daerah nekrosis
dengan konsistensi seperti krim kekuningan, ditandai dengan suatu
daerah bekas perdarahan berwarna cokelat kemerahan.11

36
Gambar 2.8 Glioblastoma

Gambar 2.9 MRI Glioblastoma

37
Meduloblastoma

Meduloblastoma merupakan neoplasma yang invasif dan


bertumbuh sangat cepat. Neoplasma ini sering ditemukan pada anak.
Sekitar 20% neoplasma otak pada anak adalah meduloblastoma. 12
Pada anak, lokasi tersering meduloblastoma adalah di
infratentorial, di bagian posterior vermis serebeli dan atap ventrikel ke
empat. Pada analisis kromosom ditemukan hilangnya informasi
genetik di bagian distal kromosom 17, tepatnya di bagian distal dari
regio yang mengkode protein p53 pada sebagian besar pasien. Ini
diduga bertanggung jawab terhadap perubahan neoplastik dari sel-sel
punca serebelum menjadi neoplasma. 12
Kebanyakan pasien berusia 4 – 8 tahun. Diagnosis rata-rata
ditegakkan 1 – 5 bulan setelah mulai muncul gejala. Gejala klinis yang
ada timbul akibat hidrosefalus obstruktif dan tekanan tinggi
intrakranial. Biasanya anak akan terlihat lesu, muntah-muntah, dan
mengeluh nyeri kepala terutama di pagi hari. Selanjutnya akan terlihat
anak berjalan seperti tersandung, sering jatuh, melihat dobel, dan mata
menjadi juling. Pada tahap ini biasanya baru dilakukan pemeriksaan
neurologis yang secara khas akan memperlihatkan papiledema atau
paresis nervus abdusens. 7

38
Gambar 2.10 Gambaran Skematik Meduloblastoma

Tumor Pleksus Khoroid

Tampilan mikroskopis tumor pleksus khoroid adalah berupa


massa dengan konsistensi lunak, vaskuler, ireguler yang berbentuk
mirip dengan kembang kol. Tumor ini cenderung berbentuk sesuai
dengan kontur ventrikel yang ditempatinya dan berekstensi melalui
foramen-foramen ke dalam ventrikel lain yang berdekatan atau ke
dalam rongga subarakhnoid. Tumor ini mendesak jaringan otak
namun tidak menginvasinya (Vinay Kumar dkk, 2007).
Presentasi gejala tumor ini biasanya berupa tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial disertai gejala neurologis fokal.
Tumor intraventrikel IV dapat menimbulkan gejala nistagmus dan
ataksia. 5
2. Hematom Intrakranial
Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri
meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural. Desakan dari

39
hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala
sehingga hematom bertambah besar. 11
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya
lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan
bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus hipokampus) mengalami
herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya
tanda-tanda neurologik. 11
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru
setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan
peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala,
mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik
yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar.11

Gambar 2.11 Hematom Epidural


Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak
terdorong kesisi lain
Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena
robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom
subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan dengan
hematom epidural prognosisnya lebih jelek. 11

40
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul
pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga
hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga. 12
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting
dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering
berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang tinggi.
Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat
antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala
minor. Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen
magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol
atas denyut nadi dan tekanan darah. 8
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cidera.
Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom subdurak subakut adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya
diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun, setelah jangka
waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa
jam. Meningkatnya tekanan intrakranial akibat timbunan hematom yang
menyebabkan menjadi sulit dibangunkan dan tidak merespon terhadap
rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan tekanan intrakranial dan
pergeseran isi kranial akibat timbunan darah akan menyebabkan terjadinya
herniasi unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi
batang otak. 8
Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah cidera awal. Pada
orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal demensia.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural
sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa.
Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk
peredaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam

41
hematoma. Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat menyebabkan
perdarahan lebih lanjut akibat robekan membran atau pembuluh darah di
sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan hematoma. Jika
dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-unsur kandungan
hematom subdural akan mengalami perubahan-perubahan yang khas.
Hematoma subdural kronik memiliki gejala dan tanda yang tidak spesifik,
tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.
Gejala dan tanda perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif
dalam tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian dan
menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang
lebih tinggi. 12

Gambar 2.12 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural


Dikutip dari: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2005
Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan hematom
epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut dan kronik
memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang (space occupying
lesion) yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma
atau demensia. 10

42
Gambar 2.13 Hematom Subdural
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak
terdorong kesisi lain
Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural.
Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput
arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang subdural.
Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering
tanpa tanda fokal. 11
II.3 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space Occupying
Intracranial
II.3.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial

Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum


dianggap sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial.
Namun demikian, dua pertiga pasien dengan lesi desak ruang
memiliki semua gambaran tersebut, sedang kebanyakan sisanya
umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial
tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi. Tak

43
ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya
gejala. 5
1. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli
bedah saraf dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia
lokal karena tulang tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak
tanpa nyeri. Struktur sensitif nyeri didalam kranium adalah
arteria meningeal media beserta cabangnya, arteri besar didasar
otak, sinus venosus dan bridging veins, serta dura didasar fossa
kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak
yang terjadi membendung dan menggeser pembuluh darah
serebral atau sinus venosus serta cabang utamanya dan
memperberat nyeri lokal. Nyeri yang lebih terlokalisir
diakibatkan oleh peregangan atau penggeseran duramater
didaerah basal dan batang saraf sensori kranial kelima,
kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh
spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini mungkin berdiri
sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks bila mekanisme
nyeri bekerja. 4
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara klasik
bangun pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam satu-
dua jam. Nyeri kepala pagi ini pertanda terjadinya peningkatan
tekanan intrakrania; selama malam akibat posisi berbaring,
peninggian PCO2 selama tidur karena depresi pernafasan dan
mungkin karena penurunan reabsorpsi cairan serebrospinal. 11
2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh
semua sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan
diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini
mungkin jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel
keempat yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi

44
hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat obstruksi
aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah
menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat
peninggian tekanan intrakranial biasanya timbul setelah bangun,
sering bersama dengan nyeri kepala pagi. Walau sering
dijelaskan sebagai projektil, maksudnya terjadi dengan kuat
dan tanpa peringatan, hal ini jarang merupakan gambaran
yang menarik perhatian.
3. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau
pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan intrakranial yang menetap selama lebih dari beberapa
hari atau minggu. Oedema ini berhubungan dengan obstruksi
cairan serebrospinal, dimana peningkatan tekanan intrakranial
pada selubung nervus optikus menghalangi drainase vena dan
aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan
pembengkakan pada diskus optikus dan retina serta pendarahan
diskus. Papila oedema tahap lanjut dapat menyebabkan terjadinya
atrofi sekunder papil nervus optikus.

II.3.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion


Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit
kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil
edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala
yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus
temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan
ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan
pada mulanya hanya memberikan gejalagejala yang umum. Tumor
pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering

45
memberikan gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala
umum.
Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan:
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.
Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium dapat
berakhir hingga koma. Tekanan intrakranium yang meninggi dapat
menyebabkan ruang tengkorak yang tertutup terdesak dan dapat pula
menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan otak sendiri akan
bereaksi dengan menimbulkan edema, yang berkembang karena
penimbunan katabolit di sekitar jaringan neoplasmatik. Stasis dapat pula
terjadi karena penekanan pada vena dan disusuk dengan terjadi edema.
Pada umumnya tumor di fosa kranium posterior lebih cepat menimbulkan
gejala-gejala yang mencerminkan tekanan intrakranium yang meninggi.
Hal ini mungkin disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus yang
berpusat di fosa kranium posterior dapat tersebumbat sehingga tekanan
dapat meninggi dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari fosa
kranium medial dan biasanya mendesak tepi medial unkus dan girus
hipokampus ke arah garis tengah dan ke kolong tepi bebas daun
tentorium. Karena desakan itu, bukan diansefalon yang pertama kali
mengalami gangguan, melainkan bagian ventral nervus okulomotoris.
Akibatnya, pada awalnya akan kan terjadi dilatasi pupil kontralateral
barulah disusul dengan gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini
akan terjadi herniasi tentorial, yaitu keadaan terjepitnya diansefalon
oleh tentorium. Pupil yang melebar merupakan cerminan dari
terjepitnya nervus okulomotoris oleh arteri serebeli superior. Pada
tahap berkembangnya paralisis okulomotoris, kesadaran akan
menurun secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak

46
Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang supratentorial
dan secara berangsur-angsur akan menimbulkan kompresi ke bagian
rostral batang otak. Tanda bahwa suatu tumor supratentorial mulai
menggangu diansefalon biasanya berupa gangguan perangai. Yang
pertama-tama terjadi adalah keluhan cepat lupa, tidak bisa
berkonsentrasi dan tidak bisa mengingat.
Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak akan
menyebabkan :
 Respirasi yang kurang teratur
 Pupil kedua sisi sempit sekali
 Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri dan
kanan
 Gejala-gejala UMN pada kedua sisi
Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan
terjadi :
 Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
 Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak
terus
 Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
 Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan tidak
lagi bereaksi terhadap sinar cahaya
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula oblongata.
Gejala-gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler dan tekanan darah
berikut nadi yang menandakan gangguan pada medula oblongata,
pons, ataupun mesensefalon akan terjadi.
2. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit
kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema,
mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih
progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal
depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang

47
sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya
hanya memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior
atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan gejala fokal
dulu baru kemudian memberikan gejala umum.8
a. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak
yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan
intermitten. Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh perubahan
posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan
bersama nyeri kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral
pada tumor supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian
frontal. Tumor pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput
dan leher. Sakit kepala merupakan gejala umum yang dirasakan pada
tumor intrakranium. Sifat dari sakit kepala itu adalah nyeri berdenyut-
denyut atau rasa penuh di kepala seolaholah mau meledak. Nyerinya
paling hebat di pagi hari, karena selama tidur malam PCO2 arteri
serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan dari CBF
dan dengan demikian meningkatkan lagi tekanan intrakranium.
Lokalisasai nyeri yang unilateral akan sesuai dengan lokasi tumornya.
Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas, mungkin
saja sakit kepala belum dirasakan. Misalnya, glioma pada tahap dini
dapat mendekam di otak tanpa menimbulkan gejala apapun.
Sebaliknya, astrositoma derajat 1 sekalipun dapat berefek buruk jika
menduduki daerah yang penting, misalnya daerah bicara motorik
Brocca.
Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior (tumor
infratentorial) dapat dengan cepat menekan saluran CSS. Karena itu,
sakit kepala akan terasa sejak awal dan untuk waktu yang lama tidak
menunjukkan gejala defisit neurologik. Tumor infratentorial yang
berlokasi di samping (unilateral) cepat menimbulkan gejala defisit
neurologik akibat pergeseran atau atau desakan terhadap batang otak.
Maka dari itu, tuli sesisi, vertigo, ataksia, neuralgia trigeminus,
oftalmoplegia (paralisis otot-otot mata) dan paresis (paralisis ringan)
perifer fasialis dapat ditemukan pada pemeriksaan.

48
Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat dibedakan
dengan jelas. Pusing kepala biasanya disebabkan oleh oftalmoplegia
(yang menimbulkan diplopia). Kombinasi pusing kepala ataupun sakit
kepala dan diplopia harus menimbulkan kecurigaan terhadapa adanya
tumor serebri, terutama tumor serebri infratentorial.
b. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari
massa tumor tersebut juga mengindikasikan adanya pergeseran otak.
Muntah berulang pada pagi dan malam hari, dimana muntah yang
proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya massa
intrakranial.
Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur. Hal ini
disebabkan oleh tekanan intrakranium yang meninggi selama tidur
malam, di mana PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah dari
penderita dengan tekanan intrakranium meninggi adalah khas, yaitu
proyektil atau muncrat yang tanpa didahului mual.
c. Kejang fokal
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan intrakranium
yang melonjak secara cepat, terutama sebagai gejala dari glioblastoma
multiform. Kejang tonik biasanya timbul pada tumor di fosa kranium
posterior.
d. Gangguan mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian,
perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala
umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau temporal.
Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat
menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma. (4,9,10) Tumor di
sebagian besar otak dapat mengakibatkan gangguan mental, misalnya
demensia, apatia, gangguan watak dan serta gangguan intelegensi dan
psikosis. Gangguan emosi juga akan terjadi terutama jika tumor
tersebut mendesak sistem limbik (khususnya amigdala dan girus
cinguli) karena sistem limbik merupakan pusat pengatur emosi.
e. Edema Papil

49
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab
dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema
papil pada awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya kemampuan
untuk melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat
menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang
perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap.
f. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat
seperti astrositoma, oligodendroglioma dan meningioma. Paling
sering terjadi pada tumor di lobus frontal baru kemudian tumor pada
lobus parietal dan temporal.

II.3.3 Gejala Lokal Space Occupying Lesion

Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi


parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke
daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim
proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal
yang reversibel.
1. Tumor di lobus frontalis / kortikal
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan muntah dan
papiludema akan timbul pada tahap lanjutan. Walaupun gangguan
mental dapat terjadi akibat tumor di bagian otak manapun, namun
terutama terjadi akibat tumor di bagian frontalis dan korpus kalosum.
Akan terjadi kemunduran intelegensi, ditandai dengan gejala
“Witzelsucht”, yaitu suka menceritakan lelucon-lelucon yang sering
diulang-ulang dan disajikan sebagai bahan tertawaan, yang bermutu
rendah (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain dari
tumor di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar daerah premotorik.
Tumor di lobus frontalis juga dapat menyebabkan refleks memegang
dan anosmia (Saanin, 2004, Bradley, 2000).
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang
diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau parasagital

50
dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda lokal
tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia
jika hemisfer dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral
menunjukkan adanya tumor bulbus olfaktorius.
2. Tumor di daerah presentralis
Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah motorik
sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral sebagai gejala
dini. Bila tumor di daerah presentral sudah menimbulkan destruksi
strukturil, maka gejalanya berupa hemiparesis kontralateral. Jika
tumor bertumbuh di daerah falk serebri setinggi daerah presentralis,
maka paparesis inferior akan dijumpai.
3. Tumor di lobus temporalis
Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis kurang
menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan timbul serangan
“uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan terjadi gangguan pada
funsgi penciuman serta halusinasi auditorik dan afasia sensorik. Hal
ini logis bila dikaitkan dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman
dan lobus temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus
temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,
defisit lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi
memori dan kejang parsial kompleks.
4. Tumor di lobus parietalis
Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah sensorik.
Jika tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil, maka segala
macam perasa pada daerah tubuh kontralateral yang bersangkutan
tidak dapat dikenali dan dirasakan. Han ini akan menimbulkan
astereognosia dan ataksia sensorik. Bila bagian dalam parietalis yang
terkena, maka akan timbul gejala yang disebut “thalamic over-
reaction”, yaitu reaksi yang berlebihan terhadap rangsang protopatik.
Selain itu, dapat terjadi lesi yang menyebabkan terputusnya optic
radiation sehingga dapat timbul hemianopsia Daerah posterior dari
lobus parietalis yang berdampingan dengan lobus temporalis dan
lobus oksipitalis merupakan daerah penting bagi keutuhan fungsi
luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan menyebabkan

51
agnosia (hilangnya kemampuan untuk mengenali rangsang sensorik)
dan afasia sensorik, serta apraksia (kegagalan untuk melakukan
gerakan-gerakan yang bertujuan walaupun tidak ada gangguan
sensorik dan motorik). Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia,
gangguan sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan
gejala utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain
diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,
hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral dan
simple motor atau kejang sensoris.
5. Tumor pada lobus oksipitalis
Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala yang
muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput. Kemudian
dapat disusul dengan gangguan medan penglihatan.
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym
yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan
persepsi kontralateral episodik terhadap cahaya senter, warna atau
pada bentuk geometri.
6. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,
terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala yang
baru dialami dan mereda. Demensia uga akan sering timbul dosertai
kejang tergantung pada lokasi dan luar tumor yang menduduki korpus
kalosum.
7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga
menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan
hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel
sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal dan verteks,
muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini juga menyebabkan
gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea, galaktorea dan
gangguan pengecapan dan pengaturan suhu.
8. Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan
pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi

52
pada ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan
menimbulkan gejala-gejala umum.
9. Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan
gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo
dan nistagmus mungkin menonjol.

II.3 Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial

Perubahan Tanda Vital :


a. Denyut Nadi
Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi
yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini
dikontrol oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal yang terdapat di
medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan
menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan
daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini
normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan
pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak.
Pada bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering
terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan ICP yang cepat dan dapat
berkembang dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan ICP, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya peningkatan
ICP, tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi;
Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan meningkatnya tekanan darah,
akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai dengan perubahan pada

53
pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka tekanan darah
akan mulai turun .
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung, suhu
tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah,
peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus
atau edema pada traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil
yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang
menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak
atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan
penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan
herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang
permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi
pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana
ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki
ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya terhadap
cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang penglihatan serta
pemeriksaan gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil nervus
optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil odema tahap lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks fisiologi,
reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.

Pemeriksaan Penunjang
 Elektroensefalografi (EEG)
 Foto polos kepala

54
 Arteriografi
 Computerized Tomografi (CT Scan)
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

II.5 Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan Space Occupying


Lesion
Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP adalah pengangkatan
dari lesi penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan hematoma.
Peningkatan ICP pasca operasi jarang terjadi hari-hari ini dengan
meningkatnya penggunaan mikroskop dan teknik khusus untuk menghindari
pengangkatan otak. Peningkatan ICP adalah sebuah fenomena sementara
yang berlangsung untuk waktu yang singkat kecuali ada cedera sekunder
segar karena hipoksia, bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan ditujukan
untuk mencegah peristiwa sekunder. ICP klinis dan pemantauan akan
membantu. Berikut merupakan tindakan yang dapat dilakukan.

Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan
ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan
peningkatan ICP memerlukan intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang
dari 8 harus diintubasi untuk melindungi airway. Yang menjadi
perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini
mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat
meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan menghasilkan
inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP. Hati-hati
dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan usus.
Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus
dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus
diberikan walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar. Posisi kepala
pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat menurunkan

55
ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala melalui
mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan
aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan untuk
elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan kepala
menghadap lurus ke depan karena apabila kepala pasien menghadap ke
salah satu sisinya dan disertai dengan fleksi pada leher akan
meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna dan
memperlambat aliran balik vena. Hipoksia sistemik, gangguan
hemodinamik dan gangguan pada autoregulasi yang kemudian disertai
dengan kejang dapat membahayakan kondisi pasien dengan peningkatan
ICP. Sehingga banyak praktisi kesehatan yang kemudian menggunakan
terapi profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan cedera kepala,
perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan kondisi yang
lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein dengan
tumor otak dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya
kejang, tapi dengan efek samping yang juga cukup besar
2. Penanganan Sekunder
 Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang
lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada
perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen
darah dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga
agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF
akan turun dan volume darah otak berkurang dan dengan
demikian mengurangi ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan
harus dihindari dan menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam.
Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal
dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-140
mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi pupil atau
tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan (sebaiknya

56
dengan Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik O2,
hipotermia masih dalam tahap percobaan, terutama di Jepang.
Mereka pada dasarnya menyebabkan vasokonstriksi serebral dan
mengurangi volume darah otak dan ICP (Kaye, 2005,
Eccher,2004 ).
 Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika
permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan
osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik
untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika digunakan dengan
benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum digunakan.
Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger radikal bebas.
Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol dan urea
merupakan golongan yang jarang digunakan saat ini.

BAB IV
KESIMPULAN

57
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta
setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space
occupying lesion intrakranial meliputi tumor, hematoma, dan abses. Terapi dapat
dilakukan dengan non medikamentosa dan medikmentosa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Brown RH, Adams RDI, Victor M. Adams and Victor's
principles of neurology. Edisi ke-8. New York: McGrawHill; 2014.

58
2. Satyanegara. Ilmu bedah saraf satyanegara. Edisi ke-5. Jakarta: PT Gramedia;
2014. hlm. 265.
3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: PT dian rakyat;
2007. hlm. 242.
4. Longmore M, Wilkinson IB, Baldwin A, Wallin E. Oxford handbook of
clinical medicine. Edisi ke-9. United States: Oxford University Press; 2014. hlm.
460.
5. American Association of Neurological Surgeons (AANS). Brain Tumors.
Rolling meadows: AANS; 2012.
6. Dorland WAN. Kamus Kedokteran Dorland Edisi ke-29. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2015. 7. University of Pittsburgh.Types of Brain Tumors.
Pittsburg: University of Pittsburg;2014.
7. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Djogjakarta: Perimpunan ddokter
spesialis saraf Indonesia dengan Gadjah mada university press; 2015.
8. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC;2005.
9. Butt ME, Khan SA, Chaudrhy NA, Qureshi GR. Intra-Cranial space
occupying lesions : A morphological analysis. Biomedica. 2005; 21:31-5.
10. Cross SS. Underwood’s pathology: A clinical approach. Edisi ke-6. China:
Elsevier;2013.
11. Sjamsuhidajat R, Jong WD.Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2011.
12. Maxine AP, Stephen JM, Michael WR. Current medical diagnosis and
treatment. McGrawHill; 2013. hlm. 979.

LAPORAN KASUS

Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)

59
Ilmu Neurologi Di Rumah Sakit Haji Medan

Sumatera Utara

Pembimbing :

dr. Hj. Sumarnita Tarigan, Sp.S

Disusun oleh :

Jelli Anjelina 1608320006

Regina Fortuna Lubis 1608320034

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini tepat
waktu.

60
Paper ini untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase
(KKS) Ilmu Neurologi RSU HAJI MEDAN, selain itu paper ini juga bertujuan
supaya pembaca dapat mengetahui dan memahami secara jelas mengenai SOL
INTRAKRANIAL.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa paper ini tidak mungkin dapat


terselesaikan dengan baik tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari beberapa
pihak. Ucapan terima kasih kepada: dr. Hj. Sumarnita Tarigan, Sp.S selaku
pembimbing selama di stase Ilmu Neurologi RSU Haji Medan.

Demikian paper ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan paper ini.

Medan, Desember 2017

Penulis

DAFTAR IS

HALAMA N JUDUL ...................................................................................... i

61
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR....................................................................................... iv

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1

BAB 2 LAPORAN KASUS.......................................................................... 2

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ................................................................................ 27

2.1.1 Patofisiologi ......................... …............................................. 27

2.2 Klasifikasi …………………………………………………….......................... 30

2.3 Gejala .........………………………………………………................................ 43

2.4 Penegaan Diagnosis ............................................................. 53

2.7 PemeriksaanPenunjang …................……………………................ 57

2.8 Penatalaksanaan................................................................. 57

BAB 4 Kesimpulan................................................................................... 58

DaftarPustaka

62

Anda mungkin juga menyukai

  • Kelompok Bu Zaitun - Vitamin
    Kelompok Bu Zaitun - Vitamin
    Dokumen14 halaman
    Kelompok Bu Zaitun - Vitamin
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen19 halaman
    Bab I
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Forensik Drowning
    Forensik Drowning
    Dokumen22 halaman
    Forensik Drowning
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Dokumen18 halaman
    Bab I Pendahuluan
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Jenis Bantal
    Jenis Bantal
    Dokumen2 halaman
    Jenis Bantal
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • HIPOGLIKEMIA
    HIPOGLIKEMIA
    Dokumen4 halaman
    HIPOGLIKEMIA
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Lembar Persetujuan
    Lembar Persetujuan
    Dokumen1 halaman
    Lembar Persetujuan
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Evita Zahara
    Evita Zahara
    Dokumen10 halaman
    Evita Zahara
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • HIPOGLIKEMIA
    HIPOGLIKEMIA
    Dokumen4 halaman
    HIPOGLIKEMIA
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • LAPKAS
    LAPKAS
    Dokumen46 halaman
    LAPKAS
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Perawatn Bayi
    Perawatn Bayi
    Dokumen12 halaman
    Perawatn Bayi
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Dokumen18 halaman
    Bab I Pendahuluan
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • KAK RAM Jalan Khusus
    KAK RAM Jalan Khusus
    Dokumen6 halaman
    KAK RAM Jalan Khusus
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Fulltext PDF
    Fulltext PDF
    Dokumen8 halaman
    Fulltext PDF
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat
  • Arthropoda Paper
    Arthropoda Paper
    Dokumen38 halaman
    Arthropoda Paper
    Khoirunnisa Lubis
    Belum ada peringkat