Penanganan cedera gigi traumatik setelah bedah periodontal pada pasien penderita
fibromatosis gingiva herediter/turunan: Laporan kasus
Abstrak Cedera gigi traumatik/Traumatic dental injury (TDI) sering disebabkan oleh karena benturan dari insiden atau jatuh saat berolahraga. Pada individu yang memiliki protrusi maksila, resiko TDI menjadi lebih tinggi. Kami merawat pasien penderita fibromatosis gingiva herediter (HGF), yang merupakan kelainan genetic langka dengan ciri-ciri pembesaran fibrous proliferasi jaringan gingiva, yang kemudian mengalami TDI setelah bedah periodontal. Anak laki-laki Jepang berusia 13 tahun dirjuk ke bagian periodontik Rumah Sakit Universitas Archi Gakuin pada Maret 2005 dengan keluhan utama pembesaran gingiva menyeluruh parah pada rahang atas dan bawah menutupi hampir semua gigi. Sebelum perawatan ortodontik, bedah periodontal dilakukan dalam keadaan anestesi umum dengan mempertimbangkan pengunyahan, estetik dan perkembangan gigi. Namun, pada Agustus 2007, gigi anterior atas yang maju mengalami cedera saat pasien bermain basket dan insisivus sentral atasnya menunjukkan luksasi ekstrusif. Dua minggu setelah dikembalikan posisinya, gigi tersebut displinting dengan kawat dan semen resin adesif, kemudian splint dilepas setleah evaluasi klinis dan radiografi menunjukkan tanda periodonsium normal. Tinggi tulang tepi yang berhubungan dengan gambaran pada radiografi setelah pengembalian posisi gigi, perawatan ortodontik dimulai setahun kemudian. Pada pemeriksaan follow-up 6 tahun, gigi tidak bergejala, respon pulpa terhadap uji sensitivitas normal dan penyembuhan tampak pada foto radiografi. Pada kasus HGF ini, kami berasumsi bahwa pembuangan gingiva tebal di sekitar gigi yang dapat berfungsi sebagai pelindung mulut, meningkatkan resiko TDI saat berolahraga. TDI lebih cenderung terjadi pada pasien dengan gigi maju yang terbuka setelah perawatan periodontal. Karena itu penting bagi pasien HGF dengan gigi depan maju untuk menggunakan mouth guard (pelindung mulut) saat berolahraga setelah prosedur bedah periodontal untuk mencegah TDI. Kata kunci: Cedera gigi traumatik, luksasi ekstrusif, fibromatosis gingiva herediter, pelindung mulut. Pendahuluan Cedera gigi traumatik/Traumatic dental injury (TDI) dianggap sebagai masalah kesehatan gigi masyarakat karena sering dan biasa terjadi pada usia muda, serta biaya dan perawatan yang dapat meningkat sepanjang kehidupan pasien, serta sering disebabkan oleh benturan dari insiden atau jatuh saat berolahraga. Pada individu yang memiliki protrusi maksila, resiko TDI dapat lebih tinggi. TDI terjadi dengan frekuensi tinggi pada anak usia prasekolah dan sekolah, serta dewasa muda, yaitu 5% dari semua jenis cedera. Laporan tinjauan 12 tahun menunjukkan bahwa 25% dari semua anak sekolah mengalami trauma gigi dan 33% orang dewasa pernah mengalami trauma pada gigi permanen, dengan sebagian besar cedera tersebut terjadi sebelum usia 19 tahun. Cedera luksasi merupakan jenis TDI paling sering pada gigi sulung, sementara fraktur mahkota lebih sering terjadi pada gigi permanen. Gigi yang paling sering terkena trauma gigi yaitu insisivus sentral atas, sementara anak dengan overjet > 3 mm lebih cenderung 1,78 kali mengalami TDI. TDI memberikan tantangan bagi dokter gigi di seluruh dunia, sehingga diagnosis tepat, perencanan perawatan, dan pemeriksaan follow-up sangat penting untuk memastikan hasil perawatan. Pembesaran gingiva yang berhubungan dengan fibromatous gingiva herediter (HGF) biasanya dimulai saat erupsi gigi permanen, walaupun dapat pula muncul saat erupsi gigi sulung, dalam bentuk gingiva hiperplastik yang progresif lambat lokal atau menyeluruh. Efek umum pembesaran gingiva yaitu malposisi gigi seperti protrusi maksila dan persistensi gigi sulung. Pembesaran gingiva parah yang menutupi mahkota gigi dapat menyebabkan masalah estetik dan fungsional seperti kesulitan mengunyah dan berbicara. Di sini, kami melaporkan pasien penderita HGF, kelainan genetik langka tunggal atau bagian dari sindrom abnormalitas kromosim yang terjadi pada sekitar 1 dari 750000 orang dan memiliki ciri-ciri pembesaran fibrous proliferatif jaringan gingiva. Pasien ini mengalami luksasi ekstrusi insisivus sentral atas karena cedera saat berolahraga setelah menjalani bedah periodontal, dan berhasil dirawat dan difollow-up selama 6 tahun. Laporan kasus Pasien anak laki-laki Jepang usia 13 tahun dirujuk ke bagian periodontik Rumah sakit Universitas Aichi Gakuin di Nagoya, Jepang pada Maret 2005 dengan keluhan utama pembesaran ginigva menyeluruh parah yang mengenai rahang atas dan bawah. Menutupi hampir semua gigi (Gambar 1 dan 2). Pada usia 4 tahun, ibunya pertama kali menyadari kondisi tersebut, yang perlahan meluas. Riwayat keluarga dan pemeriksaan rongga mulut menunjukkan bahwa tidak hanya pasien, namun ayah dan saudara perempuannya juga memiliki kelainan yang sama, menunjukkan penurunan autosomal resesif (Gambar 3). Dengan pertimbangan pengunyahan, estetik, dan perkembangan gigi, pembedahan yang terdiri dari gingivektomi, gingivoplasty, dan prosedur flap dilakukan dalam keadaan anestesi umum pada Juli 2007 (Gambar 4). Spesimen pembesaran gingiva diperoleh (Gambar 4) dan diwarnai dengan hematoxylin dan eosin, yang menunjukkan hyperplasia epitel dengan papilla dan jaringan ikat yang menonjol bersama dengan peningkatan jumlah serat kolagen di bawah kaca pembesar (Gambar 5). Sebelum memulai perawatan ortodontik, gigi anterior atas pasien kami, yang protrusi dengan overjet 5 mm, mengalami cedera pada Agustus 2007 saat dia bermain basket dan insisivus sentral atas menunjukkan luksasi ekstrusif. Gigi yang mengalami luksasi terdorong sedikit ke luar dari soket dan foto periapikal menunjukkan area radiolusen di sektitar apeks akar (Gambar 6a, 6b, dan 6c). Dua minggu setelah diperbaiki, gigi anterior atas displinting menggunakan kawat dan semen resin adesif (Gambar 6d dan 6e). Splint dikeluarkan setelah evaluasi klinis dan radiografi menunjukkan periodonsium normal (Gambar 7 dan 8). Tinggi tepi tulang yang berhubungan dengan yang tampak pada temuan radiografi setelah perbaikan. Perawatan ortodontik dimulai satu tahun kemudian. Pada follow-up 6 tahun, gigi tidak bergejala, respon pulpa terhadap uji sensitivitas normal, dan radiografi menunjukkan penyembuhan (Gambar 7d dan 8) Pembahasan HGF merupakan bentuk pembesaran gingiva autosomal dominan yang langka. Individu yang terkena menunjukan pembesaran mukosa mastikasi yang jinak, tumbuh lambat, tidak mudah berdarah, dan fibrous. Dalam pencarian laporan kasus, kami tidak menemukan penelitian jangka panjang yang difollow-up selama 6 tahun setelah bedah periodontal dan perawatan luksasi ekstrusif insisivus sentral. Tidak mudah membayangkan adanya overjet berlebihan setelah bedah periodontal pada kasus HGF. Selain itu, tidak ada laporan sebelumnya yang menemukan bahwa kondisi ini meningkatkan resiko TDI. Karena itu, kami melaporkan kasus HGF pada pasien yang menjalani bedah periodontal kemudian mengalami TDI dan berhasil dirawat dan dikontrol selama jangka panjang. TDI sering muncul akibat kecelakaan atau cedera saat olahraga, dengan kasus ini berhubungan dengan olahraga. Fransisco,dkk melaporkan bahwa prevalensi trauma gigi pada anak sekolah Brazil yaitu 16,5%. Gigi yang paling sering mengalami trauma gigi yaitu insisivus sentral atas, sementara laki-laki memiliki resiko 2,03 kali lebih tinggi fraktur mahkota daripada perempuan dan anak dengan overjet > 3 mm lebih cenderung 1,78 kali mengalami TDI. Selain itu, anak dengan penutupan bibir tidak adekuat 2,18 kali lebih cenderung mengalami TDI dibandingkan dengan anak dengan penutupan bibir adekuat. Temuan dalam kasus ini memastikan semua faktor ini. Pada pasien HGF ini, gigi yang mengalami trauma gigi yaitu insisivus sentral atas, menunjukkan overjet berlebih dengan penutupan bibir tidak adekuat yang tampak setelah bedah periodontal untuk pembesaran gingiva. Berdasarkan pedoman trauma gigi tahun 2011 yang ditunjukkan oleh International Association of Dental Traumatology, kami dengan hati-hati mereposisi gigi ke dalam soketnya dan menggunakan splint fleksibel untuk stabilisasi dan kenyamanan pasien. Prosedur ini dapat digunakan sampai 2 minggu, dengan respon positif tidak bergejala saat uji pulpa. Namun, hasil negatif salah mungkin terjadi sampai 3 bulan kemudian. Di samping itu, berlanjutnya perkembangan akar pada gigi imatur dan lamina dura utuh telah dilaporkan sebagai hasil menguntungkan pada kasus yang sama. Temuan ini mendukung bergunanya splint tidak kaku untuk splint jangka pendek gigi luksasi, avulsi, dan fraktur akar. Walaupun bukan jenis splint atau durasi splinting yang berpengaruh signifikan terhadap hasil penyembuhan, terapi ini dianggap sebagai praktek terbaik untuk mempertahankan reposisi gigi ke posisi semula, serta untuk memberikan pasien rasa nyaman dan meningkatkan fungsi. Di samping itu, bukti mengenai hubungan antara splinting jangka pendek dengan peningkatan kemungkinan penyembuhan fungsional periodontal, penyembuhan, atau berkurangnya resorpsi belum terbukti. Pada kasus kami, gigi anterior atas displinting menggunakan kawat dan semen resin adesif setelah perbaikan gigi. Pada follow-up 6 tahun, gigi tetap tidak bergejala, respon pulpa terhadap uji sensitivitas normal, dan penyembuhan tampak pada foto radiografi. Dalam pencarian kami mengenai laporan kasus, tidak ditemukan kasus yang memasukkan hasil follow- up jangka panjang bedah periodontal untuk HGF. Pasien ini difollow-up selama 6 tahun setelah menjalani gingivektomi di bawah anestesi umum serta perawatan luksasi ekstrusif insisivus sentral atas. Sepengetahuan kami, ini merupakan laporan pertama mengenai pasien HGF yang menjalani bedah periodontal diikuti dengan TDI, yang berhasil dirawat dan difollow-up selama jangka panjang. Walaupun usaha untuk mengurangi jumlah trauma gigi, sebagian besar penelitian saat ini menunjukkan bahwa insidensinya tidak berubah dan tetap relatif tinggi pada anak dan dewasa muda. Saat meninjau penelitian yang berhubungan dengan pencegahan, jelas bahwa fokus utama yang dilakukan yaitu pembuatan dan promosi penggunaan pelindung mulut. Sebagian besar penelitian yang meneliti pelindung mulut dilakukan secara in vitro dan berfokus pada bahan yang digunakan, serta bagaimana alat tersebut digunakan dan melindungi, serta temuan yang mendukung penggunaan dan nilai protektif pelindung mulut untuk mengurangi cedera pada gigi dan jaringan lunak yang berhubungan dengan olahraga. Dokter gigi didorong untuk mengedukasi pasien mengenai resiko cedera rongga mulut pada mereka yang mengikuti olahraga dan juga membuat pelindung mulut yang sesuai, serta memberikan pedoman yang baik mengenai beragam jenis dan sifat pelindungnya, biaya, dan keuntungan. Seperti pada kasus kami, setelah bedah periodontal, penting bagi pasien HGF dengan gigi protrusi untuk dilindungi dari terjadinya TDI dengan menggunakan pelindung mulut saat berolahraga. Kesimpulan Pada kasus HGF yang ditunjukkan ini, kami berasumsi bahwa kehilangan gingiva tebal di sekitar gigi, yang dapat berfungsi sebagai pelindung mulut, meningkatkan resiko TDI saat berolahraga. TDI lebih cenderung terjadi pada pasien dengan gigi protrusi yang terbuka setelah bedah periodontal. Karena itu, penting bagi pasien HGF dengan gigi depan protrusif untuk menggunakan pelindung mulut saat berolahraga setelah perawatan bedah periodontal untuk mencegah TDI. Gambar 1. Gambaran klinis intraoral awal pasien penderita pembesaran gingiva menyeluruh parah yang mengenai rahang atas dan bawah, menutupi hampir semua gigi. Penutupan bibir adekuat tidak dapat dicapai Gambar 2. Gambaran foto panoramik awal menunjukkan impaksi gigi permanen Gambar 3. Pola keturunan keluarga. Usia tiap anggota keluarga ditunjukkan dalam tanda kurung. Riwayat keluarga dan pemeriksaan rongga mulut menunjukkan bahwa tidak hanya pasien, tapi ayah dan saudara perempuannya juga terkena, menunjukkan penurunan autosomal resesif. Kami mempertimbangkan bahwa kakek dari ayah pasien mempengaruhi pasien kami, serta ayah dan saudara perempuan pasien. 1: ayah, 2: saudara perempuan, 3: pasien Gambar 4. Gambaran klinis setelah prosedur bedah yang terdiri dari gingivektomi dan bedah flap dalam anestesi umum dilakukan pada Juli 2007. Gambar sebelah kanan menunjukkan pembesaran gingiva bagian bukal yang telah dieksisi. Gambar 5. Temuan mikroskop cahaya pembesaran gingiva. Gambaran pembesaran gingiva menunjukkan hyperplasia epitel dengan papila dan jaringan ikat menonjol bersama dengan peningkatan jumlah serat kolagen (pembesaran 50x) Gambar 6. a, b: luksasi ekstrusif insisivus sentral atas terjadi saat bermain basket pada Agustus 2007. c: radiografi pada Agustus 2007. d: gigi anterior atas displinting dengan kawat dan semen resin adesif selama 2 minggu. e: foto radiografi 2 minggu kemudian. Temuan radiografi sebelum perawatan menunjukkan area radiolusen di sekitar apeks akar. Gambar 7. Gambaran setelah splinting insisivus sentral a: setelah 2 minggu, b: setelah 2 bulan, c: setelah 3 tahun, d: setelah 6 tahun. Gambar 8. Foto radiografi setelah splinting insisivus sentral atas. a: pada saat luksasi ekstrusif. b: setelah 2 bulan, c: setelah 1 tahun, d: setelah 6 tahun.