TYPHOID FEVER
Disusun oleh :
KELOMPOK A
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus pada
waktunya. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas Tutorial Tropical
Medicine System (TMS) pada Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung.
Laporan kasus dengan judul “Laporan Kasus 1 Dengue Hemorrhagic
Fever” merupakan hasil turorial yang dilakukan di Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Bandung.
Pada penulisan laporan kasus ini penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangan dan kelemahan yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman penulis. Oleh sebab itu, demi bertambahnya wawasan dan
pengetahuan penulis dalam penyusunan laporan kasus dikemudian hari, penulis
dengan lapang dada menerima segala kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak.
Keberhasilan dalam penyusunan laporan kasus ini tidak terlepas dari
bantuan, bimbingan, pengarahan baik moral maupun material yang tidak ternilai
besarnya dari berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada Siti Anisa Devi Trusda, dr. dan Julia Hartati,
dr. selaku tutor yang telah banyak memberikan waktu, tenaga, bimbingan serta
dorongan penuh kesabaran selama tutoraial.
Semoga segala amal kebaikan dan bantuan yang diberikan kepada penulis
mendapatkan pahaya yang berlipat ganda dari Allah swt. Akhirnya dengan segala
kerendahan hati penulis berharap karya tulis ini dapat berguna bagi siapa saja yag
membacanya.
Bandung, Juni 2009
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... v
DAFTAR BAGAN........................................................................................ vi
DAFTAR TABEL......................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Sinopsis Kasus.................................................................................... 2
1.3 Time Line........................................................................................... 3
1.4 Mind Mapping.................................................................................... 3
1.5 Learning Issue.................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………....................................................... 6
2.1 Batang Gram-Negative Enterik (Enterobacteriaceae)…................... 6
2.1.1 Struktur Antigen.......................................................................... 6
2.1.2 Kelompok Salmonella-Arizona................................................... 6
2.1.3 Epidemiologi............................................................................... 9
2.1.4 Uji Laboratorium Diagnostik...................................................... 10
2.1.5 Mekanisme Salmonella Masuk Ke Dalam Tubuh....................... 13
BAB III PEMBAHASAN KASUS............................................................... 14
3.1 Demam Tifoid.................................................................................... 14
3.1.1 Definisi....................................................................................... 14
3.1.2 Penyebab..................................................................................... 14
3.1.3 Epidemiologi............................................................................... 14
3.1.4 Faktor Risiko.............................................................................. 15
3.1.5 Patogenesis................................................................................. 15
3.1.6 Dasar Molekular Patogenesis...................................................... 17
3.1.7 Patologi....................................................................................... 18
3.1.8 Manifestasi Klinis....................................................................... 20
iii
3.1.9 Diagnosis.................................................................................... 20
3.1.10 Pemeriksaan.............................................................................. 21
3.1.11 Diagnosis Banding.................................................................... 21
3.2 Demam Paratyphoid.......................................................................... 22
3.2.1 Definisi........................................................................................ 22
3.2.2 Etiologi........................................................................................ 22
3.2.3 Epidemiologi............................................................................... 22
3.2.4 Faktor Resiko.. ........................................................................... 22
3.2.5 Patogenesis........... ...................................................................... 22
3.2.6 Manifestasi Klinis....................................................................... 23
3.2.7 Diagnosis..................................................................................... 23
3.2.8 Pengobatan.................................................................................. 23
3.2.9 Prognosis..................................................................................... 23
3.2.10 Preventif.. ................................................................................. 23
3.3 Management Demam Typhoid........................................................... 24
3.4 Komplikasi.................................................. ...................................... 27
3.5 Pencegahan Demam typhoid.............................................................. 28
3.6 Patomekanisme……………….…….................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA................................................….……........................ 32
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR BAGAN
vi
DAFTAR TABEL
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
6
7
Proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : S.Typhi
Variasi :
Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak bergerak. Hilangnya
antigen O menyebabkan perubahan koloni dari bentuk halus menjadi bentuk
kasar. Antigen Vi dapat hilang sebagian atau seluruhnya. Antigen dapat diperoleh
(atau hilang) dalam proses transduksi.
9
Salmonella typhii
2.1.3 Epidemiologi
A. Carrier: Setelah infeksi subklinis, beberapa individu melanjutkan untuk
mempertahankan Salmonellae dalam jaringan tubuh selama waktu yang
bervariasi. Tiga persen typhoid yang bertahan menjadi carrier permanent,
berada dalam gallbladder, saluran biliary atau intestinum dan saluran urin.
B. Sumber Infeksi: Sumber infeksi adalah makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh salmonellae. Sumber berikut penting :
1. Air – kontaminasi tinja sering mengakibatkan epidemic yang eksplosif.
2. Susu dan produk susu lain (es krim, keju, pudding) – kontaminasi oleh
tinja dan pasturisasi yang tidak cukup atau pembawaan yang tidak benar.
3. Kerang – dari air yang terkontaminasi.
4. Telur (dried or frozen eggs) – dari unggas yang terinfeksi atau
kontaminasi selama proses pendingin.
10
3. Kultur Pengayaan
Spesimen (biasanya tinja) juga diletakkan dalam selenite F atau
tetrathionate broth, dimana keduanya menghambat replikasi bakteri saluran
usus normal dan memungkinkan meningkatkan Salmonellae. Sesudah
inkubasi 1-2 hari, ini ditanam pada media differensial dan selektif.
4. Identifikasi Akhir
Koloni dari media padat diidentifikasikan oleh bentuk reaksi biokimia dan
tes aglutinasi mikroskop dengan serum spesifik.
C. Metode Serologi
Teknik serologi digunakan untuk mengidentifikasi kultur yang tidak
dikenal dengan serum yang dikenal dan mungkin digunakan untuk mengenali
antibodi titer pada pasien dengan penyakit yang tidak dikenal, meskipun
kemudian tidak berguna dalam mendiagnosis infeksi salmonella.
1. Tes Aglutinasi
Pada tes ini, serum yang diketahui dan kultur yang tidak diketahui dicampur
diatas sebuah slide. Akan terjadi gumpalan, dapat dilihat dalam beberapa
menit. Tes ini khususnya berguna untuk pengidentifikasian kultur awal secara
cepat. Ada alat komersial yang mungkin untuk mengaglutinasi dan
mengelompokkan serum salmonellae dengan antigen O: A, B, C1, C2, D dan E.
2. Tes Aglutinasi Pengenceran Tabung (Widal Tes)
Serum aglutinasi akan meningkat dengan cepat selama minggu kedua dan
ketiga pada infeksi salmonella. Paling tidak dua contoh serum, dicapai dalam
interval 7-10 hari, dibutuhkan untuk membuktikan adanya peningkatan titer
antibodi. Proses pengenceran berurutan dari serum yang tidak diketahui dites
terhadap antigen dari salmonellae yang representatif. Hasilnya diartikan
sebagai berikut: 1) Tinggi atau menaiknya titer O (≥ 1:160) menyatakan bahwa
infeksi aktif terjadi. 2) Titer H tinggi (≥ 1:160) menyatakan adanya imunisasi
atau infeksi terdahulu. 3) Titer antibosi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi
pada beberapa carier (pembawa) penyebab. Hasil tes serologi untuk infeksi
salmonella harus diartikan secara hati-hati. Adanya kemungkinan reaksi silang
antibosi membatasi penggunaan serologi dalam diagnosis infeksi Salmonella
12
Ingested Salmonella
↓
Reach intestine
↓
Menempel pada mikrovilli usus
↓
Menginvasi epitel usus
↓
Bakteri ditransportasikan ke intestinal lymph node dan terjadi multiplikasi bakteri
di sel monosit
↓
Bakteri sampai di meesenteric lymph node
↓
Bakteri masuk ke aliran darah thoracic duct melalui aliran lymph node(transient
bacteremia)
↓
Bakteri mencapai sistem RES (liver, bone marrow, spleen) dan gallbladder
↓
Local multiplikasi di gallbladder menyebabkan produksi jumlah yang banyak dari
Salmonella yang masuk ke usus melalui cairan empedu
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.1.2 Etiologi
Penyebab demam tifoid termasuk genus Salmonella yang termasuk kedalam
family Enterobacteriaceae dan mempunyai lebih dari 2300 serotipe.
Transmisi dari manusia ke manusia dengan rute fekal-oral dapat terjadi
melalui air atau makanan yang terkontaminasi dengan feses atau urin pasien atau
carier. Sayuran dan buah-buah yang tidak dimasak merupakan vechicle penting.
Transmisi lainnya adalah melalui kontak dekat individu yang terinfeksi akut atau
individu pembawa kronik. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan sakit pada
manusia adalah 105 - 108 CFU Salmonella (mungkin cukup 103 untuk Salmonella
enterica serotype Typhi).
3.1.3 Epidemiologi
Insidensi, transmisi demam tifoid berbeda di negara maju dan berkembang.
Diperkirakan di seluruh dunia sedikitnya terdapat 16 juta kasus baru tiap tahunnya
dengan 600.000 kematian. Salmonella enterica serotype Typhi dan Salmonella
14
15
3.1.5 Patogenesis
Infeksi natural pada enteric fever adalah menelan, diikuti dengan penetrasi
melalui mukosa intestin. Penyakit dihasilkan tergantung dari beberapa factor :
- Jumlah organism yang tertelan
- Keadaan asam lambung
- Adanya antigen Vi
Dosis infektif S.typhii membutuhkan jumlah besar untuk menghasilkan sakit
pada individu yang sehat. Secara langsung, 109 CFU menginduksi penyakit sekitar
< 95% tapi 103 jarang terjadi. 25% terjadi sakit setelah menelan 105 organisme.
Asam lambung merupakan sistem pertahan melawan infeksi enteric. Pada
usus halus, organism berpenetrasi cepat melalui mukosa intestine. Organisme
16
bermultiplikasi dalam lumen dalam periode pendek dan pada fase ini kultur feses
positif.
Dari submukosa,organism pindah ke mesenteric lymp node, bermultiplikasi
kemudian masuk ke sirkulsi darah melalui thoracic duct (transient primary
bacterimia) dan ditransforkan ke liver dan spleen. Setelah bermulitiplikasi,
sejumlah besar organism masuk lagi ke sirkulasi darah dan ditandai dengan
manifestasi klinis (secondary bacterimia).
Selama itu, penyebaran organism ke beberapa organ menginvasi tapi
keterlibatan gallbladder dan peyer’s patches pada lower small intestine yang
memiliki manifestasi klinis yang penting.
Gallbladder dapat terinfeksi melalui liver. Infeksi peyer’s patches terjadi
selama infeksi primary intestinal atau selam secondary bacterimia yang
selanjutnya menginfeksi bile. Peyer’s patches menjadi hyperplasia denga infiltrasi
sel inflamsi yang kronik. Kemudian neksrosis pada lapidan superficial
menyebabkan pembentukan irregular, ovoid ulcer sepanjang axis intestine, jadi
pembentukan struktur tidak dapat sembuh. Jika ulcer menembus hingga pembuluh
darah, menimbulkan pendarahan hebat dan transmural perforation hingga
peritonitis.
Organism reach liver, spleen & bone marrow & multiplication here
Huge number organis enter bloodstream
(secondary bacterimia)
Bacteri involve invasion to gallbladder
Local multiplication in gallbladder wall
Secretion with bile to intestine --- stool + culture
Mucosa intestine & lymph node tissue inflammed & necrotic & hyperplasia
peyer’s patches with necrotic
Sloughing → irregular ulcer
Ulcer erode to blood vessel
Severe hemorrhage.
Transmural penetration
Peritonitis
A. Epithlial Invasion
Target invasi Salmonella adalah sel M tapi sebelumnya harus melewati
lapisan epitel untuk mencapinya. Salmonella menginvasi sel epitel intestine
dengan mekanisme kompleks meliputi :
- Triggering active rearrangement
- Formation of pseudopodia
- Pagositosis of bacterium into cell
Membrane yang kerut (the ruffling membrane) kembali normal setelah
bacterium terinvasi. Proses ini dikontrol oleh type III secretion system yang
dikode oleh gene pada bacteri. Gene tersebut terletak pada pathogenecity
island SPI-1 yang dibutuhkan untuk invasi sel epitel intestine dan
merangsang sekresi intestinal dan respon inflamasi.
B. Intracelullar Survival
Salmonella harus dapat hidup dan bereplikasi dalam makrofag sehingga dapat
menimbulkan infeksi sistemik.
Gene Salmonella yang dibutuhkan untuk kelangsungan dalam makrofag yaitu
phoP/phoQ.
3.1.7 Patologi
Ciri khas pemeriksaan histologi pada demam tifoid adalah adanya infiltrasi
jaringan oleh makrofag yang berisi bakteri, eritrosit dan limfosit yang
berdegenerasi. Agregasi makrofag ini dinamakan sebagai nodul tifoid, dan paling
sering ditemukan pada usus, nodus limfatikus mesenterika, limpa, hati dan
sumsum tulang tetapi dapat juga ditemukan pada ginjal, testis dan kelenjar parotis.
Dalam usus, terdapat empat stadium patologi yang klasik yang terjadi saat infeksi:
(1) perubahan hiperplasia,
(2) nekrosis mukosa usus,
(3) mukosa sloughing,
(4) pembentukan ulkus.
Nodul limfoid pada submukosa, khususnya plaque Peyeri di ileum terminal
membesar dan sangat menonjol hingga diameternya dapat mencapai 80mm.
19
3.1 10 Pemeriksaan
Awalnya leukositosis ringan, tapi seiring berkembangnya penyakit
menjadi leucopenia dan neutropania. Pada kasus uncomplicated terjadi low grade
anemia, trombositopenia ringan, peningkatan serum transaminase sedang dan
proteinuria ringan.
Relative bradicardia.
Pada kondisi demam umumnya pasien akan mengalami gejala tachycardia. Hal ini
terjadi dikarenakan tubuh harus mengkompensasi peningkatan set point
hypothalamus dengan meningkatkan produksi panas. Peingkatan produksi panas
dapat terjadi apabila terjadi peningkatan metabolism tubuh, hal ini harus disertai
dengan supply darah ke jaringan dengan jumlah yang lebih banyak, oleh karena
itu jantung mengkompensasi peningkatan metabolism tubuh dengan berdenyut
lebih cepat dan kuat agar dapat meningkatkan supply darah.
Peningkatan pulse rate akibat demam dapat digambarkan dalam rumus:
(10 X suhu tubuh dalam Fahrenheit) – 910 = compensated pulse rate
Maka pulse rate seharusnya pada suhu ini: ( 10 X 103) -910 = 120X permenit
Apabila pulse rate pada suhu 39,5 kurang dari 120 pasien ini dikatakan mengalami
relative bradikardia. Relative bradikardia pada kasus demam typhoid dipercaya
terjadi akibat adanya aktivasi saraf parasympatis namun detail kejadiannya belum
diketahui.
- leptosirosis
- Tb Milier
- Hepatitis virus
Pada fase kedua dari penyakit ini, bakteri mempenetrasi jaringan imun dari
usus kecil dan simtoms inisialnya adalah ”small-bowel movements ”
3.2.6 Manifestasi Klinis
Paratyphoid Fever dibandingkan dengan Typhoid Fever onset demamnya
lebih nyata, simptops lebih ringan dan demam lebih pendek. Infeksi
dikarakteristikan dengan a sustained fever, headache, abdominal pain, malaise,
anorexia, a non productive cough (in early stage of illness), a relative Bradycardia
(slow heart rate), and Hepatosplenomegaly (an enlargement of the liver or spleen).
Kurang lebih 30% dari Caucasians terdapat rosy spots pada central body.
Pada orang dewasa, constipasi lebih sering daripada diare. Hanya 20% -
40% orang yang mulanya memiliki nyeri di bagian perut. Gejala yang tidak
spesifik seperti; menggigil, diaphoresis (perspiration), sakit kepala , anorexia,
batuk, lemas, sore throat, dizzines, dan nyeri otot sering ada saat sebelum terjadi
demam. Gejala yang jarang terjadi.psychosis (mental disorder), confusion dan
seizures. Paratyphoid C dapat ditemukan septicaemia dengan metastatic
abscesses. Cholecystitis juga dapat ditemukan . Antibodies Para C tidak sering
diujikan dan diagnosis dilakukan dengan blood cultures.
3.2.7 Diagnosis
Isolasi darah atau feses dan atibodi BH dalam widal test.
3.2.8 Pengobatan
Paratyphoid B Merespons baik pada pemberian chloramphenicol atau co-
trimoxazole. Paratyphoid C, umumnya efektif dengan therapy Chloramphenicol.
3.2.9 Prognosis
Baik, dengan tes dan diagnosis yang baik . mortality rate < 1%. Antibiotik
seperti Azithromycin efektif untuk membunuh backteri.
3.2.10 Preventif
Edukasi personal higyen.
24
Obat ini di berikan 500 mg dua kali sehari selama 14 hari. Jika pasien muntah dan
diare maka diberikan secara IV sebanyak 200-400 mg dua kali sehari.
Golongan 4quinolone seperti ofloxacine,norfloxacine,pefloxacine juga efektif
tetapi tidak boleh digunakan pada wanita hamil dan anak-anak.
- Corticosteroids
Dexamethasone dapat menurunkan angga kematian pada typhoid yang berat.
Chloramphenicol
Mekanisme kerja
Spektrum antimikroba
seperti ricketsia.
Sifat : bakteriostatik.
Farmakokinetik
Metabolisme : dihati.
Eskresi : urin.
Efek samping
kortikosteroid)..
selama 14 hari.
dan yang terpenting adalah pasien ini di satu sisi proses absorpsi nutrisinya
terganggu namun tetap memerlukan banyak energy untuk penyembuhan dan
metabolisme, dengan terlalu banyak bergerak maka energy akan lebih mudah
habis, sehingga pasien akan lebih lama sembuh karena kekurangan energy untuk
peningkatan system imun yang berperan dalam proses penyembuhannya.
3.4 Komplikasi
Komplikasi terjadi pada 10 sampai 15 % pasien dan dapat dibagi dalam :
1. Abdomen
a. Perforasi usus
b. Perdarahan usus
c. Hepatitis
d. kolesistisis (biasanya subklinik)
2. Kardiovaskular
a. Abnormalitas EKG
b. Miokarditis
c. Syok
3. Neuropsikiatrik
a. Ensefalopati
b. Delirium
c. Psikosis
d. Meningitis
e. Kelainan ekstrapiramidal
4. Respirasi
a. Bronkitis
b. Pneumonia
5. Hematologi
a. Anemia
b. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
6. Lainnya
a. Abses fokal
28
b. Faringitis
c. Aborsi
d. Kambuh
e. Pembawa kronik
Kebersihan Air
Pemberian Vaksinasi
Kebersihan Makanan
mempersiapkan makanan.
Sanitasi
Keasaman lambung ( pH) Higienitas buruk Area endemik (terutama anak-anak 1-5 tahun)
Difagosit oleh Gut’s intraluminal dendritic cells Penetrasi mukosa menggunakan BME (Bacterially Difagosit oleh sel M
Mediated Endocytosis) type III secretion system
Infiltrasi melalui epitelum usus APC
Salmonella masuk ke dalam sel eukariotik dan
Antigen dipresentasikan ke sel T dan makrofag membran intrasel Antigen dipresentasikan ke sel T dan makrofag
Memproduksi enzim yang Memproduksi hemosistein Lingkungan intravakuolar mengaktivasi gen phoP/phoQ Mengekspresikan antigen vi
melawan mikrobisidal
Inaktivasi NO phoP null Aktivasi gen Pag Memproteksi diri dari pelisisan
(diekspresikan di dalam di dalam makrofag, neutrofil,
Avirulen fagosom makrofag komplemen
Bakteriemia ke-2*
Produksi hormon yang Menghilangkan faktor BMR (Basal Metabolic Hilang nafsu makan
mempengaruhi fungsi yang menyebabkan Rate)
saraf simpatis peningkatan suhu
penggunaan O2 penggunaan energi aktivitas jaringan dan
Relative bradycardia Set point kembali ke katabolisme
normal tetapi suhu tubuh Kompensasi Malaise
tetap tinggi
RR Akumulasi produk
Menstimulasi suhu katabolisme (terutama
tubuh asam laktat)
Vasodilatasi Myalgia
Wajah kemerahan
(facial flushing)
32
Berkolonisasi**
Hepatomegali
Kolesistitis
Menstimulasi sekresi Cl- dan air dan menghambat absorpsi Na+ dan Cl-
Diare
33
DAFTAR PUSTAKA