MIFTACHUL JANNAH
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME karena atas berkat dan
rahmat-Nya yang telah diberikan, penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan CABG
(Coronary Artery Bypass Grafting)” tepat waktu.
Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Keperawatan Kardiovaskuler.
Dalam penyusunan makalah ini penulis melewati proses bimbingan
dengan dosen pembimbing. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada bapak
Sriyono,M.Kep.,Ns.Sp.Kep.M.B. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan masukan serta bimbingan kepada penulis sehingga tersusunnya
makalah ini.
Penulis berusaha menyusun makalah ini dengan sebaik mungkin, tetapi
suatu karya tidaklah lepas dari sebuah kekurangan sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini.
Tim Penulis
iii
1.3 Latar Belakang
B BI
A PENDAHULUAN
2 Angina stabil
6 Disritmia ventrikel
7 Kegagalan PCI
8 Reoperasi setelah
operasi CABG yang pertama
VADs digunakan pada pasien yang tidak sukses dalam enyapihan dari
CPB meskipun secara maksimal dukungan dengan obat dan IABP. IABP hanya
menignkatkan curah jantung 1%-2%.
VAD dapat diletakkan pada ventrikel kiri (LVAD) atau ventrikel kanan (RVAD),
atau keduanya tergantung dimana kegagalan ventrikel terjadi . Pada keadaan
seperti ini pasien membutuhkan perawatan yang intensive trmasuk dalam
mempertahankan keadekuatan preload untuk pengisian VAD dan pemberian
heparin untuk mencegah adaya pembekuan darah pada alat. Komplikasi yang
ditimbulkan oleh VAD adalah perdarahan, infeksi, dan kegagalan alat.
4. Pulmonary Support
Semua pasien memiliki derajat disfungsi pulmonal sebagai hasil dari efek
anastesi, CPB, dan metode pembedahan (diseksi pada internal mammary, medial
sternotomi). Postoperasi pasien mengalami derajat ventlasi/perfusi yang
bermacam-macam intrapulmonary shunting. Walaupun ada perubahan ekstubasi
secepatnya (di ruang operasi atau selama 4-6 jam) dapat dicapai pada sebagian
besar kasus.
Awal setting ventilator pada pasien kritis meliputi tidal volume 8-10
ml/kg, respiratory rate 8-10 nafas/menit, fraction of inspired oxygen (FiO2) 1, dan
PEEP (Positive end-Expiratory Pressure). ABG diperoleh pada 20 menit pertama
setelah datang di ICU, untuk melihat keseimbangan setelah dipasang ventilator.
Penggunaan ventilator pada pasien dengan hipotermia harus
dipertimbangkan karena peningkatan PaCO2 pada pasien rewarmed yang dapat
memicu adanya asidosis.
Kriteria untuk penyapihan dari ventilator meliputi respon terhadap
stimulasi yang minimal, hasil ABG memuaskan, hemodinamik stabil,
normothermia, dan pengontrolan terhadap perdarahan. Setelah dilakukan extubasi
perlu diperhatikan dan dikaji fungsi respirasi klien.
Tabel 2.4 Tanda Kegagalan Penyapihan Ventilator
No Tanda Kegagalan Penyapihan Ventilator
1 Perubahan status neurologis (somnolen)
2 Diaporesis
3 Perubahan heart rate atau tekanan darah yang signnifikan
4 Peningkatan RR >35 kali/menit
5 Penurunan PaO2 <60 mmHg atau Sao2<90% (pada Fio2 0.5)
6 Peningkatann Paco2 >50 mHg pada satu rangkaian dengan asidosis
respiratori
5. Sedasi/Analgesik
Adequate analgesik atau sedasi dibutuhkan untuk meminimalkan masalah
psikologis dan fisiologis. Pasien yang datang dari ruang operasi ke ICU biasanya
masih di bawah sedasi. . Pada beberapa institusi tetap mempertahankan pemberian
infus propofol (Diprivan) dalam periode postoperasi. Apabila pasien sudah
dipisahkan engna obat sedatif maka pasien akan terbangu.
Penggunaan analgesik secara berkelanjutan secara infus memiliki
keuntungan dalam memproduksi kontrol nyeri dan mngurangi depresi sistem
pernapasan.
Obat analgesik yang adekuat sangat penting untuk meningkatkann tingkat
aktivitas dan melatih paru-paru (seperti nafas dalam dan batuk efektif).
6. Pencegahan Infeksi
Sejumlah strategi pencegahan digunakan untuk mengurangi risiko infeksi
pada pasien bedah jantung. Intervensi preoperasi yatu memberikan antiseptik pada
kulit dan memotong rambut. Antibiotik profilaksis diberikan pada 24 jam
pertama, diawali sebelum dilakukan insisi pembedahan. Pemberian antibiotik
dalam jangka waktu yang lama tidak diperbolehkan karena meningkatkan
kejadian resisten.
Tindakan itervensi pencegahan infeksi yang kedua yaitu dalam pelepasan
urine kateter dan IV line, dan awal ekstubasi. Pada semua daerah insisi dikaji
setiap hari untuk tanda-tanda infksinya seperti adanya eritema, drainage. Pada
pasen dengan median sternotomy juga harus dikaji untuk stabilitas sternum.
Pengontrolan glukosa yang diawali pada preoperasi dan dilanjutkan
minimal 48 jam postoperasi, yang bertujuan untuk mempertahankan
euglikemia(gula darah kurang dari atau sama dengan 110 mg/dl) . Pada kondisi
hiperglikemia dan diabetes yang tidak terdiagnosa memperlihatkan risiko untuk
berkembangnya infeksi. Studi mengataka bahwa dengan pengontrolan glukosa
akan menurunkan kejadian infeksi. Sejumlah standart protocol dikembangkan
untuk memperbaiki pengontrolan glikemik, menggunakan insulin yang
berkelanjutan. Titrasi dari insulin berdasarkan pengkajian dari tingkat glukosa
serta intervensi untuk hipoglikemia juga harus diperhatikan.
Pada asuhan keperawatan juga termasuk di dalamnya yaitu monitoring
gula darah ketika terjadi perubahan pada metabolisme harus diantisipasi.
7. Program Rehabilitasi Jantung
Tujuan utama dari rehabilitasi jantung adalah untuk mempercepat
perubahan gaya hidup dan pencegahan CHD (chronic heart disease). Program ini
bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kehidupan dengan
mengurangi risiko, memanage gejala, dan pasien rajin untuk melakukan kontrol.
Program berisi tetang monitor terhadap latihan dan edukasi tentang
perubahan gaya hidup. Lamanya program bervariasi antara program yang satu
dengan yang lainnya. Mnitor program latihan adalah yang biasanya disupervisi
oleh fisioterapis dan perawat untuk memantau HR, tekanan darah, ECG, dan
tanda-tanda serangan jantung (Perrin, 2009).
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang mungin mucul setelah dilakukan tindakan pembedahan
CABG (Coronary Artery Bypass Grafting) adalah sebagai berikut (Perrin, 2009):
a. Stroke
Stroke dapat terjadi karena adanya hipoperfusi atau emboi selama
atau sesudah pembedahan (Perrin, 2009).
b. Infeksi luka
Infeksi pada daerah permukaan kaki yang merupakan tempat
pengambilan dari vena saphenous graft, berisiko tinggi terjadi pada orang
yang obesitas, diabetes. Risiko infeksi dengan pengambila vena
endovaskular lebih sedikit.
Pada pasien yang memiliki selulitis pada daerah insisi memungkikan
untuk terjadinya drainage yang purulen. Terapi yang diberikan berisikan
antibiotik, debridemen, drainage untuk luka.
Tanda dan gejala yang umum terjadi adalah adanya leukositosis,
demam, bakteriemia. Tanda gejala lain yang muncul yaitu:
a. Luka superficial eritema, tenderness, serous drainage ,sternum
masih stabi.
b. Luka dalam terdapat purulen drainage, nyeri, sternal tidak stabil.
Infeksi luka sternal mungkin di bagian seperfisil atau lebih dalam,
kebanyakan pasien munsul pada 2-4 minggu dari pembedahan. Infeksi
luka sternal yang dalam seperti mediastinitis dan sternal osteomielitis yang
berhubungan dengan kematian. Faktor risiko meliputi obesitas, diabetes
mellitus, chronic obstructive lug disease, CPB terlalu lama, dan
menggunakan kedua arteri mammary. Antibiotik digunakan dalam 2
minggu sebelum pembedahan, reexplorasi, dan autotransfusi yang terlalu
lama durasinya dapat meningkatkan risiko terjadinya mediastinitis.
Penatalaksanaan pada mediastinitis yaitu membuka insisi untuk
membiarkan drainage dan irigasi dari luka, dan sternal debridemen apabila
diperlukan. Terapi luka tekanan negatif dengan sistem vaccum assisted
closure (VAC) digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka. Setelah
infeksi bersih kemudian ditutup dengan penutup primaer atau rekonstruksi
tutup dari otot oatau omentum.
c. Disritmia
Disritmia sering terjadi mengikuti tindakan pembedahan jantung,
meliputi ritme supraventrikular dan ventrikular. Gangguan ritme pada
pasien mungkin terjadi karena pasien dalam keadaan ada penyakit jantung
yang diakibatkan oleh sequele dari pembedahan (seperti edema dari sistem
konduksi, ketidakseimbangan elektrolit, hipoksemia, atau hipertermia)
d. Infark miokard
Penyebab yang berpotensi adalah ketidakadekuatan proteksi
miokard, spasme graft arteri atau native arteri, hipotensi yang berlangsung
lama pada periode perioperatif. Untuk penegakkan diagnosa berbeda
karena pembedahan jantung selalu berhubungan dengan gelombang T
yang spesifik dan perubahan ST postoperasi serta elevasi pada miokard,
enzim CK-MB dan troponin, akan tetapi untuk penegakkan diagnosa
sering kali berdasarkan pada perubahan ECG dan keabnormalan daerah
dinding pada saat dilakukan echocardiogram.
Pada pasien dengan risiko tinggi mendapatkan management medis
yang ketat postoperasi meliputi pemberian antiplatelet, beta blokers, ACE
inhibitors (Angiostensin Converting Enzim Inhibitors), dan statins.
e. Disfungsi gatroinstestinal
Komplikasi pada gastrontestinal jarang terjadi pada pembedahan
jantung (kurang dari 2%) tetapi sangat berhubungan dengan kematian
apabila terjadi. Iskemi yang terjadi pada intesstinal atau infark terjadi
sekuner untuk kompensasi aliran darah ke arteri mesenterika. Secara khas
pasien menunjukkan adanya asidosis yang persisten walaupun dilakukan
koreksi pada curah jantung. Tanda lain yan menunjukkan yaitu adanya
peningkatan sel darah putih, tenderness abdominal, serta adanya tanda dari
sepsis.
Biasanya yang terjadi aalah perdarahan pada gastroduodenal. Profilaksis
yang digunakan H2 bloker, proton pump inhibitors, atau sucralfat yang
dapat diberikan oleh dokter.
f. Gagal ginjal
Faktor risiko yang menyebabkan adanya gagal ginjal adalah
penyakit gagal ginjal yang suda ada sebelumnya, terjadinya hipotensi yang
berlangsung lama atau rendahnya curah jantung saat perioperatif, serta
terpapar ole agent-agent nefrotoksik.
g. Neurologi
Risiko terjadinya perubahan perfusi jaringan serebral yang
diakibatkan oleh kalsifikasi pada aorta, proses bypass terlalu lama, atrial
fibrilasi.
Komplikasi tipe 1 meliputi komplikasi stroke fatal dan tidak fatal
dan serangan iskemi sementara.
Komplikasi tipe 2 yang dijabarkan dengan kerusakan fungsi
kognitif seperti konsentrasi, ingatan jangka pendek, kecepatan dari respon
motorik.
h. Disfungsi pulmonal
Untuk komplikasi pada daerah paru yag menyertai pembedahan
jantung jarang terjadi dan umumnya terjadi pada pasien yang memang
sudah menderita penyakit paru. Pada pasien yang menderita penyakit paru
membutuhkan ventilator lebih lama (lebih dari 48 jam) postoperasi. Acute
lung injury progresnya dapat ke adanya ARDS (Acute Respiratory
Distress Syndrome) yang dapat menyebabkan kematian.
Efusi pleura biasanya terjadi tetapi dapat sembuh sendiri tanpa
dilakukan pengobatan. Terdapatnya Blake (small silatic) drain untuk
beberapa hari yang menyertai pembedahan menunjukkan bahwa dapat
megurangi insiden efusi pleura.
i. Tamponade jantung
Tamponade jantung merupakan terdapatnya akumulasi cairan pada
daerah kanung perikardial posterior atau pada ruang medisatinum. Darah
kembali dari pembuluh darah besar ke jantung dan ejeksi (penyemburan)
darah dari ventrikel mengalami obstruksi oleh akumulasi cairan yang
terdapat pada rongga/sac tersebut. Tanda dari amponade jantung adalah
penurunan cardia output, peningkatan PCWP, penurunan drainage, pada
hasil X-ray terdapat pelebaran mediastinum, tekanan nadi menyempit,
suara jantung jauh, dan penurunan volatage ECG (Hartshrn, Jeanette C., et
al, 1997).
j. Perubahan cairan
Setelah dilakukan bypass volume tubuh meningkat. Hal ini
diakibatkan leh adanya hemodilusi. Adanya peningkatan vassopresin dan
perfusi ginjal mengaktifkan mekanisme RAA (renin-angiostensin-
aldosteron).
k. Perdarahan
1) Perdarahan pada arteri
Perdarahan pada aretri jarang terjadi akan tetapi dapat mengancam
nyawa apabila terjadi. Perdarahan arteri biasanya disebabkan oleh adanya
kebocoran atau rupturnya jahitan pada satu dari 3 sisi pada anastomosis
proksimal graft vena ke aorta, anastomosis distal graft vena ke arteri
koroner atau kanulasi ke daerah aorta.
2) Perdarahan vena
Perdarahan pada vena umum terjadi disebabkan oleh masalah
pembedahan atau koagulopati, kesalah dari hemostasis pada satu atau lebih
pembuluh darah yang mengakibatkan adanya abnormalitas pendarahan.
Tindakan penanganan ditujukkan untuk menurunkan perdarahan dan
memperbaiki penyebab dasarnya.
l. Ketidakseimbangn elektrolit
Kadar kalsium pada pasien pasca operasi abnormal. Terjadinya
hipokalemia diakibatkan oleh adanya hemodilusi, penggunaan diuretik
serta efek dari aldosteron yang dapat meyebabkan sekresi klaium ke dalam
urine pada tubulus distal ginjal pada saat natrium diserap. Kadar kalium
yang meningkat dapat disebabkan oleh pemberian kaium dalam jumlah
yang besar pada saat kardioplegi. Keadaan hiperglikemi dapat disebabkan
juga oleh gagal ginjal akut.
m. Depresi miokard
n. Hipotermia
o. Risiko terjadinya blok pada atrioventrikular
p. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) (Gabriel, 2013)
q. Emboli (udara, plak, atau denaturasi protein)
r. Kematian
2.1.10 Prognosis
Bedah koroner efektif dalam memperbaiki dan mengurangi gejala angina
dan memperbaiki prognosis yang buruk pada iskemi (Davey, Patric, 2005).
3.1 Biodata
BB : 80 kg
BB (Kg ) TB (m )2
IMT=
80 kg (1,6 m )2
IMT=
80 kg
IMT= 2,56 m 2
IMT= 31,25
Trombosis
Revaskularisasi tidak
maksimal
Oklusi
Cardiac Output Menurun
Mengganggu distribusi
Metabolisme Oksigen
anaerob
Suplai oksigen ke
Asam laktat 2 mol ATP jantung berkurang
Asam piruvat
Ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
Peningkatan
denyut jantug
Kompensasi paru untuk
memenuhi kebutuhan
Takikardi
Klien merasa
Klien merasa jantung sesak
berdebar
c. Nyeri
Pada Tn.M telah dilakukan operasi CABG, pada saat pelaksanaan CABG
prosesnya adalah sebagai berikut:
Sternotomi
Transduksi (Luka)
Transmisi/ Pengiriman
Informasi dikirikim melalui serabut saraf A delta
dan C ke dorsal horn dari saraf tulang belakang
Persepsi nyeri
Talamus mengirimkan ke daerah kortikal dari
otak untuk proses informasi
Modulasi
Menghambat atau meningkatkan oleh hipotalamus, pons, dan korteks
somatosensori untuk memproses dan mengirimkan stimulus nyeri
T-cell interaksi
dengan antigen
dan makrofag
Meningkatkan Penipisan
aterogenesis fibrous cap
Ruptur
Aktifasi koagulasi
,
Obesitas
T-cell interaksi
dengan antigen
dan makrofag
Ruptur
Aktifasi koagulasi
MK: Nyeri
Post operasi
MK: Cemas
Tidak mengikuti Komplikasi
rehabilitasi jantung
Trombosis Pada Graft
Oklusi
Cardiac Output Menurun
Aktivitas
Acute coronary
Meningkatkan kebutuhan sindrome
MK: Ketidakefektifan Perfusi
Oksigen
Jaringan Perifer
Mengganggu distribusi
Metabolisme Oksigen
MK: Gangguan Pertukaran Gas
anaerob
Asam piruvat
Ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
4.1 Kesimpulan
Tindakan CABG (Coronary Artery Bypass Grafting) merupakan suatu tindakan pembedahan yang dilakukan pada pasien dengan penyakit arteri
koroner dengan cara membuat saluran baru dari graft vena saphenous dan arteri (internal mammary artery) milik pasien sendiri.
Tindakan pembedahan ini bertujuan untuk untuk merevaskularisaai daerah yang mengalami iskemi atau infark, sehingga aliran oksigen dapat
meningkat.
Tindakan CABG dilakukan pada pasien dengan indikasi angina kronis yang sulit untuk diobati, stenosis >70% pada left main coronary artery,
CAD (coronary artery disesae), MI, kegagalan ventrikel kiri, kegagalan pengobatan, kegagagalan PTCA, lebih dari 2 vessels diseases, kegagalan pengobatan,
serta kriteria yang sesuai dengan rekomendasi AHA.
Kontraindikasi pada CABG yaitu adanya sumbatan pada arteri urang dari
70%, hal ini dikarenakan apabila sumbatan pada arteri koroner kurang dari 70% maka aliran darah tersebut masih cukup banyak. Sehingga dapat mencegah
adanya alira darah yang adekuat pada bypass, yang dapat mengakibatkan terjadinya bekuan pada graft. Sehingga hasil operasi tidak ada hasilnya.
Pemilihan arteri dan vena yang digunakan yaitu vena saphena, arteri radialis, arteri mammaria interna, arteri gastroepiploic dan arteri epigastrik
inferior.
Pada ahap operasi ada 2 cara melakukan CABG yaitu dengna on-pump sugery, dan off-pump surgery. Pada proses pembedahan “on pump surgery”
menggunakan CPB (Cardio Pulmonary Bypass). Off pump coronary artery (OPCAB) menggunakan minimally invasive direct coronary artery bypass graft
(MIDCABG), insisi kecil sekitar 2 inchi pada iga ke-4 pada left anterior thoracotomy digunakan untuk mengambil LIMA (Left Internal Mammary Artery),
yang dianastomosiskan di LAD.
Managemen penatalaksanaan pasien dengan post operasi CABG bertujuan untuk meminimalkan serta mencegah adanya komplikasi yang dapat
muncul
mengurangi gejala angina dan memperbaiki prognosis yang buruk pada iskemi.
4.2 Saran
Setelah mahasiswa serta pembaca membaca makalah ini diharapkan
mahasiswa lebih memahami tentang CABG. Serta dapat mengaplikasikan asuhan
keperawatan pada pasien post operasi CABG secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA