Anda di halaman 1dari 25

TUGAS JEPANG

PERBEDAAN KEBUDAYAAN
JEPANG DENGAN INDONESIA
KELOMPOK 1
- FITRIANA ZAHARA
- EDWIN GHUTOWO
- ULLA LUNA
- HERIYANTO
- RIFKATANIA
- FRATIWI ANDRIANI
- M.ABDI BAIHAQI
- NURUL FATIHAH
- YUHANA
- JOHAN SAPUTRA
- AYUNINA SIANTANA

2014

SMA NEGERI 2 TANJUNGPINANG


KEBUDAYAAN JEPANG

Jepang yang mempunyai kebudayaan yang unik membuat Negara bunga sakura itu
banyak di kenal masyarakat dunia salah satunya Indonesia, kebudayaan jepang yang sampai
saat ini masih dilakukan dalam berbagai kesempatan misalkan perayaan hanami, di karenakan
masyarakat jepang mencintai kebudayaannya sendiri dan mau menjaganya. Orang jepang
mau memakai pakean seberat dan setebal kimono untuk sekedar menghadiri upacara resepsi
pernikahan, sekarang kita tau bagaimana cintanya warga jepang pada kebudayaannya sendiri.
Adakalanya kita perlu mengetahui seperti apa kebudayaan jepang itu, mungkin dengan
mengetahui beberapa kebudayaan jepang kita bisa sedikit meniru cara melestarikan
kebudayaannya, mungkin bisa saja kebudayaan kita tetap terjaga dan tetap di lakukan seperti
kebudayaan jepang, berikut beberapa contoh kebudayaan jepang:

- Perayaan hanami
- Samurai
- Shogun
- Baju tradisional jepang
PERAYAAN HANAMI

Hanami (hana wo miru = melihat bunga) atau ohanami adalah tradisi Jepang dalam
menikmati keindahan bunga, khususnya bunga sakura. Mekarnya bunga sakura merupakan
lambang kebahagiaan telah tibanya musim semi. Selain itu, hanami juga berarti piknik
dengan menggelar tikar untuk pesta makan- makan di bawah pohon sakura.

Rombongan demi rombongan berpiknik menggelar tikar dan duduk-duduk di bawah


pepohonan sakura untuk bergembira bersama, minum sake, makan makanan khas Jepang, dan
lain-lain layaknya pesta kebun. Semuanya bergembira. Ada kelompok keluarga, ada
kelompok perusahaan, organisasi, sekolah dan lain-lain.

Menurut kisah sejarah, kebiasaan hanami dipengaruhi oleh raja-raja Cina yang gemar
menanam pohon plum di sekitar istana mereka. Di Jepang para bangsawanpun kemudian
mulai menikmati bunga Ume (plum). Namun pada abad ke-8 atau awalperiode Heian, obyek
bunga yang dinikmati bergeser ke bunga sakura. Dikisahkan pula bahwa Raja Saga di era
Jepang dahulu gemar menyelenggarakan pesta hanami di taman Shinsenendi Kyoto. Para
bangsawanpun menikmati hanami di berbagai istana mereka, dan para petani masa itu
melakukannya dengan mendaki gunung terdekat di awal musim semi untuk menikmati bunga
sakura yang tumbuh disana sambil `tidak lupa membawa bekal untuk makan siang. Hingga
kini hanami menjadi kebiasaan yang mengakar di seluruh masyarakat Jepang dan telah di
terima sebagai salah satu kekhasan bangsanya. Khusus di daerah Kansai dan Jepang Barat,
tempat-tempat unggulan untuk ber-hanami adalah Arashiyama di Kyoto, Yoshino di Nara,
taman disekitar OsakaCastle dan Taman Shukugawa di Nishinomiya, Prefektur Hyogo.

Waktu bunga sakura bermekaran di pohonnya berbeda-beda dari satu daerah ke daerah
lainnya, dimulai dari daerah paling selatan. Tapi rata-rata mekar dari akhir Maret hingga awal
April (kecuali di Okinawa dan Hokkaido). Dengan demikian pesta memandang dan
menikmati sakura juga berlainan waktunya dari satu daerah ke daerah lainnya. Prakiraan
pergerakan mekarnya bunga sakura disebut garis depan bunga sakura (sakurazensen).
Prakiraan ini dikeluarkan oleh direktorat meteorologi dan berbagai badan yang berurusan
dengan cuaca. Saat melakukan hanami di suatu tempat adalah ketika semua pohon sakura
yang ada di tempat tersebut bunganya sudah mekar semua.

Namun akhir-akhir ini tradisi hanami membawa dampak negatif. Banyak orang Jepang yang
mabuk dan angka kecelakaan pun meningkat. Taman pun menjadi gunung sampah. Di saat
hanami kelihatannya kesadaran tertib buang sampah menjadi luntur. Sayang sekali. Tapi di
sisi lain, hanami seperti sebuah `rehat` singkat dari striknya hidup orang-orang Jepang.
Hanami juga merupakan pembelajaran berharga bagi anak tentang alam dan tradisi.

OSAKA
Osaka Castle di kota Osaka termasuk salah satu tempat favorit untuk ber-hanami. Para
peneliti memperkirakan bahwa wilayah yang kini dikenal dengan nama kota Osaka telah
dihuni manusia sejak sepuluh ribu tahun lalu. Sekitar abad ke-5, kebudayaan Timur telah
diperkenalkan ke wilayah Jepang melalui Peninsula Korea lalu Osaka yang dikemudian hari
menjadi pusat kebudayaan dan politik Jepang.
Pada abad ke-7, ibukota pertama Jepang didirikan di Osaka dan ia menjadi pintu gerbang
kebudayaan dan perdagangan utama Jepang. Kemudian suatu saat sekitar akhir abad ke-12
kekuatan politik disana jatuh ketangan kelas pendekar perang dan Jepang mulai memasuki
masa perselisihan sipil dan intrik muncul dimana-mana hingga menumbuhkan ketidakpastian
masa depan rakyatnya.

Pada tahun 1583, Toyotomi Hideyoshi seorang penguasa dimasanya berhasil menyatukan
Jepang dari masa kelam ini dan kemudian memilih Osaka sebagai tempat tinggalnya. Ia
membangun Osaka menjadi pusat politik serta ekonomi Jepang. Puri Osaka atau Osaka
Castle merupakan salah satu saksi bisu kemegahan masa itu dan menjadi bangunan terindah
yang didirikan oleh Toyotomi Hideyoshi. Puri ini dikelilingi taman yang penuh pohon
Cherry, Plum dan Sakura serta berbunga indah saat musim semi. Bunga yang menjadi
kebanggaan masyarakat setempat serta mengundang kekaguman para pengunjung saat ber-
hanami.

Di abad ke-17 walalupun pusat kekuatan politik telah bergeser ke Tokyo, Osaka terus
berlanjut memainkan peran yang penting dalam mengatur perekonomian dan distribusi
barang di Jepang. Di masa ini pula kebudayaan kota berkembang pesat antara lain melalui
lahirnya sekolah-sekolah yang dikelola pihak swasta dengan sistim pendidikan yang berbeda
dari yang dilaksanakan oleh pemerintah dimasa itu. Melalui cara ini, cara berpikir terbuka
dan semangat berwirausaha telah dipupuk dan menjadikan Osaka dikemudian hari menjadi
suatu kota metropolis yang modern serta menjadi kota terbesar ketiga di Jepang.

Pada masa lalu, Osaka memang pernah menjadi pusat perdagangan Jepang. Kini, seiring
dengan kemajuan jaman, sejak akhir tahun 1990an banyak perusahaan-perusahaan terkemuka
memindahkan kantor pusat mereka ke Tokyo. Namun beberapa tetap mempertahankan tradisi
berkantor pusat di Osaka.

SAMURAI

Istilah samurai (侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi kepada
bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau dan kemudian
menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni
bushi.
Istilah bushi (武 士 ) yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali
muncul di dalam Shoku Nihongi (続 日 本 紀 ), pada bagian catatan itu tertulis “secara
umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”. Kemudian berikutnya istilah samurai
dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura).

Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai
berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang
mengabdi”.

Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok samurai yang tidak
terikat/mengabdi kepada seorang pemimpin/atasan yang dikenal dengan rōnin (浪 人 ). Rōnin
ini sudah ada sejak zaman Muromachi (1392). istilah rōnin digunakan bagi samurai tak
bertuan pada zaman Edo (1603 – 1867). Dikarenakan adanya pertempuran yang
berkepanjangan sehingga banyak samurai yang kehilangan tuannya. kehidupan seorang rōnin
bagaikan ombak dilaut tanpa arah tujuan yang jelas. Ada beberapa alasan seorang samurai
menjadi rōnin. Seorang samurai dapat mengundurkan diri dari tugasnya untuk menjalani
hidup sebagai rōnin. Adapula rōnin yang berasal dari garis keturunan, anak seorang rōnin
secara otomatis akan menjadi rōnin. Eksistensi rōnin makin bertambah jumlahnya diawali
berakhirnya perang Sekigahara (1600), yang mengakibatkan jatuhnya kaum samurai/daimyo
yang mengakibatkan para samurai kehilangan majikannya.
Dalam catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan bahwa pada
zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina dengan
memberlakukan wajib militer dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang
diberlakukan tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun bangsawan,
kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Secara materi peraturan ini amat
berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter harus membekali diri secara materi
sehingga banyak yang menyerah dan tidak mematuhi peraturan tersebut. Selain itu pula pada
waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat sehingga mereka
melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari wajib militer
tersebut dikenal dengan sakimori (防 人 ) yang secara harfiah berarti “pembela”, namun
pasukan ini tidak ada hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.

Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum bangsawan
menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi,
pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan para penduduk
yang mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan di
daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan tuan tanah yang
memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Dikarenakan keadaan
negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu
kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan
para petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang dikenal dengan
samurai.

Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul
sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan
kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi
polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan. Kaisar Gonjo
yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan
politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan
kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas politiknya. Secara lihai, ia
memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.

Tentara pengawal o-tera, souhei (僧 兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan tanah
(shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam
negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan
dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.

Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang
terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun
kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang
memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan
Perang Heiji (1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan
besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul
sebagai kekuatan politik di istana. Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge (公 家 –
bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar
keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.
Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara
keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar
Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan
militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333). Ketika Minamoto Yoritomo
wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut
Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan
berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan
tuntunan hidup mereka.

Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa
berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa
Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281),
para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa
mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para
samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang
menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru
(dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada
Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut
angin ini kamikaze (dewa angin).

Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi
pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah dalam
menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busur-panah
dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak
menjadi senjata utama di kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi (1392 – 1573),
diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan
Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara
melawan Istana Selatan (nambokuchō tairitsu).

Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum petani dan tuan
tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya shogun Ashikaga di pemerintahan pusat.
Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling
memperkuat posisi dan kekuasaannya di wilayah masing-masing. Setiap Han13 seolah terikat
dalam sebuah negara-negara kecil yang saling mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis
panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600).
Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh
pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah daerah,
sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan pusat
yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi.

Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli strategi
militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah Kinai, yaitu
Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara
luar, Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan
Bakufu Muromachi dan istana kaisar. Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda
Nobunaga dengan melibatkan agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang
membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh
Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat memperoleh
senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus memonopoli
perdagangan dengan pihak asing. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada
masa itu), Oda akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan
wilayah yang telah dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh. Oda
Nobubunaga membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil
menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen
mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh
pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik, pada
tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang.

Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang,
dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di
Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua peraturan
penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana
garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis
bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak
melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata. Keberhasilan Toyotomi menaklukkan
seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang perang dengan
energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada
disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal
inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun
1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598,
menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.

Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan istilah
gekokujō ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa Ieyasu
mulai memperkuat posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini
menyulut perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak Toyotomi
melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada tahun 1600.
Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan didirikannya bakufu Edo pada tahun
1603.
KEMATIAN SAMURAI

Kematian dianggap sebagai jalan yang mulia bagi seorang samurai daripada tindakan
pahlawan-pahlawan lain. Cara kematian dianggap suatu hal yang sangat penting bagi seorang
samurai. Ajaran yang menerangkan mengenai “mati yang terbaik” telah ditulis di dalam
sebuah buku, Hagakure pada kurun ke-18. Ditulis lama selepas tentera samurai berangkat ke
medan peperangan, Hagakure – buku tersebut dikatakan telah membawa semangat dan panji
samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Tidak dapat dinafikan, wujudnya satu idealisme
yang baik di dalam buku tersebut tetapi telah telah disalahtafsirkan oleh para samurai kerana
kekaburan maksud kalimatnya. Malah, contoh utama yang boleh dipaparkan di sini terletak di
Bab Pendahuluan buku Hagakure itu sendiri: “Jalan Samurai ditemui dalam kematian.
Apabila tiba kepada kematian, yang ada di sini hanya pilihan yang pantas untuk kematian.”

Baris-baris kalimat di atas kemudian menjadi ayat-ayat yang paling popular dalam
kebanyakan buku dan majalah mengenai samurai atau budaya bela diri masyarakat Jepang.
Petikan di bawah merupakan antara isi kandungan buku Hagakure: “Kita semua mau hidup.
Dalam kebanyakan perkara kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi
sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang
pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai (Bushido).
Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan
dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan dalam Jalan
tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang
dihajatinya.”

Buku Hagakure telah mempengaruhi kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa dan Taira
Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini. Taira Tomomori boleh dianggap sebagai Jeneral
Taira yang paling agung, telah membunuh diri kerana nasihatnya telah diabaikan pada saat-
saat akhir ketika Perang Gempei. Pada pengakhiran konfrontasi ketika Perang Gempei,
Tomomori telah mendesak rajanya, Munemori, supaya menyingkirkan seorang jeneral yang
diragui kesetiaannya. Munemori telah menolak usulnya, dan ketika berlangsungnya
Pertempuran Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati perjuangan Taira.
Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori membuat keputusan untuk
menamatkan riwayatnya sendiri. Seterusnya kita akan bincangkan mengenai Dua Kematian
Cara Samurai iaitu Mati Di Medan Pertempuran dan Seppuku.

CARA KEMATIAN
1. Mati di medan pertempuran

Sebagaimana pejuang-pejuang Islam yang menganggap mati syahid dalam peperangan untuk
membela Islam sebagai satu kemuliaan, begitu juga dengan para samurai. Mati dibunuh di
medan perang adalah lebih baik daripada hidup tetapi ditangkap oleh musuh. Salah seorang
samurai yang terkenal, Uesugi Kenshin sempat meninggalkan pesanan kepada para
pengikutnya sebelum mati:

“Seseorang yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak akan mendapat
perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati karena dipanah oleh tentara
biasa, karena mau mati di tangan pahlawan yang handal atau terkenal, akan mendapat
perlindungan Tuhan.”

Tidak ada samurai yang pernah terhindar daripada bayangan maut semasa di medan perang.
Kebanyakan nama besar dalam dunia samurai tumbang di medan perang. Ayah Uesugi
Kenshin terbunuh di dalam pertempuran, sebagaimana Imagawa Yoshimoto, Ryuzoji
Takanobu, Saito Dosan, Uesugi Tomosada… sementara yang lain telah mengambil keputusan
untuk membunuh diri selepas perjuangan mereka telah dipatahkan, dari zaman Minamoto
Yorimasa (kurun ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16). Kebiasaanya,
seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.

2. Seppuku

Tindakan di mana seseorang menyobek perutnya, sebagai suatu cara membunuh diri.
Merupakan unsur yang paling popular dalam mitos samurai. Bagi seorang samurai,
membunuh diri adalah lebih baik daripada membiarkan ditangkap, karena sekiranya samurai
itu masih hidup dan ditangkap, ia dianggap membawa malu kepada nama keluarga dan raja.
Di Barat, cara membunuh diri ini dipanggil Hara-kiri (artinya tindakan Membunuh Diri
dengan membelah perut – tetapi istilah ini tidak digunakan oleh para samurai), tidak
diketahui kapan istilah itu digunakan. Walau bagaimana pun, seperti yang tercatat dalam
sejarah, Seppuku ini mula dilakukan oleh Minamoto Tametomo dan Minamoto Yorisama
pada akhir kurun ke-12. Dari sinilah asalnya seorang samurai memilih cara ini karena lebih
mudah melakukan dibandingkan membunuh diri dengan cara memenggal kepala sendiri. Ada
juga yang mengatakan bahawa dengan melakukan seppuku, iaitu dengan membelah perut
adalah merupakan cara yang paling jujur untuk mati. Ini karena, dia sebelum mati akan
merasai kesakitan yang amat sangat dan ini mungkin tidak berani dihadapi oleh kebanyakan
orang. Oleh karena itu, mati dengan cara seppuku dianggap sebagai suatu keberanian dan
kehormatan.

Pada zaman Edo, seppuku telah menjadi sebagai salah satu upacara terhormat dalam
kebudayaan Jepang. Mula-mula, karpet tatami putih akan dikeluarkan, kemudian satu bantal
yang besar akan diletakkan di atasnya . Para saksi pembunuhan akan berdiri di sebelah
samurai tersebut (pelaku seppuku), bergantung kepada pentingnya kematian (sebagai satu
nilai penghormatan kepada pelaku seppuku). Samurai yang menjalani seppuku, memakai baju
kimono putih, akan duduk berlutut (seiza) di atas bantal tersebut. Di sebelah kiri, pada jarak
kira-kira satu meter dari samurai tersebut, seorang kaishakunin, atau `kedua’ akan turut
berlutut. Kaishakunin atau `Kedua’ adalah sahabat akrab kepada samurai yang telah
meninggal kerana melakukan seppuku. Karena perbuatan ini dianggap tidak senonoh dan
amat memalukan (tabu), maka hanya orang-orang yang layak dan terpilih (berkesanggupan
untuk melakukan tugas membantu) saja yang akan menjadi kaishakunin.

Di depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau bersarung yang terletak di
dalam talam. Apabila samurai tersebut merasakan dia telah siap, samurai tersebut akan
menanggalkan kimononya dan membebaskan bagian perutnya. Kemudian dia akan
mengangkat pisau dengan sebelah tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan
sarung pisau tersebut dan meletakkannya ke tepi. Apabila dia telah bersedia, dia akan
mengarahkan mata pisau tersebut pada sebelah kiri perut, dan menggoreskannya ke kanan.
Selepas itu, pisau tersebut akan diputar dalam keadaan masih terbenam di dalam perut dan
ditarik ke atas. Kebanyakan samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini, maka
ketika inilah kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala samurai tersebut setelah
melihat sejauh mana kesakitan yang terpapar pada wajahnya.

Tindakan yang dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji (crosswise), sayatan
bintang, dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat melakukannya, maka seppuku yang
dilakukannya dianggap amat bernilai dan disanjung tinggi. Seppuku juga mempunyai nama-
nama tertentu, bergantung kepada fungsi atau sebab melakukannya:

Junshi: Dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada raja, apabila raja tersebut meninggal.
Pada zaman Edo, junshi telah diharamkan karena dianggap sia-sia dan merugikan karena
negara akan banyak kehilangan perwira yang setia. Semasa kematian Maharaja Meiji pada
1912, Jeneral Nogi Maresue telah melakukan junshi.
Kanshi: Membunuh diri semasa demonstrasi.
Tidak begitu popular, melibatkan seseorang yang melakukan seppuku sebagai tanda
peringatan kepada seseorang raja apabila segala bentuk musyawarah (persuasion) gagal.
Hirate Nakatsukasa Kiyohide (1493-1553) telah melakukan kanshi untuk mengubah prinsip
dan pemikiran Oda Nobunaga.
Sokotsu-shi: Seseorang samurai akan melakukan seppuku sebagai tanda menebus
kesalahannya.
Ini merupakan sebab yang paling popular dalam melakukan seppuku. Antara samurai yang
melakukan sokotsu-shi ini termasuklah Jeneral Takeda, Yamamoto Kansuke Haruyuki (1501-
1561), karena telah membuat satu rencana yang akhirnya meletakkan posisi rajanya di dalam
bahaya.
SHOGUN
Shogun (将 軍Shō gun) adalah istilah bahasa Jepang yang berarti jenderal. Dalam konteks
sejarah Jepang, bila
disebut pejabat shogun maka yang dimaksudkan adalahSei-i Taishōgun (征 夷 大 将 軍 )
yang berarti Panglima Tertinggi Pasukan Ekspedisi melawan Orang Biadab (istilah
“Taishōgun” berarti panglima angkatan bersenjata). Sei-i Taishōgun merupakan salah satu
jabatan jenderal yang dibuat di luar sistem Taihō Ritsuryō. Jabatan Sei-i Taishōgun dihapus
sejak Restorasi Meiji. Walaupun demikian, dalam bahasa Jepang, istilah shōgun yang berarti
jenderal dalam kemiliteran tetap digunakan hingga sekarang.
Sejak zaman Nara hingga zaman Heian, jenderal yang dikirim untuk menaklukkan wilayah
bagian timur Jepang disebut Sei-i Taishōgun, disingkat shogun. Jabatan yang lebih rendah
dari Sei-i Taishōgun disebut Seiteki Taishōgun (征 狄 大 将 軍 panglima penaklukan orang
barbar?) dan Seisei Taishōgun (征 西 大 将 軍 panglima penaklukan wilayah barat?). Gelar
Sei-i Taishōgun diberikan kepada panglima keshogunan (bakufu) sejak zaman Kamakura
hingga zaman Edo. Shogun adalah juga pejabatTōryō (kepala klan samurai) yang
didapatkannya berdasarkan garis keturunan.

Pejabat shogun diangkat dengan perintah kaisar, dan dalam praktiknya berperan sebagai
kepala pemerintahan/penguasa Jepang. Negara asing mengganggap shogun sebagai “raja
Jepang”, namun secara resmi shogun diperintah dari istana kaisar, dan bukan penguasa yang
sesungguhnya. Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan Kaisar Jepang.

Sejarah
Zaman Nara dan zaman Heian

Kata “Sei-i” dalam Sei-i Taishōgun berarti penaklukan suku Emishi yang tinggal di wilayah
timur Jepang. Suku Emishi dinyatakan sebagai orang barbar oleh orang Jepang zaman dulu.
Sei-i Taishōgun memimpin pasukan penyerang dari arah pesisir Samudra Pasifik, dan di
bawah komandonya terdapat Seiteki Taishōgun yang memimpin pasukan penyerang dari arah
pesisir Laut Jepang. Selain itu dikenal Seisei Taishōgun yang memimpin pasukan penakluk
wilayah Kyushu di bagian barat Jepang.

Dalam perkembangannya, istilah “Sei-i” (penaklukan suku Emishi) diganti pada zaman Hōki
menjadi “Sei-tō” (penaklukan wilayah Timur). Namun istilah “penaklukan suku Emishi”
(Sei-i) kembali digunakan sejak tahun 793. Istilah “Sei-i Shōgun” (jenderal penaklukan suku
Emishi) mulai dipakai dalam dokumen resmi sejak tahun 720 (Yōrō tahun 4 bulan 9 hari 29)
ketika Tajihi Agatamori diangkat sebagai Sei-i Shōgun. Istilah “Sei-tō Shōgun” (jenderal
penaklukan wilayah timur) mulai dipakai sejak tahun 788 seperti catatan sejarah yang ditulis
Ki no Kosami (730-797) yang ikut serta dalam ekspedisi ke wilayah timur.

Pada tahun 790, Ōtomo no Otomaro ditugaskan sebagai Sei-tō Taishi (Duta Besar
Penaklukan Wilayah Timur). Dua tahun kemudian, nama jabatan tersebut diganti menjadi
Sei-i Shi (征 夷 使?, Duta Penaklukan Wilayah Timur), atau bisa juga disebut Sei-i Shōgun
(Jenderal Penaklukan Wilayah Timur).

Sakanoue no Tamuramaro diangkat sebagai Sei-i Taishōgun pada tahun 797 setelah
sebelumnya menjabat Wakil Duta Penaklukan Wilayah Timur sekaligus Wakil Duta
Penaklukan Suku Emishi di bawah komando Ōtomo no Otomaro. Pemimpin Emishi bernama
Aterei yang bertempur pantang menyerah akhirnya berhasil ditangkap oleh Tamuramaro dan
dibawa ke ibu kota, sedangkan selebihnya berhasil ditaklukkan. Pada praktiknya, Sakanoue
no Tamuramaro adalah Sei-i Taishōgun yang pertama atas jasanya menaklukkan suku
Emishi.

Selanjutnya dalam rangka peperangan melawan Emishi, Funya no Watamaro diangkat


sebagai Sei-i Shogun (Jenderal Penaklukan Suku Emishi) pada tahun 811. Perang dinyatakan
berakhir pada tahun yang sama, dan wakil shogun bernama Mononobe no Taritsugu naik
pangkat sebagai Chinju Shōgun. Istilah “chinjufu” berarti pangkalan militer yang terletak di
Provinsi Mutsu. Setelah itu, jabatan Sei-i Shōgun kembali dipulihkan sejak tahun 814.

Zaman Kamakura

Minamoto no Yoritomo memulai karier militer sebagaiTōryō (kepala klan Minamoto) di


wilayah Kanto. Jabatan kepala klan bukan merupakan jabatan resmi di bawah sistem hukum
Ritsuryō, dan kedudukan Yoritomo tidak jauh berbeda dengan Taira no Masakado atau
pemimpin pemberontak lain di daerah.

Pada tahun 1190, Yoritomo diangkat sebagai jenderal pengawal kaisar (Ukone no Taishō)
yang merupakan posisi resmi dalam pemerintahan. Jabatan sebagai jenderal pengawal kaisar
mengharuskannya tinggal di ibu kota Kyoto. Jabatan ini tidak sesuai bagi Yoritomo yang
berambisi menguasai secara total wilayah Kanto. Yoritomo mengundurkan diri dari jabatan
jenderal pengawal kaisar, namun tetap mempertahankan hak istimewa sebagai mantan
jenderal tertinggi (Sakino-u Taishō).

Setelah mantan Kaisar Go-Shirakawa mangkat, Minamoto Yoritomo diangkat sebagai Sei-i
Taishōgun pada tanggal 21 Agustus 1192. Pemerintahan militer yang didirikan Yoritomo di
Kamakura dikenal sebagai Keshogunan Kamakura.

BAJU TRADISIONAL JEPANG

1. Kimono
Kimono (着 物 ) adalahpakaian tradisionalJepang. Arti harfiah kimono adalahbaju atau
sesuatu yang
dikenakan (ki berartipaka i, danmono berartibarang).

Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf “T”, miripmantel berlengan panjang
dan berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan
kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah
bagiankanan harus berada di bawah kerah bagiankiri. Sabuk kain yang disebutob i dililitkan
di bagianperut/pinggang, dan diikat di bagianpunggung. Alas kaki sewaktu mengenakan
kimono adalahzōri ataugeta.Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada
kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut
furisode.[1] Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai.
Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakanfurisod e untuk menghadiri seijin shiki.

Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal
lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan
kimono.[2] Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi- Go-San.
Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita
rumah makan tradisional (ryōtei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri darifurisod e danuch
ikake (mantel yang dikenakan di atasfurisode).Furisode untuk pengantin wanita berbeda
darifurisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untukfurisod e pengantin diberi
motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang.
Warnafurisod e pengantin juga lebih cerah dibandingkanfurisode biasa.Shiro muku adalah
sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupafurisode berwarna putih bersih dengan
motif tenunan yang juga berwarna putih.

Sebagai pembeda dari pakaian Barat (yōfuku) yang dikenal sejak zaman Meiji, orang Jepang
menyebut pakaian tradisional Jepang sebagaiwafuku (和 服 , pakaian Jepang). Sebelum
dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut kimono.
Sebutan lain untuk kimono adalahgofuku (呉 服 ). Istilahgofuku mulanya dipakai untuk
menyebut pakaian orang negara Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go) yang tiba di Jepang
dari daratan Cina.
2. Kimono wanita
Terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas
kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono paling formal
hingga kimono santai. Berdasarkan jenis kimono yang dipakai, kimono bisa menunjukkan
umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.
Kurotomesode

Tomesode adalah kimono paling formal untuk wanita yang sudah menikah. Bila
berwarna hitam, kimono jenis ini disebut kurotomesode (arti harfiah: tomesode hitam).
Kurotomesode memiliki lambang keluarga (kamon) di tiga tempat: 1 di punggung, 2 di dada
bagian atas (kanan/kiri), dan 2 bagian belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas kurotomesode
adalah motif indah padasuso (bagian bawah sekitar kaki) depan dan belakang. Kurotomesode
dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat resmi.
Irotomesode
Tomesode yang dibuat dari kain berwarna disebut irotomesode (arti harfiah: tomesode
berwarna). Bergantung kepada tingkat formalitas acara, pemakai bisa memilih jumlah
lambang keluarga pada kain kimono, mulai dari satu, tiga, hingga lima buah untuk acara yang
sangat formal. Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah.
Kimono jenis irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu
untuk datang memakai kurotomesode, misalnya resepsi di istana kaisar. Sama halnya seperti
kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah motif indah pada suso.

Furisode
Furisode adalah kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan
berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian kain. Ciri khas furisode
adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Furisode dikenakan sewaktu
menghadiri upacara seijin shiki, menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda,
atauhatsu mode. Pakaian pengantin wanita yang disebut hanayome ishō termasuk salah satu
jenis furisode.

Homongi

Hōmon-gi (訪 問 着 , arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk
wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai
bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas homongi adalah motif di
seluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi
pernikahan, upacara minum teh, atau merayakan tahun baru.

Iromuji
Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut
memiliki lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang
keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada).
Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu,
biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang keluarga di
5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan. Bila menghadiri upacara
minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang keluarga.

Tsukesage

Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita yang sudah atau belum menikah.
Menurut tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya setingkat dibawah homongi.
Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga. Tsukesage dikenakan untuk menghadiri
upacara minum teh yang tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan
tahun baru.

Komon

Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas
kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil- kecil yang berulang.[3] Komon
dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau
menonton pertunjukan di gedung.
Tsumugi

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang
sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk
keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain
hasil tenunan sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan
kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.

Yukata
Yukata (浴衣, baju sesudah mandi) adalah jeniskimono yang dibuat dari bahan kain katun
tipis tanpa pelapis. Dibuat dari kain yang mudah dilewati angin, yukata dipakai agar badan
menjadi sejuk di sore hari atau sesudahmandi malam berendam dengan air panas.
Menurut urutan tingkat formalitas, yukata adalah kimono nonformal yang dipakaipria dan
wanita pada kesempatan santai di musim panas, misalnya sewaktu melihat pesta kembang
api, matsuri (ennichi), atau menari pada perayaanobon. Yukata dapat dipakai siapa saja tanpa
mengenal status, wanita sudah menikah atau belum menikah.

Gerakan dasar yang harus dikuasai dalam nihon buyo selalu berkaitan dengan kimono. Ketika
berlatih tari, penari mengenakan yukata sebagai pengganti kimono agar kimono berharga
mahal tidak rusak karena keringat. Aktorkabuk i mengenakan yukata ketika berdandan atau
memerankan tokoh yang memakai yukata. Pegulatsumo memakai yukata sebelum dan
sesudah bertanding.

Musim panas berarti musim pesta kembang api dan matsuri di Jepang. Jika terlihat orang
memakai yukata, berarti tidak jauh dari tempat itu ada matsuri atau pesta kembang api.

Cara memakai

Hotel atauryokan di Jepang menyediakan yukata untuk dipakai tamu sebagai pakaian tidur.
Sebagai pakaian tidur, yukata bisa dikenakan begitu saja tanpa mengenakan pakaian dalam.
Ketika dipakai pria untuk keluar rumah, yukata biasanya dikenakan tanpa kaus dalam, dan
cukup memakai celana dalam atau celana pendek. Berbeda dengan kimono yang dikenakan
dengan dua lapis pakaian dalam (hadajuban danju ban), sewaktu mengenakan yukata, wanita
hanya perluhada juban (pakaian dalam lapis pertama). Alas kaki sewaktu memakai yukata
adalah geta.

Yukata dikencangkan ke tubuh pemakai dengan obi yang lebarnya setengah dari lebar obi
untuk kimono jenis lain. Di antara berbagai jenis simpul obi untuk yukata, bentuk simpul
yang paling populer adalah simpulbunko yang berbentuk kupu-kupu. Bila tidak bisa membuat
simpul, toko kimono menjual simpul obi yang sudah jadi dan tinggal disisipkan pada obi.
Wanita mengenakan yukata yang pas dengan ukuran tubuh pemakai agar terlihat bagus
sewaktu dipakai. Seperti halnya kimono, panjang yukata selalu melebihi tinggi badan
pemakai. Perlengkapan memakai yukata wanita:

• rok panjang (susoyoke) sebagai pakaian dalam, berwarna putih polos.


• pakaian dalam (hadajuban)
• tali pinggang (koshihimo) untuk mengencangkan kain berlebih di bagian pinggang yang
berasal dari kelebihan panjang kain pada bagian bawah
• kain sabuk pengikat (datejime) untuk mengencangkan kain yang longgar di bagian perut
• Obi untuk mengencangkan yukata ke badan
2. Kimono pria

Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan
hitam.
• Kimono paling formal berupa setelan montsuki hitam dengan hakama dan haori.

Bagian punggungmontsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki yang


dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria tradisional. Setelan
ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi pemberian
penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.

• Kimono santai ki nagashi


Pria mengenakankinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau ketika keluar rumah pada
kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak
dihiasi dengan lambang keluarga.

KEBUDAYAAN INDONESIA

Indonesia adalah negara yang memiliki beribu-ribu pulau yang tersebar dari Sabang sampai
Marauke. Dengan banyaknya pulau-pulau tersebut, Indonesia memiliki banyak budaya,
kerajinan, dan lain-lain. Misalnya, pakaian adat, tarian tradisional, alat musik tradisional, dan
masih banyak lagi. Berikut adalah salah satu budaya Indonesia yang sudah mendunia yaitu :

1. Angklung

Angklung adalah alat musik multitortal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang
dalam masyarakat. Berbahasa sunda di pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari
bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa
bambu). Sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2,3,sampai 4 nada
dalam setiap ukuran kecil.

Angklung Indonesia ini telah mendapat pengakuan resmi dari UNESCO sebagai bagian dari
warisan budaya. Tak benda atau intangible cultural heritage. Penyerahan resmi sertifikat
dilaksanakan di Jakarta, pada 19 Januari 2011. Sertifikat ini diserahkan oleh mantan Duta
Besar RI untuk UNESCO Tresna Dermawan Kunaefi kepada menteri pendidikan nasional
Muhammad Nuh. Taufik menyatakan angklung digemari diluar negeri. Negara-negara seperti
Korea, Jepang dan Malaysia. Telah mengenalkan angklung pada anak-anak usia sekolah.

2. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang
berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan
Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang
bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari
belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang
yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan
yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,
sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga
para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh
ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki
pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak
dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon
carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.

Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003,
sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang
indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Wayang kulit
lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkanwayang golek lebih sering
dimainkan di Jawa Barat.

3. Batik Indonesia
Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada
dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk
mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal
sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan
teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik
Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya
yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya
Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak
2 Oktober, 2009.

4. Tari Saman

Salah satu hal daya tarik provinsi Aceh adalah Tari Samannya. Tarian ini bisa dibilang
mendunia karena telah dipilih oleh UNESCO sebagai warisan budaya. Jenis tarian dari suku
Gayo Aceh Tenggara ini sering ditampilkan pada festival-festival kesenian di beberapa
penjuru dunia.

Diciptakan oleh seorang Syekh bernama Syekh Saman, yang merupakan ulama yang
menyebarkan agama Islam di Aceh pada abad ke-14. Tarian ini pula merupakan salah satu
cara beliau dalam menyebarkan ajaran agama Islam karena tari saman sering dipentaskan
pada acara-acara Islam seperti Maulid Nabi dan tahun baru Islam.
Kesenian Aceh ini terbilang unik dan berbeda dari seni tari lainnya, jika kebanyakan seni tari
diiringi oleh irama musik dan gerajan yang gemulai. Sedangkan untuk tari saman, musiknya
berasal dari kombinasi kekompakan tepukan dada, paha, dan lantai yang berirama serta
dilengkapi dengan gerakan yang lincah, tidak kalah dengan kelincahan penari kecak Bali.
Karena begitu cepatnya gerakan tangan para penari membuat tarian ini sering dijuluki dengan
tarian seribu tangan.

5. Tari Ratéb Meuseukat


Tari Ratéb Meuseukat merupakan salah satu tarian Aceh yang berasal dari Aceh. Nama Ratéb
Meuseukat berasal dari bahasa Arab yaitu ratéb asal kataratib artinya ibadat dan meuseukat
asal kata sakat yang berarti diam.

Diberitakan bahwa tari Ratéb Meuseukat ini diciptakan gerak dan gayanya oleh anak
Teungku Abdurrahim alias Habib Seunagan (Nagan Raya), sedangkansyair atau ratéb-nya
diciptakan oleh Teungku Chik di Kala, seorang ulama di Seunagan, yang hidup pada abad ke
XIX. Isi dan kandungan syairnya terdiri dari sanjungan dan puji-pujian kepada Allah dan
sanjungan kepada Nabi, dimainkan oleh sejumlah perempuan dengan pakaian adat Aceh. Tari
ini banyak berkembang di Meudang Ara Rumoh Baro di kabupaten Aceh Barat Daya.

Pada mulanya Ratéb Meuseukat dimainkan sesudah selesai mengaji pelajaran agama malam
hari, dan juga hal ini tidak terlepas sebagai media dakwah. Permainannya dilakukan dalam
posisi duduk dan berdiri. Pada akhirnya juga permainan Ratéb Meuseukat itu dipertunjukkan
juga pada upacara agama dan hari-hari besar, upacara perkawinan dan lain-lainnya yang tidak
bertentangan dengan agama.

Saat ini, tari ini merupakan tari yang paling terkenal di Indonesia. Hal ini dikarenakan
keindahan, kedinamisan dan kecepatan gerakannya. Tari ini sangat sering disalahartikan
sebagai tari Saman dari suku Gayo. Padahal antara kedua tari ini terdapat perbedaan yang
sangat jelas. Perbedaan utama antara tari Ratéb Meuseukat dengan tari Saman ada 3 yaitu,
pertama tari Saman menggunakan bahasa Gayo, sedangkan tari Ratéb Meuseukat
menggunakan bahasa Aceh. Kedua, tari Saman dibawakan oleh laki-laki, sedangkan tari
Ratéb Meuseukat dibawakan oleh perempuan. Ketiga, tari Saman tidak diiringi oleh alat
musik, sedangkan tari Ratéb Meuseukat diiringi oleh alat musik, yaitu rapa’i dan geundrang.

Keterkenalan tarian ini seperti saat ini tidak lepas dari peran salah seorang tokoh yang
memperkenalkan tarian ini di pulau Jawa yaitu Marzuki Hasan atau biasa disapa Pak Uki.

6. Tari Kecak
Tari Kecak biasanya disebut sebagai tari "Cak" atau tari api (Fire Dance) merupakan tari
pertunjukan masal atau hiburan dan cendrung sebagai sendratari yaitu seni drama dan tari
karena seluruhnya menggambarkan seni peran dari "Lakon Pewayangan" seperti Rama Sita
dan tidak secara khusus digunakan dalam ritual agama hindu seperti pemujaan, odalan dan
upacara lainnya.

Bentuk - bentuk "Sakral" dalam tari kecak ini biasanya ditunjukan dalam hal kerauhan atau
masolah yaitu kekebalan secara gaib sehingga tidak terbakar oleh api.

Tidak seperti tari bali lainnya menggunakan gamelan sebagai musik pengiring tetapi dalam
pementasan tari kecak ini hanya memadukan seni dari suara - suara mulut atau teriakan -
teriakan seperti "cak cak ke cak cak ke" sehingga tari ini disebut tari kecak.

7. Tari Reog Ponorogo

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan
Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi
oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan.
Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal
yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan
dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3
tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan
pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan
sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang
menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang
berpakaian wanita.

Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari
kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil
yang membawakan adegan lucu.Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan
inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan
pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau
sunatan, biasanya cerita pendekar,Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario
yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin
rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton.

Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain
tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan
kepuasan kepada penontonnya.Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai
topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat
topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi.
Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga
dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Anda mungkin juga menyukai