Anda di halaman 1dari 24

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Presentasi kasus : Sabtu / 20 Agustus 2011
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RS BAKTI YUDHA

Nama : Robee Atul Adawiyah Binti Mat Zaid


NIM : 11-2010-201
Dokter pembimbing : Dr. Al Rasyid, Sp.S

BAB I: STATUS PASIEN


I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 60 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Status perkawinan : menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jakarta
No CM : 26- 66- 83
Tanggal masuk RS : 09 August 2011

PASIEN DATANG KE RS
Sendiri / bisa jalan / tak bisa jalan / dengan alat bantu
Dibawa oleh keluarga : ya / tidak

1
II. SUBJEKTIF

Auto anamnesis, 15 Agustus 2011, jam 11.00 wib


1. Keluhan utama : Penurunan kesadaran akibat kecelakaan lalu lintas

Riwayat penyakit Sekarang


Pasien datang ke Unit Gawat Darurat RSBY di bawa oleh keluarganya dalam keadaan
penurunan kesadaran beberapa jam SMRS. Pasien tampak mengantuk dan saat dibangunkan
pasien masih bisa buka mata dan kemudian tutup kembali matanya. Namun, pasien tidak dapat
menjawab ketika ditanya oleh dokter. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan lalu- lintas dan
ditabrak oleh sebuah motosikal di bagian samping ketika ingin menyeberang jalan. Pasien
kemudian jatuh tertiarap dengan kepalanya terbentur di atas jalan. Pasien sempat muntah
sebanyak satu kali berisi makanan yang dimakan dan bercampur darah. Pasien mengatakan
terdapat darah yang keluar melalui hidungnya. Menurut anak pasien, ayahnya pingsan setelah
kejadian dan masih tidak sadar ketika dibawa ke RSBY. Setelah tujuh jam dirawat dan
diobservasi di IGD RSBY, pasien akhirnya sadar. Pasien mengeluh sakit kepala hebat seperti
ditusuk- tusuk di seluruh bagian kepalanya dan berputar- putar seperti melihat sekelilingnya
bergoyang. Pasien juga berasa mual dan muntah sebanyak dua kali berisi darah. Pasien juga
mengeluh mata kirinya tidak bisa dibuka karena alis matanya bengkak dan luka namun pasien
masih dapat melihat dengan jelas orang yang berada di sekitarnya. Ketika ditanya oleh dokter
jaga, os dapat menceritakan mengenai kecelakaan yang menimpa dirinya pada malam
sebelumnya.
3 hari setelah dirawat di RSBY, pasien mengatakan sakit kapalanya sudah mulai
berkurang dan tidak lagi berputar- putar seperti sebelumnya. Pasien sudah tidak muntah tapi
masih merasa mual. Bengkak di alis mata kiri pasien sudah mulai berkurang namun pasien
mengeluh bola matanya terasa menganjal dan matanya terasa perih. Pasien juga mengeluh sakit
dibagian perut sebelah kanan yang tidak menjalar. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Seminggu setelah dirawat di RSBY (hari anamnesis), pasien mengatakan sakit kepala
sudah tidak ada. Mual dan muntah juga sudah tidak ada. Bengkak di alis mata kirinya juga sudah
berkurang. Pasien sudah tidak merasakan bola mata yang menganjal pada mata kirinya dan rasa

2
perih pada mata kirinya juga tidak ada. Pasien juga mengatakan sakit dibagian perut sebelah
kanan juga sudah tidak ada.

Riwayat penyakit keluarga


Hipertensi (-), DM (-), alergi (-), migran (-), stroke (-)
2. Riwayat penyakit dahulu
Hipertensi (-), DM (-), alergi (-), migran sebelumnya (-), trauma (-)
3. Riwayat sosial, ekonomi, pribadi
Os bekerja swasta

III. OBJEKTIF
1. Status presens
a. Kesadaran : somnolen, E3M6V4 = 13
b. TD : 130/80 mmHg
c. Nadi : 96 kali/menit
d. Pernafasan : 27 kali/menit
e. Suhu : 36.0° C
f. Kepala : normosefali, simetris
g. Leher : simetris, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
h. Paru : suara dasar: vesikuler, wheezing -/- , ronkhi -/-
i. Jantung : BJ I II murni regular, murmur (-), gallop (-)
j. Perut : supel, BU (+) normal, tidak teraba pembesaran hepar atau lien
k. Ekstremitas : udem -/-

l. Refleks fisiologis:

m. Reflek patologis

2. Status psikikus

3
a. Cara berpikir : Tidak dapat dilakukan
b. Perasaan hati : Tidak dapat dilakukan
c. Tingkah laku : Tidak dapat dilakukan
d. Ingatan : Tidak dapat dilakukan
e. Kecerdasan : Tidak dapat dilakukan
3. Status neurologikus
a. Kepala
i. Bentuk : normosefali
ii. Nyeri tekan : (-)
iii. Simetris : (+)
iv. Pulsasi : (-)
b. Leher
i. Sikap : simetris
ii. Pergerakan : bebas
iii. Kaku kuduk : (-)
c. Urat saraf kepala
i. N. I kanan kiri
Subjektif Tidak dilakukan
Dengan bahan Tidak dilakukan
ii. N. II kanan kiri
Tajam penglihatan 1/60 ( bedside)
Lapangan penglihatan Tidak dapat dilakukan
Melihat warna Tidak dapat dilakukan
Fundus okuli Tidak dapat dilakukan
iii. N. III kanan kiri
Sela mata Kesan: Normal
Pergerakan bulbus Kesan: Normal
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Exophtalmus (-) (-)
Pupil Besar 3mm 3mm
Bentuk bulat bulat

4
Refleks terhadap sinar (+) (+)
Refleks konversi (+) (+)
Refleks konsensuil (+) (+)
Melihat kembar (-) (-)
iv. N.IV kanan kiri
Pergerakan mata
(ke bawah-keluar) Kesan: Normal
Sikap bulbus Kesan: Normal
Melihat kembar (-) (-)
v. N.V kanan kiri
Membuka mulut Tidak dapat dilakukan
Mengunyah Tidak dapat dilakukan
Menggigit Tidak dapat dilakukan
Refleks kornea (+)
Sensibilitas baik baik
vi. N.VI kanan kiri
Pergerakan mata ke lateral Kesan: Normal
Sikap bulbus Kesan: Normal
Melihat kembar (-) (-)
vii. N.VII kanan kiri
Sulcus nasolabialis Kesan: Normal
Mengerutkan dahi Tidak dapat dilakukan
Menutup mata Tidak dapat dilakukan
Memperlihatkan gigi Tidak dapat dilakukan
Bersiul Tidak dapat dilakukan
viii. N.VIII kanan kiri
Detik arloji Tidak dapat dilakukan
Suara berisik Kesan: Normal
Weber Tidak dapat dilakukan
Rinne Tidak dapat dilakukan
ix. N.IX kanan kiri
Perasaan lidah belakang Tidak dapat dilakukan

5
Pharynx Kesan: Normal
x. N.X kanan kiri
Arcus pharynx Kesan: Normal
Bicara Kesan : Normal
Menelan Tidak dapat dilakukan
Nadi Kesan: Normal
xi. N.XI kanan kiri
Mengangkat bahu Tidak dapat dilakukan
Memalingkan kepala Tidak dapat dilakukan
xii. N.XII kanan kiri
Pergerakan lidah Tidak dapat dilakukan
Tremor lidah Tidak dapat dilakukan
Artikulasi Tidak dapat dilakukan
d. Badan dan anggota gerak
1. Badan
a. Motorik
i. Respirasi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis
ii. Duduk : normal
iii. Bentuk columna verterbralis : kifosis
iv. Pergerakan columna vertebralis : bebas
b. Sensibilitas kanan kiri
Taktil baik baik
Nyeri baik baik
Thermi Tidak dapat dilakukan
Diskriminasi Tidak dapat dilakukan

c. Refleks
Refleks kulit perut atas : mengikuti arah goresan
Refleks kulit perut bawah : mengikuti arah goresan
Refleks kulit perut tengah : mengikuti arah goresan
Refleks kremaster : tidak dilakukan
2. Anggota gerak atas

6
a. Motorik kanan kiri
Pergerakan bebas bebas
Kekuatan 2-2-3 3-2-2
Tonus N N
Atrofi (-) (-)
b. Sensibilitas kanan kiri
Taktil baik baik
Nyeri baik baik
Thermi Tidak dapat dilakukan
Diskriminasi Tidak dapat dilakukan
c. Refleks kanan kiri
Biceps + +
Triceps + +
Radius Tidak dilakukan
Ulna Tidak dilakukan
Tromner-hoffman (-) (-)
3. Anggota gerak bawah
a. Motorik kanan kiri
Pergerakan bebas bebas
Kekuatan 2-2-2 2-2-2
Tonus N N
Atrofi (-) (-)

b. Sensibilitas kanan kiri


Taktil baik baik
Nyeri baik baik
Thermi Tidak dapat dilakukan
Diskriminasi Tidak dapat dilakukan
c. Refleks kanan kiri
Patella + +
Achilles + +
Babinski (-) (-)

7
Chaddock (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Mendel-Bechterev (-) (-)
Schaefer (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Tes lasegue (-) (-)
Tes kernig (-) (-)

Koordinasi, gait, dan keseimbangan


 Cara berjalan : Tidak dapat dilakukan
 Tes Romberg : Tidak dapat dilakukan
 Disdiadokokinesia : Tidak dapat dilakukan
 Ataksia : Tidak dapat dilakukan
 Rebound phenomenon: Tidak dapat dilakukan
 Dismetria : Tidak dapat dilakukan

d. Gerakan-gerakan abnormal
 Tremor : Tidak dapat dilakukan
 Miokloni : Tidak dapat dilakukan
 Khorea : Tidak dapat dilakukan

e. Alat vegetatif
 Miksi : Alat kateter
 Defekasi : Tidak dapat dilakukan
 Ereksi : Tidak ditanyakan
f. Tes tambahan
 Tes Nafziger : Tidak dilakukan
 Tes valsava : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

8
Pemeriksaan Laboratorium:
Hemoglobin: 13.4 g/dl Natrium: 143 meq/L
Lekosit: 15.000/ mm3 Kalium: 3. 29 meq/L
Trombosit: 253. 000/ mm3 Chlorida: 102 meq/ L
Hematokrit: 41 % Ureum: 36 mg/ dL
SGOT : 28 U/L Asam urat: 7.5 mg/ dL
SGPT: 18 U/L

Pemeriksaan Radiologi:
Foto CT Scan:
Kesan: Sudural hematom parietal kiri
Hematosinus masilaris bilateral dan conca nasalis
Fraktur os maksilaris, orbita inferior dan zigomatikus kiri.

IV. RINGKASAN
Subjektif :
Tn. S, 60 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat RSBY di bawa oleh keluarganya dalam
keadaan penurunan kesadaran akibat kecelakaan lalu lintas. Pasien masih bisa buka matanya saat
dibangunkan namun tidak bisa berbicara ketika ditanya oleh dokter. Pasien muntah sebanyak 2
kali berisi makanan yang dimakan dan bercampur darah. Pasien mengatakan terdapat darah yang
keluar melalui hidungnya. Pasien mengeluh sakit kepala hebat seperti ditusuk- tusuk di seluruh
bagian kepalanya dan berputar- putar seperti melihat sekelilingnya bergoyang. Pasien juga berasa
mual dan muntah sebanyak dua kali berisi darah. Pasien juga mengeluh mata kirinya tidak bisa
dibuka karena alis matanya bengkak dan luka namun Pasien masih dapat melihat dengan jelas
orang yang berada di sekitarnya. Ketika ditanya oleh dokter jaga, pasien dapat menceritakan
mengenai kecelakaan yang menimpa dirinya pada malam sebelumnya. Pasien juga mengeluh
nyeri di bagian perut sebelah kanan yang tidak menjalar. Pasien tidak mempunyai riwayat
hipertensi, DM dan sebagainya.

Objektif :
Kesadaran E3M6V4
Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80 x/menit

9
Pemeriksaan N.cranialis : normal
Pemeriksaan badan dan anggota gerak : normal

Reflek fisiologis: Refleks patologis:

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium:
Lekosit: 15.000/ mm3
Kalium: 3. 29 meq/L
Asam urat: 7.5 mg/ dL

Pemeriksaan Radiologi:
Foto CT Scan:
Kesan: Subdural hematom parietal kiri
Hematosinus masilaris bilateral dan conca nasalis
Fraktur os maksilaris, orbita inferior dan zigomatikus kiri.

V. DIAGNOSIS
1. Diagnosis klinik : Cephalgia, hematom palpebra, mual, muntah,
Epistaksis, hemiparase, fraktur basis cranii
2. Diagnosis topik : Subdural
3. Diagnosis patologis : Perdarahan
4. Diagnosis etiologik : Trauma capitis

VI. PENATALAKSANAAN

i. Medikamentosa
 Flunarizine 2x1
 Dimenhydrinate, pyridoxine HCl 2x1

10
 Cap campur 3x1
 Normoten 5mg 1x2
 Inj Citicholin 2x500
 Ranitidine 2x1
 Remopain 2x1
 Garamyan tetes mata
 Ondancentron 3x1
 Amlodipine besylate 5mg 1x1

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

11
BAB II: PEMBAHASAN TEORI

Trauma kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di
dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan
oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta
berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.

Menurut Dawodu (2003) insidensi Trauma kepala tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun
dengan insidens sebanyak 32,8/100.000. Perbandingan antara lelaki dan perempuan ialah 3,4 : 1.
Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu-lintas (bermotor) di mana pada
setiap tahun diperkirakan 1 juta meninggal dan 20 juta cedera.

Insiden trauma kepala karena kecelakaan lebih 50% meninggal sebelum tiba di RS, 40%
meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu perawatan.

Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):


1. Ringan
 GCS 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari1 jam
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
 CT Scan normal.
2. Sedang
 GCS 9 – 12
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 1 jam tetapi kurang dari 24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak.
 CT Scan abnormal.
3. Berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 7 hari.
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

Patogenesis

12
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer ini
dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak
maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak.

Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi
maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala menunjukkan bahwa
hanya ± 18% penderita yang mengalami fraktur tengkorak. Fraktur tanpa kelainan neurologik,
secara klinis tidak banyak berarti.

Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria
meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan
aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang
mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe
(keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.

Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga menimbulkan
herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada
meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat
kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang
masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal
dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut.

Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena
adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis.
Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan
kerusakan-kerusakan di batang otak.

Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang otak,
ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial. Kerusakan pada saraf
otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun
countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam
waktu 3 bulan.

13
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf
otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama
pada anak-anak) , dan tidak banyak yangmengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum.

Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di
dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak.

Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif
sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang
supra-orbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan
pada pemeriksaan.

Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah edema.
Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga.
Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran
maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan.

Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya
meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf- saraf tersebut. Akibat
dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena
benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian
berkembang menjadi aneurisma. Ini sering terjadi pada arteri karotis interna pada tempat
masuknya di dasar tengkorak. Aneurisma arteri karotis interim ini suatu saat dapat pecah dan
timbul fistula karotiko kavernosa.

Aneurisma pasca traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan potensial untuk nantinya
menimbulkan perdarahan subaraknoid. Robekan langsung pembuluh darah akibat gaya geseran
antar jaringan di otak sewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid, maupun intra
serebral. Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus venosus (bridging
veins) akan menyebabkan suatu subdural hematoma.

Penegakan Diagnosis

14
1 . Anamnesis

 Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid


 Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
 Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)

2 . Pemeriksaan neurologis:

 Kesadaran berdasarkan GCS


 Tanda-tanda vital

 Otorrhea/rhinorrhea

 Ecchymosis periorbital bilateral / eyes / hematoma kacamata

 Gangguan fokal neurologis

 Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot

 Refleks patologis

 Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, doll’s eye phenomen

 Monitor pola pernafasan

 Gangguan fungsi otonom

 Funduskopi

3 . Pemeriksaan penunjang:

 Foto polos kepalaAP/lateral


 CT scan kepala untuk mendeteksi perdarahan intrakranial
 Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal

15
LESI INTRAKRANIAL

Subdural Hematom

Hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan duramater dan di atas lapisan
arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah
vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai
frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan
vena yang menimbulkan permukaan otak di bawah tekanan lebih besar.

Subdural hematom terjadi karena robekan bridging vein yang menghubungkan antara korteks
serebri (dilapisi arachnoid mater) dan dura mater. Biasanya dihubungkan dengan trauma korteks
serebri dan prognosis tidak lebih baik dari epidural hematom. Subdural hematom dapat dibagi
menjadi akut dan kronik. Subdural hematom akut umumnya terjadi akibat cedera kecepatan
tinggi dan dihubungkan dengan kontusio serebri.

Perdarahan ini memiliki prognosis lebih buruk dibanding epidural hematom, yaitu angka
kematian sekitar 60-80%. Sedangkan subdural hematom kroni terjadi akibat trauma minor kepala
yang sering tidak terindetifikasi. Perdarahan terjadi dalam waktu lambat (hitungan hari) dan
dapat tidak ditemukan hingga berbulan-bulan sampai terlihat gejala klinis. Perdarahan pada
subdural hematom kronis umumnya lebih lambat dibanding akut, dan dapat berhenti dengan
sendirinya. Sering terjadi pada orang tua.

Penekanan akibat akumulasi perdarahan menyebabkan kompresi jaringan otak. Pada beberapa
kasus dapat terjadi robekan arachnoid mater dan kebocoran cairan serebrospinal sehingga lebih
meningkatkan tekanan intrakranial. Iskemia menyebabkan terjadinya kematian sel otak.

Onset gejala subdural hematom lebih lambat dibanding perdarahan epidural, karena aliran vena
memiliki tekanan yang lebih rendah dibanding arteri. Gejala yang tumbul antara lain: penurunan
kesadaran, iritabel, kejang, sakit kepala, disorientasi, amnesia, lethargi, mual/muntah, gangguan
kepribadian, ataxia, pandangan kabur, dll.

16
Selain akibat cedera yang disebabkan oleh perubahan kecepatan (akselerasi/deselerasi), juga
dapat terjadi akibat rotasi, pada shaken baby syndrome, dan peminum alkohol (pada alkoholik
terjadi atrofi serebral sehingga meningkatkan panjang vena emisaria, yang meningkatkan risiko
terjadinya subdural hematom), dan pengguna antikoagulan (aspirin, warfarin).

Subdural hematom dibagi kepada:

1.Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah
cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantung dari ukuran
hematom dan derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat unilater
al. Gejala neurologis yang sering muncul adalah:

 Perubahan tingkat kesadaran, dalam hal ini terjadi penurunan kesadaran


 Dilatasi pupil ipsilateral hematom
 Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya
 Hemiparesis kontralateral
 Papiledema

17
2. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari
2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan
oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.

Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun
jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.

Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami


kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun
nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.

3.Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun
setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrana fibrosa. Dengan adanya selisih
tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel
darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih
lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan
tekanan hematoma.

18
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut
(karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan;
selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah.

Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
• sakit kepala yang menetap
• rasa mengantuk yang hilang-timbul
• linglung
• perubahan ingatan
• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Epidural Hematom

Epidural hematom merupakan akumulasi darah (hematoma) di antara duramater dan tulang
tengkorak/cranium. Cedera yang terjadi biasanya berupa laserasi dari arteri meningeal media
yang memiliki tekanan tinggi. Perdarahan dapat berkembang mencapai puncaknya dalam 6-8
jam pasca trauma mencapai 25-75 cc. Hematoma ini dapat memisahkan dura dari bagian dalam
tulang, sehingga menimbulkan sakit kepala yang hebat. Tekanan intrakranial yang meninggi
mengakibatkan otak mengalami pergeseran posisi, kehilangan suplai darah atau terdesak menuju
tulang. Penekanan pada batang otak menyebabkan pasien mengalami kehilangan kesadaran,
postur abnormal dan respons pupil yang abnormal. Pemeriksaan dengan CT Scan/MRI
memperlihatkan ekspansi hematom berbentuk konveks. Sebanyak 20% pasien dengan gangguan
kesadaran diketahui mengalami epidural hematom dengan bantuan CT Scan.

Tanda khas dari epidural hematom adalah adanya periode lucid interval, yaitu periode “perbaikan
sesaat” setelah trauma yang diikuti oleh hilangnya kesadaran secara cepat. Periode ini dapat
berlangsung selama beberapa menit hingga jam. Kehilangan kesadaran disebabkan oleh
akumulasi darah yang meningkatkan tekanan intrakranial dan merusak jaringan otak.

19
Subarachnoid Hematom

Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang memisahkan antara


membrana arachnoid dan pia mater). Selain karena trauma, perdarahan juga dapat terjadi secara
spontan akibat aneurisma (Saccular Berry’s Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala
yang timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak (“thunderclap headache”), penurunan
kesadaran, mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset
perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi
otak akibat peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat timbul. Defisiensi
neurologis berupa abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta
tidak mampu mengangkat kelopak mata di sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan
perdarahan berasal dari a.communicating posterior.

Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin akan meningkatkan tekanan darah dan
aritmia.

Sebanyak 85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh aneurisma serebral; kebanyakan


terletak di sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi arteriovena,
tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu trauma cedera otak juga dapat menyebabkan
perdarahan subarachnoid, melalui fraktur tulang sekitar atau kontusio intraserebral.

Diagnosis dapat ditegakkan melalui CT Scan atau punksi lumbal untuk melihat cairan
serebrospinal.

20
PENATALAKSANAAN

Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis pasien,
temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai
berikut :
 volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
 kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
 tanda fokal neurologis semakin berat
 terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
 pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
 terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
 terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
 terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
 terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

21
Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan tindakan
konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang
rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif,
maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma.

Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita
perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat
dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling
banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan
tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal.

Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi
yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan
perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang
kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan
awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu
tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif.

Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks
cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem
oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.

Perawatan Pascabedah

Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada
hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah
6-8 minggu kemudian. Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian
pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru
terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang,

22
tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya
reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan
sumber perdarahan harus ditiadakan.

Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam .


Follow-up CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

23
BAB III: PEMBAHASAN KASUS

Pasien datang dengan penurunan kesadaran, somnolen dan GCS = E3M6V4 (13). Pasien masih
bisa membuka mata saat dipanggil dokter jaga namun tidak bisa berbicara. Terdapat riwayat
keluar darah dari hidung dan muntah darah sebanyak dua kali. Mata kiri pasien tidak bisa dibuka
karena alis matanya bengkak dan luka namun pasien masih dapat melihat dengan jelas orang
yang berada di sekitarnya. Setelah tujuh jam di rumah sakit, pasien kembali sadar dan bisa ingat
lalu menceritakan kronologis kecelakaan tersebut kepada dokter. Berdasarkan literatur, gejala
yang dialami pasien sesuai dengan kriteria Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan Subdural
Hematom (SDH) stadium akut. Diagnosis ini ditegakkan dengan pemeriksaan CT Scan dengan
kesan subdural hematom parietal kiri dengan fraktur os maxillaris, orbita inferior dan
zigomatikus kiri. Pengobatan yang diberikan adalah untuk mengurangi gejala dan tingkat
keparahan. Pasien diberikan flunarizine sebagai vasodilator perifer dan Dimenhydrinate yaitu
obat antivertigo bagi mengurangi gejala nyeri kepalanya yang disertai keluhan seperti berputar-
putar. Ondancentrone sebagai obat antiemetik pula diberikan bagi mengurangi rasa mula yang
dialami pasien. Trauma yang disertai penurunan kesadaran diberikan Inj Citicholin sebanyak
500mg, 2 kali sehari karena bisa membantu meningkatkan densitas dopamin seterusnya
mengatasi gangguan memori pasca-trauma. Secara umum prognosis pada kasus ini adalah dubia
ad bonam.

24

Anda mungkin juga menyukai