Anda di halaman 1dari 2

Insiden Trisakti Selasa, 12 Mei 1998

a.) Jatuhnya Martir

Aksi-aksi mahasiswa yang telah bergulir sejak awal 1998 semakin marak dan menular ke banyak kampus di seluruh Indonesia. Aksi mahasiswa tersebut menuntut agar segera
terealisasikan atau dilaksanakannya reformasi di berbagai bidang, termasuk reformasi politik. Aksi mahasiswa tersebut terjadi sepanjang Mei 1998 dan puncaknya terjadi pada
tanggal 12 Mei 1998 di kampus Universitas Trisakti yang beralamat di jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta. Dari peristiwa tersebut, telah menyebabkan empat nyawa mahasiswa Trisakti
telah terenggut akibat terkena peluru tajam yang di sarangkan oleh aparat kepolisian. Dan dari saat itu juga insiden Trisakti telah menjadi momentum yang merubah Indonesia
hingga hari ini.

Universitas Trisakti sebelumnya tak pernah dikenal sebagai kampus para aktivis, berbeda dengan kampus-kampus negara lainnya yang mempunyai reputasi panjang dalam gerakan
mahasiswanya. Dalam merespon awal-awal terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, kampus Trisakti relative tenang dan tidak
terpengaruh dari hal tersebut. Karena hal tersebut didasari pada umumnya mahasiswa Trisakti dikenal sebagai mahasiswa elitis yang sibuk dengan diri sendiri karena umumnya
berlatar belakang kelompok kelas menengah yang tak terlalu terpengaruh krisis.

Saat elemen-elemen mahasiswa kampus lainnya telah turun ke jalan menuntut reformasi, aktivitas mahasiswa Trisakti baru sebatas diskusi dan sosialisasi penyadaran keadaan dalam
bentuk diskusi, seru-seruan dan mimbar bebas di dalam kampus. Dalam mimbar pertama, tanggal 23 Maret 1998, bangsa yang terdiri atas Sembilan butir yang umumnya normatif.
Pada point ke-7 dinyatakan bahwa, “menghimbau seluruh kampus dan gerakan moral (moral force) sampai benar-benar keadaan kembali normal”. Pada point ke-9, seruan itu
membagi aksi mahasiswa Trisakti dalam tiga kategori: aksi keprihatinan, aksi intelektual, dan aksi kontrol sosial. Mimbar bebas kedua dilakukan pada tanggal 18 April 1998 di Plaza
Kampus A dengan menampilkan orasi yang diikuti oleh pimpinan universitas, termasuk Rektor Prof. dr. Moedanton Moertedjo. Mimbar bebas diikuti aksi turun kejalan untuk pertama
kali dengan pawai ke luar kampus melalui pintu JL. Kyai Tapa dan masuk pintu Jl. S. Parman. Dalam hal ini tidak terjadi insiden sama sekali.

Pada tanggal 4 Mei 1998 ketika itu pemerintah mengeluarkan kebijakan atas kenaikan harga BBM antara 25-71 persen, mahasiswa Trisakti pada saat itu masih menjalankan aktivitas
seperti biasa di kampus. Dari hal tersebut, Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT) hanya mengeluarkan pernyataan sikap agar pemerintah meninjau kembali atas keputusan
tersebut yang dinilai telah memberatkan rakyat. Di tanggal yang sama, siding senat menyetujui pembentukan Crisis Center Universitas yang diketuai Dekan Fakultas Hukum Adi
Andojo Soetjipto, S.H. lembaga ini bertugas menangani krisis termasuk mengantisipasi korban aksi-aksi mahasiswa. Aksi mahasiswa mencapai klimaksnya pada hari selasa, 12 mei
1998, acara diselenggarakan oleh SMUT dan didukung oleh pimpinan Universitas Trisakti dengan tema “Pemberdayaan MPR/DPR dan koreksi terhadap Eksekutif”. Sekitar 6000
mahasiswa dan civitas akademika Trisakti berpartisipasi. Mimbar bebas berlangsung di pelataran parker kampus A di depan gedung Sjarif Thajeb dimulai pukul 10.00 pagi. Dalam aksi
tersebut, SMUT mengeluarkan siaran pers yang berisi permintaan agar dilaksanakan sidang istimewa MPR untuk mengembalikan kedaulatan rakyat yang tertindas dan terhina oleh
kekuasaan eksekutif yang merajalela. Aksi tersebut berlangsung tertib dan damai.

Setelah mengadakan orasi-orasi hingga siang hari, sekitar pukul 12.30 mahasiswa mulai bergerak ke luar kampus melalui jalan S.Parman. Mahasiswa menuntut aksi long march ke
gedung DPR/ MPR di Senayan untuk menyampaikan aspirasi mereka. Barisan mahasiswa dikawal oleh satgas SMUT untuk menghindari aksi provokasi dan penyusupan pihak lain.
Mereka diblokir oleh dua lapis aparat kepolisian lengkap dengan temang dan pentungan di depan Kantor Walikota Jakarta Barat, sekitar 200 meter dari gerbang utama Kampus
Trisakti. Aparat keamanan kemudian menambah kekuatan pasukan dari kepolisian dan lima panser di bawah komando Kolonel Polisi Arthur Damanik. Polisi tiba di depan markas
Kodim 0503 Jakarta Barat pada pukul 13.30 atas bantuan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Satu Pol. Agus Tri Heriyato, Komandan Kompi II Yon B Resimen I Brimob dibantu oleh
Letnan dua Pol. Pariyo, komandan pleton III kompi II Yon B Resimen Brimob. Lettu Pol. Agus memimpin satu SSK ( Satuan Setingkat Kompi) dengan kekuatan dua perwira Komandan
Pleton PHH (Pengendali Huru-Hara), yaitu, Letnan Dua Pol. Ronny Lumbangaol dan Letnan Pol. Dua Gilang Bayu. Saat kedatangannya, Lettu Pol. Agus tak melapor kepada Wakapolres
dan Dandim yang ada di lokasi itu . sementara, satu SSK pasukan PHH yang dipimpin oleh Lettu Pol. Agus mengambil posisi berhadapan langsung dengan mahasiswa, sejajar dengan
satu SSK PHH Kompi IV Korps Brimob di depan Kantor Walikota Jakarta Barat.

Mahasiswa di bawah pimpinan Ketua SMUT, Julianto Hendro cahyono, meminta aparat untuk mengizinkan mereka ke Senayan dalam aksi damai, tetapi aparat keamanan dari pasukan
pengendali masa (Dalmas) menolak tuntutan tersebut. Sambil menunggu hasil negosiasi antara pihak kepolisian dengan mahasiswa, sebagian mahasiswa duduk-duduk di jalan dengan
suasana santai, dan sejumlah mahasiswi membagikan bunga mawar kepada aparat sebagai tanda damai. Dan langkah yang dilakukan aparat di lapangan ketika itu sesuai dengan
kebijakan Pangab Wiranto, yakni mahasiswa hanya boleh melakukan mimbar bebas, aksi keprihatinan atau demonstrasi di dalam kampus. Usai bertemu dengan Presiden Soeharto, di
Bina Graha Tanggal 4 Mei 1998, Wiranto menegaskan kembali sikapnya, “Saya tidak ingin aksi mahasiswa ini keluar kampus, karena resiko keluar kampus cukup berat. Tentu ada
pihak-pihak lain yang memanfaatkan aksi mahasiswa untuk sesuatu yang melanggar hukum. Wiranto mengatakan, ABRI akan menindak tegas aksi mahasiswa yang dilakukan hingga
keluar kampus karena mengarah pada kegiatan yang bersifat anarkis, detruktif, menganggu ketertiban umum, serta meresahakan dan menyengsarakan rakyat. Pada pukul 15.30, ada
pemberitahuan dari pihak keamanan bahwa aksi keperihatinan mahasiswa hanya diberi waktu hingga pukul 16.00. Dekan Fakultas Ekonomi, Chairuman, memberitahu hal ini kepada
mahasiswa. Mahasiswa yang masih bertahan sekitar 1000 orang, sisanya telah meninggalkan tempat. Mahasiswa meminta aparat untuk mundur terlebih dahulu.

Pada pukul 16.20, perwakilan senat Mahasiswa meminta Kapolres dan Dandim untuk naik ke atas meja menyampaikan hasil koordinasi antara aparat dengan wakil mahasiswa dan
dosen. Kapolres mengatakan, “Terima Kasih adik-adik mahasiswa telah melaksanakan unjuk rasa dengan tertib. Karena sudah sore, saya mohon untuk kembali ke kampus.”
Mahasiswa setuju asal aparat keamanan juga melakukan tindakan yang sama. Kedua belah pihak akhirnya mundur secara berangsur-angsur: mahasiswa kembali ke kampus, aparat
keamanan kembali ke arah Makodim. Perundingan berjalan damai dan tak ada ketegangan yang tak berarti. Sekitar pukul 16.30, menurut Dandim Jakarta Barat, Letkol Amril, datang
pasukan dari Polda Metro Jaya dengan kekuatan satu kompi di bawah pimpinan Kol. Drs. Arthur Damanik di jalur kiri arah berlawanan dengan aksi mahasiswa dengan mengguanakan
vooreders dan sirine. Sementara itu pasukan PHH Rindam Jaya digantikan oleh SSK Brimob Metro Jaya, PHH Rindam menjadi pasukan cadangan di depan Makodim. Ketika rombongan
mahasiswa sedang bergerak kembali ke kampus, terjadi provokasi oleh seorang yang mengaku alumni Universitas Trisakti yang kemudian diketahui bernama Mashud. Mahasiswa
menuduh Mashud sebagai intel yang mau memprovokasi mereka dengan cara mengejek dan memancing kemarahan. Mahasiswa sempat terpancing dan mengejar Mashud yang
kemudian masuk ke barisan polisi untuk meminta perlindungan. Menurut versi pihak kepolisian, ia dilempari batu, kayu, dan botol-botol.

Setelah terjadi provokasi Mashud, petugas bersiap, sekitar pukul 17.15, massa melempar pasukan pengamanan yang berada di baris depan. Kemudian terjadi dorong-mendorong
antara massa dan pasukan. Amril kemudian melihat pasukan POLRI mengeluarkan tembakan, tembakan peringatan. Kapolres berteriak, “Hentikan Tembakan”, Amril meneruskan hal
yang sama, “Hentikan. Tidak perlu kita mengeluarkan tembakan.” Tembakan terhadap mahasiswa terjadi ketika 70 persen mahasiswa yang ikut dalam demonstrasi telah berada di
dalam Kampus Trisakti. Dan versi kronologi SMUT, diungkapkan bahwa ketika massa bergerak kembali ke kampus, di antara barisan aparat ada yang meledek dan menertawakan
mahasiswa. Mahasiswa sempat terpancing untuk menyerang aparat, tapi dapat diredam satgas mahasiswa Trisakti. Pada saat yang sama, aparat langsung menyerang dengan
tembakan dan pelemparan gas air mata. Massa mahasiswa menjadi panik dan berlarian ke kampus. Pasukan bermotor berseragam coklat, kemudian diketahui berasal dari Brimob,
mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke atas jembatan layang Grogol. Mahasiswa lari tunggang-langgang menyelamatkan diri ke dalam ruangan
kampus dan ke kantor Walikota Jakarta Barat. Selain dikejar, diburu, ditendang, dan diinjak oleh aparat keamanan, korban yang paling banyak berjatuhan adalah korban karena
tembakan. Berdasarkan Kronologi Peristwa Selasa Berdarah yang dikeluarkan oleh SMUT, antara pukul 17.05-18.30 aparat keamanan melakukan penembakan membabi buta. Sebagian
aparat mengambil posisi di atas jembatan layang mengarahkan tembakan ke arah mahasiswa di dalam kampus. Sementara yang berada di bawah jembatan layang menyerbu dan
merapat ke pintu gerbang dengan formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri).

Keadaan sangat mencekam pada saat itu dan baru mulai tenang sekitar pukul 20.00. mahasiswa keluar dari ruangan-ruangan dan tempat-tempat berlindung. Mereka akhirnya
dipulangkan setelah negosisasi dengan Kol. Pol. Arthur Damanik dengan cara berkelompok 5 uh besar orang, sedangkan para korban dari pihak mahasiswa segera dibawa ke Rumah
Sakit Sumber Waras. Jumlah korban tewas yang beredar adalah enam orang. Baru keesokan harinya dikonfirmasi telah jatuh empat korban tewas dan mahasiswa, yakni Elang Mulia
lesmana (mahasiswa Fakultas Tekhnik Sipil dan Perencanaan, jurusan Arsitektur angkatan 1996), Hafidhin Royan (mahasiswa Fakultas Tekhnik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Tekhnik
Sipil angkatan 1996), Hery Hartanto (mahasiswa Fakultas Tekhnologi Industri, Jurusan Tekhnik mesin angkatan 1995), dan Hendriawan Sie (mahasiswa Fakultas Ekonomi, Jurusan
Manajemen angkatan 1996). Mereka dijuluki sebagai Pahlawan Reformasi.

b.) Reaksi para Elit

Ketika insiden Trisakti terjadi, saat itu Presiden Soeharto tengah berada di Kairo sejak 9 Mei 1998, menghadiri pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-15. Menjelang
keberangkatan Soeharto, tak ada dugaan sebelumnya akan terjadi peristiwa besar seperti itu, Soeharto nampak percaya diri apalagi aparat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
ketika itu adalah orang-orang terdekatnya. Sebut saja ada Jendral Wiranto, bekas ajudan, sebagai Panglima ABRI, Letjen. TNI Prabowo Subianto, menantu, sebagai Panglma
KOSTRAD, dan Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, bekas pengawal PASPAMPRES, sebagai panglima KODAM Jaya. Demikian pula jajaran pimpinan kepolisian yang ketika itu berada
langsung dibawah panglima ABRI merupakan orang-orang terdekat Soeharto. Keluarga Cendana yang aktif dan punya pengaruh besar dalam politik ketika itu adalah Sri Hardiyanti
Rukmana atau yang dikenal dengan Tutut. Pada sore hari tanggal 12 Mei 1998, ada acara pertemuan informal di rumahnya di Jalan Yusuf Adiwinata 14 Menteng, Jakarta Pusat. Suatu
hal yang sangat sering dilakukan sambil makan di meja bundar, para tamu biasanya berdiskusi tentang krisis ekonomi dan politik mutakhir. Di tengah-tengah acara tersebut Tutut
mendengar kabar dari salah satu wartawan harian Republika yang menyatakan bahwa telah terjadi penembakan enam mahasiswa oleh aparat. Saat itu juga suasana berubah, para
tamu sibuk mencari informasi yang lebih detail dari peristiwa tersebut.
Berita kematian enam mahasiswa tersebut langsung ditanggapi Tutut dengan serius, Ia langsung berkomunikasi dengan Soeharto yang saat itu sedang berada di Kairo untuk
koordinasi. Pangdam Jaya Mayjen. TNI Safrie Sjamsuddin mendapat informasi tentang demonstran mahasiswa Trisakti dari Asisten Operasi Kol. Inf. Tri Tamtomo. Asops mendapat
laporan dari Din Satgas Jaya II, Kol. Art. Priyanto. Laporan sore yang diterima Sjafrie sebenarnya adalah aksi unjuk rasa telah surut, mahasiswa kembali ke kampus dan aparat
keamanan juga ditarik. Sekitar pukul 17.20 Sjafrie menerima laporan bahwa telah terjadi penembakan mahasiswa, “Saya kaget kenapa bisa terjadi penembakan padahal situasinya
telah selesai,” kata Sjafrie. Pukul 18.30, Sjafrie memerintahkan Asisten Intelejen (Asintel), Asops, Dan Pomdam dan Dan Satgas Jaya II untuk rapat terbatas di ruang kerja Pangdam
Jaya. Materi rapat menginformasikan bahwa ada korban 4 orang mahasiswa Trisakti. Pukul 19.30, ia menelpon Polda Metro Jaya menanyakan informasi di TKP (Tempat Kejadian
Perkara). Dan selanjutnya pada pukul 20.00, Sjafrie memimpin rapat di Makodam Jaya dihadiri Kasdam, para asisten Asisten Kasdam, para Dandim, Dan Satgas Jaya I dan Jaya II
untuk membahas lebih lanjut kejadian di Trisakti. Pada pukul 20.30 Sjafrie menerima panggilan untuk pertemuan di rumah Pangab. Pertemuan dimulai pukul 21.00 dihadiri kepala
BIA, Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim dan Kapolda Metro Jaya. Instruksi Pangab pada saat itu adalah mengusut dan menjelaskan kepada publik tentang situasi. Kapolda berinisiatif
mengadakan rapat di Mapolda.

Malam itu juga dilaksanakan rapat di Mapolda Metro Jaya dipimpin oleh Kapolri Jendral Pol. Dibyo widodo dan dihadiri antara lain dari unsur Kodam Jaya yaitu Sjafrie dan Kasdam
Brigjen TNI Sudi Silalahi, dari unsur Polda yaitu Hamami Nata dengan stafnya. Sementara dari pihak Universitas Trisakti hadir Rektor, Prof. dr. Moedanton Moertedjo, kepala
keamanan dan ketertiban kampus, Ir. Arri Gunarsa, ketua alumni Trisakti. Pukul 21.30, Sjafrie menghubungi Komnas HAM melalui telepon, berbicara dengan AA Baramuli dan
Bambang W. Soeharto untuk ikut rapat di Mapolda. Dari pihak Trisakti mangatakan bahwa ada penembakan. Karena belum ada investigasi ketika itu, aparat menilai langkah yang
diambil sudah tepat karena tembakan menggunakan peluru karet, tidak menggunakan peluru tajam. Belakangan baru diketahui ada peluru tajam yang ditembakkan. Rektor Trisakti
meminta agar pemerintah dan ABRI menyatakan bela sungkawa serta datang ke Trisakti. Usai rapat, Sjafrie memimpin konferensi pers pukul 01.00 dini hari tanggal 13 Mei 1998.
Karena pada saat itu Rektor Trisakti mengatakan bahwa mereka tidak mau melihat polisi, maka sesuai rapat, Sjafrie menyatakan bela sungkawa atas nama pemerintah. Sebagai
Komadan Garnisun, Sjafrie segera mengusut dan membentuk tim. Dan Pomdam, Kol. CPM Hendarji ditunjuk sebagai ketua Tim Terpadu pada pukul 03.00 pagi melibatkan Provost
Polda Metro Jaya, Oditur Militer, Asop Garnisun, dan Asintel Kodam. Jam 08.00 pagi, Sjafrie menegaskan kembali soal pembentukan tim dengan melibatkan kamtibpus dan Senat
mahasiswa Universitas Trisakti supaya investigasi bisa transparan. Komnas Ham berfungsi sebagai memantau proses investigasi itu.

Setelah konferensi pers, Sjafrie didampingi Sudi Silalahi, Hendarji, dan Kapendam Jaya masuk ke Trisakti. Sjafrie menyatakan belasungkawa kepada hadirin khususnya keluarga dan
keluarga besar Universitas Trisakti. Karena mereka mengangkat para korban sebagai pahlawan reformasi maka Sjafrie dan rombongan memberikan penghormatan terakhir secara
militer. Setelah itu jenazah dievakuasi dan diberangkatkan menuju rumah duka masing-masing di Jakarta dan Bandung dan dikawal oleh Polisi Militer. Mahasiswa memang menolak
untuk dikawal oleh polisi, namun mereka menerima dikawal oleh polisi militer. Kapolri Jend. Pol. Dibyo Widodo mendengar insiden Trisakti dari handi talki (HT) sekitar pukul 17.45
ketika adanya permintaan ambulance. Setelah mendapat konfirmasi terjadinya bentrok antara mahasiswa dengan pihak aparat keamanan, Dibyo memerintahkan stafnya menuju TKP.
Setelah itu pukul 18.30 hingga pukul 21.10, Dibyo menghadiri rapat tentang penanganan masalah BLBI dengan menteri Keuangan Fuad Bawazier dan Jaksa Agung Sudjono C.
Atmonegoro di Hotel Hilton, Jakarta. Usai rapat, Dibyo menuju rumah dan mengetahui dari istrinya bahwa Pangab Wiranto memanggilnya untuk rapat. Dan saat itu juga rupanya
Dankor Brimob Kol. Pol. Drs. Wenas telah berada di rumah Dibyo dan akhirnya Dibyo mengajaknya ikut pertemuan di rumah Pangab di Jalan Denpasar. Di rumah Pangab, Kapolri ini
bertemu dengan Zacky Anwar dan Kasosspol Letjen. TNI Susilo Bambang Yudhoyono. Wiranto yang saat itu memakai jaket dan bermuka masam bertanya pada Dibyo, “Kamu ngerti
nggak itu ada yang mati.” Dibyo menjawb, “Saya baru dengar pak.” Wiranto kemudian memerintahkan, “segera usut”. Karena penerimaan kurang baik , Dibyo hanya sebentar saja di
rumah Pangab dan selanjutnya menuju ke Mapolda untuk memimpin rapat.

Kasosspol Letjen. TNI Susilo Bambang Yudhoyono mendengar insiden Trisakti ketika sedang makan malam dengan cendekiawan Nurcholish Madjid di restoran Jepang, Nipponkan,
Hotel Hilton Jakarta. Menurut Nurcholish ia sering di undang untuk bicara kemungkinan karena pandangnnya di berbagai media yang mendukung perlunya kekuatan oposisi, ideologi
terbuka, keterbukaan, dan seterusnya. Pangkostrad Letjen. TNI Prabowo Subianto mendengar tentang insiden Trisakti dari Mayjen. TNI Sjafrie Sjamsoeddin yang menelponnya sekitar
menjelang pukul 20.00. Respon spontan Prabowo ketika itu adalah menyalahkan profesionalitas aparat keamanan. Sejak berbulan-bulan sebelumnya, Prabowo dalam berbagai
kesempatan termasuk yang selalu mengingatkan kepada tentara agar jangan sampai terpancing provokasi yang dapat menimbulkan korban apalagi korban jiwa dari pihak mahasiswa.
Korban jiwa hanya akan menjadi martir yang pada saat itu dapat menimbulkan simpati masyarakat secara luas untuk melawan rezim penguasa. Karenanya, seluruh satuan tentara
mendapat intruksi yang jelas agar menghindari korban demonstran dengan cara menggunakan perlengkapan yang tak mematikan, seperti tameng, pentungan, gas air mata, kanon
air, dan peluru karet, intinya non lethal weapon.

Mengantisipasi hal tersebut, Prabowo segera menuju ke Markas Komando Kostrad di depan Stasiun Gambir dan meminta keterangan dari beberapa asistennya. Malam itu juga
Prabowo telah mendengar rumor bahwa penembak para mahasiswa adalah Komando Pasukan Khusus yang menembak dari atap gedung di seberang kampus Trisakti. Rumor itu
menyebutkan bahwa Prabowo memerintahkan pasukan khusus itu secara rahasia. Malam itu juga Prabowo memerintahkan agar Markas Kostrad di Gambir dipersiapkan untuk
menerima pasukan. Prabowo memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan tempat tidur, tempat parkir, toilet, dan keperluan lain. Karena posisinya sebagai penyedia pasukan,
Prabowo sama sekali tidak punya wewenang terhadap pasukannya yang telah diserahkan pada Kodam.

Anda mungkin juga menyukai