Anda di halaman 1dari 16

TUGAS TAMBAHAN

RINITIS PADA KEHAMILAN

I. ETIOLOGI

Penyebab paling umum adalah karena ketidakseimbangan hormon yang terutama


dialami oleh wanita saat kehamilan, menstruasi, pubertas dan pemakaian esterogen
eksogen. Pada saat hamil, rhinitis hormonal biasanya bermanifestasi pada bulan kedua
dan akan terus berlanjut selama kehamilan. Dimana estrogen diketahui mempengaruhi
sistem saraf otonom dengan meningkatkan sejumlah faktor termasuk parasimpatik, asetil
kolin transferase, dan konten asetil kolin, dan juga meningkatkan penghambatan sistem
simpatik. 7,11

II. PATOFISIOLOGI

Selama kehamilan, plasenta memproduksi estrogen dalam jumlah besar. Estrogen


dikenal dapat memperburuk produksi lendir dan dapat menyebabkan lendir menjadi
sangat tebal atau sangat tipis. Estrogen juga menyebabkan turbinat dalam hidung (kecil,
bentuk tulang yang memegang mukosa) menjadi bengkak, yang dapat mengganggu
pernapasan. Kejadian rhinitis yang sama juga dialami wanita yang memakai pil KB dan
menjalani terapi hormon pengganti.7
Esterogen meningkatkan jumlah asam hyaluronic dalam mukosa hidung, edema
jaringan yang dihasilkan meningkat dan hidung tersumbat. Peningkatan sekresi kelenjar
lendir di hidung selama kehamilan sehingga kemampuan silia menurun. Selain itu, baik
β-estradiol dan progesteron memiliki reseptor di mukosa hidung faktor ini juga
berkontribusi terhadap kongesti nasal di kalangan wanita hamil.7

III. DIAGNOSIS
 Anamnesis

Gejalanya terdiri dari satu atau lebih dari hal berikut : rhinorea, bersin,
gatal-gatal dan/atau sumbatan pada hidung yang menyebabkan penurunan dari
indera penciuman yang biasanya muncul saat enam minggu atau lebih pada masa
kehamilan1,3

Ditanyakan juga apakah ada variasi diurnal (serangan yang memburuk


pada pagi hari sampai siang hari dan membaik saat malam hari). Manifestasi
penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis, riwayat atopi di
keluarga, faktor pemicu timbulnya gejala, riwayat pengobatan, serta riwayat
gejala yang sama sebelum kehamilan.10
 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan hidung (rinoskopi anterior) diperhatikan adanya edema
dari konka media atau inferior yang diliputi sekret encer bening, mukosa pucat
dan edema. 10
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis
alergi. Test kulit (skin test) biasanya negatif atau positif lemah, serta kadar IgE
total dalam batas normal. Kadang-kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret
hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi yang sering menyertai
ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret. Pemeriksaan radiologik sinus
memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan
dalam sinus apabila sinus telah terlibat.

IV. PENATALAKSANAAN

Rhinitis pada kehamilan sangat sulit untuk ditangani dan tidak ada penanganan
khusus.1

o Irigasi Nasal
Pada penatalaksanaan ini digunakan saline untuk membantu mengeluarkan
mukus dari saluran hidung, saline juga membantu melumasi mukosa di hidung yang
dapat bekerja secara efektif seterusnya. 7
o Antihistamin
Antihistamin membantu meurangi keluhan hidung tersumbat, bersin serta
hidung berair. Antihistamin chlorpheniramin, loratadine, dan ceterizine aman
digunakan selama masa kehamilan.3
o Dekongestan Topikal
Dekongestan oral dihindari selama masa kehamilan karena ditakutkan dapat
memberi efek samping pada bayi yang di kandung. Beclomethasone, fluticasone, dan
budesonide merupakan preparat nasal yang aman digunakan dan terutama pada
wanita hamil yang asma.3
Chromones (contohnya sodium cromogycate) tidak menunjukkan teratogenik
pada hewan percobaan dan merupakan obat yang direkomendasikan pada pasien
dengan kehamilan trismester awal.3

MEKANISME KERJA KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid bebas adalah molekul yang kecil dan bersifat lipofilik, mudah
mengalami difusi melalui membran sel ke dalam sitoplasma dan berikatan dengan
reseptor glukokortikoid. Kompleks reseptor glukokortikoid-kortikosteroid ini bekerja
dengan memodifikasi aktifitas transkripsi yang menyebabkan penurunan ekspresi
molekul pro-inflamasi dan sel-sel seperti sel Langerhans, limfosit, sel mast, basofil,
eosinofil, disertai dengan peningkatan ekspresi molekul anti inflamasi dan reseptor β
adrenergik. Kerja dari kortikosteroid pada sel efektor terangkum dalam Tabel 1.14 Selain
pada sel efektor, kortikosteroid intranasal juga berperan dalam menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan produksi mukus.11
Sel-sel Efektor Kerja Kortikosteroid

Sel Epitel Penurunan ekspresi GM-CSF, IL-6, IL-8, dan RANTES


Limfosit Penurunan produksi IL-4, IL-5
Penurunan jumlah sel-sel CD3+, CD4+, CD8+, dan CD25+
Penurunan sekresi dan ekspresi IL-5 (yang menstimulasi
Eosinofil eosinofil)
Penurunan ekspresi ICAM-1 dan VCAM-1 (yang mengurangi
adhesi eosinofil)
Penurunan produksi RANTES, macrophage chemoatactic
protein-1 (MCP-1),
MCP-4, dan eotaksin (kemokin yang menahan eosinofil di jalan
nafas)
Meningkatkan apoptosis eosinofil
Penurunan degranulasi eosinofil
Basofil Penurunan jumlah basofil dalam sekresi hidung
Penurunan produksi IL-4, IL-13 (yang mengurangi molekul
adhesi)
Penurunan produksi chemoattractant basofil
Sel Mast Penurunan jumlah sel mast intraepitel
Penurunan histamin dan triptase dalam cairan lavase
Penurunan produksi IL-4
Sel Langerhans Penurunan jumlah sel
Sitokin Th2 Menghambat transformasi sel Th0
Menghambat formasi sel Th2, isotipe yang mengubah sel B, sintesis
IgE antibody

Kortikosteroid yang lebih dahulu dikenal seperti deksametason dan betametason


memiliki efek sistemik bila digunakan intranasal. Kortikosteroid yang lebih baru seperti
beklometason dipropionat (BDP), triamsinolon asetonid (TAA), flunisolid (FLU),
budesonid (BUD), flutikason propionat (FP) dan mometason furoat (MF), memiliki efek
sistemik yang sangat rendah.11 Obat-obat tersebut tersedia dalam bentuk semprot larutan
zat tersebut dalam air (aqua based) dan inhaler (Tabel 2).15

Kortikosteroid intranasal sangat efektif dalam menghilangkan gejala RA seperti


bersin, rasa gatal, hidung berair, dan hidung tersumbat.6,7,15 Efek terapi mulai kelihatan
pada hari kedua sampai ketiga pengobatan dengan puncaknya pada minggu kedua sampai
ketiga.16 Oleh karena gejala RA didahului oleh proses alergi dan hipereaktivitas, terapi
KSIN sebaiknya diberikan sebelum gejala timbul. Akan tetapi jika diberikan segera
setelah timbulnya reaksi terhadap alergi, obat tersebut dapat juga mencegah berlanjutnya
inflamasi dan mencegah timbulnya gejala.7 Biasanya pada permulaan terapi sering
dikombinasikan dengan antihistamin.9 Kortikosteroid intranasal saat ini dianjurkan untuk
anak berumur di atas 6 tahun,9 dengan pengecualian MF dapat diberikan pada anak di
atas 3 tahun,11,15,16,17 dan FP dapat diberikan pada anak di atas 4 tahun. 6,16
Kortikosteroid Bioavailabilitas
Dosis dan Pemberian
Merek Dagang Intranasal
Beclomethasone 1-2 spray/nostril 2 kali 168-336 Dewasa dan Belum
Beconase AQ® sehari µg/hari anak ≥ 6 diketahui
42 µg per spray tahun
Vancenase 1 atau 2 spray/ nostril
84AQ® per hari 168-336 Dewasa dan
84 µg per spray µg/hari anak ≥ 6
2 spray/nostril dua kali tahun
Flunisolide sehari atau 40%-50%
Nasalide® / 2 spray/nostril 3 kali 200 µg/hari Dewasa ≥
Nasarel®, 25 µg sehari 15 tahun
per spray 1 spray/nostril 3 kali 300 µg/hari
sehari atau
Budesonide 2 spray/nostril 2 kali 150 µg/hari Anak 6-14
Rhinocort®, 32 sehari tahun
µg per spray 200 µg/hari
2 spray/nostril 2 kali
Fluticasone sehari 20%
Flonase®, 50 µg 4 spray/nostril per hari 256 µg/hari
per spray Dewasa dan
2 spray/nostril per hari anak ≥ 6
Triamcinolone 1-2 spray/nostril per tahun
Nasacort®, 55 hari 0,5%- 2%
µg per spray 200 µg/hari
2-4 spray/nostril per
hari 100-200 Dewasa dan
Nasacort AQ®, 2 spray/nostril per hari µg/hari anak ≥ 12
55 µg per spray tahun Belum
2spray/nostril per hari Anak 4-11 diketahui
Mometasone 1-2 spray/nostril per 220-440 tahun
Nasonex®,50 µg hari µg/hari
per spray
2 spray /nosreil per hari 220 µg/hari Dewasa
dan anak 0,1%
≥ 12
tahun
Anak 6-11
tahun

Efek samping terapi kortikosteroid


Efek samping lokal yang kadang timbul adalah krusta pada hidung, rasa kering,
dan epistaksis.9,18 Efek samping ini biasanya ringan dan akan hilang dengan sendirinya.
Perforasi septum dapat juga terjadi, namun hal ini sangat jarang.18 Untuk mengurangi
efek lokal ini dapat digunakan formulasi aqua, karena kurang menim-bulkan iritasi.16
Efek sistemik KSIN yang banyak diteliti adalah penekanan pada poros
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) dan gangguan pertumbuhan.9 Rendahnya dosis yang
diberikan dan keterbatasan ketersediaan dalam sirkulasi sistemik menyebabkan pasien
yang men-dapat KSIN memiliki risiko yang sangat rendah untuk mengalami penekanan
poros HPA.7

ANTIHISTAMIN
Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja
histamin dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-
2, dan H-3. Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast
yang dihasilkan dari pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE.

Antagonis Reseptor H-1


Antagonis reseptor H-1 adalah senyawa yang secara kompetitif menghambat
histamin pada reseptor H-1 dan telah digunakan secara klinis dalam beberapa tahun.
Antagonis H-1 sering disebut antihistamin klasik atau antihistamin H-1. Antagonis H-1
menghambat efek histamin dengan cara antagonis kompetitif yang reversibel pada
reseptor H-1.
Antagonis H-1 dibagi menjadi agen generasi pertama dan generasi kedua.
Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek sedatif yang relatif kuat, karena agen
generasi pertama lebih mempunyai sifat menghambat reseptor autonom. Sedangkan
antagonis H-1 generasi kedua pada umumnya non sedatif karena generasi 2 pada
umumnya lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma sehingga tidak dapat
menembus blood brain barrier/sawar darah otak. Dari literatur yang lain disebutkan
bahwa AH1 juga mempunyai generasi ketiga yaitu merupakan derivat dari generasi
kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer
(levocetirizine).

Farmakokinetik AH1
AH1 diabsorbsi dengan baik setelah pemberian peroral dengan kadar maksimum
dalam serum setelah 1-2 jam. AH1 didistribusi ke semua jaringan. AH1 generasi pertama
dapat menembus sawar darah otak. Lama kerja AH1 berkisar antara 4 hingga 6 jam. Akan
tetapi, ada beberapa AH1 yang memiliki lama kerja yang lebih panjang. Tempat
biotransformasi utama adalah hati. Diekskresikan ke dalam urin sebagian besar dalam
bentuk metabolit dan sebagian kecil tidak berubah.

Berikut ini merupakan obat-obat antihistamin yang sering digunakan antara lain:
a. Chlorpheniramine maleat/klorfeniramin maleat (Chlorpenon, Cohistan, CTM)
Merupakan antihistamin sedatif dari golongan alkilamin yang paling poten dan
stabil. Setelah pemberian dosis tunggal per oral, klorfeniramil diabsorbsi dengan baik
dan cepat pada saluran pencernaan, mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 30-
60 menit, melalui metabolisme pertama di hati dan di mukosa saluran pencernaan
selama proses absorpsi, kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh.
Lama kerja dari CTM adalah 4-6 jam. Dosis yang diberikan 4-6 mg peroral dapat
diberikan 3-4x/hari, dengan dosis maksimal 24 mg par hari baik pada anak-anak dan
dewasa.
Sediaan :
- Klorfeniramin elixit : 2mg/5ml: 120 ml, 480 ml
- Klorfeniramin tablet : 2 mg dan 4 mg
- Klorfeniramin retarded tablet : 8 mg dan 12 mg

b. Difenhidramin/ Diphenhydramine HCl


Merupakan derivat etanolamin yang sering digunakan dalam praktek sehari-hari,
diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral. Di metabolisme pertama di hati.
Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu kurang dari 1-5 jam dan bertaham selama
2 jam. Defenhidramin tidak dapat diberikan secara subkutan, intradermal atau
perivaskular karena sifatnya yang iritatif dan dapt menyebabkan nekrosis setempat
pada pemberian secara subkutan dan intradermal. Defenhidramin tidak dapat
menembus jaringan kulit yang intak pada pemberian secara topikal, bahkan dapat
menyebakan reaksi hipersensitivitas.
Dosis pemberian adalah 25-50 mg per oral, dosis maksimal 300 mg/hari, dengan
lama kerja 4-6 jam. Pemberian 100 mg/ lebih dapat menyebakan hipertensi,
takikardia, perubahan gelombang T dan pemendekan dari diastole.
Sediaan
- Defenhidramin kapsul : 25 dan 50 mg
- Defenhidramin elixir : 12,5 mg/5 ml : 120 cc. 480 cc
- Defenhidramin injeksi : 50mg/ml : 1 ml ampul
- Defenhidramin spray : 60 ml

c. Hidroksizin
Merupakan derivat dari piperazin yang sering digunakan sebagai transquilizer, sedatif,
antipruritus, dan antiemetik. Lama kerja obat ini adalah 6-24 jam dengan dosis pemberian
10-50 mg peroral, setiap 4 jam.
Sediaan
- Hidroksizin tablet : 10 mg, 25 mg, 50 mg, dan 100 mg
- Hidroksizin injeksi : 25 mg/ml, 50 mg/ml
- Hidroksizin sirup : 10 mg/5ml : 240 ml, 480 ml

d. Loratadin
Merupakan trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas yang selektif dengan
efek sedatif dan antikoligernik yang minimal pada dosis yang direkomendasikan,
merupakan antihistamnin yang mempunyai masa kerja yang lama. Loratadin merupakan
long-acting antihistamin dengan lama kerja 24 jam. Dosis yang direkomendasikan 10 mg
dosis oral, pada anak-anak (<30 kg) adalah 5 mg/kg BB dosis tunggal. Meskipn loratadin
tidak mempunyai kontraindikasi pada penderita hati dan ginjal kronis, disarankan untuk
mengurangi dosis yang diberikan.
Sediaan
- Loratadin sirup : 1 mg/ml : 480 ml
- Loratadin tablet : 10 mg
- Loratadin tablet : 10 mg

e. Cetirizine (Zyrtex)
Merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksin. Cetirizine dapat menghambat
eosinofil, neutrofil dan basofil dan menghambat IgE serta menurunkan prostaglandin D2.
Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg) dosis tunggal,
pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien dengan gangguan ginjal
kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari. lama kerja cetirizine adalah 12-
24 jam.
Sediaan
- Cetirizine tablet 5 mg, 10 mg
- Cetitirizine sirup 5 mg/5ml : 120 ml

f. Fexofenadine
Merupakan metabolite aktif utama dari terfenadia yang kerjanya sedikit atau tanpa efek
samping antikolinergik dan nonsedatif, serta bersifat non kardiotoksik. Sediaan :
- Feksofenadin kapsul : 30 dan 60 mg
- Feksofenadin tablet : 60 mg

Drugs Usual Anticholinergi


Adult c Comments
Dose Activity

FIRST-GENERATION ANTIHISTAMINES
Ethanolamines
Carbinoxamine (Clistin) 4–8 mg +++ Slight to moderate sedation
Dimenhydrinate (salt of 50 mg +++ Marked sedation; anti-
diphenhydramine) motion
(Dramamine) sickness activity

Diphenhydramine (Benadryl, 25–50 mg +++ Marked sedation; anti-


motion
etc)
sickness activity
Piperazine derivatives
Hydroxyzine (Atarax, etc) 15–100 nd
Mg Marked sedation
Ethylaminediamines
Pyrilamine (Neo-Antergan) 25–50 mg + Moderate sedation;
component of OTC "sleep
aids"
Alkylamines

Brompheniramine (Dimetane, 4–8 mg + Slight sedation


etc)
Chlorpheniramine (Chlor- 4–8 mg + Slight sedation; common
Trimeton, etc) component of OTC "cold"
medication
Phenothiazine derivatives

Promethazine (Phenergan, 10–25 mg +++ Marked sedation;


etc)
antiemetic
SECOND-GENERATION ANTIHISTAMINES
Piperidines

Fexofenadine (Allegra) 60 mg - Lower risk of arrhythmia


Miscellaneous
Loratadine (Claritin) 10 mg Longer action
Cetirizine (Zyrtec) 5–10 mg
RINITIS VASOMOTOR
ETIOLOGI
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.1,2,5,11

Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1,3,12


1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang
tinggi dan bau yang merangsang.
3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil
dan hipotiroidisme.
4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

PATOFISIOLOGI
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari
kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis
sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi
disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang
disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun
sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan
kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan
transudasi cairan, edema dan kongesti.5,6,13,14

PATOGENESIS
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-pembuluh
darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak
dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi.
Keadaan ini merupakan refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non – spesifik.
Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu.10,11
- adanya paparan terhadap suatu iritan  memicu ketidakseimbangan sistem saraf
otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung 
vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung  hidung tersumbat dan
rinore.
GEJALA KLINIS
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan
dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat
mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat
bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. 1,2,6,7,11
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak
terdapat rasa gatal di hidung dan mata.1,2,6,7 Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu
bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga
oleh karena asap rokok dan sebagainya.1 Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya
ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ). 11
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 3
golongan, yaitu golongan bersin (sneezers), golongan obstruksi ( blockers ) dan
golongan rinore ( runners). 1

DIAGNOSIS
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor
dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi.1 Biasanya penderita tidak mempunyai
riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa.1,6,11
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema
mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua ( karakteristik
), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol
( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi
pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang
banyak.1,7,11,12 Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip. 11
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis
alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E
total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung,
akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan
adanya sel neutrofil dalam sekret.1,2,7,11
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin
tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.1
DIAGNOSIS BANDING11
Rinitis alergi Rinitis vasomotor
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
Riwayat terpapar allergen ( + Riwayat terpapar allergen ( - )
)
Etiologi Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler terhadap
rangsangan spesifik beberapa rangsangan mekanis atau
kimia, juga faktor psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n. vidianus
Tabel 2. Dikutip dari kepustakaan 11,12

PENATALAKSANAAN
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab
dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1-3,5,6,11-17
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi
keluhan hidung tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan
Phenylpropanolamine ( oral ) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline (
semprot hidung ).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore
dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang
disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit
selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan.
Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau
Beclomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )

3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :


- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau
triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik (
electrical cautery ).
- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the
inferior turbinate )
- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)
- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan
hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore
yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang
cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
2. Vijay R Ramakrishnan,MD,Assistant Professor, Department of Otolaryngology, University of
Colorado School of Medicine. Pharmacotherapy for Nonallergic Rhinitis.
3. George L. Adams,M.D, Lawrence R. Boeis,Jr., M.D, Peter A. Higler, M.D. Buku Ajar Penyakit
THT. Alih bahasa : dr. Caroline Wijaya. Edisi ke Enam. 1997. EGC. Jakarta
4. Byron J. Bailey,Jonas T. Johnson,Shawn D. NewlandsBailey BJ et al. Head and neck Surgery-
Otolaryngology: Third Edition. 2001. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
5. Karin Toll. Pregnancy rhinitis : pathophysiological effects of esterogen and treatment with oral
decongestant.
6. Simbolon, Benry, dkk. 2006. Jurnal Sari Pediatri IDAI. Penggunaan kortikosteroid intranasal
dalam Tatalaksana Rhinitis Alergi. Jakarta. Available : http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/8-1-8.
Diakses pada 23 Oktober 2016.
7. Andrina Yunita Rambe, dkk. 2003. Rhinitis Vasomotor. Medan. FK Universitas Sumatera Utara.
Available http://library.usu.ac.id/download/fk/tht.pdf. Diakses pada 23 Oktober 2016.
8. Udin Sjamsudin, Hedi RD : Histamin dan Antihistamin dalam Farmakologi Dan Terapi ,edisi 4,
Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta, 1995, p. 252-260.
9. Sjabana Dripa : Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta, 2005, p. 467-487.
10. Ballenger JJ. Aplikasi Kilinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal. Dalam :
Ballenger JJ, Ed.Penyakit THT Kepala & Leher, Jilid 1, Edisi ke –13. Jakarta : Binarupa Aksara,
1994 . h. 1 – 25.
11. Sunaryo, Soepomo S, Hanggoro S. Pola Kasus Rinitis di Poliklinik THT RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Tahun 1998. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati XII, Semarang, 28 - 30
Oktober, 1999.
12. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A Pocket Reference. 2nd
ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994. p. 210-3.
13. Ramalingam KK,Sreeramamoorthy. A short practice of otolaryngology.India : All India
Publishers & Distributors, 1992, p.196 – 7.
14. Sutji Rahardjo, Burhanuddin, FG Kuhuwael. Efektifitas Kauterisasi Konka Pada Penderita Rinitis
Vasomotor. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati XI, Yogyakarta, 4-7 Oktober, 1995.

Anda mungkin juga menyukai