Anda di halaman 1dari 7

Distosia

II.1.3.1 Pengertian Distosia


Secara harfiah distosia berarti persalinan yang sulit dan ditandai dengan
kemajuan persalinan yang lambat (Cunningham 2009, p. 455).
II.1.3.2 Mekanisme Distosia
Pada akhir kehamilan, kepala janin harus sudah masuk kedalam segmen uterus
bagian bawah yang relatif tebal dan servik yang tidak berdilatasi. Otot uterus kurang
berkembang, tenaga dorongan kurang (abnormalitas kala 1). Namun, setelah dilatasi
servik sempurna, hubungan mekanis antara ukuran kepala janin dan posisi serta
kapasitas pelvik yang dikenal dengan proporsi fetopelvik, menjadi lebih jelas saat
janin mulai turun (abnormalitas kala 2). Malfungsi otot uterus dapat disebabkan akibat
uterus yang terlalu distensi atau persalinan yang terhambat atau dapat juga keduanya.
Persalinan yang tidak efektif biasanya dianggap sebagai tanda peringatan untuk
disproporsi fetopelvik (Cunningham 2009, p. 456).
II.1.3.3 Penyebab Distosia
Menurut cunningham (2009, p. 458) keadaan penyulit persalinan ini dapat
diakibatkan oleh beberapa keadaan abnormalitas berbeda, yang dapat terjadi satu
demi satu atau dalam kombinasi :
a. Abnormalitas kekuatan mendorong. Kontraksi uterus yang tidak cukup kuat
atau koordinasi yang tidak tepat untuk penipisan dan dilatasi servik disfungsi
uterus.
b. Abnormalitas presentasi, posisi, atau perkembangan janin.
c. Abnormalitas tulang panggul ibu atau abnormalitas jaringan lunak saluran
reproduksi yang menjadi hambatan untuk penurunan janin.
a. Abnormalitas kekuatan mendorong
Dilatasi servik dan pendorongan serta ekspulsi janin dilakukan oleh
kontraksi uterus, diperkuat selama kala dua oleh kerja otot-otot volunter dan
involunter dinding abdomen. Diagnosis disfungsi uterus pada fase laten sulit
ditentukan dan terkadang dapat dibuat hanya secara retrospektif
(Cunningham 2009, p, 458).
1) Tipe Disfungsi Uterus
Cunningham (2009, p.459) menekankan bahwa kontraksi uterus
pada persalinan normal ditandai dengan gradien aktivitas miometrium.
Kekuatan tersebut dirasakan paling kuat dan paling lama di fundus dan
akan menghilang ke arah servik. Diperlukan kekuatan kontraksi minimal
sebesar 15 mmHg untuk mendilatasi servik. Sehingga dapat disimpulkan
terdapat dua tipe disfungsi uterus. Pada disfungsi uterus hipotonik yang
lebih sering terjadi, tidak terdapat hipertonus basal dan kontraksi
uterusnya memiliki pola gradien yang normal, tetapi tekanan selama
kontraksi tidak cukup kuat untuk mendilatasi servik. Pada tipe kedua,
disfungsi uterus hipertonik atau disfungsi uterus inkoordinat, terjadi tonus
basal yang meningkat secara nyata atau gradien tekanannya berubah.
Perubahannya dapat disebabkan oleh kontraksi segmen tengah uterus
dengan tekanan yang lebih kuat daripada fungsi atau akibat asinkronisme
komplit dari impuls yang berasal dari setiap kornu atau kombinasi dari
keduanya (Cunningham 2009, p. 459).
a) Kelainan fase aktif
Abnormalitas persalinan secara klinis dibagi menjadi kemajuan
lebih lambat dari normal atau berhentinya kemajuan komplit.
Penghentian fase aktif, yang diartikan sebagai tidak adanya dilatasi
selama 2 jam atau lebih. (Cunningham 2009, p. 459).
b) Kelainan pada kala dua
Penurunan janin sebagian besar diikuti oleh dilatasi lengkap,
dimana pada kala dua menggabungkan berbagai gerakan utama yang
diperlukan janin untuk melewati jalan lahir. Disproporsi janin dan
pelvik biasanya menjadi nyata selama persalinan kala dua. Kala dua
pada nulipara dibatasi sampai 2 jam dan diperpanjang menjadi 3 jam
jika analgesik regional digunakan. Untuk multipara, 1 jam merupakan
batasnya, diperpanjang menjadi 2 jam dengan analgesik regional
(Cunningham 2009, p. 459).
2) Penyebab Disfungsi Uterus
a) Analgesik Epidural
Penggunaan analgesik epidural dapat memperlambat persalinan
(Cunningham 2009, p. 461). Analgesik epidural telah menyebabkan
perpanjangan, baik persalinan kala satu maupun kala dia dengan
perlambatan kecepatan penurunan janin.
b) Korioamnionitis
Karena adanya hubungan antara persalinan yang lama dengan
infeksi pascapartum ibu, sebagian klinis telah menunjukkan bahwa
infeksi itu sendiri berperan dalam dalam aktivitas uterus yang
abnormal (Cunningham 2009, p. 461).
c) Ruptur Membran Tanpa Persalinan
Ruptur membran saat aterm tanpa adanya kontraksi uterus
spontan terjadi pada sekitar 8% kehamilan. Hingga saat ini,
penatalaksanaan umumnya meliputi stimulasi persalinan jika kontraksi
tidak dimulai setelah 6 sampai 12 jam. Menurut cunningham (2009,
p.462) saat pengukuran efek induksi serta penatalaksanaan menunggu
dan juga membandingkan induksi menggunakan oksitosin intravena
dengan yang menggunakan gel prostaglandin E2. Sehingga mereka
menyimpulkan bahwa induksi persalinan dengan oksitosin intravena
merupakan penatalaksanaan yang lebih dipilih. Menurut cunningham
(2009, p.462) mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan efek
samping pada keluaran dengan penatalaksanaan menunggu dirumah
dibanding dengan pengamatan di rumah sakit.
b. Perkiraan Ukuran Kepala Janin
Menurut cunningham (2009, p.464) suatu manuver klinis untuk
memprediksi disproporsi. Dahi janin dan daerah suboksipital digenggam
melalui dinding abdomen dengan jari-jari, dan tekanan keras ditujukan ke
arah bawah aksis pintu atas panggul. Jika tidak terdapat disproporsi, kepala
akan dengan segera masuk ke pelvik, dan dapat diprediksi persalinan
pervaginamm.
1) Presentasi Wajah
Dalam presentasi ini, kepala dalam keadaan hiperekstensi sehingga
oksiput berkontak dengan punggung janin, dan dagu adalah bagian yang
terendah. Wajah bayi dapat tampak dengan dagu di bagian anterior atau
posterior, relatif terhadap simpisis pubis ibu. Walaupun kebanyakan dapat
menetap, namun presentasi dagu posterior berubah secara spontan
menjadi anterior, bahkan pada persalinan lanjut (Cunningham 2009, p.
464).

2) Presentasi Dahi
Posisi paling jarang ini didiagnosis jika bagian kepala janin di
antara margo supraorbitalis dan fontanel anterior berada di pintu atas
panggul. Dimana kepala janin akan mengambil posisi di pertengahan
antara fleksi penuh (oksiput) dan ekstensi (wajah). Masuknya kepala janin
dan, kemudian, pelahiran tidak dapat terjadi selama masih dalam
presentasi dahi, kecuali jika kepala janin kecil atau panggul sangat besar
(Cunningham 2009, p.465).
3) Posisi Melintang
Pada posisi ini, aksis memanjang janin diperkirakan tegak lurus
terhadap ibu. Jika aksis panjang membentuk sudut akut, dihasilkan janin
dengan posisi oblik. Posisi tersebut biasanya hanya sementara, karena
baik posisi longitudinal atau melintang biasanya terjadi ketika persalinan
tidak terduga (Cunningham 2009, p.465). Pada posisi melintang, biasanya
bahu berada di atas pintu atas panggul. Kepala berada pada salah satu
fossa iliaca, dan bokong di fossa lainnya. Keadaan ini mengakibatkan
presentasi bahu dengan sisi ibu, tempat akromion terletak, menentukan
arah posisi janin, yaitu akromial kanan atau kiri. Dan karena pada kedua
posisi tersebut punggung janin dapat berada di anterior atau posterior,
superior atau inferior, biasanya dibedakan lagi menjadi dorsoanterior dan
dorsoposterior (Cunningham 2009, p.465).

c. Disproporsi Fetopelvik
Disproporsi fetopelvik terjadi akibat berkurangnya kapasitas pelvik,
ukuran janin yang sangat besar, atau yang lebih umum, kombinasi keduanya.
1) Kapasitas pelvik
Setiap kontraksi diameter pelvik yang mengurangi kapasitasnya
dapat menciptakan distosia selama persalinan. Mungkin terdapat kontraksi
pintu atas panggul, bagian tengah panggul, atau pintu bawah panggul, atau
secara umum pelvik yang sempit disebabkan oleh kombinasinya
(Cunningham 2009, p.466).
a) Pintu atas panggul yang sempit
Pintu atas panggul biasanya dianggap sempit jika diameter
anteroposterior yang terpendek kurang dari 10 cm atau jika diameter
tranversal yang paling besar kurang dari 12 cm. Diameter pintu atas
panggul anteroposterior biasanya diperkirakan dengan mengukur
konjugata diagonalis secara manual, yaitu sekitar 1,5 cm lebih besar
dari ukuran konjugata diagonalis. Dengan demikian, pintu atas yang
sempit biasanya diartikan dengan konjugata diagonalis yang kurang
dari 11,5 cm (Cunningham 2009, p.466).
Secara klinis dan saat ini, dengan pencitraan pelvimetri, penting
untuk mengidentifikasi diameter anteroposterior terpendek yang
merupakan tempat yang harus dilewati oleh kepala janin. Terkadang,
korpus dari vertebra sakral pertama bergeser ke depan sehingga jarak
terpendek sebenarnya dapat berada antara promontorium sakral
abnormal ini dan simpisis pubis (Cunningham 2009, p.466).
Normalnya, dilatasi servik dibantu dengan kerja hidrostatik dari
membran yang belum ruptur atau setelah membran ruptur, melalui
kontak langsung bagian terendah janin dengan servik. Namun, pada
panggul yang sempit, karena kepala berhenti pada pintu atas panggul,
seluruh kekuatan yang dikeluarkan uterus bekerja secara langsung pada
bagian membran yang berkontak dengan servik yang sedang
berdilatasi, akibatnya ruptur spontan dini membran lebih sering terjadi
(Cunningham 2009, p. 466).
Pintu atas panggul yang sempit memainkan peran penting dalam
menghasilkan presentasi abnormal. Pada nulipara normal, bagian
terendah pada kehamilan aterm biasanya turun ke dalam rongga
panggul sebelum awal dimulainya proses persalinan. Namun, jika pintu
atas sangat sempit, penurunan biasanya tidak terjadi sampai setelah
dimulainya proses persalinan, atau tidak sama sekali (Cunningham
2009, p. 466).
b) Panggul Tengah yang sempit
Keadaan ini sering kali menyebabkan berhentinya kepala bayi
dalam posisi melintang, yang berpotensi menyebabkan persalinan
dengan seksio sesarea (Cunningham 2009, p.467). Bidang obstetri
panggul tengah membentang dari batas inferior simpisis pubis melalui
spina ischiadica dan menyentuh os sacrum dekat dengan pertemuan
antara vertebra keempat dan kelima. Secara teoretis, garis transversal
menghubungkan spina ischiadica dan membagi panggul tengah
menjadi bagian anterior dan posterior. Bagian anterior panggul tengah
di bagian anteriornya dibatasi oleh batas bawah symphysis pubis dan
bagian lateralnya oleh ramus ischiopubicus. Bagian posterior panggul
tengah di bagian dorsal dibatasi oleh os sacrum dan bagian lateralnya
oleh ligamentum sacrospinale, membentuk batas bawah incisura
ischiadica major (Cunningham 2009, p.467).
Ukuran panggul tengah rata-rata adalah sebagai berikut:
transversal, 10,5 cm; aneroposteri, 11,5 cm; dan sagitalis posterior, dari
titik tengah garis interspinosus ke titik yang sama di os sacrum, 5 cm.
Namun, definisi panggul tengah yang sempit belum akurat seperti
definisi panggul atas yang sempit. Meskipun demikian, panggul tengah
biasanya sempit jika jumlah diameter interspinosus dan sagitalis
posterior normal, 10,5 ditambah 5 cm, atau 15,5 cm menjadi 13,5 cm
atau kurang (Cunningham 2009, p.467).
c) Pintu Bawah Panggul yang sempit
Didefinisikan sebagai diameter tuberositas interischial sebesar 8
cm atau kurang. Pintu bawah panggul secara kasar dianalogikan
dengan dua segitiga, dengan tuberositas interischial yang dianggap
sebagai dasar keduanya. Sisi segitiga anterior adalah ramus pubis, dan
apeksnya adalah permukaan inferoposterior simpisis pubis. Segitiga
posteror tidak memiliki sisi tulang tetapi apeksnya dibatasi oleh ujung
vertebra sakral terakhir dan bukan ujung os coccygis (Cunningham
2009, p.467). Walaupun disproporsi antara kepala janin dan pintu
bawah panggul tidak cukup kuat untuk menimbulkan distosia berat, hal
ini mungkin berperan penting dalam menyebabkan robekan perineum.
Dengan makin menyempitnya arcus pubis, oksiput tidak dapat keluar
secara langsung di bawah simpisis pubis, tetapi terdorong kuat jauh
kebawah pada permukaan ramus ischiopubicus. Selanjutnya, perineum
menjadi sangat terdistensi dan, dengan demikian, memiliki peluang
besar untuk mengalami laserasi (Cunningham 2009, p.467).
d) Dimensi janin pada Disproporsi Fetopelvik
Ukuran janin saja, jarang menjadi penjelasan yang sesuai untuk
persalinan yang gagal. Sebagian besar kasus disproporsi muncul pada
janin yang beratnya cukup dalam kisaran populasi obstetri umum. Dua
pertiga neonatus yang memerlukan persalinan dengan seksio sesarea
setelah pelahiran dengan forseps yang gagal, memiliki berat badan
kurang dari 3700g. Karena itu, faktor-faktor lain, seperti malposisi
kepala, menghalangi perjalanan janin melewati jalan lahir. Keadaan ini
meliputi asinklitismus, posisi oksiput posterior, dan presentasi wajah
atau dahi (Cunningham 2009, p.467).
II.1.3.4 Komplikasi Distosia
Distosia, terutama jika persalinan lama, menyebabkan peningkatan insiden
beberapa komplikasi obstetri dan neonatus yang lazim
a. Ruptur Uterus
Penipisan segmen bawah rahim yang abnormal menimbulkan bahaya
serius selama persalinan lama, terutama pada perempuan dengan paritas
tinggi dan pada mereka dengan riwayat persalinan dengan seksio sesarea.
Jika disproporsi sangat jelas sehingga tidak ada engagement atau penurunan,
segmen bawah rahim menjadi sangat teregang, dan dapat diikuti oleh ruptur
(Cunningham 2009, p.470).
b. Pembentukan Fistula
Pada distosia, bagian terendah tertahan kuat di dalam pintu atas
panggul dan tidak ada kemajuan untuk waktu yang lama. Jaringan jalan lahir
yang membentang antara bagian terdepan dan dinding panggul dapat terkena
tekanan yang berlebihan. Karena sirkulasi terganggu, dapat terjadi nekrosis
dan menjadi jelas beberapa hari setelah persalinan sebagai fistula
vesikovaginal, vesikoservikal, atau rektovaginal (Cunningham 2009, p.471).
c. Cedera Dasar Panggul
Cedera pada otot dasar panggul, persarafan, atau fasia penghubung
adalah konsekuensi persalinan pervaginam yang sering terjadi, terutama jika
pelahirannya sulit. Selama kelahiran bayi, dasar panggul terkena tekanan ke
arah bawah dari usaha meneran ibu, kekuatan meregang ini dan dasar
panggul yang terdistensi, menyebabkan perubahan fungsional dan anatomis
pada otot, saraf dan jaringan ikat. Terdapat beberapa masalah yaitu efek pada
dasar panggul selama melahirkan menyebabkan inkontinensia urin dan alvi
serta prolapsus organ panggul (Cunningham 2009, p.471).

Anda mungkin juga menyukai