Anda di halaman 1dari 37

UNIVERSITAS DIPONEGORO

TUGAS MATA KULIAH DRAINASE PERKOTAAN DAN


PENGENDALIAN BANJIR

MAKALAH SISTEM PENGENDALIAN BANJIR KAWASAN


DKI JAKARTA

DISUSUN OLEH :

ANDRIVO FERLIYAN 21010113120004


MAYASARI 21010113120018
Y. GYLBERD PARINGHAN 21010113120033
ELKI AMIKA BONDAN S 21010113120073
RESI AYU AGETTIS 21010113120071
ANGELA WIDYA R 21010113120076
HERU SETIAWAN 21010113120079

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL


DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jika dicermati, bencana alam di Indonesia tampaknya dari tahun ke tahun memiliki
kecenderungan meningkat, begitu juga bencana banjir yang setiap tahun terjadi di
seluruh penjuru tanah air. Kecenderungan meningkatnya bencana banjir di Indonesia
tidak hanya luasnya saja melainkan kerugiannya juga ikut bertambah pula. Jika dahulu
bencana banjir hanya melanda kota-kota besar di Indonesia khususnya di Pulau Jawa,
akan tetapi pada saat sekarang ini bencana tersebut telah melanda dan merambah sampai
ke pelosok tanah air.
Sebenarnya banjir memiliki banyak faktor penyebab, dan faktor – faktor tersebut
dapat disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri dan juga dapat disebabkan oleh
peristiwa alam. Banjir yang disebabkan oleh peristiwa alam dapat dikendalikan atau
ditanggulangi dengan lebih mudah daripada banjir yang disebabkan oleh perbuatan
manusia. Karena pada dasarnya manusia lebih sulit dikendalikan atau diatur
dibandingkan dengan peristiwa alam.
Kota-kota besar di Indonesia mengalami peningkatan populasi manusia karena daya
pikat yang merangsang manusia berpindah dari rural ke urban. Lahan-lahan yang
sebenarnya untuk daerah preservasi dan konservasi untuk menjaga keseimbangan,
diambil alih untuk pemukiman, pabrik-pabrik, industri,dan lainnya. Akibatnya dapat
dirasakan misalnya di Jakarta, kualitas genangan dan banjir di beberapa wilayah saat ini
terjadi hanya oleh hujan deras satu sampai dua jam ekuivalen dengan hujan deras satu
malam pada dekade tahun70-an.
Dengan kata lain tinggi dan lama genangan suatu daerah saat ini dengan hujan deras
satu hingga dua jam sama dengan tinggi genangan dengan hujan deras semalam pada
tahun 70-an. Padahal pengendalian banjir dan penataansistem drainase terus diupayakan
oleh pemerintah (Kodoatie, 2002).

1.2. Maksud dan Tujuan


Maksud penulisan adalah untuk menjelaskan sistem pengendalian banjir yang
diterapkan di kawasan DKI Jakarta dan menganalisis permasalahan yang dihadapi
dalam upaya memaksimalkan perangkat-perangkat yang berhubungan dengan
pengendalian banjir di kawasan DKI Jakarta.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
• Menjelaskan tentang upaya penyusunan sistem pengendalian banjir.
• Menganalisis kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pembuatan sistem
pengendalian banjir.
• Menjelaskan sistem peringatan banjir yang digunakan

1.3. Lingkup Kegiatan


 Ruang Lingkup Sistem Pengendalian Banjir
Aplikasi sistem disesuaikan dengan keterbatasan tenaga, waktu dan biaya
dimana tidak setiap persoalan manajemen diselesaikan dengan pendekatan sistem.
Pembatasan ruang lingkup sering sekali digunakan untuk mendapatkan pengkajian
yang efisien dan operasional (Eriyatno, 1999).
Dalam pembatasan ruang lingkup maka langkah yang dapat ditempuh untuk
meminimalisasi pengaruh dan output yang tidak dikehendaki maka diperlukan
kerangka berfikir kesisteman untuk pengendalian banjir secara berkelanjutan. Oleh
karena itu, dalam pembuatan makalah ini disusun pengendalian banjir secara
Sistematis sebagai suatu sistem yang terpadu.
 Ruang Lingkup Tugas
Ruang lingkup dari makalah ini adalah sistem pengendalian banjir yang
dibuat di DKI Jakarta hanya untuk wilayah Jakarta dan inti dari pengendalian ini
adalah mengatur aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk
kota Jakarta.

1.4. Lokasi Wilayah Studi


 Kondisi geografi
Jakarta berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara Ciliwung, Teluk Jakarta.
Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter dpl. Hal ini
mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Sebelah selatan Jakarta merupakan
daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang
semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang
membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan
provinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan provinsi Banten.
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²).

Batas wilayah :
- Sebelah Utara : Teluk Jakarta
- Sebelah Selatan : Depok dan Tangerang Selatan
- Sebelah Timur : Bekasi
- Sebelah Barat : Tangerang

Gambar 1.1. Peta Kawasan DKI Jakarta


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

5.1. Teori Terjadinya Banjir


Banjir adalah air yang melimpas dari badan air seperti selokan, saluran, drainase, sungai,
situ atau danau, dan menggenangi bantaran serta kawasan sekitarnya (Siswoko, 2002). Definisi
lain menyebutkan bahwa banjir merupakan keadaan aliran air dan atau elevasi muka air dalam
sungai atau kali atau kanal yang lebih besar atau lebih tinggi dari normal. Banjir menimbulkan
masalah dan menjadi bencana akibat banjir dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia.
Faktor alam yang dimaksud adalah hujan dan pengaruh air pasang (rob), sedangkan faktor
manusia adalah pengaruh perilaku dan perlakuan masyarakat terhadap alam serta lingkungannya
yang antara lain mengakibatkan perubahan pada tata guna lahan. Perubahan penggunaan lahan,
dapat memberi dampak pada aliran permukaan (run-off).
Air hujan yang jatuh ke bumi, menurut Kodotie dan Sjarief (2006: 165-166), akan
mengalami dua hal : meresap ke dalam tanah; atau menjadi aliran permukaan di atas tanah.
Kecepatan aliran permukaan berkisar antara 0,1 m/s – 1 m/s, tergantung pada kemiringan lahan
aliran dan penutup lahan. Kecepatan air yang meresap ke dalam tanah tergantung pada jenis
tanah. Pada lahan dari jenis tanah lempung (clay), kecepatan aliran atau resapan di dalam tanah
sangat kecil. Pada tanah jenis pasir kecepatan aliran atau resapan lebih besar dari tanah lempung.
Mekanisme terjadinya banjir dan bencana dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Mekanisme Terjadinya Banjir dan Bencana

Apabila diklasifikasikan berdasarkan asalnya, penyebab banjir dapat dibagi menjadi 2


macam, yaitu : banjir akibat tindakan manusia dan akibat kejadian alam. Berikut ini beberapa
penyebab banjir akibat tindakan manusia :
• Perubahan tata guna lahan (land-use).
• Pembuangan sampah
• Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase
• Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat.
• Tidak berfungsinya sistem drainase lahan
• Kerusakan bangunan pengendai banjir
Kemudian yang termasuk sebab – sebab alami diantaranya adalah :
• Erosi dan Sedimentasi
• Curah Hujan
• Pengaruh fisiografi/geofisik sungai
• Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai
• Pengaruh air pasang
• Penurunan tanah dan rob
• Drainase lahan
BAB III
PEMBAHASAN

5.1. Pembangunan Banjir Kanal


Banjir Kanal Timur mulai dibangun lagi tahun 2003 dan selesai serta mulai
dipergunakan pada bulan Januari tahun 2010. Dalam membangun Banjir Kanal Timur,
tantangan utama yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah pembebasan
lahan. Di DKI Jakarta hampir tidak ada lahan yang tidak dimiliki oleh penduduk. Banjir
Kanal Timur memiliki panjang 22,375 km dan membentang dari Cipinang di Jakarta
Timur hingga kawasan Marunda di Jakarta Utara.
Banjir Kanal Timur yang juga disebut sebagai saluran kolektor atau penampung ini
memotong lima sungai, yakni Sungai Cipinang, Sunter Buaran, Jati Kramat, dan
Cakung, dan memiliki kedalaman antara 4 sampai 7 meter. Lebar Banjir Kanal Timur
tidak sama dari hulu ke hilirnya, di hulunya adalah 100 meter dan dibagian muara 200
meter serta rencana untuk marina di daerah Rorotan (Ujung Menteng) lebarnya 300
meter.
Banjir Kanal Timur sebenarnya sudah direncanakan sejak zaman Pemerintah Kolonial
Belanda tetapi tidak pernah terwujud. Tahun 1973 ada kajian oleh konsultan Belanda
yang menyarankan Banjir Kanal Timur disambung dengan Banjir Kanal Barat, sehingga
akan berbentuk seperti huruf U ( gambar 3.1 ).
Sekarang Banjir Kanal Timur sudah berfungsi dan Banjir Kanal Barat menjadi lebih
efektif dalam mengendalikan aliran air dari daerah hulu. Dengan selesainya
pembangunan Banjir Kanal Timur, banjir di kawasan timur dan utara Kota Jakarta, yang
mencapai sekitar seperempat luas kota, tidak akan separah tahun-tahun sebelumnya lagi.
Gambar 3.1 Banjir Kanal Timur yang Bermuara di Laut Jawa

Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat dibangun dengan tujuan untuk menyalurkan
aliran air hujan dan air dari hulu langsung ke laut, sehingga air tidak menggenangi
Jakarta yang 40% wilayahnya berupa dataran rendah yang memiliki ketinggian di
bawah permukaan laut. Kedua kanal tersebut dapat diibaratkan sebagai jalan tol untuk
air di Jakarta agar dapat cepat sampai ke laut tanpa harus berhenti di tengah perjalanan
dan menyebabkan genangan atau banjir.
Sebelum Banjir Kanal Timur terbangun, air dari hulu akan masuk ke berbagai
saluran-saluran air besar maupun kecil yang ada, dan bila saluran-saluran ini tidak
mampu lagi menampung volume air yang ada, banjir akan terjadi.
Selain membangun Banjir Kanal Timur, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga
berkepentingan untuk meningkatkan kapasitas dan efektivitas Banjir Kanal Barat,
terutama dengan meningkatkan kapasitas air yang dapat ditampung. Sejak Banjir Kanal
Barat dibangun pada tahun 1920 sampai tahun 2006, kanal buatan Pemerintah Kolonial
ini belum pernah dikeruk atau dibersihkan sehingga terjadi pendangkalan. Selama
berpuluh-puluh tahun endapan lumpur yang terbawa air dari hulu terdampar di Banjir
Kanal Barat, demikian pula sampah dan endapan-endapan akibat aktivitas manusia
terbawa dari saluran-saluran lebih kecil yang masuk ke saluran ini.
Pendangkalan Banjir Kanal Barat mengurangi kapasitas air yang dapat
ditampungnya. Sistem pengaliran untuk mengurangi debit puncak banjir, dengan
bangunan seperti bendungan, dan kolam retensi.
Gambar 3.2 Peningkatan Kapasitas Banjir Kanal Barat di bagian Hulu

Gambar 3.3 Peningkatan Kapasitas Banjir Kanal Barat di Bagian Hilir

Pada tahun 2006 pemerintah mengganti tembok di kedua sisi Banjir Kanal Barat dengan
beton, dan tingginya dinaikkan sekitar satu meter. Tembok di kedua tepi Banjir Kanal
Barat tersebut sebelumnya hanya berupa tanah dan belum pernah dirubah semenjak
dibangun pada zaman Belanda.

5.2. Program Normalisasi Sungai dan Saluran


Ketiga belas sungai yang mengalir di Jakarta menjadi unsur penting dalam tata kelola
air dan pengendalian banjir yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pemerintah melakukan normalisasi sungai adalah untuk menciptakan kondisi sungai
dengan lebar dan kedalaman tertentu sehingga sungai tersebut mampu mengalirkan air
sampai pada tingkat tertentu sehingga tidak terjadi luapan dari sungai tersebut. Kegiatan
normalisasi sungai berupa membersihkan sungai dari endapan lumpur dan
memperdalamnya agar kapasitas sungai dalam menampung air dapat meningkat. Ini
dilakukan dengan cara mengeruk sungai tersebut di titik titik rawan kemacetan aliran air.

5.3. Program Normalisasi Sungai dan Saluran


Ketiga belas sungai yang mengalir di Jakarta menjadi unsur penting dalam tata kelola
air dan pengendalian banjir yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pemerintah melakukan normalisasi sungai adalah untuk menciptakan kondisi sungai
dengan lebar dan kedalaman tertentu sehingga sungai tersebut mampu mengalirkan air
sampai pada tingkat tertentu sehingga tidak terjadi luapan dari sungai tersebut. Kegiatan
normalisasi sungai berupa membersihkan sungai dari endapan lumpur dan
memperdalamnya agar kapasitas sungai dalam menampung air dapat meningkat. Ini
dilakukan dengan cara mengeruk sungai tersebut di titik titik rawan kemacetan aliran
air.
Upaya pemulihan lebar sungai merupakan bagian penting dari program normalisasi
sungai. Pelebaran sungai juga meningkatkan kapasitas sungai dalam menampung dan
mengalirkan air ke laut. Dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat karena
Jakarta menjadi tumpuan untuk mendapatkan mata pencaharian, permukiman ilegal
dapat ditemukan dimana-mana. Bantaran sungai menjadi sasaran utama bagi rumah-
rumah ilegal ini, karena dekat dengan sumber air.
Semakin banyak rumah yang dibangun di bantaran sungai-sungai yang melewati
Jakarta ini, akan semakin sempit sungai tersebut, dan semakin rendah kemampuannya
untuk menampung air dan semakin tinggi kemungkinan untuk menimbulkan banjir dan
genangan air di sekitar permukiman yang letaknya dekat sungai.
3.3.1. Normalisasi Sungai
Salah satu program normalisasi sungai yang berskala cukup besar adalah
program normalisasi Kali Angke yang dimulai tahun 2003. Sebelum normalisasi
lebar Kali Angke hanya 5 meter dan sesudah normalisasi dan dibersihkan
bantarannya, lebar sungai ini menjadi 40 meter. Penduduk Kali Angke yang telah
lama tinggal di gubuk - gubuk ilegal di bantaran Kali Angke dipindahkan ke
rumah susun di Muara Angke dan Cengkareng.
2.1 Metode Struktur dan Non-struktur Pengendalian Banjir
Upaya pengendalian banjir dapat di bedakan menjadi dua jenis yaitu : Upaya berwujud
fisik atau metode struktur (structural measures) dan upaya non-fisik atau metode non-struktural
(non-structural measures).
Metode struktur adalah kegiatan penanggulangan banjir yang antara lain meliputi kegiatan
perbaikan sungai dan pembutan tanggul banjir untuk mengurangi resiko banjir di sungai,
pembuatan saluran (floodway) untuk mengalirkan sebagian atau seluruh air, serta pengaturan
Gambar 3.4 Normalisasi Kali Angke dengan penataan pemukiman

Gambar 3.5 Pemukiman Kali Angke Setelah Diadakan Penataan

3.3.2. Pemeliharaan Sungai


Pemeliharaan sungai merupakan kegiatan rutin Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
yang dilakukan dengan mengeruk sungai-sungai yang mengalami pendangkalan
karena endapan lumpur dan sampah.

Gambar 3.6 Kali Ciliwung Istiqlal sebelum dan sesudah dibersihkan


3.3.3. Antisipasi Pasang dan Pembuatan Tanggul
Salah satu tantangan besar yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
adalah banjir yang disebabkan oleh gelombang pasang laut yang sering disebut
sebagai banjir rob. Banjir tersebut tidak saja disebabkan oleh kenaikan tinggi
permukaan air laut akibat pasang surut laut tetapi juga karena banyak lokasi di
pesisir utara Jakarta memang berupa dataran rendah dengan ketinggian di bawah
permukaan laut, sehingga bila terjadi gelombang pasang laut agak besar banjir
pun melanda pemukiman warga.
Selain itu, ada tanda-tanda bahwa lokasi-lokasi ini masih terus mengalami
penurunan muka tanah yang disebabkan oleh penyedotan air bawah tanah oleh
penduduk Jakarta untuk kepentingan rumah tangga sehari-hari dan untuk industri.

Hal ini sudah menjadi salah satu perhatian utama Gubernur DKI yang mengatakan
bahwa di kawasan bisnis dan industri tertentu, dalam 20 tahun terakhir terjadi
penurunan permukaan tanah sampai 1,5 meter. Akibatnya, kedepan warga Jakarta
terancam kekurangan air bawah tanah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah
membangun tanggul Rob Muara Angke, Muara Karang, Pluit, Luar Batang,
Cilincing, Marunda dan Martadinata di bagian Pantai Utara Jakarta pada tahun
2008 dan 2009 untuk melindungi warga dari banjir rob.
Tanggul beton maupun tanggul batu kali yang dibangun panjangnya kurang
lebih 3000 meter dengan ketinggian yang bervariasi antara 1 sampai dengan 3
meter di atas permukaan tanah. Jika terjadi pasang naik, limpahan air laut akan
tertahan tanggul beton dan tidak membanjiri warga.

Gambar 3.7 Tanggul Muara Angke


Gambar 3.8 Tanggul Clincing sebelum dan sesudah dibangun

Gambar 3.9 Tanggul Marunda sebelum dan sesudah dibangun

Gambar 3.10 Peta Pembangunan Tanggul Rob di Clincing dan Marunda Pantai
Utara Jakarta
3.3.4. Penataan Kali dan Saluran
Selain memperbaiki dan meningkatkan kapasitas sungai dan saluran-saluran
air, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga berupaya membuat lokasi-lokasi ini
menjadi lebih nyaman bagi warga. Pinggiran sungai dan saluran yang sebelumnya
terbuat dari tanah dilapisi dengan beton untuk mengukuhkan dinding-dinding
sungai dan saluran air sehingga mampu menahan volume air yang besar. Selain
membangun trotoar yang lebarpemerintah juga dan menanami tepi sungai dan
saluran air dengan pepohonan.

Gambar 3.11 Penataan Kali Pakin

3.3.5. Pembangunan Pompa


Pembangunan Pompa disini dimaksudkan untuk mengalirkan genangan air
ke laut. Pembangunan pompa ini banyak dilakukan di Jakarta bagian utara yang
lokasinya berupa daratan rendah dengan ketinggian di bawah permukaan laut.
Selain memasang pompa-pompa yang berkekuatan besar, Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta juga membangun sistem polder di semua Wilayah DKI Jakarta yang
sering mengalami penggenangan air.
Sistem polder adalah suatu cara penangangan banjir dengan bangunan fisik
yang terdiri dari sistem drainase, kolam retensi (penahan), tanggul yang
mengelilingi kawasan, serta pompa dan atau pintu air sebagai satu kesatuan
pengelolaan air yang tidak dapat dipisahkan19. Semua elemen di atas memainkan
peran penting dalam melindungi wilayah dari banjir. Keunggulan sistem polder
adalah kemampuannya mengendalikan banjir dan genangan akibat aliran dari
hulu, hujan setempat dan naiknya air laut.
Kunci utama sistem poder adalah tanggul atau waduk. Tanggul berfungsi untuk
menahan air dari luar area, sedangkan waduk berfungsi untuk menampung air baik
dari dalam maupun luar area. Pompa-pompa air berfungsi untuk membuang air
dari dalam waduk. Setiap saat air meninggi dengan cepat pompa akan
mengalirkan air ke laut.

Gambar 3.12 Pembangunan Pompa Cideng

Gambar 3.13 Pembangunan Pompa Cideng

5.4.Metode Non-Struktural
Metode non-struktural adalah metode pengendalian banjir dengan tidak
menggunakan bangunan pengendali banjir. Aktivitas penanganan tanpa bangunan antara
lain berupa pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) untuk mengurangi limpasan air
hujan, penanaman vegetasi untuk mengurangi laju aliran permukaan di DAS, kontrol
terhadap pengembangan di daerah genangan, misalnya dengan peraturan-peraturan
penggunaan lahan, sistem peringatan dini, larangan pembuagan sampah di sungai, serta
partisipasi masyarakat.

Pengendalian Banjir

Metode Struktur Metode Non-Struktur

 Pengelolaan DAS
 Bendungan (dam)  Sistem jaringan  Pengaturan tata guna
 Kolam Penampungan sungai lahan
 Penangkap Sedimen  Perbaikan sungai  Pengendalian erosi
 Bangunan Pengurang  Perlindungan tanggul  Pengembangan daerah
banjir
Kemiringan sungai  Sudetan (by pass)
 Tampungan banjir  Pengaturan daerah banjir
 Saluran penyalur
sementara ( Retarding banjir (flootway)  Penanganan daerah banjir
basin )  Pengendalian  Penanganan kondisi
 Pembuatan Polder sedimen darurat
 Sumur resapan  Perbaikan muara  Peramalan banjir
 Peringatan bahaya banjir
 Pengendalian daerah
bantaran
 Asuransi
 Law enforcement

Gambar 3.14 Pengendalian Banjir Metode Struktur dan Metode Non-Struktur

5.4.1. Pengelolaan Banjir dalam Konteks Tata Ruang Wilayah Sungai


Penanganan banjir merupakan suatu pekerjaan yang kompleks yang tidak
dapat dilakukan secara terpenggal – penggal atau bagian per bagian. Pekerjaan ini
menuntut pendekatan yang integral, karena menyangkut berbagai aspek. Aspek
fisik menyangkut karateristik sungai, tata guna lahan. Serta tingkah laku sosial
ekonomi masyarakat di wilayah itu, yang kesemuanya saling mempengaruhi dan
berdampak langsung terhadap tata air.
Dari aspek tata ruang, aliran sungi merupakan bagian atau unsur dari ruang
yang perlu mendapat tempat dan perlakuan yang layak dari masyarakat
sebagaimana halnya dengan jaringan infrastruktur lainnya seperti jalan raya,
jaringan drainase, sanitsi, dan jaringan utilitas lainnya. Perlakuan yang salah
terhadap sistem tata air dapat mengakibatkan bencana seperti munculnya banjir
atau bahkan kekeringan.
Gambar 3.15 Skema Prinsip Dasar Pengendalian Banjir DKI Jakarta

Keterangan :
1. 1.Aliran air dari hulu DKI dialihkan ke arah pinggir DKI dan mengalir langsung kelaut
2. Bagian Selatan wilayah DKI dengan permukaan yang cukup tinggi dapat mengalir secara
gravitasi
3. 2.Daerah rendah dibagian utara (Pantura) Harus dengan sistem polder yaitu tanggul,
waduk dan pompa.
4. Bagian hulu/ selatan harus dibangun/ dilestarikan situ-situ untuk menampung
sementara aliran air
BAB IV
SISTEM PERINGATAN BANJIR

Sistem Peringatan Dini Banjir di Jakarta menggunakan prinsip Early warning system
(EWS) atau Sistem Peringatan Dini merupakan sebuah tatanan penyampaian informasi
hasil prediksi terhadap sebuah ancaman kepada masyarakat sebelum terjadinya sebuah
peristiwa yang dapat menimbulkan risiko. EWS bertujuan untuk memberikan peringatan
agar penerima informasi dapat segera siap siaga dan bertindak sesuai kondisi, situasi dan
waktu yang tepat. Prinsip utama dalam EWS adalah memberikan informasi cepat, akurat,
tepat sasaran, mudah diterima, mudah dipahami, terpercaya dan berkelanjutan.
Dalam siklus bencana terdapat tahap mitigasi atau upaya pengurangan dampak
negatif kejadian bencana. Di dalamnya terdapat usaha pemetaan daerah rawan dan
pengembangan EWS. Pada tahap ini, sistem komunikasi melibatkan pemantauan kondisi
awal, pembawa berita/informasi dan penerima (pengguna) informasi. Pemantau awal
dalam EWS banjir lebih didominasi oleh petugas pemantau tinggi muka air di pintu air
sungai yang berada di hulu. Petugas tersebut merupakan bagian pekerjaan dari Dinas
Pekerjaan Umum. Selain memantau tinggi muka air, mereka juga memantau kondisi curah
hujan di sekitar daerah tersebut.
Pembawa berita atau informasi adalah orang atau institusi yang menyambungkan
informasi dari pemantau ke penerima/pengguna berita, yaitu masyarakat yang rawan banjir.
Pembawa informasi tersebut antara lain terdiri : Crisis Center (Satkorlak PBP), Petugas
Posko Bencana (Satlak, Satgas), Lurah, Satlinmas Kelurahan, Ketua RW/RT, dan Tokoh
Masyarakat. Media penyampaian informasi tersebut dapat menggunakan alat antara lain
berupa Handphone (SMS), HT, Telepon, Fax, Internet dan Video Conference.
EWS dapat dibedakan dalam dua jenis yakni:
1. Otomatis: Sirine, HT, kamera (CCTV). Pemberian EWS yang berteknologi
kepada masyarakat ini harus disertai edukasi dan pemeliharaan.
2. Kemasyarakatan ; yakni bersifat dirancang sendiri oleh masyarakat.
Komponen dalam EWS adalah:
1. Prediksi : harus dilakukan dengan ketepatan dan diperlukan pengalaman
2. Interpretasi : menerjemahkan hasil pengamatan
3. Respon dan pengambilan keputusan: siapa yang akan bertanggungjawab untuk
mengambil keputusan karena keputusan tersebut akan mempengaruhi dampak.
Pemprov DKI turut berupaya mempersiapkan masyarakata dalam menghadapi
bencana banjir pada musim hujan ini. Mereka telah mempersiapkan teknologi dan metode
penanganan banjir yang lebih canggih di Crisis Center Satuan Koordinasi Pelaksana
Penanganan Banjir dan Pengungsi (CC Satkorlak PBP), yakni dengan pemasangan EWS,
yang merupakan sistem peringatan dini terhadap bencana banjir melalui short message
service (SMS) hingga ke tingkat RT atau RW, yang terintegrasi dengan CC Satkorlak PB.
CC Satkorlak PB inilah yang memegang peranan dalam penanganan banjir di Jakarta.
Petugasnya diberikan kemampuan merespons informasi dan meneruskan laporan itu ke
petugas Satuan Koordinasi (Satlak) Kotamadya serta kabupaten. EWS dilakukan dengan
pencatatan data curah hujan dan pengukuran ketinggian air sungai yang dilakukan secara
manual maupun otomatis. Data radar telah dimanfaatkan untuk peringatan dini banjir,
dengan melihat sebaran awan, volume awan, jumlah potensi uap air dari awan, prediksi
intensitas dan tebal hujan, kecepatan angin, arah angin dan sebagainya.

Gambar 4.1. Sistem Peringatan Dini Antisipasi Banjir di DKI Jakarta


Pemerintah melalui Satkorlak PBP Propinsi DKI Jakarta telah memanfaatkan
informasi pintu air sebagai salah satu informasi peringatan dini banjir selain prakiraan
cuaca dari BMG. Informasi ketinggian pintu air dan prakiraan cuaca
menjadi EWS yang ada di Satkorlak.
Namun pada penerapannya sistem ini perlu pembenahan terutama pada aliran
informasi. EWS mempunyai prinsip kecepatan dan keakuratan informasi. Jika oleh suatu
sebab kelambatan penyampaian informasi ini tidak sampai ke pengguna atau penerima
terakhir yaitu masyarakat, maka masyarakat tidak siap siaga mengantisipasi datangnya
ancaman banjir. Jika hal ini terjadi maka korban tidak terelakkan. Oleh karena itu
pentingnya kecepatan aliran informasi penting untuk dibenahi.
Keakuratan informasi terletak pada hasil pengukuran oleh stasiun
pengamatan di pintu air. Telah tersedia klasifikasi tingkat siaga yang ditetapkan oleh
SATKORLAK berdasarkan ketinggian muka air pada pintu air. Namun ada beberapa
klasifikasi yang perlu dirubah setelah dicek di lapangan. Seperti pintu air Cipinang Hulu
yang Peil (Papan Ukurnya) tidak lebih dari 200 cm, padahal pada tingkat Siaga
1 ketinggian air dapat mencapai 250 cm. Juga perbedaan versi ketinggian status normal
(Siaga IV) dari SATKORLAK dan status Normal versi PU.
Berdasarkan data Pengendalian Banjir Dinas PU DKI Jakarta, informasi dari
petugas pemantau ketinggian air di hulu menempati poisisi yang sangat penting. Saat
ini ada tujuh lokasi pengamatan muka air (peil schall) yang turut membantu
pemberitahuan bila terjadi luapan air besar di daerah hulu yaitu, Peil Schall Ciledug di
daerah aliran sungai (DAS) Kali Angke, Peil Schall Sawangan di DAS Kali Pesanggrahan,
Peil Schall Ciganjur di DAS Kali Krukut, Peil Schall Katulampa dan Peil Schall Depok
di DAS Kali Ciliwung, Peil Schall Cimanggis di DAS Kali Cipinang dan Peil Schall
Pondok Rangon di DAS Kali Sunter.
Tujuh lokasi pengamatan muka air atau Peil Schall terhubung langsung
dengan satu pompa, satu saringan sampah, dan 10 pintu air. Informasi ketinggian air yang
dikirimkan dari peil schall ke seluruh pintu air, akan menghidupkan alat peringatan dini
ke-24 daerah berpotensi banjir. Sehingga masyarakat yang tinggal di lokasi tersebut dapat
segera mengungsi sebelum banjir tiba.
EWS dapat dilakukan secara efektif oleh penduduk, bila sistem itu mudah
dimengerti dan dipahami. Manfaatnya pun bisa lebih optimal jika masyarakat
memiliki pengetahuan tentang kebencanaan dengan baik.
Di wilayah yang rawan bencana banjir, seperti Jakarta, EWS merupakan bagian
terpenting dalam proses penanganan bencana. Dengan penerapan yang baik dan benar
akan dapat melindungi dan menyelamatkan warga dari ancaman bencana. Masyarakat
dapat melakukan berbagai upaya penyelamatan jiwa dan harta bendanya. EWS adalah
kunci menuju pengurangan risiko yang efektif. Akan menjadi efektif jika melibatkan
secara aktif masyarakat, dapat dipahami serta menjangkau seluruh lapisan masyarakat,
serta harus diikuti dengan sistem penanganan penyelamatan yang sistematis. Tim siaga
bencana, kesiapan sarana evakuasi, tempat hunian sementara, penyediaan kebutuhan-
kebutuhan dasar maupun pengelolaan pengungsian yang melibatkan masyarakat.
Empat Kunci EWS
1. Pengetahuan tentang risiko: Pengumpulan data yang sistematis dan assessment risiko.
2. Pemantauan dan Layanan Peringatan: Membangun pemantauan bahaya dan
layanan peringatan dini
3. Penyebarluasan dan komunikasi: Mengkomunikasikan informasi risiko dan
peringatan dini.
4. Kemampuan Merespon: Membangun kemampuan respon nasional dan
masyarakat
Bagaimana warga menghadapi banjir selama ini?
Selama ini warga menghadapi datangnya banjir dengan persiapan sekadarnya
seperti membuat tanggul kecil di depan rumah masing-masing, meninggikan rumah atau
melakukan program kerja bakti membersihkan kampung. Namun persiapan skala
sederhana harus juga didukung dengan kesiap siagaan tinggi. Hal ini yang masih menjadi
kekurangan yang harus kita penuhi bersama. Diharapkan agar tidak perlu ada lagi
keterlambatan penyampaian dan penerimaan informasi mengenai ketinggian air dari pintu
air hingga banjir tak bisa lagi seenaknya datang menyelonong.
EWS memiliki aplikasi dan permasalahan yang berbeda-beda. Sebagai
contoh: EWS Kelurahan Kampung Melayu di dapat dari Pintu Air Katulampa. Kelurahan
CBU melalui Cipinang Hulu dan Kelurahan Penjaringan melalui pintu air pasar ikan dan
muara baru serta informasi dari BMG.
Salah satu permasalahan EWS yang harus dihadapi kelurahan CBU tetapi tidak
dihadapi oleh Kelurahan Kampung melayu adalah sebagai berikut:
1.Sarana dan prasarana Pintu air Cipinang Hulu tidak memadai
Hal ini disebabkan oleh alat pengukur ketinggian air terbuat dari papan, menjadikannya
tidak kokoh, dibuat dengan karya tangan menjadikan keterbacaannya tidak selalu
maksimal serta mekanisme kerja tutup buka pintu air tidak lagi berfungsi maksimal
dikarenakan faktor karat dan kurangnya perawatan. Akibatnya, Pintu Air tak berfungsi
maksimal, kerentanan warga terhadap banjir menjadi sangat tinggi.
2. Masalah ini kemudian dilengkapi pula oleh sampah yang kerapkali mempengaruhi
ketinggian dan percepatan tingkat ketinggian air.
3. Adanya kerancuan mekanisme penyampaian informasi. Petugas pintu air hanya
bertugas memperhatikan ketinggian air dari meterannya saja dan melaporkannya ke
Dinas PU Propinsi Jakarta. Kemudian Dinas terkait akan menyampaikan pada
masyarakat. Hanya saja, yang terjadi adalah adanya aliran informasi yang tumpang
tindih dari dan ke masyarakat yang kemudian menimbulkan persepsi yang berbeda.
Kerancuan mekanisme ini disebabkan para pihak tidak mengerti mekanisme yang
berlaku. Akibatnya, persiapan dan kesiapsiagaan terhadap bencana di masyarakat
menjadi ricuh.
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Banjir dalam program DRR ACF :
MONIKA
Mulai tahun 2007, Action Contre la Faim (ACF) telah mengembangkan
Sistem peringatan dini banjir bersama masyarakat di tiga kelurahan yakni di
Kampung Melayu, Cipinang Besar Utara dan Penjaringan. Peralatan EWS yang dibangun
di antaranya adalah sirine, signboard, alarm/sensor air dan Monika.
Monika adalah Alat Monitor Informasi Ketinggian Air. Alat ini dipasang di
Bendungan Katulampa pada April 2008 untuk mengetahui seberapa tinggi air di
bendungan Katulampa sehingga warga bisa lebih cepat mengantisipasi banjir. Dibuat
oleh Bapak Witjaksono dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Monika
ini system kerjanya melibatkan pemasangan sensor air di bendungan. Sensor ini berwarna
biru, untuk mengetahui level siaga (siaga empat hingga siaga satu). Informasi akan
masuk ke komputer yang akan mengirimkan signal ke kelurahan, satlinmas dan media
massa. Pihak Kelurahan dan media massa dapat mengirimkan nomor HP yang akan
disimpan pada data base Monika. Mereka selanjutnya akan mendapatkan informasi
mengenai ketinggian air secara otomatis.
Monika dapat mendeteksi ketinggian permukaan air secara otomatis. Pada saat
permukaan air mencapai ketinggian 100 cm maka alat Monika akan mengirim SMS secara
otomatis ke nomor telepon seluler petugas kelurahan di Jakarta yang disimpan di
database mesin penjawab. Ketika SMS masuk diharapkan petugas kelurahan di
Jakarta, akan memberikan informasi kepada warganya untuk senantiasa waspada
akan datangnya banjir. Di Kelurahan Kampung Melayu, lurah, ketua RW dan RT, ketua
Karang Taruna, Ketua PKK dan beberapa tokoh masyarakat adalah mereka yang telah
terdaftar menerima SMS dari Monika.
Alat ini dapat dipasang di semua pintu air yang sungai-sungai yang mengalir ke
Jakarta, dan dapat memberikan informasi kepada seluruh penduduk Jakarta karena
SMS (baik yang otomatis maupun yang dengan permintaan) akan terkirim ke pemancar
radio, pemancar televisi, Kecamatan, Kelurahan dan bisa diakses oleh seluruh warga
Jakarta melalui telepon seluler. Penggunaan alat ini dapat membantu menyelamatkan
nyawa, harta benda dan mengurangi risiko yang diakibatkan oleh banjir. Dengan cepatnya
informasi mengenai ketinggian air, waktu bersiap siaga menjadi lebih besar. Hal ini juga
memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk dapat mempersiapkan alat-alat
penyelamatan, seperti perahu karet, makanan, air bersih, pelampung, jas hujan dan lain-
lain.
Sayangnya, pemasangan I MONIKA tidak berfungsi lama. Penyebab utama adalah
karena peralatan yang mendukung server di pintu air Katulampa mengalami kerusakan
akibat tersambar petir. Kejadian ini mengkorfirmasikan bahwa penggunaan alat
ini memerlukan biaya operasional, pengawasan dan perawatan. Ketika itu, pihak-pihak
yang terkait dengan pemanfaatan Monika belum siap untuk menjalankan sistem ini. ACF
sendiri telah berupaya menghubungkan dengan pihak pemerintah melalui instansi terkait
untuk mendukung keberlanjutan sistem Monika, namun belum ada kesepahaman tentang
peran dan fungsi yang harus dijalankan untuk menjaga keberlanjutannya. Hal ini
seharusnya memacu semua pihak untuk berkolaborasi bersama untuk mencari solusinya.
Sampai saat ini, peralatan EWS banjir telah dipasang dan dioperasikan oleh
Satlinmas di Kelurahan Kampung Melayu, CBU dan Penjaringan dengan rincian sebagai
berikut:
1. Kampung Melayu : 5 signboard, 2 sirine, 2 alarm/sensor air
2. Kelurahan CBU : 7 signboard, 3 sirine, 3 alarm/sensor air
3. Kelurahan Penjaringan : 5 signboard dan 3 sirine

SARANA PENDUKUNG
 Pengeras Suara
Selain EWS, sarana pengeras suara juga dioperasikan sebagai penunjang sistem
untuk menyampaikan himbauan dan pengumuman kepada warga.
“Melalui pengeras suara di masjid, warga akan diberi tahu bahwa air sudah makin
meninggi. Karang taruna juga akan door to door untuk mengajak warga
mengungsi. Jadi kita bisa siap-siapnya lebih lama," kata Pak Achmad Payumi, tokoh
masyarakat Kampung Melayu
 Workshop
Dalam rangka optimalisasi penerapan sistem peringatan dini banjir, ACF
memfasilitasi beberapa kegiatan bersama masyarakat di antaranya:
1. Workshop Penyusunan Prosedur Tetap EWS Kelurahan Cipinang Besar
diselenggarakan pada tanggal 12 – 13 Desember 2007, bertempat di BUPERTA
Cibubur. Pembuatan Modelling EWS yang merupakan kajian yang dibuat
berdasarkan data-data pengukuran baik itu dari ketinggian muka air, curah hujan
harian, maupun ketinggian pasang-surut. Dari sistem modelling diperoleh
beberapa kesimpulan yang dapat dijadikan masukan untuk penentuan tingkat
siaga dan wilayah yang terpengaruh oleh tingkat siaga. Workshop ini bertujuan:
• Meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bahaya banjir
dengan membenahi sistem peringatan dini yang ada.
• Membuat suatu pedoman atau langkah-langkah sistematis dalam
mengantisipasi datangnya bahaya banjir.
• Menentukan srategi dalam pengambilan keputusan kegiatan peringatan dini
banjir.
2. Workshop EWS Kelurahan Kampung Melayu diselenggarakan pada 4 Februari
2008, dihadiri oleh 33 orang, bertempat di Hotel Alia Matraman. Sebagai
fasilitator adalah bapak Heru Joko Santoso dari Satkorlak PBP DKI Jakarta, yang
menghasilkan modul prosedur tetap (Protap) EWS Kampung Melayu. Dengan
workshop tersebut masyarakat di kelurahan tersebut berhasil menyusun Protap dan
mencoba mengimplementasikannya dalam simulasi banjir.
3. Workshop EWS di Kelurahan Penjaringan diselenggarakan pada 5-6 Februari
2008 bertempat di bumi perkemahan Wiladatika, Cibubur. Diikuti oleh 20 orang,
dalam workshop ini dihasilkan Prosedur Tetap Modul EWS Penjaringan.
Sosialisasi SOP/Prosedur Tetap Sistem Peringatan Dini Banjir di 3 Kelurahan :
1. Sosialisasi SOP atau prosedur tetap EWS di Kelurahan Cipinang Besar
Utara diselenggarakan pada tanggal 5 Maret 2008 bertempat di kantor
Kelurahan Cipinang Besar Utara dan dihadiri oleh 76 orang dari unsur
Satlinmas, staf Kelurahan, Dewan Kelurahan, RW, RT, Karang Taruna,
PKK, Kali Arus dan para tokoh masyarakat di Cipinang Besar Utara.
Sosialisasi berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana dan materi
penjelasan mengenai isi prosedur tetap EWS dapat diterima semua
stakeholder di kelurahan.
2 Sosialisasi Prosedur Tetap EWS di Kelurahan Penjaringan diselenggarakan
pada 6 Maret 2008, dengan dihadiri oleh 40 orang dari unsur Kelurahan,
Dewan Kelurahan, PKK, Karang Taruna, RW, RT, Tim Marlina dan para
tokoh masyarakat di Penjaringan. Acara yang terselenggara atas kerjasama
Satlinmas Penjaringan dan ACF tersebut bertempat di kantor Kelurahan
Penjaringan. Dalam workshop tersebut dijelaskan mengenai prosedur tetap
EWS, aktor, peran yang harus dilakukan serta tanggungjawabnya.
3 Sosialisasi Prosedur Tetap EWS Kelurahan Kampung Melayu dilakukan
pada 6 Maret 2008, bertempat di kantor kelurahan dengan dihadiri oleh 26
orang yang terdiri dari ketua RW, Ketua RT, Karang Taruna, PKK, Dewan
Kelurahan, Satlinmas dan FKP Pubers. Metode sosialisasi yang dilakukan
adalah dengan cara diskusi. Selama berlangsungnya sosialisasi, para
perwakilan dari masyarakat menyepakati isi dari prosedur tetap tersebut.
Dari kegiatan-kegiatan di atas akhirnya dihasilkan Panduan berupa Prosedur
Tetap yang dapat dipakai untuk kegiatan antisipasi datangnya bahaya
banjir (Protap EWS). Protap ini merupakan dokumen resmi berisikan
suatu tindakan-tindakan atau langkah- langkah sistematis yang disepakati
bersama antara instansi atau kelompok- kelompok terkait mengenai
tanggung jawab masing-masing dalam suatu kegiatan yang terpadu.
ProTap EWS berisikan tentang langkah-langkah dalam hal penyebaran
informasi EWS dan juga respon setelah informasi tersebut diperoleh.
Pengembangan kapasitas anggota Satlinmas dalam penerapan EWS
Sejak terbentuk pada akhir 2008 di kelurahan Kampung Melayu dan Penjaringan serta
STPB di Cipinang Besar Utara pada akhir tahun 2008, SATLINMAS PBP sebagai
organisasi berbasis masyarakat yang berperan dalam penanggulangan bencana di tingkat
kelurahan telah menjadikan pengelolaan sistem peringatan dini banjir ini sebagai bagian
penting dari tanggung jawabnya.
Dalam rangka memperkuat kapasitas anggota Satlinmas dalam penerapan EWS yang
efektif, ACF juga memfasilitasi diskusi kelompok terarah/FGD yang diselenggarakan
pada 4 Juni 2009. Melibatkan para anggota Satlinmas dari 3 kelurahan.
Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dalam FGD tersebut adalah:
1. Penambahan alat atau daya jangkau sirine di wilayah RW yang rentan.
2. Tindak lanjut sosialisasi EWS kepada masyarakat di tingkat RT-RW
3. Peningkatan kapasitas SDM di tim EWS
4. Perlunya dilakukan simulasi secara reguler.
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Banjir di CBU
EWS diterapkan di CBU pada 2008, tepatnya setelah terjadi banjir besar pada
2007 yang menenggelamkan sebagian besar wilayah CBU. Hingga saat ini Kelurahan
CBU sudah memiliki: sirine, megaphone, toa mushola/masjid, HT, kentongan. Dari
peralatan tersebut yang aktif dipergunakan adalah megaphone, toa mushola dan masjid
sedang yang belum efektif adalah sirine, kentongan dan HT.
Sebelumnya, dalam rangka sosialisasi EWS, diadakan lokakarya EWS yang
diikuti oleh lima puluh tiga orang perwakilan masyarakat Cipinang Besar Utara, yang
diselenggarakan pada tanggal 21-22 September 2007. Para peserta berasal dari perwakilan
RT, RW, Karang Taruna, Dewan Kelurahan, PKK, Satlinmas, dan Ormas. Dari lokakarya
ini berhasil diidentifikasikan elemen dan rantai EWS, serta dilakukan simulasi EWS.
Yang dilakukan adalah pemberian Informasi Peringatan Dini kepada RW tentang
ketinggian air dan kondisi cuaca yang kemudian informasi tersebut dilanjutkan kepada
warga.
Di Kelurahan CBU sudah disusun Protap Penanggulangan Banjir yang merupakan
dokumen resmi berisikan suatu tindakan-tindakan atau langkah-langkah sistematis yang
disepakati bersama antara instansi atau kelompok-kelompok terkait mengenai tanggung
jawab masing-masing dalam suatu kegiatan yang terpadu. Jadi
ruang lingkup Protap EWS berisi tentang langkah-langkah dalam hal penyebaran
informasi peringatan dini dan juga respon setelah informasi tersebut diperoleh.
Kendala yang dialami adalah kekurangan peralatan misalnya HT, juga kendala
SDM dalam mengoperasionalkan peralatan. Sosialisasi kepada masyarakat mengenai
EWS juga dirasa masih kurang, misalnya arti beberapa bunyi yang belum jelas. Selama
ini pelatihan baru diberikan pada RW dan RT saja.
Beberapa pembenahan yang telah dan akan dilakukan meliputi :
1. Membuat system yang paralel, sirine ada di Kantor RW namun toanya ada di
tempat-tempat yang strategis.
2. Pelatihan bagi orang-orang yang berfungsi sebagai operator serta adanya
sosialisasi prosedur tetap kepada masyarakat luas
3. Penambahan daya amplifier agar menghasilkan suara yang kuat dan dapat
menjangkau seluruh RW yang rentan banjir.
4. Sosialisasi dan simulasi EWS kepada warga sebelum terjadinya banjir
Kendati penerapan EWS relatif belum lama dan juga belum optimal, warga sangat
merasakan manfaatnya, seperti yang dituturkan oleh salah seorang warga CBU:
“Memang semenjak adanya alat-alat EWS, belum pernah terjadi banjir besar yang
melanda CBU. Hanya banjir-banjir kecil yang cukup bisa dijangkau dengan memberitahu
warga secara langsung. Namun setidaknya kita sudah ada alat yang bisa memberi
informasi sewaktu-waktu air naik dan juga sudah ada simulasi sehingga kita paham
apa yang harus dilakukan jika banjir terjadi,” kata Pak
Darusman, warga CBU
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Banjir di Kampung Melayu
EWS di Kampung Melayu mulai diterapkan pada 2008 sebagai bentuk
pembelajaran dari banjir besar 2007 yang nyaris menenggelamkan sebagian besar wilayah
Kampung Melayu. Sirine tanda banjir yang dikomunikasi melalui loud speaker
mushola dipasang. Sejauh ini, sistem peringatan dini di wilayah Kampung Melayu sudah
baik. Beberapa alur penyampaian informasi dari berbagai pihak sehingga informasi
diterima oleh masyarakat secara cepat diterapkan melalui HT. Alat ini dipergunakan
secara aktif melaporkan perkembangan ketinggian air per jamnya. Namun saat ini, HT
yang aktif bekerja hanya ada di beberapa RW saja.
“Warga sudah tahu bagaimana berkoordinasi dengan pintu air, juga mewaspadai gejala-
gejala alam akan datangnya bencana. Jika banjir datang, maka mereka akan melakukan
kontak telepon ke pintu air dan menulis di signboard. Sekarang di Kampung Melayu
sudah ada jejaring komunikasi peringatan dini banjir. Juga sudah ada Protap, sehingga
alat menjadi lebih efektif,” kata Agus Mustofa, warga Kampung Melayu.
Dahulu EWS ini dilakukan perkelompok saja, namun sekarang tidak. Operasional
EWS telah terstruktur dengan lebih baik. Hasilnya pun lebih maksimal dengan adanya
peralatan yang lebih canggih serta memfungsikan peran organisasi SATLINMAS PBP
yang sudah terbentuk.
Berdasarkan simulasi yang pernah dilakukan di kelurahan Kampung Melayu,
pemakaian sirine tersebut dirasa cukup efektif.
Ketika banjir pada 2008, perawatan EWS telah difungsikan dengan baik.
Informasi kenaikan muka air di hulu dan prediksi tinggi muka air di pintu-pintu
air.lebih awal sehingga evakuasi warga yang tinggal di bantaran kali bisa dilakukan
secepatnya. Hasilnya, kerugian akibat banjir dapat diminimalisir.
Menurut Agus Mustofa, aktivis pemuda dari Kampung Melayu, program EWS di
kelurahannya melibatkan partisipasi warga secara penuh. Perawatan peralatannya pun
menjadi tanggungjawab warga. Tinggi rendah sensor juga disepakati bersama oleh
masyarakat misalnya apakah masuk dalam kategori berbahaya atau belum berbahaya.
Beberapa kendala yang dihadapi adalah jumlah sirine yang tersedia masih terbatas
dibandingkan dengan jangkauan wilayah yang luas, juga daya jangka dari sirine tersebut
pun perlu ditingkatkan. Kampung Melayu memiliki 2 sirine dan 2 alarm sensor air. Saat
ini daya jangkau sirine tersebut sudah ditingkatkan dengan memasang amplifier dan
penambahan jumlah loud speaker, dengan penambahan alat ini diharapkan sudah bisa
menjangkau RW-RW yang paling rentan. Sirine dipasang di unit pemetaan wilayah
yang memiliki risiko tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Sedangkan alarm sensor air
dirasakan oleh warga sangat membantu, misalnya jika air naik pada malam
hari.Keterbatasan jangkauan ini memerlukan perhatian dari pihak pemerintah.
Diharapkan agar pemerintah membantu warga untuk meningkatkan sarana dan
parasarana dalam penerapan sistem peringatan dini banjir. Selain itu personil yang kurang
memahami sistem kerja peralatan EWS dan kurang memahami Prosedur Tetap juga
merupakan beberapa kendala yang dialami dalam penerapan EWS di Kampung Melayu
dan hal ini telah menjadi bagian dari tugas Satlinmas untuk terus meningktkan kapasitas
anggotanya.
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Banjir di Penjaringan
Masyarakat Penjaringan tinggal dikelilingi tanggul. Mereka rentan terhadap ancaman
banjir. Mereka jelas memerlukan EWS. Sampai kini mereka memiliki EWS berupa sirine,
HT, toa, kentongan, HP, person to person. Dari semua itu yang efektif adalah toa,
kentongan dan person to person.
Sirine diletakkan di wilayah paling rawan terkena dampak banjir rob, seperti RW
17 dan RW 04. Tingkat efektivitas penggunaan sirine bertahap bersamaan dengan
pertambahan jumlahnya. 2 pemasangan Sirine pada awal belum efektif menjangkau
wilayah yang rentan banjir. 1 Sirine kemudian ditambah dan berhasil menjangkau RW 17
yang merupakan wilayah rentan banjir rob. Jangkauan suara sirine juga telah ditingkatkan
dengan trik pemasangan di dekat tanggul yang mengelilingi wilayah pemukiman.
Diharapkan agar fungsi dari keberadaan sirine tersebut bisa lebih efektif.
Selama ini jaringan informasi yang dipergunakan adalah pintu air – lurah (terdapat
informasi ketinggian air) – Satlinmas PBP – RT/RW – PKK – Karang Taruna –
(Melakukan diseminasi informasi melalui masjid) – Ormas.
Selain peralatan yang terbatas, kurangnya kesadaran warga untuk ikut serta dalam
penanggulangan banjir, termasuk dalam perawatan alat-alat EWS juga menjadi
kendala dalam pengembangan sistem peringatan dini banjir di Kelurahan Penjaringan.
Berangkat dari proses pengembangan sistem peringatan dini banjir yang sudah ada di tiga
kelurahan, maka EWS merupakan salah satu solusi wajib dalam mengurangi risiko
bencana. Dengan adanya penerapan EWS di 3 kelurahan, warga menjadi lebih siap
berhadapan dengan bencana. Risiko kehilangan harta benda dan jiwa bisa diminimalisir.
Membangun Jaringan Komunitas Bantaran Sungai Ciliwung dan Cipinang
Pada dasarnya sistem peringatan dini banjir dalam kerangka pengurangan risiko bencana
di Kampung Melayu dan CBU akan dapat berjalan lebih optimal dengan melibatkan warga
di kelurahan lain yang termasuk dalam satu kawasan bantaran sungai. Kebutuhan sistem
peringatan dini yang menyeluruh dan efektif perlu dibangun melalui sebuah kerjasama
antar masyarakat, pemerintah dengan masyarakat, pemerintah pusat dengan daerah, para
ilmuwan dengan pengambil kebijakan, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Berangkat dari pemikiran tersebut, ACF bersama dengan SATLINMAS dan STPB
menyelenggarakan pertemuan jaringan antar warga masyarakat yang berdomisili di
bantaran Sungai Ciliwung dan Cipinang pada tanggal 10 September 2009. Kegiatan
ini dirasakan penting untuk membangun dasar pemikiran tentang pentingnya sebuah
jaringan komunitas di bantaran sungai untuk meminimalkan risiko banjir dengan
meningkatkan kapasitas masyarakat. Pertemuan jaringan ini mengundang
perwakilan warga dari 9 Kelurahan di bantaran Sungai Ciliwung yang meliputi Kelurahan
Cililitan, Balekambang, Rawajati, Cawang, Kebon Baru, Bidara Cina, Bukit Duri,
Kampung Melayu dan Kebon Manggis, 6 kelurahan dari bantaran Sungai Cipinang, yaitu
Kelurahan Pinang Ranti, Cipinang Besar Utara, Cipinang Besar Selatan, Cipinang
Muara, Kebon Pala dan Makasar, serta para petugas pintu air Cipinang hulu, Pulogadung,
Katulampa, Depok dan Manggarai.
Hasil pertemuan ini adalah sebagai berikut:
1. Terbangunnya jejaring komunikasi antar warga kelurahan di bantaran sungai
Cipinang dan antara warga kelurahan di bantaran sungai Ciliwung yang mencakup
kesepahaman dalam mengoptimalkan sistem peringatan dini banjir.
2. Terbukanya kesempatan mengakses informasi langsung dari petugas pintu air mengenai
mekanisme penyampaian informasi ketinggian air sebagai upaya memberikan peringatan
dini kepada masyarakat.
3. Pertukaran pikiran dalam upaya identifikasi permasalahan ancaman banjir, seperti
kurangnya perhatian pemerintah propinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan sungai yang
terpadu dari hulu ke hilir secara langsung dapat meningkatkan risiko banjir di Jakarta.
Oleh karena itu diharapkan dengan adanya jaringan komunitas bantaran sungai dapat
berperan positif dalam mendorong kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan
sungai dan pengurangan risiko banjir.
Pertemuan I melahirkan pertemuan kedua dimana perwakilan warga dari beberapa
kelurahan di bantaran sungai Ciliwung bersepakat membentuk Forum Masyarakat
Bantaran Kali Ciliwung. Forum ini akan dikoordinir oleh Satlinmas PBP Kampung
Melayu. Hal yang sama juga terjadi pada warga bantaran Sungai Cipinang yang
bersepakat membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Bantaran Kali Cipinang yang akan
dikoordinir oleh STPB.
Membangun Kesepahaman Skema Peringatan Dini Banjir bersama Masyarakat
Peringatan dini merupakan sebuah elemen dasar dari kegiatan pengurangan risiko banjir.
Peringatan dini banjir mencakup tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang
mudah dicerna dan dipahami oleh masyarakat awam. Penguatan dan penyebarluasan
skema atau jejaring peringatan dini banjir kepada semua unsur masyarakat di tingkat
kelurahan menjadi suatu kebutuhan penting, hal inilah yang melatarbelakangi rangkaian
kegiatan pertemuan dan sosialisasi yang menyepakati skema peringatan dini ancaman
banjir dilakukan di tiga kelurahan (Cipinang Besar Utara, Kampung Melayu dan
Penjaringan). Kegiatan ini merupakan sebuah kebutuhan hasil rekomendasi FGD anggota
SATLINMAS/STPB pada tanggal 4 Juni
2009 untuk meningkatkan efektifitas sistem peringatan dini banjir.
Sosialiasi jejaring informasi peringatan dini dilakukan oleh relawan dari
SATLINMAS/STPB di masing-masing kelurahan. Dalam proses pelaksanaannya
relawan dituntut mampu memfasilitasi masyarakat dan menjaring ide-ide serta
merumuskannya dalam satu kesepakatan bersama. Sebelum terjun ke masyarakat, sebuah
pelatihan sehari pada tanggal 20 Oktober 2009 telah diberikan kepada relawan untuk
meningkatkan kemampuan dalam hal teknik fasilitasi, pengetahuan EWS dan
pengorganisasian masyarakat. Para relawan bertanggungjawab di wilayah kelurahannya
masing-masing yang meliputi Kelurahan CBU, Kampung Melayu dan Penjaringan.
Sementara pelaksanaan kegiatan telah dilakukan dimulai pada tanggal
25 Oktober – 9 November 2009 dibagi menjadi tiga tahap, tahap I pertemuan besar di
tingkat kelurahan, tahap II dilakukan diskusi kelompok terarah di RW-RW yang rentan
banjir, dan tahap III pertemuan besar untuk menghasilkan kesepakatan akhir skema
peringatan dini banjir. Tahapan ini pada kenyataannya disesuaikan dengan kebutuhan dan
situasi di masing-masing kelurahan. Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari
para relawan di tiga kelurahan bahwa secara umum pelaksanaan kegiatan sosialisasi
sistem peringatan dini di tiga Kelurahan mendapat sambutan hangat dari masyarakat.
Warga menjadi tahu bagaimana alur peringatan dini banjir bekerja yang menjangkau
semua lapisan masyarakat. Di samping itu ruang lingkup ancaman banjir di masing-
masing kelurahan yang karakteristiknya berbeda juga menjadi poin penting yang
didiskusikan bersama warga masyarakat. Peran dan fungsi SATLINMAS/STPB di
masing-masing kelurahan juga tak luput dari pertanyaan kritis warga, hal ini tentu akan
menegaskan eksistensi, komitmen dan keberlanjutan organisasi tersebut di tingkat
kelurahan. Sedangkan bagi para relawan sendiri proses kegiatan ini telah banyak
memberikan pembelajaran baik itu bagi individu maupun bagi organisasi
SATLINMAS/STPB. ‘Bekal teknik fasililitasi dan pengorganisasian kegiatan dalam
pelatihan relawan sangat membantu kami dalam kegiatan sosialisasi EWS kepada
masyarakat’, ungkap Darwis di Penjaringan, salah seorang relawan dari Kelurahan
Penjaringan. Selain itu dengan dilakukannya sosialisasi EWS ini, peran SATLINMAS
PBP dalam penanggulangan bencana di Penjaringan semakin dikenal oleh masyarakat.
Selanjutnya, Pak Idris, relawan dari CBU, menyampaikan bahwa pada awalnya susah
sekali memberikan pemahaman kepada warga tentang cara-cara penanggulangan bencana
yang mencakup EWS, namun dengan kesabaran menggunakan berbagai cara dan
ilustrasi, sedikit demi sedikit masyarakat bisa mengerti apa yang harus diperbuat
sebelum, saat dan sesudah banjir terjadi.
Hal penting lain mengemuka dalam forum diskusi yang disampaikan warga Kampung
Melayu tentang perlunya komitmen dari individu yang masuk dalam skema peringatan
dini agar bergerak cepat dalam menyebarluaskan informasi yang menjangkau seluas-
luasnya warga masyarakat di sekitarnya.
Hasil akhir dari proses kegiatan ini merupakan skema/jejaring peringatan dini banjir yang
disepakati warga dan seluruh stakeholder di tingkat kelurahan. Skema ini kemudian
akan dicetak dan disebarluaskan kepada warga agar pemahaman masyarakat terhadap hal
ini semakin meningkat dan dapat menjangkau warga lebih banyak lagi.
Pembelajaran dari proses pengembangan EWS Banjir bersama masyarakat
EWS yang efektif harus bisa dipahami oleh masyarakat hingga kemudian dapat
tertanam kesadaran yang kuat untuk menjadikannya sebagai kebutuhan bersama. EWS
yang dibuat bersama masyarakat merupakan hal yang realistis dan dapat dipercaya, karena
masyarakatlah yang lebih mengetahui karateristik wilayah serta kebutuhannya. Oleh
karenanya, masyarakat perlu didorong untuk terus terlibat aktif dan bertanggungjawab
dalam penerapan EWS termasuk dalam pemeliharaanya.
Sosialisasi EWS kepada masyarakat dan pihak-pihak yang terkait juga sangat
penting, agar warga dapat memahami informasi bencana yang datang dan segera bisa
mengantisipasi dampak yang ditimbulkan. Dengan sosialisasi tersebut, warga tidak akan
merasa ditakut-takuti, melainkan ditekankan kewaspadaannya.
Pemahaman masyarakat bahwa wilayahnya rawan banjir, sehingga menjadi
penting pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana juga harus terus ditingkatkan.
Masyarakat harus disiapkan menghadapi banjir dan meminimalisasi risiko dan
dampaknya.
Dengan adanya EWS sangat membantu warga untuk lebih cepat mengantisipasi
ancaman banjir. Di wilayah yang rentan banjir seperti DKI Jakarta, EWS merupakan
salah satu solusi wajib dalam mengurangi dampak banjir. EWS yang telah diajarkan,
harus terus diterapkan dan selalu mengakomodasikan informasi yang diberikan.
Dari proses pengembangan EWS banjir di atas, pada akhirnya yang diperlukan adalah
kemauan dan keseriusan masyarakat dan pemerintah dalam meminimalisasi risiko banjir
dalam setiap kebijakan dan praktek pengelolaan sumberdaya. Hal tersebut baru bisa
diwujudkan apabila masyarakat dan pemerintah memahami prinsip dan tujuan
penerapan sistem peringatan dini.
Oleh karena itu, upaya strategis penguatan kapasitas masyarakat serta membangun
kerjasama antar semua pihak dalam meminimalkan dampak/risiko banjir masih perlu
dilakukan secara berkesinambungan.
Keberhasilan dan Kegagalan
keberhasilan perencanaan program EWS terletak pada perencanaan yang di lakukan
bersama masyarakat. Sudah semustinya kebutuhan akan EWS juga berdasarkan
kebutuhan dari masyarakat sehingga program menjadi efektif memenuhi kebutuhan
bukan menciptakan pemenuhan dari penciptaan kebutuhan. Pelaksanaan program pun
dapat akan menjadi sangat efektif.
Alat-alat yang diusulkan untuk sistem peringatan dini juga berdasarkan kebutuhan
dan partisipasi masyarakat sehingga mereka bisa menggunakan dengan mudah dan tidak
terlalu menelan biaya.
Pembelajaran pada kekurangan pekaan pada kebutuhan masyarakat terjadi pada
instalasi monika I. Akibatnya, sistem MONIKA sulit dimengerti dan masyarakat tidak
memiliki kapasitas dalam mengoperasikannya. Pelajaran yang bisa diambil dari kegiatan
ini adalah jangan pernah meninggalkan masyarakat didalam perencanaan kegiatan apapun
karena mereka yang tahu kebutuhan mereka dan mereka yang tahu lokasi mereka.
Arifan lokal harus menjadi pertimbangan dalam pengurangan
risiko bencana.
Gambar 4.2. Tingkat Siaga dan Tingkat Wewenang Siaga Banjir
BAB V
PENUTUP
5.1.Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang diuraikan dalam makalah ini maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
• Permasalahan banjir adalah masalah yang komplek, yang memiliki kendala –
kendala dalam pengendaliannya mulai dari masalah Penduduk, Tata guna lahan, dan
pembangunan bangunan pengendali banjir yang membutuhkan waktu dan dana yang
besar.
• Pengendalian banjir di Jakarta yaitu Pembangunan Banjir Kanal Barat dan Timur,
Normalisasi Sungai dan Saluran termasuk di dalamnya Pemeliharaan sungai,
Pembuatan Tanggul, Penataan kali dan Saluran, dan pembangunan pompa di dataran
rendah. Sehingga banjir yang terjadi di Jakarta sekarang berkurang meskipun masih
ada beberapa kejadian.
• Saat ini yang diperlukan adalah kepedulian penduduknya sendiri tentang bagaimana
mereka dapat menjaga lingkungannya dengan baik dan menjaga supaya bangunan
pengendali banjir tidak rusak sehingga dapat beroperasi dengan baik dan tidak
menimbulkan banjir lagi.

5.2.Saran
Penjajakan program penting dilakukan sebelum pengimplementasian tujuan utama
adalah untuk mengerti ragam konteks permasalahan mulai dari kebutuhan, kondisi
sampai pengharapan komunitas yang didampingi. Keterlibatan masyarakat dalam
perencanaan kegiatan menjadi sangat penting karena dari merekalah kebutuhan
sebenarnya dapat teridentifikasikan. Perlu juga dicatat bahwa kearifan lokal sangatlah
penting untuk tidak diabaikan. Identifikasi bersama terhadap sistem peringatan dini
seringkali menghasilkan pemilihan alat yang sesuai tidak harus selalu canggih.
Melainkan, alat sederhana yang mudah dioperasikan dan terjangkau biaya
operasionalnya akan menjadi sangat efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Saketi M. 2010. Mengapa Jakarta Banjir?. PT Mirah Saketi, Jakarta.

Esther B. 2007. Kajian Upaya Pengendalian Banjir di DKI Jakarta. Universitas Indonesia, Jakarta.

Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Presss, Bogor.

Eriyatno. 1989. Analisis Sistem Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

Suriadi, A.B. 2002. Analisis Sederhana dari Kompleksitas Masalah Banjir Jakarta. Bakosurtanal

https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta

https://www.google.co.id/maps/place/Daerah+Khusus+Ibukota+Jakarta/@-
6.2661311,106.7672142,11z/data=!4m5!3m4!1s0x2e69f3e945e34b9d:0x100c5e82dd4b820!
8m2!3d-6.17511!4d106.8650395

https://www.academia.edu/people/search?utf8=%E2%9C%93&q=pengendalian+banjir+sura
baya

https://drracfjkteng.files.wordpress.com/2010/03/ews-documentation1.pdf

http://www.serverjakarta.com/wewenang_siaga.aspx

Anda mungkin juga menyukai