Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyeri sendi merupakan gejala klinik yang paling menonjol pada pasien

osteoarthritis (OA). Johnston Country Osteoarthritis (JoCo OA) Project,

sebuah studi tentang OA pada lutut dan panggul menyebutkan 43,3% pasien

osteoarthritis di United States mengeluhkan rasa nyeri dan kekakuan pada

sendi (Amanda, 2015).

Di Indonesia, provinsi dengan prevalensi OA tertinggi Nusa Tenggara

Timur yaitu sekitar 33,1% dan provinsi dengan prevalensi terendah adalah

Riau yaitu sekitar 9% sedangkan di Jawa Timur angka prevalensinya cukup

tinggi yaitu sekitar 27% (Riskesdas, 2013).

Di Indonesia, pada tahun 2009, penderita osteoartritis mencapai 5% pada

usia< 40 tahun, 30% pada usia 40 – 60 tahun, dan 65% pada usia > 60 tahun.

Sedangkan pada studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan

November 2017 diperoleh data 28 orang mengalami osteoarthritis dan 5 dari

5 orang penderita osteoarthritis di wisma Sakura mengeluh nyeri sendi.

Nyeri sendi tersebut disebabkan karena terjepitnya atau teriritasinya ujung

saraf nosiseptor karena distruksi progresif kartilago dan bentukan osteofit

pada tepi sendi. Selain itu nyeri juga dapat berasal dari menebalnya ligament

1
kapsul kartilago, fibrotik tunika fibrosa, kelemahan otot, peningkatan vena

karena kiste di subkondral bone, bentukan osteofit baru maupun deformitas

sendi. Hal-hal tersebut dapat meningkatkan tekanan pada sensoris nerve

ending sehingga ujung saraf teriritasi (Kuntono, 2011 dalam Ananda, 2015).

Untuk mengatasi nyeri tersebut, diperlukan tindakan farmakologis atau non

farmakologis (Tamsuri, 2012).

Salah satu terapi nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri adalah dengan

hidroterapi panas karena menurut Kozier & Erb’s (2009) dalam Arbi (2017),

Penggunaan terapi panas pada permukaan tubuh dapat memperbaiki

fleksibilitas tendon dan ligament, mengurangi spasme otot, meredakan nyeri,

meningkatkan aliran darah dan meningkatkan metabolisme.

Dalam penelitian Hasan (2015), dengan judul penelitian “Pengaruh

Rendam Kaki Air Hangat Terhadap Penurunan Nyeri Sendi Osteoarthritis

Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Mojo Surabaya” mengungkapkan bahwa

rendam kaki air hangat merupakan salah satu terapi nyeri nonfarmakologi

yang direkomendasikan untuk penderita osteoarthritis karena dapat membuat

otot rileks dan meningkatkan mikrovaskularisasi jaringan sinovial.

Berdasarkan beberapa latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk

meneliti gambaran pemberian rendam kaki air hangat pada masalah

keperawatan nyeri osteoarthritis di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri

Samarinda.

2
B. Rumusan Masalah

Bagaimana pemberian rendam kaki air hangat pada masalah keperawatan

nyeri osteoarthritis?

C. Tujuan Penelitian

Mendeskripsikan pemberian kompres hangat pada masalah keperawatan

nyeri pada pasien osteoarthritis.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penelitian

Penelitian ini dapat menjadi saran bagi peneliti untuk menerapkan

ilmu pengetahuan yang telah diperoleh dan menjadi dasar bagi

penelitian selanjutnya

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perawat dalam hal

memberi pendidikan kesehatan dan melakukan tindakan berupa

pemberian rendam kaki dengan air hangat pada pasien dengan

osteoatritis untuk meredakan nyeri

3. Bagi Msyarakat

3
Memberikan wawasan tentang bagaimana cara mengurangi nyeri pada

sendi dengan mengompres air hangat

4. Bagi Institusi

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian

selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Osteoarthritis

a. Definisi osteoarthritis

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit yang berkembang secara

perlahan namun aktif yang berhuubungan dengan degenerasi artikular

kartilago yang ditandai dengan nyeri sendi, kaku sendi dan

keterbatasan (Reid and Collin, 2008).

OA adalah kelainan sendi kronik yang disebabkan karena

etidakseimbangan sintesis dan degradasi pada sendi, matriks

ekstraseluler, kondrosit serta tulang subkondral pada usia tua

(Sjamsuhidajat, 2011).

4
Osteoarthritis adalah suatu kelainan sendi kronis yang ditandai

dengan perlunakan dan disintegrasi dari kartilago articularis yang

disertai oleh pertumbuhan kartilago dan tulang baru (osteophyt) pada

batas sendi serta fibrosis kapsuler. Lebih sering terjadi pada usia diatas

50 tahun. Distribusi yang terjadi asimetris dan jarang terjadi hanya

pada satu bagian sendi saja. Tidak berhubungan dengan penyakit

sistemik. Kadang-kadang terlihat inflamasi lokal namun tidak selalu

didahului oleh kelainan inflamasi (Anggun, 2012).

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa

osteoarthritis adalah kelainan sendi kronik akibat ketidakseimbangan

substansi sendi dan disintegrasi kartilago yang menyebabkan

inflamasi yang ditandai dengan nyeri sendi, kekakuan dan keterbatasan

gerak yang biasanya menyerang kelompok usia diatas 50 tahun.

b. Etiologi Osteoartritis

Sampai saat ini, penyebab pasti osteoarthritis belum diketahui.

Namun berikut beberapa faktor-faktor yang berhubungan dengan

timbulnya osteoarthritis Anggun (2012).

1) Displasia sendi.

Gangguan yang berhubungan dengan abnormalitas

pertumbuhan kartilago dan tulang, Contohnya : displasia

asetabular kongenital dan penyakit Perthe

5
2) Trauma.

Fraktur yang menyebabkan malunion dari tulang panjang

menjadi faktor predisposisi OA karena pada penyembuhan fraktur

ini ditemukan jarak sendi yang berjauhan baik diatas maupun

dibawah tempat fraktur. Contohnya : sendi lutut dan ankle pada

fraktur tibia

3) Pekerjaan.

Jenis pekerjaan yang sering berhubungan dengan osteoartritis

adalah pekerjaan yang menimbulkan penekanan terus menerus

pada satu bagian

4) Densitas Tulang

Penderita OA memiliki mineral tulang yang lebih tinggi

daripada yang tidak mengalami OA. Hal ini tidak terlepas dari

faktor genetik, hormonal, dan metabolism

5) Obesitas.

Obesitas terutama menjadi faktor resiko OA pada lutut. Wanita

lebih sering terkena daripada pria karena faktor endokrin

6) Keturunan.

Ibu yang memiliki OA akan menurunkan penyakitnya pada

anak perempuannya.

6
c. Manifestasi Klinis Osteoartritis

Beberapa manifestasi klinis dari osteoarthritis , diantaranya:

1) Nyeri.

Nyeri yang terjadi pada penyakit ini disebabkan oleh

penegangan kapsul yang telah fibrosis, kelelahan otot, dan

stress tulang akibat kongesti pembuluh darah dan hipertensi

intraosseus

2) Kaku sendi.

Awalnya terjadi saat penderita sedang tidak beraktivitas,

tetapi lama kelamaan akan terjadi terus menerus dan progresif

3) Bengkak.

Bengkak dapat terjadi baik intermiten (mungkin disebabkan

oleh efusi) maupun terus-menerus (karena adanya penebalan

kapsul dan osteofit yang membesar)

4) Deformitas.

Deformitas terjadi akibat kontraktur kapsul dan

ketidakstabilan sendi

5) Kehilangan fungsi.

Penderita akan mengeluh kesulitan menaiki tangga, tidak

dapat berjalan jauh, atau tidak dapat melakukan aktivitas

sehari-hari

7
d. Patofisiologi Osteoartritis

OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodeling tulang,

dan inflamasi. Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan

osteoartritis yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, fase nyeri, dan fase

degradasi (Amanda, 2015).

1) Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan

sendi berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana

khondrosit mengalami replikasi dan memproduksi matriks

baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu

polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu

komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like growth

factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b

(TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor

ini menginduksi kondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo

nukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan.

IGF-1 memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi.

2) Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang

sensitive terhadap IGF-1 sehingga meningkatkan pro-inflamasi

sitokin dan jumlah leukosit yang mempengaruhi sendi. IL-

1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-α)

mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan

8
gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis.

Produk inflamasi memiliki dampak negatif pada jaringan

sendi, khususnya pada kartilago sendi, dan menghasilkan

kerusakan pada sendi.

3) Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas

fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini

menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada

pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan terjadinya

iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya

mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin yang

dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat

lepasnya mediator kimia seperti kinin yang dapat

menyebabkan peregangan tendon, ligamen serta spasme otot-

otot. Nyeri juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang

menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla

spinalis serta kenaikan tekanan vena intramedular akibat stasis

vena pada pada proses remodeling trabekula dan subkondrial.

4) Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan

sendi yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi

rawan sendi. Peran makrofag didalam cairan sendi juga

bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas mekanis, material asing

hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan memproduksi sitokin

9
aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan merangsang

khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga

mempercepat resorpsi matriks rawan sendi. Faktor

pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang berlawanan

selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang

degradasi komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor

pertumbuhan merangsang sintesis (Anggun, 2012).

2. Nyeri

a. Definisi Nyeri

Menurut Association for Study of Pain (1986) dalam Kneale

and Peter (2011), nyeri adalah pengalaman emosional dan sensorik

yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan risiko atau

aktual kerusakan jaringan atau dijelaskan dalam istilah seperti

kerusakan tersebut. Definisi ini mempertimbangkan pikiran dan

tubuh ketika mencoba menjelaskan nyeri.

Menurut Kozier dan Erb (1983) dalam Tamsuri (2012), nyeri

adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai

penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata,

ancaman dan fantasi luka.

Adapun menurut Mc.Caffery (1979) dalam Kneale and Peter

(2011), nyeri adalah apa yang dikatakan individu yang

10
mengalaminya dan terjadi kapanpun saat individu tersebut

mengatakannya.

b. Reseptor Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri

memiliki ujung saraf bebas yang berespon hanya pada stimulus

kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga

nosireseptor. Nosireseptor sebagian besar berada dalam lapisan

dermal kulit, priosteum tulang, permukaan articular sendi, dinding

arteri dan duramater (Tamsuri, 2012).

Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam

beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam

(deep somatic) dan pada daerah viseral. Karena letaknya yang

berbeda inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang

berbeda(Tamsuri, 2012).

Reseptor nyeri somatik dalam (deep somatic) meliputi

nosiseptor pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan

penyannga lainnya. Karena strukturnya kompleks, nyeri yang

11
timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi

(Tamsuri, 2012).

Reseptor nyeri viseral meliputi organ-organ viseral seperti

jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul

biasanya difus dan biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan

organ, tetapi sangat sensiitif terhadap penekanan, iskemia dan

inflamasi (Tamsuri, 2012).

Sedangkan nosiseptor kutaneus terbagi dalam dua komponen,

yaitu:

1) Serabut A delta. Merupakan serabut komponen cepat

(kecepatan tranmisi 6-30 m/detik) yang memungkinkan

timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila

penyebab nyeri dihilangkan (Tamsuri, 2012).

2) Serabut C. Merupakan serabut komponen lambat

(kecepatan tranmisi 0,5-2 m/detik) yang terdapat pada

daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul

dan sulit dilokalisasi (Tamsuri, 2012).

c. Jenis-Jenis Nyeri

Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokkan

sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang

terjadi dalam waktu (durasi) dari 1 detik sampai dengan kurang

12
dari enam bulan, sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang tejadi

dalam waktu lebih dari enam bulan (Tamsuri, 2012). Nyeri

punggung bawah, osteoarthritis, dan penyakit reumatid adalah

contoh nyeri kronis jangka panjang (Kneale and Peter, 2011).

Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam

jenis (Tamsuri, 2012), yaitu:

1) Nyeri superfisisal, biasanya timbul akibat stimulasi

terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan

sebagainya. Nyeri jenis memiliki durasi yang pendek,

terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam.

2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri yang terjadi pada otot

dan tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya

nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya

peregangan dan iskemia.

3) Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan

organ internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan

durasinya cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya

tumpul.

4) Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari

daerah asal ke jaringan sekitanya. Nyeri jenis ini biasanya

dirasakan oleh klien seperti berjalan/menjalar dari daerah

13
asal nyeri ke sekitar atau ke sepanjang bagian tubuh

tertentu. Nyeri dapat bersifat intermiten dan konstan.

5) Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh

klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien

dipersepsi berada pada organ yang telah diamputasi seolah-

olah organnya masih ada.

6) Nyeri alih adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri

viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan

nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini

dapat timbul karena masuknya neuron sensori dari organ

yang mengalami nyeri ke dalam medulla spinalis dan

mengalami sinapsis dengan serabut saraf yang berada pada

bagian tubuh lainnya. Nyeri yang timbul biasanya pada

beberapa tempat yang kadang jauh dari lokasi asal nyeri

(Tamsuri, 2012).

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi nyeri, diantaranya:

1) Usia.

Anak-anak cenderung menunjukkan perilaku nyeri,

meringis, berguling dan menangis, sedangkan individu

yang lebih tua cenderung enggan bergerak ketika

14
mengalami nyeri dan umumnya cenderung lebih tenang

(Kneale and Peter, 2011).

2) Jenis kelamin.

Secara umum, waita lebih menyadari masalah kesehatan

ddan cenderung menerima bantuan, sedangkan pria enggan

mengungkapkan nyeri yang dialaminya. Sikap jantan atau

mampu menahan nyeri cenderung dipilih oleh pria

(Hawthon and Redmond, 1998 dalam Kneale and Peter,

2011).

3) Budaya.

Di beberapa budaya, perilaku menunjukkan nyeri secara

terbuka dapat diterima, sedangkan pada budaya lain, pasien

cenderung menarik diri dan diam (Hawthorn and Redmond,

1998 dalam Kneale and Peter, 2011).

4) Pengetahuan tentang nyeri dan akibatnya.

Kurangnya pengetahuan mempengaruhi keyakinan

individu apakah ia mampu mengendalikan situasi tersebut.

Hal ini dibuktikan dengan pemberian informasi sebelum

pembedahan yang disadari berdampak positif terhadap

15
nyeri, dengan penggunaan analgesk yang lebih sedikit

(Heywood, 1975 dalam Kneale and Peter, 2011)

5) Makna nyeri.

Individu akan mempersiapkan nyeri dengan cara

berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan

ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan.

Derajat dan kualitas nyeri yang dipersiapkan klien

berhubungan dengan makna nyeri (Petter and Porry, 2006

dalam Keristianto, 2015).

6) Perhatian klien.

Individu yang memfokuskan perhatiannya pada nyeri

dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang

meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,

sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan

dengan respon nyeri yang menurun (Perry and Potter, 2006

dalam Keristianto, 2015).

7) Tingkat kecemasan.

Stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang

diyakini mengendalikan emosi seseorang, khususnya

kecemasan. Sistem limbik dapat memproses reaksi

emosional terhadap nyeri, yaitu memperburuk atau

16
menghilangkannya nyeri (Potter and Perry, 2006 dalam

Keristianto, 2015).

8) Pengalaman sebelumnya.

Pengalaman yang positif menimbulkan keyakinan diri,

sedangkan pengalaman negatif dapat menyebabkan

ketakutan dan rasa tidak percaya diri (Kneale and Peter,

2011).

9) Pola koping.

Individu yang memiliki pola koping yang baik

mempersiapkan diri mereka sebagai individu yang dapat

mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu

peristiwa (Gill, 1990; Poter and Perry, 2006 dalam

Keristianto, 2015).

10) Dukungan keluarga dan sosial.

Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga

dapat mempengaruhi seseorang. Walaupun nyeri tetap

terasa, tetapi kehadiran orang yang dicintainya akan dapat

meminimalkan rasa kecemasan dan ketakutan (Keristianto,

2015).

e. Pengkajian Nyeri

Menurut Hidayat (2008), pengkajian nyeri antara lain meliputi:

17
1) P (Pemacu), faktor yang mempengaruhi gawat atau

ringannya nyeri

2) Q (Quality), kualitas nyeri dikatakan seperti apa yang

dirasakan pasien misalnya, seperti diiris-iris pisau, dipukul-

pukul, disayat

3) R (Region), daerah perjalanan nyeri

4) S (Severity), keparahan atau intensitas nyeri

5) T (Time), lama/ waktu serangan atau frekuensi nyeri

Adapun skala intensitas nyeri menurut Potter&Perry (2005)

dalam Pratiwi (2016), sebagai berikut:

Gambar 2.1 Numeric Pain Rating Scale

Gambar 2.2 Skala nyeri Wong Beker

18
Keterangan:

0 : Tidak nyeri

1-3 (Nyeri ringan) : Hilang tanpa pengobatan, tidak mengganggu

aktivitas sehari- hari.

4-6 (Nyeri sedang) : Nyeri yang menyebar ke perut bagian bawah,

mengganggu aktivitas sehari- hari, membutuhkan obat untuk

mengurangi nyerinya.

7-9 (Nyeri berat) : Nyeri disertai pusing, sakit kepala berat,

muntah, diare, sangat mengganggu aktifitas sehari- hari.

10 (Nyeri tidak tertahankan) : Menangis, meringis, gelisah,

menghindari percakapan dan kontak sosial, sesak nafas,

immobilisasi, menggigit bibir, penurunan rentan kesadaran.

Pengelompokan nyeri menurut Muhlisin (2017), diantaranya:

1) Skala nyeri 1-3 : Nyeri Ringan

2) Skala nyeri 4-6 : Nyeri Sedang

3) Skala nyeri 7-10 : Nyeri Berat

19
f. Penatalaksanaan Nyeri

1) Pengobatan farmakologik (Muttaqin,2008).

a) Analgesik non opioid : AINS, asetaminofen, tramadol.

Hanya diberikan bila diduga ada proses peradangan dan

adanya kompresi pada jaringan saraf

b) Analgesik ajuvan-medikasi neuroaktif : antikonvulsan,

anti depresan, antihistamin, amfetamin, steroid,

benzodiazepin, simpatolitik, obat anti spasme otot dan

neuroleptika. Antikonvulsan dan antidepresan yang

paling digunakan karena mempunyai efek sentral dan

memperbaiki mood dan depresi. Carbamazepin telah

dizinkan oleh FDA untuk terapi nyeri

c) Analgesik opioid: kodein, morfin,oksikodon kurang

responsif untuk NN, sehingga kadang dibutuhkan dosis

tinggi Analgesik topikal : Capsaicin topikal

menghilangkan substansi P, mempengaruhi nosiseptor

serabut C dan reseptor panas. Banyak digunakan pada

neuralgia herpetik akut dan neuralgia post herpetic

20
2) Pengobatan nonfarmakologik dan rehabilitasi medik

a) Modifikasi perilaku : relaksasi, terapi musik,

biofeedback dan lain-lain (Muttaqin, 2008).

b) Modulasi nyeri : modalitas termal, Transcutaneus

Electric Nerve Stimulation (TENS), akupuntur.

c) Latihan kondisi otot : peregangan, myofascial release,

spray and strech.

d) Rehabilitasi vokasional. Pada tahap ini kapasitas kerja

dan semua kemampuan penderita yang masih tersisa

dioptimalkan agar penderita dapat kembali bekerja.

e) Hidroterapi (Chaitow and Jones, 2009).

3. Rendam Kaki Air Hangat

a. Definisi Rendam Kaki Air Hangat

Rendam kaki air hangat adalah salah satu hidroterapi dengan cara

merendam kaki hingga batas 10-15 cm diatas mata kaki menggunakan

air hangat. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan aliran darah pada

bagian kaki (Restuningtyas, 2017).

Hidroterapi memberikan panas dengan konduksi (kontak langsung

dengan panas) atau konveksi (panas yang didapat melalui pergerakan

molekul air di seluruh kulit) (Elliot and Howard, 2016).

21
b. Manfaat Rendam Kaki Air Hangat

Wijayanti (2009) dalam Hutajulu dan Evelin (2017),

mengungkapkan bahwa air adalah media terapi yang tepat untuk

pemulihan cedera, karena secara ilmiah air hangat berdampak secara

fisiologis bagi tubuh. Pertama, membuat sirkulasi pada pembuluh

darah menjadi lancar. Kedua, menguatkan otot-otot dan ligament yang

mempengaruhi sendi-sendi tubuh karena adanya faktor pembebanan di

dalam air.

Hidroterapi hangat merupakan cara yang sangat baik untuk

memberikan panas yang lembab untuk meningkatkan aliran darah

sistemik dan memungkinkan untuk mobilisasi ekstremitas atau bagian

tubuh yang terkena.

Selain itu, suhu air yang hangat akan meningkatkan kelenturan

jaringan. Air dengan suhu antara 35-39 0C mempunyai manfaat bagi

tubuh antara lain, meningkatkan aliran darah ke bagian tubuh yang

mengalami cedera, kelenturan pada struktur otot, memberikan

pengaruh pada sistem pembuluh darah yaitu fungsi jantung dan

pernafasan atau paru-paru (Suandika, 2015 dalam Izza, 2017) dengan

waktu perawatan selama 15 sampai 20 menit (Elliot and Howard,

2016).

Berdasarkan penelitian Hasan (2016), dalam penelitian “Pengaruh

Kompres Hangat Terhadap Penurunan Nyeri Sendi Osteoarthritis

22
Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Mojo Surabaya” mengungkapkan

bahwa rendam kaki air hangat merupakan salah satu terapi nyeri

nonfarmakologi yang direkomendasikan untuk penderita osteoarthritis

karena dapat membuat otot rileks dan meningkatkan

mikrovaskularisasi jaringan sinovial.

Beberapa manfaat dari rendam kaki dengan air hangat (Permady,

2015), yaitu:

1) Produksi perasaan rileks.

2) Merangsang ujung saraf untuk membuat perasaan segar.

3) Meningkatkan sirkulasi darah.

4) Peningkatan metabolisme jaringan.

5) Penurunan kekakuan tonus otot.

6) Peningkatan migrasi leukosit.

7) Analgesik dan efek sedative.

c. Kontra Indikasi Rendam Kaki Air Hangat

Menurut Restuningtyas (2017), kontraindikasi pemberian terapi

rendam kaki air hangat, diantaranya:

1) Pasien dengan penyakit jantung dengan kondisi yang parah.

2) Pasien yang memiliki tekanan darah rendah.

3) Penderita diabetes karena kulit pasien diabetes akan mudah

rusak.

23
d. Prosedur Rendam Kaki Air Hangat

Prosedur dan alat yang digunakan merupakan modifikasi dari

penelitian Riawati (2016), sebagai berikut:

1) Persiapan alat dan lingkungan:

a) Ember dan air hangat

b) Kursi

c) Handuk kecil

d) Thermometer digital

e) Timer

f) Lingkungan yang nyaman dan juga privasi pasien.

2) Persiapan klien:

a) Melakukan kontrak topik, waktu, tempat dan tujuan

dilaksanakannya terapi rendam kaki air hangat.

3) Cara Kerja

a) Fase Orientasi

(1) Mengucapkan salam

(2) Memperkenalkan diri

(3) Menjelaskan prosedur

(4) Menanyakan kesiapan Klien

b) Fase Kerja

(1) Menjaga privasi Klien

(2) Mengatur posisi Klien

24
(3) Memasukan air hangat di baskom tempat merendarn

kaki

(4) Membantu masukan kaki klien ke dalam baskom

setinggi 10-15 cm

(5) Merendam kaki selama 20 menit dengan suhu 35°C-

39oC.

(6) Menutup baskom denagn handuk kecil untuk menjaga

suhu air.

(7) Mengangkat kaki dari air hangat dan keringkan dengan

handuk bersih

(8) Mengukur skala nyeri

c) Fase Terminasi

(1) Melakukan evaluasi tindakan

(2) Menyampaikan rencana tindak lanjut

(3) Berpamitan

25
B. Kerangka Konseptual

Faktor resiko OA (Anggun, Manifestasi klinis OA


2012) (Anggun, 2012)
- Displasia sendi Osteoarthritis - Nyeri
- Trauma - Kaku sendi
- Pekerjaan - Bengkak
- Densitas tulang - Deformitas
- Obesitas - Kehiilangan fungsi
- Keturunan

26
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif

dengan pendekatan studi kasus untuk menggambarkan pemberian rendam

kaki air hangat pada masalah nyeri pada pasien osteoarthritis.

B. Lokasi dan waktu penelitian

1. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana

Puri Samarinda

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini di laksanakan pada bulan Januari s/d Maret 2018.

27
C. Kerangka dan Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Input Proses Output

1-3: Nyeri ringan


Osteoarthritis
pen Rendam Kaki Air
dengan Nyeri Hangat 4-6: Nyeri sedang

7-10: Nyeri berat

D. Fokus Studi

Pemberian rendam kaki air hangat pada masalah keperawatan nyeri

osteoarthritis.

E. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Alat Hasil Skala

Operasional Ukur Ukur Ukur

28
1. Pemberian Pemberian terapi Ceklist dan 1-3 : ringan Skala

rendam dengan Numeric 4-6 : sedang ordinal

kaki air merendam kaki Pain 7-10: berat

hangat sebatas mata Rating

pada kaki dengan air Scale

masalah hangat dengan (NPRS)

nyeri. suhu 35oC-39oC

selama 15-25

menit untuk

mengurangi

perasaan tidak

nyaman akibat

adanya

kerusakan baik

secara fisik

maupun

psikologis.

F. Subyek Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 3 orang.

a. Kriteria Inklusi

29
1) Pasien osteoarthritis yang mengeluh nyeri

2) Pasien dapat berkomunikasi dengan peneliti

3) Pasien bersedia menjadi responden.

b. Kriteria Ekslusi

1) Pasien dengan gangguan kulit bagian kaki.

2) Pasien yang tidak mampu duduk lama.

3) Pasien dengan tekanan darah rendah.

4) Pasien dengan Diabetes Mellitus.

G. Teknik Sampling

Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan simple random

sampling. Peneliti melakukan pengundian pada 28 nama pasien osteoarthritis.

H. Instrument Penelitian

Pada penelitian ini, instrumen yang di gunakan berupa lembar observasi,

ceklist prosedur tindakan, lembar Numeric Pain Rating Scale (NPRS).

I. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada pasien

osteoarthritis di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda adalah :

1. Mengurus surat izin dari direktur Akademi Keperawatan Pemerintah

Provinsi Kalimantan Timur untuk melakukan penelitian.

30
2. Mengurus surat izin dari direktur/ kepala pimpinan Panti Sosial Tresna

Werdha Nirwana Puri Samarinda.

3. Mengidentifikasi pasien yang akan menjadi partisipan dalam

penelitian sesuai simple random sampling.

4. Menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedur penelitian. Apabila

responden bersedia, responden diminta untuk menandatanganni

informed consent.

5. Peneliti melakukan terapi rendam kaki air hangat pada responden

selama 3 hari. Rendam kaki dilakukan dua kali setiap hari, yaitu saat

pagi hari dan sore hari masing-masing selama 15 menit.

6. Mengobservasi tindakan dengan ceklist setiap pemberian tindakan.

7. Mengobservasi nyeri menggunakan NPRS setiap pemberian tindakan.

8. Mendokumentasikan kegiatan.

J. Teknik Pengolahan Data

Menurut Hidayat (2009) dalam Fatmala (2017), setelah data terkumpul

agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar harus melalui

empat tahap dalam pengolahan data, yaitu:

1. Editing

Editing merupakan tahap mengumpulkan dan memeriksa data

lembar observasi yang ada, kesesuaian dengan sampel serta benar

tidaknya cara pengisian

31
2. Coding

Setelah semua data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengkodean

atau pemberian kode numeric terhadap data yang terdiri atas partisipan

1: A dan partisipan 2: B

3. Processing

Pemerosesan data dilakukan dengan cara mengisi lembar observasi

dan lembar panduan wawancara.

4. Cleaning

Mengecek kembali data yang sudah dimasukkan apakah ada

kesalahan atau tidak.

K. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data menurut Suyanto (2011) dalam Putra (2012) adalah

melakukan analisa deskriptif atau analisis univariat atau sederhana yang

dilakukan agar peneliti dapat mengenal dengan baik data penelitian yang

dilakukan. Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan teknik

univariat yang menggunakan tabel deskriptif .

32
L. Etika Penelitian

Penelitian ini menggunakan tiga aspek etika penelitian, yaitu:

1. Informed Consent

Lembar persetujuan ini diberikan kepada partisipan yang akan

diteliti. Partisipan harus memenuhi kriteria inklusi. Bila partisipan

menolak, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap

menghormati hak-hak partisipan.

2. Anonomity

Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan

nama partisipan, tetapi pada lembar tersebut diberikan kode.

3. Confidentially

Kerahasiaan informasi partisipan dijamin oleh peneliti dan

hanya kelompok tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil

penelitian.

33
DAFTAR PUSTAKA

Amanda ,Thiar Theria.(2015). Hubungan Derajat Nyeri Dengan Kualitas Hidup


Pasien Osteoartritis Di Poli Syaraf Rumah Sakit Umum Daerah Dr
Hardjono Ponorogo. Skripsi dipublikasikan. Surakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta . http://eprints.ums.ac.id. Diakses pada
tanggal 9 November 2017.

Ananda, Najjah Saptawulandari.(2015).Pemberian Kombinasi Ultra Sound Dengan


Closed Kinematic Chain Exercise Dan Ultra Sound Dengan Open Kinematic
Chain Exercise Sama Baik Dalam Meningkatkan Aktivitas Fungsional Sendi
Lutut Pada Penderita Osteoarthritis Genu Manifest. Bachelor thesis,
Denpasar: Universitas Udayana. https://erepo.unud.ac.id. Diakses pada
tanggal 10 Desember 2017.

Anggun. (2012). Osteoarthritis. https://www.scribd.com. Diakses tanggal 26


Novenber 2017 pukul 20.39 WITA

Carlish, Anne.(2010). Jawaban-Jawaban Alternatif untuk Artritis dan Reumatik.


Yogyakarta: PT Citra Aji Pratama.

Chaitow, Leon and Jones Ruth.(2009). Chronic Pelvic Pain and Dysfunction - E-
Book: Practical Physical Medicine. British: Elsevier Churcill Livingstone.

Elliot, Jennifer A. and Howard S. Smith.(2016).Handbook for Acute Pain


Management. Boca Raton: CRC

Fatmala, Ulfa. 2017. Gambaran Pemberian Kompres Air Dingin pada Pasien Gagal
Ginjal Kronik yang Mengalami Pruiritus dan Xerosis Di Ruang Flamboyan
RSUD Abdul Wahab Sjahranie. Karya tulis ilmiah tidak dipublikasikan.
Samarinda: Akper Pemprov Kaltim.

34
Firsto, Sang Made.(2016). SOP Rendam Air Hangat. https://www.scribd.com.
Diakses pada tanggal 12 Desember 2017. Grase, Pierce. A, Borle, Neil.R.,
(2007). At a Glance: Ilmu Bedah. Ed.3. Jakarta: Erlangga.

Hasan, Muhamad Ibnu.(2016). Pengaruh Rendam Kaki Air Hangat terhadap


Penurunan Nyeri Sendi Osteoarthritis Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas
Mojo Surabaya. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.
https://repository.unair.ac.id. Diakses pada tanggal 9 November 2017.

Hermila, Jesica. (2017). Gambaran Stimulasi Kutaneus Stroke Back Message dalam
Menurunkan Nyeri Osteoartritis pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Nirwana Puri Samarinda. Skripsi tidak dipublikasikan. Samarinda: Akademi
Keperawatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.

Keristianto, Gede Dodik. (2015). Pengaruh Terapi Akupuntur terhadap Penurunan


Nyeri Lutut pada Pasien dengan Osteoartritis di Praktik Perawat Mandiri
Latu Usadha Abiansemal. Diploma thesis. Tesis dipublikasikan. Denpasar:
Universitas Udayana. https://erepo.unud.ac.id. Diakses pada tanggal

Kneale Julia D dan Peter S Davis.(2011). Perawatan Orthopedi dan Trauma. Jakarta:
EKG.

Novita, Lestari.(2014). Intervensi Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES)


ditambah dengan Quadriceps Isometric Lebih Baik daripada Straight Leg
Raise dalam Meningkatkan Kemampuan Berjalan pada Kondisi Osteoathritis
(Oa) Knee. Skripsi. Jakarta: Program Studi S-I Fisioterapi Fakultas Fisioterapi
Universitas Esa Unggul Jakarta

Nursalam.(2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan;


Pedoman Skripsi: Tesis dan Instrumen Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika

Muhlisin, Muhammad.(2017).Menilai Skala Nyeri. https://mediskus.com. Diakses


tanggal 4 Desember 2017.

Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

35
Permady, Gilang Gumilar. (2015). Pengaruh Merendam Kaki dengan Air Hangat
terhadap Kualitas Tidur Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Astanalanggar
Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat. Skripsi dipublikasikan. Jakarta:
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. http://repository.uinjkt.ac.id.
Diakses pada tanggal 30 November 2017.

Pratiwi, Zahara Indah. (2016). Skala Intensitas Nyeri Menurut Perry dan Potter.
https://dokumen.tips. Diakses pada tanggal 4 Desember 2017.

Putra, Sitiatava Rizema. (2012). Panduan Riset Keperawatan dan Penulisan Ilmiah.
Jogjakarta:D-medika.

Riawati, Enggar Mayning.(2016). Pemberian Terapi Rendam Kaki Air Hangat


terhadap Penurunan Tekanan Darah pada Asuhan Keperawatan Ny.T dengan
Hipertensi di Panti Sasana TresnaWerdha Dharma Bakti Wonogiri.
Surakarta: Program DIII Keperawatan Sekolah Tinggi Kesehatan Kusuma
Husada.

Reid, David M. and Colin G Miller.(2008). Clinical Trials in Rheumatoid Artritis and
Osteoarthritis.British: Springer Science+Businnes Media

Restuningtyas, A. (2017). Tinjauan Teori Rendam Kaki Air Hangat.


www.academia.edu. Diakses pada tanggal 30 November 2017.

Tamsuri, Anas. (2012). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC.

Yudiyanta, Novita Khoirunnisa, Ratih Wahyu Novitasari. (2015). Teknik: Assessment


Nyeri. Vol.42 No.3. Summer 2015. CDK-226. Departemen Neurologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.
www.Kalbemed.com. Diakses tanggal 30 November 2017.

36
37

Anda mungkin juga menyukai