Anda di halaman 1dari 11

Penerapan Kaidah Dasar Bioetika dalam Tindakan Kedokteran

Henricho
10 2014 108 / A2
25 September 2014
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : henricho.2014fk108@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan

Dalam kehidupan, kita mengenal suatu aturan tentang apa yang baik dan apa yang

buruk. Kita dapat menentukan hal itu karena kita mengenal etika. Etika berasal dari kata

Yunani yaitu ethos yang artinya adat kebiasaan atau watak, maka etika adalah ilmu tentang

apa yang biasa kita lakukan atau adat istiadat kita.1 Pengertian etika menurut KBBI (Kamus

Besar Bahasa Indonesia) memiliki arti ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang

hak dan kewajiban moral. 2

Dalam dunia kerja kita juga mengenal adanya etika yang harus dilakukan. Etika ini

digunakan untuk pedoman melakukan pekerjaan yang baik dan benar bukan yang buruk dan

salah. Pada dunia kedokteran kita mengenal etika kedokteran. Etika kedokteran adalah

prinsip – prinsip moral atau asas – asas akhlak yang harus diterapkan oleh para dokter dalam

hubungannya dengan pasien, teman sejawatnya, dan masyarakat umumnya.3 Etika kedokteran

merupakan salah satu bagian dari bioetika.


Bioetika merupakan istilah yang relatif baru dan terbentuk dari dua kata Yunani (bios

= hidup dan “ethos” = adat istiadat atau moral), yang secara harfiah berarti etika hidup. 4

Menurut Callahan, bioetika adalah sebuah prinsip disiplin baru yang bertanggung jawab atas

tugas pengelohan sebuah metodologi yang membantu para pakar medis dan mereka yang

terjun dalam bidang ilmu pengetahuan untuk mengambil keputusan-keputusan yang baik dan

benar menutur tinjauan sosiologis, psikologis dan sejarah. 4

Beauchamp dan Childress merumuskan beberapa prinsip bioetika yaitu (1) resptect to

autonomy (penghormatan terhadap otonomi), (2) justice (keadilan), (3) beneficence

(kedermawanan), (4) non-maleficence (tidak merugikan). Namun prinsip bioetika yang

dikemukakan Beauchamp dan Childress hanya terkait dengan masalah-masalah yang timbul

dalam praktek dunia kedokteran. 5

Respect to Autonomy

Personal Autonomy (otonomi diri) perlu dibedakan dengan self rule (penguasaan diri).

Self rule, adalah keadaan bebas dari dua hal yakni pengontrolan diri dari orang lain dan

keterbatasan diri untuk menentukan keputusan penting, sedangkan personal autonomy

(otonomi diri) adalah keadaan seorang individu bebas bertindak sesuai dengan rencana yang

dipilihnya sendiri. 6

Kaidah-kaidah yang terdapat dalam autonomy adalah:

1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien

2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif)

3. Beterus terang
4. Menghargai privasi

5. Menjaga rahasia pasien

6. Menghargai rasionalitas pasien

7. Melaksanakan informed consent

8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri

9. Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien

10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk

keluarga pasien sendiri

11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi

12. Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien

13. Menjaga hubungan (kontrak)

Justice

Sama seperti teori keadilan lainnya, artibut persyaratan minimum keadilan menurut

Aristoteles,”Yang sama diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama.”.

Prinsip ini biasa disebut prinsip keadilan formal, disebut formal karena tidak menyatakan

secara khusus mana yang harus diperlakukan sama dan tidak menyediakan kriteria untuk

menentukan kalau 2 individu atau lebih dikatakan memperoleh perlakuan sama. 6

Adapun kaidah yang terdapat dalam justice adalah:

1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal.


2. Mengambil porsi terakir dari proses membagi yang telah ia lakukan.

3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama.

4. Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, availability,

quality).

5. Menghargai hak hukum pasien.

6. Menghargai hak orang lain.

7. Menjaga kelompok rentan (yang paling dirugikan).

8. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status sosial, dll

9. Tidak melakukan penyalahgunaan wewenang.

10. Memberikan konstibusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien.

11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya.

12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil.

13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten.

14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat.

15. Menghormati hak populasi yang sama – sama rentan penyakit/gangguan kesehatan.

16. Bijak dalam makroalokasi.


Beneficence

Dalam bahasa Inggris biasa arti beneficence berkonotasi sebagai tindakan belas

kasihan, kebaikan dan amal. Selain itu sikap mementingkan orang lain, cinta kasih dan

kemanusiaan juga dianggap sebagai bentuk dari beneficence. Bahkan wujud tindakan

beneficence lebih luas lagi. Perwujudan itu termasuk semua tindakan yang bertujuan memberi

benefit (keuntungan) kepada orang lain. Beneficence juga mengacu kepada seseorang yang

berani untuk dibuang tapi bertindak untuk memberi keuntungan pada orang lain. Prinsip

beneficence sendiri merujuk pada kewajiban moral untuk bertindak memberi keuntungan

pada orang lain. 6

Dalam beneficence, terdapat kaidah – kaidah berikut ini:

1. Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan

orang lain).

2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia.

3. Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter.

4. Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan

keburukannya.

5. Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang.

6. Menjamin kehidupan-baik-minimal manusia.

7. Pembatasan goal based.

8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien.

9. Minimalisasi akibat buruk.


10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat.

11. Menghargai hak – hak pasien secara keseluruhan.

12. Tidak menarik honorarium di luar kepantasan.

13. Maksimalisais kepuasan tertinggi secara keseluruhan.

14. Mengembangkan profesi secara terus menerus.

15. Memberikan obat berkhasiat namun murah.

16. Menerapkan Golden Rule Principle.

Non-Maleficence

Prinsip non-maleficence adalah kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain secara

sengaja. Hal ini telah terkait erat dengan etika kedokteran, maxim ‘primum non nocere’

(above all do no harm). Kewajiban non-maleficence dan beneficence, keduanya

dieskpresikan dalam sumpah Hipokratik (sumpah dokter), “ I will use treatment to help the

sick according to my ability dan judgement, but I will never use it to injure or wrong them. “ 6

Kaidah – kaidah yang terdapat dalam non-maleficence adalah sebagai berikut:

1. Menolong pasien emergensi.

2. Kondisi yang menggambarkan kriteria ini adalah

B. Pasien dalam keadaan amat berbahaya (darurat) atau beresiko hilangnya sesuatu

yang penting (gawat).

C. Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut.


D. Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif.

E. Manfaat bagi pasien lebih banyak daripada kerugian dokter (hanya mengalami

risiko minimal).

3. Mengobati pasien yang luka.

4. Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia).

5. Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien.

6. Tidak hanya memandang pasien hanya sebagai objek.

7. Mengobati secara tidak proporsional.

8. Mencegah pasien dari bahaya.

9. Menghindari mispresentasi dari pasien.

10. Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian.

11. Memberikan semangat hidup.

12. Melindungi pasien dari serangan.

13. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/kerumah – sakitan yang

merugikan pihak pasien/keluarganya.

Sumpah Dokter Indonesia

Pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran ke-2 yang diselenggarakan di

Jakarta pada tanggal 14-16 Desember 1981 oleh Departemen Kesehatan RI telah disepakati

beberapa perubahan dan penyempurnaan lafal sumpah dokter, sehubungan dengan


perkembangan bidang kesehatan masyarakat. 3 Lafal sumpah dokter tersebut berbunyi sebagai

berikut:

“Demi Allah saya bersumpah/berjanji, bahwa:

1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan kemanusiaan;

2. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan

kedokteran;

3. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai

dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter;

4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat;

5. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan

keilmuwan saya sebagai dokter;

6. Saya akan tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang

bertentangan dengan peri kemanusiaan, sekalipun diancam;

7. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita;

8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh

pertimbagan keagamaaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian, atau

kedudukan social dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita;

9. Saya menghormati setiap hidup insane mulai dari saat pembuahan;

10. Saya akan memberikan kepada guru-guru dan bekas guru-guru saya penghormatan dan

pernyataan terima kasih yang selayaknya;

11. Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin

diperlakukan;

12. Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia;

13. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan enggan mempertaruhkan

kehormatan saya.;
Sumpah dokter Indonesia diucapkan pada suatu upacara di Fakultas Kedokteran

setelah Sarjana Kedokteran (S. Ked) lulus ujian profesinya. Acara ini dihadiri oleh pimpinan

fakultas, senat fakultas, pemuka agama, para dokter baru beserta keluarganya. 3

Pembahasan

Dalam pembahasan kasus ini, akan dilakukan dengan membahas setiap kalimat yang

ada dalam skenario untuk menentukan kaidah dasar bioetika yang digunakan oleh Dokter.

Pembahasan tidak hanya dilakukan berdasarkan dari sisi dokter melainkan juga dari sisi

pasien.

1) Kalimat pertama

“Seorang perempuan, 21 tahun, dengan radang usus buntu dibawa ke unit gawat

darurat di sebuah rumah sakit.”

Kalimat ini menunjukkan informasi pasien dan keadaan penyakitnya.

2) Kalimat kedua

“Kondisi pasien dalam keadaan darurat sakit parah dan membutuhkan perawatan

segera yang intensif.”

Kalimat ini menunjukkan keadaan pasien yang membutuhkan pertolongan segera

atau dalam keadaan gawat darutat. (Sesuai kaidah non-maleficence nomor 2A).

3) Kalimat ketiga

“Setibanya di unit gawat darurat perawat yang menerima pasien terkesan biasa-

biasa saja, lamban dan tidak mengacuhkan.”


Kalimat ini menunjukkan pembiaran dari pihak unit gawat darurat dan pasien tidak

mendapat perlakuan yang seharusnya diterima oleh seorang pasien unit gawat

darurat. Dalam hal ini dokter tidak memberi perlakuan adil kepada pasien darurat

tersebut (Melanggar kaidah justice nomor 3).

4) Kalimat keempat

“Dokter pun baru datang memeriksa pasien setelah 1 jam kemudiaan, setelah

memeriksa pasien dokter mengatakan bahwa pasien harus dioperasi.”

Kalimat ini menunjukkan bahwa dokter tidak memberi pertolongan langsung pada

si pasien. Di tambah lagi pasien harus menunggu hingga 1 jam untuk diperiksa. Hal

ini menunjukkan bahwa dokter tida berusaha untuk mencegah keadaan pasien

bertambah buruk karena dalam waktu 1 jam banyak kemungkinan yang bisa terjadi

terhadap pasien (Melanggar kaidah non-maleficence nomor 8 dan 10).

5) Kalimat kelima

“Pelaksanaan operasinya tidak bisa segera, karena dokter tersebut masih banyak

jadwal operasi yang lain.”

Kalimat ini menunjukkan dokter tidak menganggap masalah pasien itu gawat dan

seakan menganggap pasien tersebut seperti objek yang bisa ditunda

penanganannya. (Melanggar kaidah non-maleficence nomor 6). Hal ini juga

menunjukkan dokter melanggar sumpak kedokteran Indonesia (Sumpah nomor 7).

6) Kalimat keenam

“Keadaan pasien bertambah buruk dan jiwanya tidak tertolong lagi.”


Kalimat ini menunjukkan bahwa adanya tindakan pembiaran dari dokter terhadap

pasien yang mengakibatkan kematian (Melanggar kaidah non-maleficence nomor

8, 10 dan 12).

Penutup

Dari scenario ini dapat dilihat bahwa pasien memenuhi syarat untuk memperoleh

tindakan non-maleficence dari seorang dokter, namun disini juga dapat dilihat bahwa dokter

melanggar kaidah dasar bioetika yang ada dengan tidak melakukan tindakan non-

maleficence.

Daftar Pustaka

1. K. Bertens. 2007. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

2. Hartono, Budiman. 2014. WHO AM I? Bioetika, Humaniora dan Profesianalisme

dalam Profesi Dokter. Jakarta : Universitas Kristen Krida Wacana

3. Hanafiah, M. Jusuf, Amri Amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.

Jakarta : Buku Kedokteran EGC

4. Chang, William. 2009. Bioetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Kanisius

5. Wilardjo, Liek. 2009. Bioetika : Mengurung Minotaurus di dalam labirin. Salatiga :

Pustaka Percik

6. Dickenson, D., Huxtable, R., & Parker, M. 2010. The Cambridge Medical Ethics

Workbook : Second Edition. New York : Cambridge University Press

Anda mungkin juga menyukai