Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma berasal dari kata “ashtma” yang diambil dari bahasa yunani yang
berarti “sukar bernapas”. Asma adalah suatu peyakit jalan nafas obstruktif
intermitten, reversibel dimana trakea dan bronkus berespons dalam secara
hiperaktif terhadap stimulus tertentu.1 Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan
oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkhial terhadap berbagai jenis
rangsangan.1
Terdapat banyak definisi asma yang di kemukakan oleh para ahli yang
terus berkembang dari waktu ke waktu sehingga tidak ada definisi baku untuk
penyakit asma ini. Seperti yang telah di kemukaan beberapa ahli di atas definisi
asma terus berkembang. GINA pada tahun 2011, mengungkapkan bahwa asma
merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan salurna napas
menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi,
edema, dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di
saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa
wheezing, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam hari
atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luasnya inflamasi, yang derajatnya
bervariasi dan bersifat reversible secara spontan maupun dengan atau tanpa
pengobatan.7
2.2 Epidemiologi
Angka Kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecendrungan bahwa penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun belakangan ini
obat-obatan asma banyak dikembangkan. WHO pada tahun 2002 dan GINA pada
tahun 2011, mengungkapkan diseluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang
menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma meningkat
hingga mencapai 400 juta orang. Di Indonesia sendiri prevalensi penyakit asma

3
berdasarkan data yang di ambil dari RISKESDAS pada tahun 2007 cendrung
tinggi yaitu sebesar 3,5 % untuk nasional dan 4,0% untuk kalimantan tengah.7

Gambar 1. Prevalensi Asma Menurut Provinsi Tahun 2007.


(Sumber : Riskesdas 2007, Balitbangkes, Kemenkes RI)

Jika di bandingkan dengan hasil data prevalensi penyakit asma yang


diambil dari RISKESDAS pada tahun 2013 akan terlihat bahwa penyakit asma di
indonesia mengalami peningkatan sebesar 1% menjadi 4,5% dan di kalimantan
tengah sebesar1,8% menjadi 5,8%.4

Gambar 2. Prevalensi Asma Menurut Provinsi Tahun 2013.4


(Sumber : Riskesdas 2007, Balitbangkes, Kemenkes RI)

4
Hal ini membuktikan bahwa penderita penyakit asma di Indonesia masih
belum bisa teratasi dengan baik.

2.3 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya asma dapat di bagi 2 yaitu faktor prediposisi yaitu
yang menyebabkan berkembangnnya asma pada individu dan faktor presipitasi
yaitu yang memicu terjadinya gejala asma :2
1. Faktro Prediposisi
Genetik
a. Atopi/Alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alergi, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya.
b. Hiperaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsang alergen maupun iritan.
c. Jenis Kelamin
Peria merupakan faktor risiko asma pada anak, sebelum usia 14 tahun
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibandingkan anak
perempuan.
d. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin
dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya asma. .
2. Faktor Presipitasi
a. Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis :
Inhalasi : Debu, serbuk bunga, asap rokok, polusi, bulu hewan dan
jamur.
Ingestan : Makanan dan obat-obatan
Kontaktan : Perhiasan yang di kenakan (logam, karet dan macam-
macam perhiasan lainnya)

5
b. Perubahan cuaca
c. Stres
d. Lingkungan kerja
e. Olahraga atau aktivitas fisik
2.4 Klasifikasi Asma
Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain
gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, ekserbasi, gejala malam hari / dini
hari, pemberian obat inhalasi B-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obatan yang
di gunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, serta frekuensi
pemakaian obat. GINA membagi penyakit asma menjadi 4 klasifikasi yaitu
intermiten, presisten ringan, presisten sedang dan presisten berat :8
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma GINA Berdasarkan Gejala pada Orang
Dewasa8
Deraja Gejala Gejala Malam Faal Paru
Asma
Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
- Gejala <1x/minggu tanpa - ≤2 kali sebulan - VEP1 ≥ 80% nilai
gejala diluar serangan prediksi
- Serangan singkat - APE ≥ 80% nilai
terbaik
- Variabilitas APE
<20%
Presisten Mingguan APE ≥80%
ringan - Gejala >1x/minggu tetapi - >2 kali sebulan - VEP1 ≥ 80% nilai
<1x/hari prediksi
- Serangan dapat mengganggu - APE ≥ 80% nilai
aktivitas dan tidur terbaik
- Variabilitas APE
20-30%
Presisten Harian APE 60-80%
sedang - Gejala setiap hari - >1 kali - VEP1 60-80%
- Serangan menggangu seminggu nilai prediksi
aktivitas dan tidur - APE 60-80%
- Membutuhkan bronkodilator nilai terbaik
setiap hari - Variabilitas APE
>30%
Presisten Kontinyu APE≤60%
berat - Gejala terus menerus - Sering - VEP1 ≤60% nilai
- Sering kambuh prediksi
- Aktivitas fisik terbatas - APE ≤60 % nilai
terbaik
- Variabilitas APE
>30%
(Sumber : Global Initiative fo Asthma 2015, Global Strategy for Astma
Management and Prevention)

6
Selain itu, GINA membuat klasifikasi pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium.
Tabel 2. Klasifikasi Asma Menurut Derajat Serangan8
Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan
Tanda Ringan Sedang Berat mengancam
Jiwa
Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat -
Posisi Dapat tidur Duduk Duduk, -
terlentang membungkuk
Cara berbicara : Satu kalimat Beberapa Kata demi kata -
kata
Kesadaran : Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk,
gelisah gelisah,
kesadaran
menurun
Frekuensi napas <20x/menit 20- >30x/menit -
30x/menit
Frekuensi nadi <100x/menit 100- >120x/menit Bradikardi
120x/menit
Otot bantu nafas - + + Torakoabdomi
dan retraksi nal paradoks
suprasternal
Wheezing Akhir Ekspirasi Akhir Inspirasi dan Silent chest
paksa Ekspirasi ekspirasi
APE >80% 60-80% <60% -
PaCO2 <45mmHg <45mmHg >45mmHg -
SaO2 >95% 91-95% <90% -
(Sumber : Global Initiative fo Asthma 2015, Global Strategy for Astma
Management and Prevention)
2.5 Patogenesis dan Patoisiologi Asma
a. Asma sbagai penyakit inflamasi
Asma dipandang sebagai penyakit inflamasi salurna napas, dimana
inflamasi ditandai dengan adanya 6 faktor yaitu : kalor (panas karena
vasodilatasi), dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudat plasma
dan edema), dolor ( rasa sakit karena rangsangan sensoris), function laesa (fungsi
yang terganggu) dan infiltrasi sel-sel radang. Ke-6 syarat tersebut dapat
ditemukan pada asma tanpa membedakan penyebab asma tersebut.2
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non alergik
dijumpai adanya inflamasi dan Hiperaktivitas saluran napas. Terdapat 2 jalur
untuk mencapai kedua keadaan tersebut yaitu jalur imunologi dan saraf otonom.

7
Jalur imunologi Terutama didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipesensitivitas tipe I (tipe cepat contoh pada alergi), terdiri dari fase cepat dan
fase lambat.2
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecendrungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.
Pada penderita asma alergi, sebelum terbentuk antibodi IgE dalam jumlah besar
mula-mula penderita akan terpapar suatu atigen tertentu (alergen). Alergen
tersebut merangsang induksi sel T CD4+ tipe TH2 yang berperan penting dalam
patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya
(khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksinya IgE oleh sel B. IgE
tersebut bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan
mengaktifasi eosinofil. Antibodi IgE yang telah terbentuk akan berikatan pada
respter Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil (Sel mast dan
basofil telah dipersenjatai antibodi IgE). Pajanan ulang terhadap antigen yang
sama mengakibatkan pertautan silang pada antibodi IgE yang telah teriakat sel
mast dan basofil memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan
beberapa mediator yang akan dibagi menjadi 2 yaitu mediator primer dan
mediator sekunder.11

Gambar 3. Rangkaian Peristiwa yang menimbulkan Hipersensitivitas tipe I


(Sumber : Patologi Robbins 2007.)11

8
Setelah sinyal untuk degranulasi terpacu, mediator primer (praformasi)
didalam granula sel mast berdegranulasi (dilepaskan) yang berisi mediator primer
berupa histamin, protease, dan faktor kemotaktik (ECF, NCF) untuk memulai
tahap awal reaksi hipersensitivitas tipe I. Histamin menyebabkan meningkatnya
premeabilitas vaskular, vasodilatasi bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi
mukus. Setelah itu mediator lain segera di lepaskan juga seperti proteae
(menghasilkan kinin untuk memecah komponen untuk menghasilkan faktor
kemotaktik), adenosin (yang menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat
agregasi trombosi) dan faktor kemotaktik (neutrofil dan eosinofil). Maka
terbentuklah respon awal / fase cepat dari hipersensitivitas tipe I yaitu
Vasodilatasi, Kebocoran vaskular dan Spasme otot polos.11
Secara bersamaan setelah sinya untuk degranulasi terpacu, mediator
sekunder yang mencakup 2 kelompok senyawa yaitu mediator lipid dan sitokin
akan mengakibatkan reaksi fase lambat seperti : Edema paru, Sekresi mukus,
infiltrat leukosit, keruskaan peitel dan bronkospasme. Awalnya mediator lipid
dihasilkan melalui aktivasi fospolipase A2, yang memecah fopolipid membran sel
mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya asam arakhidonat akan
mensintesis 2 mediator sekunder yaitu leukotrin (C4, D4 dan B4) dan
prostaglandin (D2).11

Gambar 4. Aktivasi sel mast pada Hipersensitivitas tipe I.11


(Sumber : Patologi Robbins 2007.)

9
Leukotrin C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang
berperan ribuan kali lebih aktif dari histamin dalam meningkatkan premeabilitas
vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sedangkan
leukotrin B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit.
Prostaglandin D2 menyebabkan bronkospasme hebat dan meningkatkan sekresi
mukus.11
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergi akan menghasilkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan epitel saluran napas. Peregangan
vagal menyebabkan reflex bronkus, sedangkan mediator inflamasi akan
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
premeabel dan memudahkan alrgen masuk kedalam sub mukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Keruskan epitel bronkus oleh mediator yang
dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast, mislanya hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada
keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepaskannya neuropeptida
sensorik senyawa p. Neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida tesebut meyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,
eksudat plasma, hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.11
b. Hiperaktivitas saluran napas
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hiperativitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hiperaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi
bronkus, inhalasi udara dingin, maupun inhalasi zat non spesifik. Hiperaktivitas
saluran napas akan meyebabkan obstruksi saluran napas yang menyebabkan
hambatan aliran udara yang dapat kembali secara sepontan atau dengan
pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas
ialah edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukosa. Obstruksi terjadi
selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan
meyebabkan gas disaluran napas terperangkap. Bahkan pada asma yang berat
dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi.2

10
2.6 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik pada asma bronkial sama dengan gambaran klinis asma
klasik yaitu terdapat serangan episodik berupa wheezing, dispnea, batuk-batuk ,
dan dada terasa berat yang sering terjadi pada malam hari atau dini hari. Pada
asma alergik biasanya juga disertai pilek dan bersin-bersin setelah terpajan
alergen, meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret namun pada
perkembangannya batuk akan disertai sekret baik yang mukoid, putih dan kadang-
kadang prulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa
disertai wheezing, dikenal dengan istilah cough varian asthma, bila cough varian
asthma di curigai maka perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan
sesudah bronkodilator.2,7
2.7 Diagnosis Asma
a. Anamnesis.2
Pada anamnesis riwayat penyakit atau gejala akan dijumpai keluhan batuk,
dispnea, wheezing, dan rasa berat di dada, gejala timbul umumnya pada malam
hari atau dini hari bahkan pada saat beraktivitas fisik yang bersifat episodik,
sering reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Selain itu riwayat terpapar
alergen yaitu faktor pencetus asma juga penting di tanyakan dalam menegakan
diagnosis asma dan responsif pengobata dengan menggunakan bronkodilator
apakah membaik atau tidak sebagai mengukur derajat keparahan penyakit.
Hal lain yang perlu ditanyakan juga adalah riwayat keluarga apakah
memiliki keturunan penderita asma atau tidak, riwayat alergi ada atau tidak,
penyakit lain yang memperberat, perkembangan penyakit dan biasanya jika
kambuh di berikan apa juga harus di tanyakan untuk menunjang diagnosis asma
bronkial.
b. Pemeriksan Fisik.2
Peneuman tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung dari
derajat obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma sering
ditemukan perubahan cara bernapas dan terjadi perubahan bentuk anatomi
thoraks. Pada inspeksi dapat ditemukan bibir pasien sianosis, pernapasan cepat,
hiperinflasi thoraks, serta terlihat adanya retraksi pada otot bantu tambahan saat

11
bernapas seperti yang dapat terlihat pada leher, abdomen dan thoraks. pada
asukultasi dapat ditemukan ekspirasi memanjang dan terdapat wheezing pada
inspirasi maupun ekspirasi namun yang utama suara wheezing terdengar pada
ekspirasi.
c. Pemeriksan Penunjang.2
Spirometri
Cara paling cepat dan sederhana adalah dengan melihat response
pengobatang dengan bronkodilator.Pemeriksaan spirometri dilaukan sebelum dan
sesudah pemberian bronkodiator hirup (Inhaler atau Nebulizer) golongan
adrenergik beta. Peningkatan VEP1 sebanyak ≥ 12% atau (≥ 200mL) tidak berarti
bukan asma. Pemeriksaan Spirometri selain penting untuk menegakan diagnosis,
juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
Uji Provokasi Bronkus
Jika pemeriksaan spiromentri normal menujukan adanya hiperaktivitas
bronkus dilakukan uji provikasi bronkus. Ada 3 cara melakukan uji provokasi
bronkus :1) Dengan menggunakan histamin, metekolin, larutan garam hipertonik,
dan dengan menggunakan aqua destialta. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih
di anggap bermakna. 2) Dengan kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh
pasien berlari cepat dalam 6 menit sehingga mencapai dneyut jantung 80-90%
dari maksimum. Dianggap bermakna jika menunjukan penurunan APE paling
sedikit 10%. 3) Dengan menggunakan alergen dilakukan pada pasien alergi,
bermaka jika muncul gejala asma.
Pemeriksaan Eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah seing meningkat pada pasien asma dan
hal ini dapat mmbantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik.
Pemeriksaan ini juga dapat diapaki sebagai patokan untuk menentukan cukup
tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan untuk penderita asma.
Skin Test
Tujuan Uji kulit adalah untuk menunjukan adanya antibodi IgE spesifik
dalam tubuh. Uji ini hanya menunjang anamnesis, karena uji alergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.

12
Pemeriksaan Seputum
Seputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil
sangat dominan pada bronkhitis kronik. Selian untuk melihat adanya eosinofil,
kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk
melihat adanya miselium Aspergillus fumigatus.
Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik
Kegunaan pemerksaan ini adalah untuk penunjang adanya faktor atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
Foto Thoraks
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau
komplikasi asma seperti pneumotoraks, penumomediastinum, atelektasis, dan
lain-lain.
Analisis Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada penderita asma berat. Pada fase
awal serangan, terjadi hipoksemia danhipokapnia (PaCO2 <35 mmHg) kemudian
pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-
kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45
mmHg) , hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
2.8 Penatalaksanaan Asma Bronkial
1. Terapi non farmakologi.10
Mengontrol dan menghindari faktor-faktor pemicu serangan asma melalui
edukasi kepada pasien tentang tanda awal gejala asma, faktor-faktor apa yang
dapat memunculkan kekambuhan asma pada pasien dan memberi tahukan kepada
pasien bagaimana cara penanganan asma yang memerlukan penanganan intensif
maupun yang dapat di tangani pasien sendiri.

13
2. Terapi Farmakologi.10
Terapi ini bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas yang tardiri dari terapi pengontrol (controller) dan terapi pelega (reliever
medication).
a. Controller medication
Controller medication adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan
asma yang presisten. Terapi ini di berikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma presisten. Jenis Obat
Pengontrol : Kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat,
nedokromil sodium, metilsantin, agonsi beta-2 long acting inhalasi dan oral,
leukotrien modifiers dan anti histamin generasi ke dua.
Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma
adalah penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi
dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi adalah
pilihan pertama bagi pengobatan asma presisten (ringan sampai berat).
Tabel 3. Dosis Glukokortikosteroid Inhalasi Dewasa10
Obat Dosis Rendah Dosis Medium Dosis Tinggi
Beklometason 200-500 ug 500-1000 ug >1000 ug
Dipropionat
Budesonid 200-400 ug 400-800 ug >800 ug
Flunisolid 500-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
Flutikason 100-250 ug 250-500 ug >500 ug
Triamsinolon asetonid 400-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
(Sumber : Farmakologi dan Terapi 2007)
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Dalam pemberian
glukokortikosteroid sistemik harus di perhatikan efek jangak panjang dan indikasi
pemberiannya. Pemberian glokokortikosteroid sistemik jangka panjang tidak di
sarankan karena memiliki efek samping yang lebih banyak di bandingkan dengan
pemberian glukokortikosteroid inhalasi.

14
Contoh obat : Hidrokortison (short acting), prednison (intermediet acting), dan
dexametason (long acting).
Kromolin ( Sodium Kromoglikat dan nedpkromil sodium)
Bekerja dengan menghambat pelepasan histamin. Pemberiannya secara
inhalasi karena pemberian kromolin secara oral sangat buruk untuk di absorpsi,
kromolin digunakan sebagai pengontrol pada asma presisten ringan. Dibutuhkan
waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau
tidak.
Metilxantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga punya efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat
pengotrol, berbagai studi menunjukan pemberian teofilin efektif mengotrol gejala
dan memperbaiki faal paru.
Agonis Beta-2 long acting
Termasuk didalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
fermoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Seperti lazimnya agonis
beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan premeabilitas pembuluh darah dan memodulasi
pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Tabel 4. Onset dan Durasi Inhalasi Agonis Beta-210
Durasi (Lama Kerjanya)
Onset
Singkat Lama
Fenoterol Formoterol
Prokaterol -
Cepat Salbutamol / Albuterol -
Terbutalin -
Pirbuterol -
Lambat - Salmeterol
(Sumber : Farmakologi dan Terapi 2007)
b. Reliever medication
Reliever medication adalah obat yang cepat menghilangkan gejala asma
yaitu obstruksi saluran napas. Prinsipnya untuk dialtasi jalan napas melalui
relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang

15
berkaitan dengan gejala akut seperti wheezing, rasa berat di dada dan batuk. Obat
ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan
napas.
Jenis obat pelega : Obat Agonis beta-2 short acting, kortikosteroid
sistemik, antikolinergik, aminofilin dan adrenalin.
Agonis Beta-2 Short Acting
Mempunyai onset yang cepat, mekanisme kerja sebagai mana agonsi beta-
2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,
menurunkan premeabilitas pembuluh darah dan modulasi pelepasan mediator dari
sel mast. Merupakan pilihan terapi pada serangan akut.
Contoh obat : Salbutamol, Terbutalin, fenoterol dan prokaterol.
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi, mekanisme kerjanya dengan memberi efek
pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilator dengan menurunkan tonus kolnergik vegal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam
golongan : Ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pengobatan pada sasma ekserbasi sedang sampai
berat. Pemberian secara subkutan di pertimbangkan untuk usia lanjut dan
penderita penyakit kardiovaskular.

2.9. Penanganan anestesi preoperatif


Evaluasi Preoperatif12,13
Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat
penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik
intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru,
dan analisa gas darah, foto rontgen thorax.

16
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-
obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan,
obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya. Bila
baru-baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan
maka operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas
jalan napas.

2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas
yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis,
ekspirasi memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing,
ronchi. Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot
pernapasan tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis,
sedikit atau tidak ada whezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan
whezing menurun).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil
ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga
untuk membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum
selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden,
spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut
umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau
adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis,
pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena
hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang hiperluscen.
5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran
aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus

17
puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil
pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk
laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus
puncak ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa
muda lebih dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150
L/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan
meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50%
menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter
menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering
terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang
baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak
mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan
ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang
sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak pada sistem
respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko komplikasi paru
postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan respon pengobatan
(Bronkodilator).
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :
Keadaan Klinik % FEV/FVC
Normal 80-100
Asma Ringan 75-79
Asma Sedang 50-74
Asma Berat 35-49
Status Asmatikus <35

6. Pemeriksaan Analisa gas darah


Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnia, dan
asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi
paru-paru.4

18
7. Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas.
Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk
dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang
berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang
batuknya sangat lemah.

Pengelolaan preoperatif14,15
Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang
menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses
obstruksi yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses
inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator
misalnya adalah empisema, tumor.
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat
bronkodilator yang berisi β-adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan
kortikosteroid. Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit
perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.

Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :
a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi
melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan
juga neurotransmiter kolinergik.
1) Obat dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2
puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap
4-6 jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan
metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam
atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan
terapi β-bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme
bronkus seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol.

19
2) Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin
(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik obat-
obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung.
Pemberian intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan pada
pasien bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2 dominan,
dengan meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal adrenergik.
Pada dosis tinggi epinefrin, efek alfa adrenergic menjadi dominan, dengan
peningkatan tekanan darah sistemik.
b. Parasimpatolitik
Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja asetilkolin
pada second messenger seperti cGMP. Obat-obat ini meningkatkan FEV1 pada
pasien PPOK bila diberikan secara inhalasi.
 Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang diberikan dengan
inhaler dosis terukur atau dengan nebulizer.
 Sulfas atropine, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat
menyebabkan takikardi.
c. Metilxantin
Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu enzim
yang bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner obat ini lebih
komplek termasuk pelepasan katekolamin, blockade pelepasan histamine, dan
stimulasi diafragma. Teofilin kerja panjang peroral digunakan pada pasien
dengan gejala nocturnal. Namun sayangya teofilin memiliki terapi range yang
sempit, level terapi dalam darah sekitar 10-20g/ml. level yang lebih rendah
mungkin efektif. Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara
intravena.

d. Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap


bronkodilator. Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan
inflamasi, edema, sekresi mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi membran
mast sel. Meskipun sangat berguna pada eksaserbasi akut, efek klinisnya
membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid dapat diberikan melalui inhalasi.

20
Steroid intravena yang sering digunakan meliputi hidrokortisone 100 mg tiap 8
jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap 6 jam pada asma bronkiale dan dosis
lebih besar pada eksaserbasi asma berat. Kortikosteroid dapat meningkatkan
efek langsung pada otot polos, kortikosteroid juga meningkatkan jumlah
reseptor beta 2 adrenergik dan responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik.
e. Kromolin, merupakan obat inhalasi yang digunakan untuk profilaksis pada
asma. Bekerja dengan menstabilisasi membrane sel mast dan mengumpulkan
pelesan akut mediator bronkoaktif. Obat ini tidak berguna pada serangan akut
bronkospasme.
f. Mukolitik
 Asetilsitein, diberikan melalui nebulisasi, dapat menurunkan viskositas
mucus dengan memecahkan ikatan disulfide pada mukoprotein.
Premedikasi
Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek
bronkonstriksi terhadap iritasi jalan nafas.

a. Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat
diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki
komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling
aman untuk premedication. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk
anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma
yang dipicu oleh emosional.
b. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih
yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil
c. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat
sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi.
Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena
tindakan intubasi.
d. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara
teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan

21
menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1
yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan
bronkokonstriksi.
e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau
kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80
mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Bronkodilator harus diberikan sampai
proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama
glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi
adrenal. Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama
1-3 hari post operasi.
f. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium
dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.

2.10 Penanganan Anestesi Intra Operatif15,16

Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah


pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi
khusus atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap
sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain
diperlukan kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena
pertimbangan atau untuk mengendalian nyeri postoperatif.

A. Regional Anestesi

Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas


bawah. Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot
tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal
anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC,
mengurangi kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu
gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural

22
anestesi dapat memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis
pada jalan napas bawah(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak
terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol
jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada
prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general
anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan
regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam
waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada
tahap kritis pembedahan.

B. Anestesi Umum

Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama
anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering
dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium,
morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika
digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman
anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting
dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi
pembedahan.
Penggunaan laryngeal mask airway LMA) menurunkan bronkospasme,
tapi tidak menghilangkan resiko bronkospasme sebagai akibat dari tindakan
laringkoskopi. Resiko tambahan pada penggunaan LMA ketidak mampuan untuk
ventilasi selama bronkospasme karena tekanan inspirasi dapat menambah
penutupan LMA pada laring. Yang paling bagus LMA proseal yang dapat
mengatasi keterbatasan itu.
1. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi
dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan
berpengaruh pada diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek
langsung relaksasi otot polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada

23
pasien dengan gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek
aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan
derajat yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi
ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan
memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas. Agen
inhalasi halothane lebih efektif sebagai bronkodilator dibandingkan dengan
isoflurane, namun bila dibandingkan dengan desfluran, desflurane dapat
menyebabkan batuk dan dapat mencetus bronkospasme. Namun halotan tidak
ideal pada pasien yang menderita kelainan jantung karena halotan dapat
mengakibatkan disaritmia karena efek katekolamin release. Alternatif lain untuk
menurunkan reflek pada jalan nafas dapat diberikan 1,5 mg/kg i.v 1-3 menit
sebelum intubasi.
2. Obat-Obat Induksi Intravena
Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset
kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton,
propofol, dan ketamin. Ketamin, satu-satunya agen intravena dengan kemampuan
bronkodilatasi, dengan menghambat re-uptake nonadrenalin pada ujung syaraf
simpatis sehingga berefek bronkodilatasi.
Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-
kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin,
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan
bronkokonstriksi melalui reseptor μ2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan
mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut
akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor μ2 dapat
menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas
vagal (biasanya karena iritan)14 propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif.
Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse
bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan melalui
penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu penelitian,
walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi,
ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol.16 Propofol dengan dosis 2,5

24
mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding dengan
penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan
dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang
cepat dan akhit cepat pula.16 Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek
analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan
pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva
dan tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue
seperti atropin ataupun gycopyrrolate.17
Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian
tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen
volatil selama 5 menit atau diberikan lidocain intravena atau intratracheal 1-2
mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika
dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg
atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.
Penggunaan morfin masih diperdebatkan karena aktivitas pelepasan
histamine. Opioid mempunyai efek analgesi dan sedasi, tapi penggunaannya
sebaiknya dititrasi untuk menghindari depresi respirasi, terutama pada pasien
dengan disfungsi paru berat. Kodein dan morfin pada dosis besar dapat mencetus
pelepasan histamin.

3. Muscle Relaxant
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan
adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran
ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan
sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah
dengan penggunaan antagonis muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate
0,5 mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat
digunakan muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat
menyebabkan pelepasan histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan
aman pada kebanyakan pasien asma. Obat muscle relaksan selama maintenance
sering digunakan adalah non depolarisasi, dimana dihindari obat yang histamine

25
release seperti atrakurium. Secara teori obat antagonis non depolarisasi
neuromuscular menghambat antikolinesterase yang akan mengakibatkan
bronkospasme.

Terapi Bronkospasme Intraoperatif16,17

Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing, munculnya


penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari
gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya.
Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube
endotracheal dari kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi endobronchial,
tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem pulmo atau emboli dan
pneumothorak semua dapat menyebabkan bronkospasme.2 Bronkospasme harus
ditangani dengan suatu beta adrenergik agonist baik secara aerosol atau inheler
kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas (gas pembawa yang menggunakan dosis
terukur dapat berinterferensi dengan pembacaan massa spectrometer).
Hidrokortison intervena (1,5-2 mg / kg) dapat diberikan, terutama pada pasien
dengan riwayat terapi glukokortikoid.2 Tehnik pemberian ini adalah secara
matered dose inheler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian
bawah. Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminopillin intravena,
terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang tidak menerima aminopillin
preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20
menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan
asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2
dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit)
volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.
Apabila terjadi bronkospasme yang berat terjadi managemen yang harus
dilakukan :
 Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%
 Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen volatile
 Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan

26
 Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus I.v (10μg=0,1
ml), ketamin 2 mg/kg magnesium 2 gr i.v secara lambat
 Hidrokortison 200 mg i.v.
Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat
dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan
ventilasi pada beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang
lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner
akibat pemberian beberapa bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi
perfusi yang sudah rendah ini. Oleh karena itu pada pasien-pasien yang
teranestesi, yang penting adalah meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi
menjadi 100% pada saat terjadi bronbkospasme. Hal ini tidak hanya
meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga meyakinkan tekanan partial
oksigen dalam alveoli.16
Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi
pelemas otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak
memacu terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik
dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya
reflek jalan napas normal untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma
sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan
kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan reflek jalan napas.17

2.11 Penanganan Anestesi Postoperatif16,17


Kontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural analgesia. NSAID
harus dihindari karena dapat mencetus terjadinya bronkospasme. Oksigenasi harus
tetap diberikan. Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian
bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan.
Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien
mampu menggunakan MDI (Meteroid Dose Inheler) sendiri secara benar.

1. Buka penutup dan pegang inheler tegak


2. Kocok inhaler
3. Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc

27
4. Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut
5. Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam
3-5 detik
6. Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai
paru-paru
7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator
bisa membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini
perlu untuk memberikan dosis yang benar
8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler

Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi
kriteria sebagai berikut;
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR ≥ 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria

Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok


neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan
brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang
teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif,
dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post
operatif adalah hal yang penting menurunkan bronkospasme.17 Masalah berikut
yang terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan
pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan VA
(Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity). Penurunan VA
diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn dead
speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi,
narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia
gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada neervus

28
phrenicus. Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung,
bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru,
dan pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi
endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura,
cedera nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang
merupakan predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan
menurunkan angka kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive
spirometry merupakan cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan
mempertahankan FRC atau dengan continous positive airway pressure (CPAP)
dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam.
Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan
mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :
1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support
2. FEV atau PEV < 50%
3. PCO2 > 50 mmHg
4. PO2 < 50 mmHg
5. Pasien nampak bingung dan lemah
6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis
7. Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi
disertai instabilitas hemodinamika
8. Pasien major trauma yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery
9. Pasien yang menjalani major surgery.

29

Anda mungkin juga menyukai