Anda di halaman 1dari 15

Diagnosis dan Penatalaksanaan Tinea Cruris

Thya Fitriani

102012398

Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi : Jalan Tanjung Duren Dalam IV No 13, Jakarta Barat

Email : thya_rebeca@ymail.com

Abstak : Tinea kruris merupakan dermatofitosis yang mengenai daerah lipat paha, termasuk
genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal. Tinea kruris merupakan bentuk dermatofitosis yang
paling sering di jumpai dan mempunyai angka kekambuhan yang cukup tinggi yaitu 20-25%. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekambuhan pada tinea kruris antara lain: jenis
penyebabnya, suhu yang tinggi, lembab, kebersihan yang kurang, serta cara pengobatan yang tidak
benar antara lain cara pengolesan.

Diagnosis tinea kruris berdasarkan gambaran klinis yang khas disertai dengan pemeriksaan
mikroskopis : KOH 10% yang positif. Sampai saat ini belum pernah di laporkan seberapa jauh
jarak elemen jamur berupa hifa ataupun spora dari tepi lesi klinis.

Pengobatan pada tinea kruris secara topikal dengan krim ketokonazol 2%, dilakukan secara lokal
pada lesi dan dari daerah lesi sampai 3 cm di luar batas lesi dengan alas an adanya elemen jamur
di luar batas lesi klinis.

Kata Kunci : tinea cruris, pengobatan

Abstract : Tinea cruris is a dermatophytosis which affects the thighs’folds, including genetalia,
pubic area, perineum and perianal. Tinea cruris is the most commonly found dermatophytosis and
has a quite high recurrency rate of 20-25 %. There are several factors which can trigger
recurrency in tinea cruris, i.e : the etiology, high temperature, humidity, lack of hygine, and
incorrect treatment, for example the way of application.
The diagnosis of tinea cruris was determined based on characteristic clinical signs and the result
of microscopic examination positive KOH 10 %. Up to now there has been no report as to how far
the fungi element in the form of hypha or spora is from the edge of clinical lesion.

The treatment of tinea cruris with ketoconazol 2 % cream was topical done locally on the lesion
and on the lesion area to 3 cm beyond the edge of lesion based area, the theory that there fungi
element beyond the clinical lesion.

Key words : tinea cruris, treatment

Scenario

Laki-laki berusia 30 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan bercak coklat pada kedua lipatan
paha yang terasa gatal sejak 4 minggu yang lallu. Gatal terutama dirasakan saat cuaca panas
atau saat cuaca panas atau saat berkeringat banyak. Pasien mengobati sendiri dengan salep
hidrokortison teteapi tidak terdapat perbaikan pada kelainan kulit meluas.

Anamnesis
Anamnesis terhadap pasien, selalu diawali dengan identitas. Setelah itu dilakukan
penggalian keluhan utama dan keluhan tambahan lain, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit keluarga dan riwayat penyakit sosial.1

Identitas yang ditanyakan berupa :


 Nama  penting untuk komunikasi dengan pasien
 Jenis kelamin
 Tempat, tanggal lahir  ada penyakit yg masa inkubasinya panjang yang endemik di
tempat tertentu, dan bila ia lahir di situ, mungkin ia dapat terkena penyakit tersebut (cth :
lepra, frambusia meskipun sudah jarang). Dari tanggal lahir diperoleh usia
 Status perkawinan  utk penyakit kelamin penting : perilaku seksual
 Alamat  mengetahui jenis lingkungan
 Bangsa  kurang begitu penting mengetahui suku bangsa di kulit, ini untuk membedakan
warga negara Indonesia dengan bukan saja.
 Agama  untuk pendekatan personal
 Pendidikan  pemilihan bahasa dalam edukasi
 Pekerjaan  mengetahui risiko paparan dan kisaran pendapatan

Ditanyakan pula pertanyaan spesifik apa saja yang bisa mengarah penyakit untuk kasus ini.
Perlu dicari pula Riwayat Penyakit Dahulu (sebenarnya sudah tercakup di anamnesis terarah di
atas), seperti riwayat DM, alergi, pernah mengalami penyakit yang sama atau tidak, sedang dalam
pengobatan atau tidak, dan sebagainya. Bagitu pula Riwayat Penyakit Keluarga (apakah
keluarganya ada yg menderita penyakit serupa, alergi, DM, kelainan kulit lain) dan Riwayat Sosial
(kebiasaan berpakaian, higiene diri dan lingkungan).1

Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis (dermatologikus). Status
generalis meliputi keadaan umum, gizi, jantung/paru, abdomen, ekstremitas, KGB, dan lainnya.
Namun, pada kulit, pemeriksaan lebih difokuskan pada status dermatologikus.
Pemeriksaan pada kulit hanya memerlukan inspeksi, terkadang mungkin palpasi. Pada inspeksi
perlu dilaporkan :
1. lokasi lesi
2. ukuran lesi
3. kelainan berupa apa, bentuk dan susunannya
3. perlu dilaporkan pula batas, dan penyebarannya
4. adakah efloresensi tambahan : dilaporkan mulai dari yang primer hingga yang sekunder

Pada pemeriksaan fisik pasien yang ada diskenario tersebut bisa dilihat dari lokalisasi dan
efloresensi/sifat-sifatnya,biasanya pada tinea kruris didapatkan pmeriksaan pada regio inguinalis
bilateral, simetris, meluas keperineum.1 Sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus dapat pula
meluas ke suprapubis dan bagian abdomen bagian bawah.

Efloresensi/sifat-sifatnya didapatkan adanya macula eritematosa nummular sampai geografis,


berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustule. Jika kronik macula menjadi
hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya.2
Pembahasan

Tinea kruris merupakan infeksi dermatofit yang mengenai daerah lipat paha, termasuk genitalia,
daerah pubis, perineum, dan perianal. Sinonimnya ringworm of the groin, eczema marginatum
hebrae, jockey itch, dhobie itch, epidermatofitosis inguinale.2

Epidemiologi

Tinea kruris lebih sering di jumpai pada daerah tropis/subtropis, dimana Indonesia merupakan
negara tropis yang beriklim panas dengan kelembaban yang tinggi mempermudah timbulnya
infeksi tinea kruris sehingga infeksi jamur ini banyak di temukan.1

Tinea kruris lebih banyak dijumpai pada laki-laki disbanding wanita. Biasanya mengenai penderita
usia 18-60 tahun, tetapi paling banyak dijumpai pada usia antara 18-25 tahun serta antara usia 40-
5- tahun. Insiden tinea kruris menempati urutan pertama pada frekuenwsi bentuk klinis infeksi
jamur superfisial darin 5 rumah sakit di Indonesia tahun 2007-2013.

Tinea kruris mempunyai angka kekambuhan yang cukup tinggi yaitu 20-25%.1

Etiologi

Tinea kruris sering disebakan oleh dermatofit genus trichophyton dan epidermophyton. Spesies
yang sering di temukan E.floccosum, T. rubrum, dan T. mentagrophytes. Genus Microsporum juga
dapat menyebabkan tinea kruris tetapi jarang. Kekambuhan pada tinea kruris terutama disebabkan
oleh T.rubrum.1

Patogenesis Tinea Kruris

Infeksi diawali dengan adanya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jariongan keratin
yang mati. Hifa ini menhasilkan enzim keratolitik yang kemudian berdifusi ke epidermis dan
akhirnya menimbulkan reaksi inflamasi akibat kurasakan keratinosit. Pertumbuhan jamur dalam
stratum korneum mengakibatkan timbulnya lesi sirsinar dengan memberikan batas yang jelas dan
meninggi,disebut ringworm. Reaksi kulit semula berupa bercak atau papul bersisik yang
berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.1,2
Jamur golongan dermatofita ini dapat menimbulkan infeksi ringan sampai berat bergantung dari
respon imun penderita. Kekebalan terhadap infeksi ini dapat melibatkan mekanisme imonologis
maupun non imunologis. Mekanisme imunologis yang terpenting adalah adanya aktivitas imunitas
seluler, melalui mekanisme hipersensitivitas tipe lambat, sedangkan mekanisme non imunologis
antara lain melibatkan adanya asam lemak jenuh berantai panjang di kulit dan substansi lain yang
disebut sabagai serum inhibitory factor. Namun demikian bergantung pada berbagai faktor, dapat
terjadi pula suatu resolusi spontan sehingga gejala klinis menghilang atau jamur hidup persisten
selama beberapa tahun dan kambuh kembali. Radang dermatofitosis mempunyai korelasi dengan
reaktivitas kulit tipe lambat (sistim imunitas seluler). Derajatnya sesuai dengan sensitisasi oleh
dermatofita dan sejalan pula dengan derajat hipersensitivitas tipe lambat (HTL), HTL ini dimulai
dengan penangkapan antigen jamur oleh sel langerhans yang bekerja sebagai APC (antigen
precenting cell) yang mampu melakukan fungsi fagosit, memproduksi IL-1, mengekspresikan
antigen, reseptor Fc dan reseptor C3. Sel langerhans berkumpul dalam kulit membawa antigen ke
dalam pembuluh getah bening kemudian menuju kelenjar getah bening dan mempertemukannya
dengan limfosit yang spesifik. Selain oleh sel langerhans, peran serupa dilakukan pula oleh sel
endotel pembuluh darah, fibroblast dan keratinosit. Limfosit T yang telah aktif ini kemudian
menginfiltrasi tempat infeksi dan melepaskan limfokin. Limfokin inilah yang mengaktifkan
makrofag sehingga mampu membunuh jamur patogen.1

Gambaran Klinis

Pturitus merupakan gejala yang umum, bisa terdapat nyeri jika daerah yang terkena maserasi atau
terjadi infeksi sekunder. Pada tinea kruris yang klasik memberikan wujud kelainan kulit yang
bilateral, namun tidak selalu simetris. Lesi berbatas tegas, tepi meninggi yang dapat berupa
papulovesikel eritematosa, atau kadang terlihat pustule. Bagian tengah menyembuh berupa daerah
coklat kehitaman berskuama. Garukan kronis dapat, menimbulkan gambaran likenifikasi. Dua
organisme utama penyebab tinea kruris bisa memberikan gambaran klinis yang berbeda, pada
infeksi oleh E. floccosum terdapat gambaran, lesi jarang meluas melewati regio genitokrural dan
paha atas bagian dalam. Sedangkan oleh T. rubrum sering bersatu dan menyebar meliputi daerah
yang lebih luas yaitu daerah pubis, abdomen bagian bawah,gluteus dan daerah perianal, biasanya
selain timbul rasa gatal kadang-kadang timbul rasa panas.3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk memperkuat diagnosis & menghilangkan kemungkinan
diagnosis lain. Banyak pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan yang sesuai untuk kasus
penyakit tersebut.
Pada tinea cruris, pemeriksaan mikroskopik (dengan menggunakan mikroskop) secara langsung
menunjukan artrospora (hifa yang bercabang) yang khas pada infeksi dermatofita. Pemeriksaan
mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah
dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis
berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alcohol 70%.4

Pemeriksaan langsung

Sediaan dari bahan kerokan kulit, dengan larutan KOH 10-30% atau pewarnaan gram. Dengan
pemeriksaan mikroskopik akan terlihat elemen jamur dalam bentuk hifa panjang, spora dan
artrospora (spora yang berderet).4,5

Pembiakan

Tujuan pemeriksaan cara ini, adalah untuk mengetahui spesies jamur penyebab, dilakukan bila
perlu. Yaitu, bahan kerokan ditanam di dalam agar Sabouroud dekstrose; untuk mencegah
pertumbuhan dari bakteri, juga dapat ditambahkan antibiotic (misalnya Khloramfenikol), atau
ditambah pula Klorheksimid ke dalam media tersebut. Kedua zat tersebut diperlukan untuk
menghindari kontaminasi bekterial maupun jamur kontaminan. Perbenihan di inkubasi pada suhu
24-30oC. Pembacaan atau pengamatan dilakukan dalam waktu 1-3 minggu. Koloni yang tumbuh
diperhatikan warna, bentuk, permukaan dan ada atau tidaknya hifa.4,5

Lampu Wood

Bisa digunakan untuk menyingkirkan eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata
(Wiederkehr, Michael. 2008) kebanyakan dermatofitosis tidak fluoresen termasuklah penyebab
tinea kruris. Pemeriksaan cahaya wood dapat membantu membedakan eritrasma yang disebabkan
oleh bakteria Corynebacterium minutissium, yang fluoresen merah, dan tinea cruris yang tidak
fluoresen. Apabila positif, uji wood ini dapat membantu menentukan lamanya infeksi, respon, dan
rawatan yang harus diberi.4

Diagnosis Banding
Tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan :

Kandiadiasis

Adalah infeksi oportunistik yang sangat umum pada orang dengan HIV. Infeksi ini disebabkan
oleh sejenis jamur yang umum, yang disebut kandida (jamur semacam ragi, ditemukan di tubuh
kebanyakan orang). Bisa menyebabkan penyakit di mulut (thrush), tenggorokan (esofagitis) dan
vagina (vaginitis).3

Mikosis kutis oleh kandida (kandidosis) adalah suatu contoh mikosis oleh jamur ragi. Jamur ragi
pathogen yang tersering ialah Candida albicans (jarang jenis kandida lainnya). Candida albicans
selain menyebabkan infeksi kutis superfisialis juga menyebabkan onikomikosis, mikosis mukosa
dan mikosis sistemik.3

Hasil pemeriksaan dan gambaran klinis

Tergantung pada lokasi dan factor disposisi memberikan gambaran yang berbeda-beda

 Kandidosis intertriginosa: pada daerah lipatan kulit terlihat lesi datar kemerahan disertai
erosi-erosi dan/atau plak keputihan dengan pustel di bagian tepi, pruritus. Sering dijumpai
pada penderita adipositas dan/atau diabetes
 Kandidosis interdigitalis: di sela-sela jari tangan dan kaki tampak maserasi, erosi, juga
ragade. Sering dijumpai pada orang-orang yang bekerja dalam lingkungan yang basah.
 Kandidosis diaper: dermatitis dengan eritema, skuama, erosi pada daerah popok,
disebabkan oleh feses yang mengandung kandida seperti juga lingkungan yang lembab dan
maserasi.3

Eritrasma

Salah satu penyakit bakteri yang selama lebih dari 100 tahun lamanya dianggap sebagai
penyakit jamur. Penyakit ini bersifat kronik pada stratum corneum yang disebabkan oleh
Corynebacterium minitussismum, ditandai dengan adanya lesi berupa eritema dan skuama halus
terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Penyebab eritrasma (Corynebacterium minitussismum)
termasuk dalam grup bakteri korineformis (antara lain Corynebacterium, propionibakterium).
Infeksi kulit local seperti mikosis pada daerah predileksi, gambaran klinik yang mencolok, tetapi
tidak berbahaya, biasanya tanpa keluhan.2

Hasil pemeriksaan dan gambaran klinis

Macula kira-kira sebesar permukaan tangan, berwarna merah kecoklatan berbatas melengkung dan
tajam, kadang-kadang terdapat skuama ringan, jarang menyebabkan rasa gatal.

Factor disposisi: lingkungan kulit yang hangat dan lembab, biasanya terdapat di daerah intertrigo
(genitokrural, perianal, aksiler). Pada pemeriksaan dengan sinar UVA (Lampu Wood) tampak
fluoresensi merah karena pembentukkan porfirin oleh bakteri.2,3

Dermatitits seboroik

Secara klinis merupakan suatu penyakit dalam kelompok dermatitis; sering didiagnosis tetapi
belum jelas definisinya, mungkin karena heterogen. Sebagian dapat juga sebagai bentuk atipik dari
dermatitis atopic, psoriasis atau juga sebagai bentuk campuran. Melalui sebore dan/atau microbial
(jamur ragi, bekteri) terjadi suatu bentuk dermatitis, terutama dalam “seborrhoe”.3

Hasil pemeriksaan dan gambaran klinis

 Bentuk pada bayi:

Sering dimulai pada usia 1 bulan, mula-mula lesi dengan krusta kekuningan, sering pada
bagian kepala yang berambut; kemudian reaksi radang dengan eritema, skuama dan krusta,
meluas ke batang tubuh dan daerah intertriginosa.

Komplikasi: Berkembang menjadi eritroderma sekunder (eritroderma deskuamativa)

 Bentuk dewasa:

Biasanya lesi jelas, numuler, pada mulanya juga folikuler dengan eritema dan skuama seboroika.
Tempat predileksi ialah bagian kepala yang berambut, daerah telinga, lipatan nasolabial dan dada
bagian tengah.

Komplikasi: eritroderma sekunder (jarang)

 Bentuk khusus
Bentuk yang menyerupai psoriasis, bentuk campuran dari dermatitis seboroika dan
psoriasis (sebopsoriasis)

Dermatitis seboroika yang berasosiasi dengan HIV.3

Dermatitis Atopik

Dermatitis Atopik (D.A) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal,
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak – anak, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (D.A., rinitis
alergik, dan atau asma bronkial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami
eksoriasi dan likenifikasi, distribusinya dilipatan (fleksural).3

Bentuk klinis DA berbeda menurut fase umur penderita. Dikenal 3 fase dengan gambaran klinik
masing-masing fase berbeda (Moelyono, 1986) :

DA tipe infantil.

Biasanya timbul pada usia 2 bulan sampai usia 2 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada usia
2-3 minggu. Bentuk yang paling sering adalah bentuk basah. Mula-mula berupa papula milier
kemudian timbul eritem, papulovesikel yang bila pecah akan menimbulkan erosi dan eksudasi.
Biasanya terjadi pada muka terutama pipi, dapat meluas ke dahi, kulit kepala, leher, pergelangan
tangan, ekstremitas bagian ekstensor dan bokong. Bentuk lain yang jarang terjadi adalah bentuk
kering. Kelainan dapat berupa papula kecil, skuama halus, likenifikasi dan erosi. Biasanya terjadi
pada anak yang lebih besar. Eksaserbasi bisa terjadi karena tindakan vaksinasi, makanan, bulu
binatang atau perubahan suhu.3
DA tipe anak-anak.
Timbul pada usia 2 tahun sampai 10 tahun. Kelainan dapat berupa papula, likenifikasi,
skuama, erosi dan krusta. Biasanya terjadi pada fossa poplitea, antekubiti, pergelangan tangan,
muka dan leher. Eksaserbasi tipe anak lebih sering karena iritasi dan kadang-kadang karena
makanan.
Stigmata Atopik pada anak (Soedarmadi, 1986) :
1. Temperamen, anak tak pernah diam, iritabel dan agresif.
2. Lipatan bawah mata ( tanda Dennie-Morgan ).
3. Penipisan alis bagian lateral ( tanda Hertoghe ).
4. Kulit kering atau xerotik.
5. Pitiriasis alba.
6. Keratosis pilaris.
7. Muka pucat ( paranasal dan periorbita ).
8. Lipatan garis tangan berlebihan.
9. Keratokonus dan katarak juvenile.
10. Mudah terkena infeksi.3

Diagnosis

Diagnois ditegakan berdasarkan gambaran klinis yang khas disertai hasil pemeriksaan
mikroskopis KOH 10% yang positif, yaitu adanya elemen jamur berupa hiofa yang bercabang dan
atau atrospora, dan pemeriksaan kultur jamur yang bermanfaat untuk menentukan etiologi spesies
penyebabnya.

Pemeriksaan KOH

Sebelum pengambilan specimen sebaiknya dilakukan pembersihan lokasi dengan alcohol 70%
untuk mengilangkan kotoran yang akan mengganggu kultur jamur.

Cara melakukan pemeriksaan KOH, yaitu :

 Specimen diambil daerah pinggir lesi yang paling aktif


 Letakan specimen pada tengah kaca objek
 Specimen ditetesi 1-2 tetes larutan KOH 10 % lalu ditutup dengan kaca tertutup. Tunggu
hingga 10 menit.
 Diperiksa dibawa mikroskop dengan kondensor, mula-mula dengan pembesaran 10x10
untuk mencari bagian specimen yang diperiksa, kemudian dengan pembesaran 10 x 45,
akan ditemukian elemen yang terlihat jelas.

Pemeriksaan kultur tidak rutin dilakukan pada diagnosis dermatofitosis. Kultur dilakukan untuk
kepentingan epidemiologis. Media yang digunakan adalah agar dekstrosa saboraud yang dibubuhi
anbiotika dan sekloheksimid, disimpan pada suhu kamar 25-300C. setelah 7-10 hari dinilai
perubahan atau pertumbuhan jamur. Untuk menentukan spesies penyebab dilakukan identifikasi
makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis tampak gambaran “gloss” koloni dengan
melihat tekstur, topografi dan pigmentasinya, sedangkan identifikasi mikroskopis dibuat preparat
dengan penambahan lactophenol cotton blue (LPCB) dan diperiksa dibawah mikroskop dengan
pembesaran objektif 45X. gambaran mikroskopis yang harus diperhataikan adalah hifa, pigmentasi
dinging sel jamur, karakteristiksporulasi (makronidia dan mikronidia).2,5

Pada E. floccosum, koloni granular bulat atau lonjong dengan pigmentasi kuning kecoklatan,
mikroskopis : tampak makronidia berdinding halus berbentuk gada berkelompok, tidak dijumpai
makronidia. Pada T. rubrum, koloni sperti kapas halus dan tersebar dengan pigmentasi awal
berwarna putih dan cenderung berubah menjadi ungu kemerahan atau kuning jingga, mikroskopis
: mikronidia jarang ditemukan, berbentuk seperti pinsil dan mikronidia berbentuk teardrop.
Sedangtkan pada T. menthagrophytes, koloni seperti kapas halus dengan pigmentasi putih dan
dapat berubah kuning, mikroskopis : mikronidia berbentuk gada atau cerutu dan mikronidia kecil
bulat seperti buah anggur dan hifa berbentuk spiral.5

Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan meliputi penatalaksanaan secara umum yaitu menetapkan tujuan


pengobatan, mencegah penyakit menjadi kronis, mencegah timbulnya kekambuhan. Sedangkan
strategi pengobatan meliputi diagnosis yang tepat, mengatasi atau menghilangkan faktor-faktor
yang mempermudah timbulnya infeksi jamur, memilih cara pengobatan yang tepat, serta
mengoptimalkan kepatuhan penderita untuk kesembuhannya.2

Untuk lesi lokalisata dapat diberikan preparat anti jamur topical. Sedangkan untuk lesi luas
atau gagal dengan pengobatan topical diberikan preparat anti jamur sistemik.

Pengobatan dermatofitosis atau tinea ini sebaiknya didahulukan dengan menghilangkan factor
predisposisinya seperti mengusahakan daerah lesi selalu kering memakai baju yang menyerap
keringat.2

Medikamentosa

Obat-obat yang digunakan pada infeksi jamur, terdiri atas 2 jenis, yang dibedakan berdasarkan
cara pemakainnya, yaitu:
Obat topical, harus memenuhi criteria:

 Bersifat antifungal aktif


 Dapat berpenetrasi ke dalam kulit
 Bekerja aktif di dalam dan di luar sel
 Mempunyai daya tahan terhadap hasil-hasil metabolism
 Tidal (menimbulakan sensibilisasi)

Terdiri dari:

 Golongan antifungal konvensional


a. Salep Whitfield
b. Castelani’s paint
c. Asam Undesilinat

Kerja obat-obat ini sebagai keratolitik, antifungal dan antibakteri. Obat-obat ini mempunyai
spectrum sempit, dan penggunaanya hanya untuk infeksi di kulit

 Golongan antifungal terbaru


a. Tolnaftate
b. Tolsildat
c. Haloprogin
d. Cyclopirox olamine
e. Naftifine
f. Imidazole (miconazole, ketokonazole, clortrimazole, econazole)

Obat-obat baru ini mempunyai spectrum luas dan kerjanya fungisidal.

Cara pemakaian obat-obat topical ini dilakukan sengan mengoleskan obat tersebut 1-2 kali sehari
selama 3 minggu.2

Obat Sistemik

Golongan antifungal konvensional

Griseofulvin
Telah dipakai untuk mengatasi dermatofitosis sejak 30 tahun. Obat ini bersal dari sejenis
penicillium. Kerja obat ini fungistatik. Telah dilaporkan obat ini menimbulkan resistensi terhadap
dermatofitosis.2

Pemberian pada anak-anak 10-20 mg/kg BB sehari, pada orang deawasa 500-1000 mg sehari atau
330 mg griseofulvin ultra micronized sekali sehari. Obat ini diberikan pada waktu makan dengan
diet tinggi lemak untuk mempertinggi absorbsi.2

Golongan Antifungal Terbaru

Ketoconazole

Merupakan antifungal oral pertama yang berspektrum luas untuk mengatasi dermatofitosis. Kerja
obat ini fungistatik. Pemberian 200 mg sehari pada waktu makan. Lama pemberian tergantung
kepada lokalisasi dermatofitosis tersebut. Dosis anal (di atas usia 2 tahun 3,3-6,6 mg/kgBB sehari.
Merupakan kontraindikasi untuk wanita hamil, kelainan fungsi hati dan hipersensitivitas terhadap
ketoconazole.6

Golongan Triazole

o Itraconazole

Obat ini mempunyai daya kerja spectrum luas. Pemberian 100 mg sehari selama 15 hari,
efektif untuk Tinea corporis dan Tinea cruris. Sedang untuk injeksi palmoplantar
diberikan 10 mg sehari selama 30 hari

o Fluconazole

Efektif untuk pengobatan terhadap dermatofitosis di kulit

o Terbinafine

Obat ini analog dengan Naftifine. Efek samping minimal dibandingkan dengan
Griseofulvin. Pemberian dengan dosis 2x250 mg sehari

Non-medikamentosa

Mengisolasi pasien yang dirawat di rumah sakit: Standard precautionsare recommended.


Ukuran kontrol: Infeksi seharusnya dirawat dengan baik. Daerah yang berpotensial untuk terkena
infeksi harus dijaga agar tetap kering, bila gatal jangan digaruk karena dapat menyebabkan infeksi,
jaga kebersihan kulit dan kaki. Bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti pakaian
yang lembab, gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti
katun, tidak ketat dan diganti setiap hari, utnuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan
handuk yang digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.6

Pencegahan

1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah, dan maserasi. Jika factor-
faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan akan lambat
2. Alas kaki harus pas dan tidak terlalu ketat
3. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun yang
menyerap keringat. Diusahakan agar tidak memakai bahan yang terbuat dari wool atau
bahan sintetis
4. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air panas.6

Kesimpulan

Gatal pada selangkangan dengan lesi kemerahan dan tepi rata merupakan gejala klinis tinea cruris.
Tinea cruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar anus. Kelainan ini
bersifat akut atau menahun bahkan dapat seumur hidup. Lesi kulit berbatas tegas pada daerah
genitor – krural atau meluas ke sekitar anus, gluteus, daerah perut bawah. Kelainan kulit yang
nampak pada sela paha adalah lesi berbatas tegas. Peradangan daerah tepi lebih nyata. Penyakit ini
dapat diobati secara topical dan sistemik dengan obat anti jamur. Pencegahan melalui edukasi
kepada pasien dan penjagaan kebersihan diri.

Daftar Pustaka

1. Sylvia Price, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Edisi 6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2006. hal 14-23
2. Robbins,Cotran Ediksitifitas. Buku Saku Dasar Patalogis Penyakit. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 2003. hal 1121-1130 3.
3. Prof Dr.dr.Adhi Juanda, dr.A.Kosasih, dr. Jubianto, dr.Kuswadji, dr.I.Made Wisnu dkk.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima Cetakan Keempat.Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta. 2007. hal 89-109 4.
4. Stephen Gillespie, Kathleen Bamford. Mikrobiologi Medis dan Infeksi. Edisi Ketiga.
Penerbit Erlangga. Jakarta. 2009. hal 116-117
5. Djaenudin Natadisastra dr.Sp.Park. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh
yang Diserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2009. hal 274-276
6. Abdullah F. Diunduh dari http://library.usu.ac.id/download/fk/-farhan.pdf . Infeksi Kulit
Tinea Cruris diunduh 17 April 2015.

Anda mungkin juga menyukai