Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang disebabkan oleh


infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Penyebaran HIV ini berkembang dengan cepat
dan mengenai wanita dan anak-anak. AIDS menyebabkan kematian lebih dari 20 juta orang
setahun. Di Indonesia, jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia sejak tahun 2002 hingga
Juni 2011 berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI yaitu 26.483 kasus. 1,2
AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya
sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virus penyebab adalah HIV
merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga
melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS. Orang yang terinfeksi virus ini
menjadi rentan terhadap infeksi ataupun mudah terkena tumor/kanker. Pada awalnya
penularan HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui penularan secara horisontal yaitu melalui
cairan tubuh saat terjadi kontak seksual (heteroseksual/homoseksual) atau transfusi darah.
Setelah itu, mulai terjadi penularan secara vertikal yaitu dari ibu yang positif HIV/AIDS ke
bayi. Pada tahun 2010, sekitar 390.000 anak-anak di bawah 15 tahun terinfeksi HIV. Sekitar
95% anak/bayi/neonatus yang positif HIV/AIDS tertular dari ibunya.1,3,4
Salah satu intervensi untuk mencegah penularan dari ibu penderita HIV/AIDS kepada
bayinya yaitu melalui program PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission of
HIV). PMTCT ini sangat penting karena penularan HIV pada anak sebagian besar (90%)
terjadi secara vertikal, dan hanya sebagian kecil (10%) sisanya melalui transfusi darah atau
penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi yang ditularkan dari ibu akan mengganggu
kesehatan anak. Padahal dengan intervensi yang mudah, proses penularan dapat ditekan
hingga sekitar 50%.5,6

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Etiologi

Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human Immunodeficiency
Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamily Lentiviridae
.Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Partikel HIV
adalah virus RNA yang ber-envelope, berbentuk bulat sferis dengan diameter 80-120nm.
Partikel yang infeksius terdiri dari dua rantai single stranded RNA positif yang berada di
dalam inti protein virus (ribonukleoprotein) dan dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid
yang ditancapi oleh 72 buah tonjolan (spikes) glikoprotein. Envelope polipeptida terdiri dari
dua subunit yaitu glikoprotein luar (gp120) yang merupakan tempat reseptor (reseptor
binding) CD4+ dan glikoprotein transmembran (gp41) yang akan bergabung dengan envelope
lipid virus. Protein-protein pada membran luar ini terutama berfungsi untuk mediasi
terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan reseptor kemokin.1
Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks (p17), yang
kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural virion. Enveloped lipid
terbungkus dalam kapsid yang berbentuk ikosahedral 9p24 dan matriks 17. Protein kapsid
mengelilingi inti dalam virion sehingga membentuk ’cangkang’ di sekeliling material
genetik. Protein nukleokapsid terdapat dalam ’cangkang’ tersebut berikatan langsung dengan
molekul-molekul RNA.1

Gambar 1: Stuktur Human Immunodeficiency Virus (HIV)1

2
2.2. Patogenesis

Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi biasanya terdapat di
dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar melalui berbagai cara.
Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa genital. Keberhasilan
transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada viral load individu yang terinfeksi. Viral
load adalah perkiraan jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita. Apabila
virus ditularkan pada host yang belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan
kadar yang tinggi, virus menyebar luas dalam tubuh host. Sementara sel yang akan terinfeksi
untuk pertama kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu terinfeksi oleh
virus, bisa CD4+ sel T dan monosit di dalam darah atau CD4+ sel T dan makrofag pada
jaringan mukosa.
Ketika HIV mencapai permukaan mukosa maka akan menempel pada limfosit T
CD4+, makrofag, atau sel dendrit pada kulit. Setelah virus ditransmisikan secara seksual
melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target seluler pertama virus adalah sel dendrit
jaringan (sel Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal dan selanjutnya akan
bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik ini kemudian
berfusi dengan limfosit CD4+ yang akan bermigrasi ke dalam nodus limfatikus melalui
jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini mencapai
nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen dan tinggal pada
beberapa kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus maupun ekuivalennya (seperti plak
Peyeri pada usus) pada akhirnya akan mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung
mencapai aliran darah dan tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini
bereproduksi dalam nodulus limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan. Sebagian
virus baru ini dapat berikatan dengan limfosit CD4+ yang berdekatan dan menginfeksinya,
sedangkan sebagian lainnya dapat berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus
limfatikus.1
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal infeksi ke
jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga tiga bulan setelah
infeksi, terjadi respon imun seluler spesifik HIV. Respon ini dihubungkan dengan penurunan
kadar viremia plasma yang signifikan dan juga berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV
akut. Selama tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat oleh respon imun spesifik HIV
ini, namun tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai

3
kompartemen jaringan, terutama jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respon
terhadap HIV dan mikroba lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi
AIDS.1,6
Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang berikatan
dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel dendrit juga berperan
dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan limfoid, sel dendrit akan
melepaskan HIV ke CD4+ sel T melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa hari
setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak replikasi sehingga dapat dideteksi pada nodul
limfatik. Replikasi tersebut akan mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui sejumlah
besar partikel virus HIV dalam darah penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom
HIV akut dengan berbagai macam gejala klinis baik asimptomatis maupun simptomatis.
Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan infeksi sel
T helper, makrofag dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.1
Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh efek
sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai
infeksi hingga AIDS jauh lebih besar dibanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga
akibat sel T yang terinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan apoptosis.
Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati. Penderita yang telah terinfeksi virus HIV
memiliki suatu periode asimptomatik yang dikenal sebagai periode laten. Selama periode
laten tersebut virus yang dihasilkan sedikit dan umumnya sel T darah perifer tidak
mengandung virus, tetapi kerusakan CD4+ sel T di dalam jaringan limfoid terus berlangsung
selama periode laten dan jumlah CD4+ sel T tersebut terus menurun di dalam sirkulasi darah.
Pada awal perjalanan penyakit, tubuh dapat cepat menghasilkan CD4+ sel T baru untuk
menggantikan CD4+ sel T yang rusak. Tetapi pada tahap ini, lebih dari 10% CD4+ sel T di
organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan lamanya perjalanan penyakit, siklus infeksi
virus terus berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan penurunan jumlah CD4+ sel T di
jaringan limfoid dan sirkulasi.1
Selama fase kronik, penderita akan rentan terhadap infeksi lain dan respon imun
terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus HIV dan kerusakan jaringan limfoid
semakin menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang mematikan yang
dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan limfoid
dan jumlah CD4+ sel T dalam darah turun di bawah 200 sel/mm3 (normal 1500 sel/mm3).
Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan, gagal
4
ginjal (HIV nefropati) dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena
CD4+ sel T sangat penting dalam respon imun seluler dan humoral pada berbagai macam
mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa penderita AIDS
sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi.1,6

Gambar 2: Patogenesis AIDS 1

2.3. Gambaran Klinis

Gambaran klinis infeksi HIV terdiri dari tiga fase sesuai dengan perjalanan infeksi
HIV itu sendiri, yaitu: 1,7

2.3.1. Serokonversi
Serokonversi adalah masa selama virus beredar menujut target sel (viremia) dan
antibodi serum terhadap HIV mulai terbentuk. Sekitar 70% pasien infeksi HIV primer
menderita sindrom mononucleosis-like akut yang terjadi dalam 2 hingga 6 minggu setelah

5
infeksi awal, yang dikenal juga sebagai sindrom retroviral akut (acute retroviral syndrome;
ARS). Sindrom ini terjadi akibat infeksi awal serta penyebaran HIV dan terdiri dari gejala-
gejala yang tipikal, namun tidak khas. Sindrom ini memiliki berbagai macam manifestasi,
gejala yang paling umum mencakup demam, lemah badan, mialgia, ruam kulit,
limfadenopati, dan nyeri tenggorokan. Selama masa ini terjadi viremia yang sangat hebat
dengan penurunan jumlah limfosit CD4+.

2.3.2. Penyakit HIV asimptomatik


Setelah infeksi HIV akut dengan penyebaran virus dan munculnya respon imun
spesifik HIV, maka individu yang terinfeksi memasuki tahap kedua infeksi. Tahap ini dapat
asimptomatis sepenuhnya. Jika tidak diobati masa laten infeksi HIV dapat berlangsung 18
bulan hingga 15 tahun bahkan lebih, rata-ratanya 8 tahun. Pada tahap ini penderita tidak
rentan terhadap infeksi dan dapat sembuh bila terkena infeksi yang umum. Jumlah CD4+ sel
T secara perlahan mulai turun dan fungsinya semakin terganggu. Penderita dengan masa laten
yang lama, biasanya menunjukkan prognosis yang lebih baik.

2.3.3. Infeksi HIV simptomatik atau AIDS


Jika terjadi penurunan jumlah sel CD4 yang meningkat disertai dengan peningkatan
viremia maka hal tersebut menandakan akhir masa asimptomatik. Gejala awal yang akan
ditemui sebelum masuk fase simptomatik adalah pembesaran kelenjar limfe secara
menyeluruh dengan konsistensi kenyal, mobile dengan diameter 1 cm atau lebih. Seiring
dengan menurunnya jumlah sel CD4+ dan meningkatnya jumlah virus di dalam sirkulasi akan
mempercepat terjadinya infeksi oportunistik.
Sebagian besar permasalahan yang berkaitan dengan infeksi HIV terjadi sebagai
akibat langsung hilangnya imunitas seluler (cell mediated immunity) yang disebabkan oleh
hancurnya limfosit T-helper CD4+ hingga kurang dari 200 sel/mm3 dikatakan menderita
AIDS, meskipun kondisi ini tidak disertai dengan adanya penyakit yang menandai AIDS.
Definisi ini mencerminkan peningkatan kecenderungan timbulnya masalah yang berkaitan
dengan HIV yang menyertai rendahnya jumlah sl CD4+ secara progresif. Setelah AIDS
terjadi, maka sistem imun sudah sedemikian terkompensasi sehingga pasien tidak mampu lagi
mengontrol infeksi oleh patogen oportunis yang pada kondisi normal tidak berproliferasi,
serta menjadi rentan terhadap terjadinya beberapa keganasan. Pasien dengan AIDS yang tidak

6
diobati rata-rata meninggal dalam jangka waktu satu hingga tiga tahun. Terapi yang telah
tersedia saat ini telah memperbaiki prognosis pasien infeksi HIV secara signifikan.

2.4. Cara Penularan

Terdapat beberapa cara dimana seseorang dapat terinfeksi oleh HIV. Infeksi HIV
dapat ditransmisi melalui: 1,7
1. Kontak seksual: HIV terdapat dalam air mani dan secret vagina yang akan ditularkan
virus ke sel, kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual
seperti sifilis akan memudahkan terjadinya infeksi HIV. Hubungan seks tanpa
menggunakan proteksi dengan partner yang terinfeksi, sehingga memungkinkan
tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat
vagina) ; atau tercampurnya cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi
dalam hubungan seks lewat anus.1,7
2. Transfusi: HIV ditularkan melalui injeksi dengan darah yang sudah tercemar HIV
atau produk darah (infeksi melalui graf kulit, transplant organ)
3. Melalui pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai bergantian
tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna Narkotika
penyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit.
4. Transimisi (Perinatal) : wanita yang terinfeksi HIV sebanyak 15-40%
berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru dilahirkan melalui
plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air susu ibu.1

2.5. Penegakan Diagnosis

2.5.1. Kriteria Klinik HIV/AIDS pada dewasa dan anak (WHO)9

Manifestasi Klinik Diagnosis Klinik Diagnosis pasti


Stadium I
Asimptomatik - -
Limfadenopati generalisata Pembesaran KGB > 1 cm, tidak Histology
persisten nyeri pada 1 atau 2 tempat
dengan sebab yang tidak
diketahui dan persisten selama 3
bulan atau lebih

7
Stadium II
BB turun <10% BB BB turun tanpa sebab yang jelas, BB turun < 10%
sebelumnya atau BB tidak bertambah pada terdokumentasi
kehamilan
URTI rekuren (>1x selama 6 Sinusitis Laboratorium
bulan) Otitis Media
Tonsilopharyngitis
Herpes Zooster Vesicular rash, nyeri , distribusi Diagnosis klinik
dermatomal, tidak melewati
midline tubuh.
Angular cheilitis Pecah2 pada sudut bibir yang Diagnosis klinik
bukan diakibatkan oleh def fe,
biasanya berespon dengan
pemberian terapi antijamur
Ulserasi oral rekuren (≥2x Aphthous, nyeri, dan Diagnosis klinik
selama 6 bulan terakhir) pseudomembran kuning abu-abu

Papular preuritic eruption Lesi papular Diagnosis klinik


Seborrhoic dermatitis Kulit gatal, bersisik, terutama Diagnosis klinik
pada daerah berambut
Infeksi jamur pada kuku Paronikia Kultur jamur
Onycholisis
Stadium III
BB turun > 10 % BB BB turun tanpa sebab yang jelas. BB turun > 10%
sebelumnya Tampak kurus, BMI < 18,5 kg/m2 terdokumentasi
atau BB turun pada kehamilan
Diare kronik lebih dari 1 Diare kronik lebih dari 1 bulan Pemeriksaan feses
bulan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya
Demam persisten Demam persisten lebih dari 1 Suhu > 37.50, dengan kultur
bulan darah negative, ziehl-nelsen
negative, apusan darah
malaria negative, foto
thorax normal, dan tidak
ada focus infeksi
Kandidiasis oral persisten Berupa pseudomembraneus Diagnosis klinik
berwarna putih atau erythematous
form
Oral hairy leukoplakia Diagnosis klinik
TB ( berulang) Gejala kronik : batuk, batuk BTA sputum +, kultur
darah, sesak, nyeri dada, BB positif
turun, keringat malam, demam.
Dengan sputum BTA + atau
sputum BTA – dengan gambaran
radiologis yang mendukung.

8
Infeksi bakteri berat Demam disertai gejala dan tanda Isolasi bakteri
(pneumonia, meningitis, spesifik, dan merespon terhadap
empiema, pyomiositis, pemberian antibiotik.
infeksi tulang dan sendi,
septicemia, PID)
Acute necrotizing Papilla gingival ulserasi, sangat Diagnosis klinik
ulcerative gingivitis atau nyeri, gigi tanggal, perdarahan,
necrotizing bau mulut tidak sedap, dll.
ulcerative periodontitis.
Anemia ( (8 gr%) - Lab
Neutropenia (<0,5×109/L)
Trombositopenia
(<50×109/L) kronik

Stadium IV
HIV wasting sindrom BB turun > 10% , wasting, BMI < 18.5 kg/m2
Disertai salah satu :
Diare kronik > 1 bulan tanpa sebab yang jelas
Atau
Demam > 1 bulan tanpa sebab yang jelas

Pneumocystis pneumonia Dispnoe on exertion atau batuk Cytology, imunofloresent


tidak produktif, takipneu, dan mikroskopi.
demam.
Dan
CXR : infiltrate difus bilateral
Dan
Tidak ada bukti infeksi
pneumonia bakterial, krepitasi
bilateral, dan auskultasi dengan
atau tanpa obstruksi jalan nafas

Pneumonia bakterial rekuren ≥ 2x selama 6 bulan terakhir, Kultur


onset akut (<2 minggu), dengan
gejala berat ( demam, batuk
sesak, nyeri dada)
Dan konsolidasi pada
pemeriksaan foto thorax atau Antigen test
pemeriksaan fisik.
Herpes simplek kronik Herpes simplek kronik (orolabial, Kultur, DNA herpes
(orolabial, genital, genital, anorectal) lebih dari 1 simplek virus, sitologi,
anorectal) bulan histologi.
Oesofagial candidiasis Nyeri retrosternal, disfagi, Endoskopi, bronkoskopi,
disertai oral candidiasis mikroskopi, histologi.
TB ekstraparu Pleural, pericardia, peritoneal Isolasi M.TB, CXR
involvement, meningitis,
mediastinal atau abdominal
lymphadenopathy atau ostetis.

9
Sarcoma kaposi Penampakan kasar tipikal Endoskopi, bronkoskopi,
persisten pada kulit atau histology
orofaring, biasanya datar, bercak
dengan warna pink atau
keunguan, lesi kulit yang
biasanya berkembang menjadi
plak atau nodul.
CMV disease (selain hati, Retinitis Kultur, DNA, histologi
limfa, dan KGB)
CNS toxoplasmosis Kelainan neurologis, penurunan Antibodi toxoplasma (+)
kesadaran, dan respon terhadap dan satu atau lebih masa
terapi spesifik intracranial pada
pemeriksaan CT scan atau
MRI
HIV encephalopati Gangguan kognitif / motorik Neuroimaging
progressif yang tidak disebabkan
oleh sebab lain
Criptococcosis Demam, sakit kepala, Isolasi criptococus
ekstrhgfapulmonal meningismus, bingung, neoformans atau antigen
(termasuk meningitis) perubahan tingkah laku, respon test
terhadap criptococcal terapi
Disseminated non - Ditemukannya bakteri
tuberculous mycobacteria atipikal
infection
Progressive multifocal - Gangguan neurologis
leukoencephalopathy. progresif (gangguan
kognitif, berbicara, berjalan,
penglihatan, kelemahan
ekstremitas, dan gangguan
saraf cranial) disertai
dengan lesi hipodense pada
white matter, atau (+)
poliomavirus JC PCR pada
LCS,
Chronic cryptosporidiosis - Cysts (+) pada pem Ziehl-
Nielsen
Chronic isosporiasis - Identifikasi Isospora.
Disseminated mycosis - Histology, antigen detection
(coccidiomycosis atau Atau culture
histoplasmosis).

Recurrent non-typhoid Kultur darah


Salmonella bacteraemia.

10
Lymphoma (cerebral atau - Histology
Bcell non-Hodgkin). Neuroimaging techniques

Invasive ca cerviks - Histology atau cytologi


Atypical disseminated - Histology
leishmaniasis.
Symptometic HIV-associated - Biopsy ginjal
nephropathy.
Symptometic HIV-associated - Kardiomegali, echo
cardiomyopathy.

Dalam menegakkan diagnosa HIV, dilakukan beberapa pemeriksaan laboratorium antara


lain: 1,8
a. Serologi dengan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA) atau
tes aglutinasi.
b. Imunologi: nilai absolut limfosit CD4 dan rasio CD4.
c. Pemeriksaan Nucleic acid based assays (RNA polymerase chain reaction dan DNA
polymerase chain reaction).

2.5.2. Pembuktian adanya Antibodi atau Antigen HIV


HIV terdiri dari selubung, kapsid dan inti. Masing-masing terdiri dari protein yang
bersifat sebagai antigen dan menimbulkan pembentukan antibodi dalam tubuh yang
terinfeksi. Jenis antibodi yang telah diketahui banyak sekali, tetapi yang penting untuk
diagnostik adalah : antibodi gp41, gp120, dan p24.
Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut :
1. Tes untuk menguji antibodi HIV
a. Terdapat berbagai macam cara yaitu: ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay),
Western Blot, RIPA (RadioImmunoPresipitation Assay) dan IFA
(ImmunoFluorescence Assay). 8
2. Tes untuk menguji antigen HIV
b. Dapat dengan cara : Pembiakan virus, antigen p24, dan Polymerase Chain Reaction
(PCR). 8
Yang praktis dan umum dipakai adalah tes ELISA, karena tes memiliki sensitivitas
yang tinggi. Oleh karena itu untuk menghindari adanya hasil tes yang positif palsu, tes
ELISA perlu dikonfirmasi dengan tes Western Blot yang mempunyai spesifisitas yang tinggi.
11
Setiap tes positif dengan ELISA I akan diulangi dengan ELISA II dari sampel yang sama, dan
bila tes kedua positif lalu dilakukan tes Western Blot. Dengan konfirmasi tes Western Blot
ini, hasil tes dikatakan positif. 8

2.5.3. Tes Yang Menunjukkan Adanya Defisiensi Imun


Untuk ini dapat dilakukan pemeriksaan Hb, jumlah leukosit, trombosit, jumlah
limfosit dan sediaan apus darah tepi atau sumsum tulang. Pada pasien AIDS dapat ditemukan
anemia, leukopenia/limfopenia, trombositopenia, dan displasia sumsum tulang normo atau
hiperseluler. 9
Dapat dilakukan perhitungan jumlah sel limfosit T, limfosit B, sel limfosit CD4 dan CD8.
Dikatakan terjadi gangguan sistem imun bila telah terjadi penurunan jumlah sel limfosit, sel
CD4 dan menurunnya ratio CD4/CD8. Tes kulit DTH (Delayed Type Hypersensitivity) untuk
tuberkulin dan kandida yang hasilnya negatif atau anergi menunjukkan kegagalan imunitas
seluler. Mungkin saja jumlah CD4 masih normal, tetapi fungsinya sudah menurun. Dapat
terjadi poliklonal hipergammaglobulinemia (IgA dan IgG) yang menunjukkan adanya
rangsangan non apesifik terhadap sel B untuk membentuk imunitas seluler. 8

2.5.4. Tes Untuk Infeksi Oportunistik Atau Kanker.


Setiap infeksi oportunistik atau kanker sekunder yang ada pada pasien AIDS diperiksa
sesuai dengan metode diagnostik penyakitnya masing-masing. Misalnya pemeriksaan untuk
kandidiasis, PCP, TBC paru, dan sebagainya. Kadang-kadang perlu pemeriksaan penunjang
lain, seperti laboratorium rutin, serologis, radiologis, USG, CT scan, bronkoskopi,
pembiakan, histopatologi dan sebagainya. 9

2.5.5. Diagnosis Infeksi HIV Pada Wanita


Infeksi HIV pada wanita seringkali terdeteksi pada masa kehamilan, waktu dilakukan
uji saring HIV antenatal. Uji serologis HIV-1 antibodi spesifik IgG merupakan tes dengan
spesifikasi yang tinggi. Sera yang reaktif terhadap anti HIV pada uji saring, sebaiknya diuji
ulang dan hasilnya dikonfirmasikan dengan sistem uji lainnya. Untuk diagnostik, contoh sera
harus diambil ulang untuk mengkonfirmasi ada tidaknya infeksi. Pada umumnya wanita yang
terinfeksi menampilkan kondisi sera yang reaktif 6-8 minggu setelah infeksi, meskipun pada
beberapa kasus antibodi tersebut tidak timbul setelah 6-9 bulan kemudian. 6

12
Hasil negatif tes antibodi berarti wanita tersebut tidak terkena infeksi HIV lebih dari 6
bulan yang lalu, tetapi dapat juga berarti uji negatif palsu (false negative), bila wanita itu diuji
pada waktu periode jendela (window periode) antara infeksi dan serokonversi. 6

2.5.6. Diagnosis Infeksi HIV Pada Anak


Pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan Western Blot tidak
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18 bulan. Hal ini disebabkan
masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan
sampai usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta,
sehingga dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan tetapi,
sensitivitas kedua pemeriksaan ini masih rendah. 2
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain kultur
HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV dan
deteksi antigen p24.8 Infeksi HIV ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan yang
berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut tidak
terinfeksi bila dua macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif. 8
Pada bayi usia 18 bulan keatas, infeksi HIV ditegakkan jika pemeriksaan antibodi
menetap atau bayi meninggal akibat penyakit terkait HIV. Disebut tidak terinfeksi bila dua
kali pemeriksaan antibodi menunjukkan negatif. Pemeriksaan antibodi ini kemudian
dilanjutkan dengan konfirmasi pemeriksaan Western Blot.8
Bila timbul kecurigaan anak terinfeksi HIV, penting untuk melakukan konseling pada
ibunya dan meminta persetujuan sebelum melakukan tes darah ibu. Bila ibu positif terinfeksi,
maka perlu juga melakukan tes pada suaminya. Selanjutnya konseling pasca tes juga
diperlukan bila hasilnya pada anaknya terbukti positif agar orangtua mengetahui gambaran
mengenai penyakit anaknya, cara melakukan perawatan di rumah, menjaga kualitas hidup
anak sebaik mungkin, cara pencegahan penularan perinatal pada anak selanjutnya dan bekerja
sama dengan pihak-pihak lain seperti psikolog, lembaga sosial, tokoh agama dan petugas-
petugas kesehatan lainnya.11

Di Indonesia, definisi kasus HIV pada anak dipakai kriteria WHO/UNAIDS :5


Anak berumur 18 bulan atau kurang :
Ditemukan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 2 gejala minor dengan ibu yang HIV positif.
Gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
13
Anak berumur diatas 18 bulan :
Menunjukkan tes HIV yang positif, dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 2
gejala minor dibawah ini dengan ibu HIV positif dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Gejala mayor :
a. Berat badan menurun atau gagal tumbuh
b. Diare terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
c. Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
d. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah atau menetap
Gejala minor :
a. Limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali
b. Kandidiasis oral atau tenggorokan
c. Infeksi bakteri dan/atau virus yang berulang (misalnya otitis media akut, faringitis
d. Batuk kronis
e. Dermatitis yang luas
f. Ensefalitis.
Manifestasi lain yang mungkin timbul tetapi tidak termasuk dalam kriteria diagnosis,
antara lain masalah persarafan, keterlambatan perkembangan, pembesaran kelenjar parotis
pada kedua sisi, abses berulang, meningitis dan herpes simplex yang berulang dan persisten.

2.6. Mekanisme Penularan HIV dari Ibu ke Bayi


Penularan HIV dari ibu ke bayi memiliki resiko sebesar 15-35%. Terendah dilaporkan
di Eropa dan tertinggi di Afrika. Sebuah lembaga International telah mengembangkan
standard metode perhitungan rerata angka penularan secara vertikal berdasarkan studi
prenatal, prosedur pemantauan, kriteria diagnosis dan definisi kasus. Hal-hal tersebut lebih
mempengaruhi terjadinya penularan dibanding area geografi yang telah dilaporkan. Angka
penularan kemungkinan lebih mencerminkan faktor resiko dari ibu ke bayi pada beberapa
kelompok dan dapat berubah dengan waktu.5
A. Faktor virus
1. Karakteristik virus.
Penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor utama
yang penting adalah jumlah virus (viral load). Adanya faktor antigen p24 secara konsisten
mempunyai hubungan terhadap meningkatnya penularan (meningkat 2-3 kali dibanding
14
wanita tidak hamil). Beberapa studi berdasarkan data bayi yang terinfeksi dari ibunya
menunjukkan tingginya jumlah kuman (viral load) yang dihitung dengan teknik kultur
kuantitatif, dan menganalisa plasma RNA dengan polymerase chainreaction (PCR) atau
berdasarkan nomerkode DNA, semuanya berhubungan dengan tingginya penularan. Plasma
jumlah virus seorang ibu dengan HIV merupakan prediktor yang kuat sebagai sumber
penularan. Peningkatan jumlah penularan pada wanita dengan infeksi HIV primer muncul
ketika plasma jumlah virus yang aktif berada pada titik tertinggi (peak). Sedikitnya penularan
terjadi pada plasma HIV dengan viral load <1000 copi/mL, tanpa memperhatikan apakah ibu
tersebut sedang atau belum mendapatkan ARV Zidovudine.5
2. Infektivitas virus
Perbedaan secara biologi dari retrovirus menghantar perbedaan pada kemungkinan
terjadinya penularan. Human Immunodeficiency virus type 2 (HIV-2) jarang menyebabkan
penularan dari ibu ke bayinya, lebih sering HIV-1. Pada studi kecil mengatakan wanita
dengan multipartner lebih dari 3 kecenderungan untuk menularkan ke bayinya selam masa
kehamilan lebih besar dibanding wanita yang dengan satu pasangan terinfeksi HIV, ini terkait
dengan potensi tertular oleh karena peningkatan viral load pada vagina atau potensial jenis
viral fetotropik dapatan,hal tersebut merupakan informasi yang sangat sempit. Fenotipe,
perbedaan strain pada replikasi in vitro, selular tropism dan induksi sinsitium. Terdapat
evidence bahwa strain sinsitium inducing meningkatkan virulensi. Macrophage specific
tropism telah diteliti pada beberapa strain, belum diketahui secara pasti apakah lebih sering
diketemukan pada sekresi cairan genital, air susu ibu atau plasenta. 5

B. Faktor Bayi
1. Prematuritas
Beberapa pusat penelitian telah memaparkan tentang hubungan prematuritas terhadap
infeksi HIV. Sebagai contoh status HIV maternal menjembatani prematuritas kehamilan.
Ryder dan teman-teman pada tahun 1989 di Zaire, menggarisbawahi tentang prematuritas
sebesar 13% pada wanita + HIV dan 3% pada kelompok control. Pengamatan tersebut tidak
konsisten pada Negara berkembang, bayi yang lahir prematur lebih beresiko terinfeksi HIV
dibanding bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV.5
2. Nutrisi Fetus
Terlepas dari status infeksi HIV, nutrisi prenatal yang buruk dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan janin dalam rahim atau intrauterinegrowth retandation (IUGR)
15
dengan perbandingan pertumbuhan yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Semua akan
menyebabkan menurunnya imunitas selular dengan jumlah sel T yang rendah, respon
proliferatif yang buruk, pertumbuhan thymus yang terganggu, meningkatkan kecenderungan
terserang infeksi, dan menetap selama 5 tahun masa pertumbuhan yang akan terganggu.
Direkomendasikan untuk asupan vitamin A, untuk mencegah perburukan gejala diare yang
ada baik pada ibu maupun bayinya.5
3. Fungsi Pencernaan
Fungsi pencernaan pada neonatus memegang peranan penting dalam penularan HIV.
Sejak infeksi HIV diperkirakan masuk melalui pencernaan saat kelahiran, oleh karena
terpapar darah yang terinfeksi, sekresi vagina, cairan amnion dan air susu ibu. Pada sistem
pencernaan bayi memiliki keasaman lambung yang rendah, aktifitas enzym pencernaan yang
rendah, produksi cairan mukosa yang rendah dan sedikit sekresi dari immunoglobulin A (Ig
A) yang merupakan sistem kekebalan pada pencernaan untuk melawan kuman yang masuk.
Pada infeksi sekunder akan terjadi diare, pertumbuhan yang terganggu, dan menunjukkan
prekembangan perjalanan penyakitnya.5
4. Respon imun neonatus
Sistem kekebalan tubuh bayi yang baru lahir secara anatomi memiliki defisiensi
fungsional, belum terpapar oleh antigen dari luar dan sering mengalami ketidakmampuan
dalam mengkopi agen mayor infeksi. Merupakan perkembangan immunologi termasuk dalam
menghadapi berbagai virus seperti cytomegalovirus, hepatitis B dan virus herpes simplek.
Ketiga infeksi tersebut bersifat kronik, menjadi karier dalam tubuh dan dapat menyebabkan
penyakit neonates yang fatal. Pada saat sistem kekebalan tubuh neonatus tidak matang,
menyebabkan sistem sel T tidak berfungsi dengan baik terutama terhadap infeksi HIV,
peranan antibody, dan sistem makrofag rendah.5

C. Faktor ibu, kehamilan dan proses persalinan.


Seorang ibu yang terinfeksi HIVdengan kehamilan memiliki resiko untuk menularkan
HIV ke bayinya, dibagi dalam tiga tahapan waktu yaitu:5,9,10
 Antepartum:
a. Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral, jumlah CD4+,
defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV, malnutrisi, sedang dalam terapi
pelepasan ketergantungan obat, perokok, korionik villus sampling (CVS),
amniosintesis,berat badan ibu.5
16
b. Beratnya keadaan infeksi pada ibu merupakan faktor resiko utama terjadinya
penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi ternyata angka penularan vertikal lebih
tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang sangat berat dibanding ibu
terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan dengan
menggunakan kriteria klinis dan jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma,
serta keadaan imunitas ibu. Ibu dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas
(dengan gejala berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di dalam tubuh
>1000/mL, dan jumlah limfosit <200-350/mL dianggap menderita penyakit AIDS
sangat berat dan harus mendapat pengobatan antiretrovirus.5,9,10
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi
untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit
sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi
Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko
penularan vertikal lebih tinggi.5,9,10
d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi untuk
menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Berdasarkan hasil penelitian, para ibu
yang merokok mempunyai risiko untuk menularkan HIV-1. Penularan vertikal juga
sering terjadi pada ibu pengguna obat terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan
hubungan seksual tanpa alat pelindung, terutama dengan pasangan yang berganti-
ganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam penularan vertikal.9,10
 Intrapartum:
a. Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal ,proses persalinan, pecah ketuban kasep,
persalinan prematur, penggunaan fetalscalp electrode, penyakit ulkus genitalia aktif,
laserasi vagina,korioamnionitis, dan episiotomi.
b. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan vertikal. Bayi
yang lahir per vaginam dengan tindakan invasif seperti tindakan forsep, vakum,
penggunaan elektrode pada kepala janin dan episiotomi, mempunyai risiko lebih
tinggi untuk tertular HIV-1.5
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi
untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit
sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi
Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko
penularan vertikal lebih tinggi.10
17
3. Post partum melalui menyusui:
a. Telah diketahui air susu ibu degan infeksi HIV mengandung proviral HIV dan virus
bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti antibody terhadap HIV dan
glikoprotein yang menghambat ikatan HIV dengan CD4+. Kebanyakan kasus
penularan terjadi pada wanita yang diketahui negatif terhadap HIV akan tetapi
penularan terjadi saat pemberian air susu ibu. Sebetulnya pada ibu dengan infeksi
HIV, pemberian air susu ibu beresiko kecil untuk terjadi penularan oleh karena
terdapatnya antibodi terhadap HIV, bagaimanapun juga di Negara berkembang,
makanan formula menjadikan bayi memiliki resiko tinggi terkena infeksi yang lain,
air susu ibu merupakan pilihan terbaik. Pemilihan pemberian makanan pada bayi
dengan 2 strategi sebagai pencegahan penularan dari ibu kebayinya postnatal, dengan
pemberian zidovudine sebagai profilaksis selama 38 minggu. Ternyata didapatkan
pemberian air susu ibu dengan zidovudine sebagai profilaksis tidak efektif seperti
pemberian susu formula, akan tetapi bermakna dalam menurunkan angka kematian
pada 7 bulan pertama kehidupan, disimpulkan bahwa penularan postnatal dari infeksi
virus HIV-1 lewat pemberian air susu ibu dapat diturunkan dengan intervensi
pemberian ARV saat perinatal .5
b. Bayi yang diberikan ASI mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi yang diberi
susu formula atau makanan campuran (mixed feeding). Risiko akan lebih tinggi lagi
bila payudara ibu terinfeksi atau lecet (mastitis yang tampak secara klinis ataupun
subklinis). Di negara berkembang penularan melalui air susu ibu (ASI) cukup
memegang peranan penting. Sebagian besar masalah payudara dapat dicegah dengan
teknik menyusui yang baik. 10
4. Kehamilan dan cara melahirkan.
a. Resiko penularan terjadi pada kondisi korioamnionitis dan penyakit menular seksual.
Hal ini berhubungan dengan gangguan pertahanan pada plasenta dan kecenderungan
lahir prematur, serta dapat meningkatkan viral load pada organ genital. Disamping itu
pemilihan cara melahirkan, lamanya persalinan,kapan pecahnya ketuban, dan saat
proses kelahiran berjalan seorang bayi dapat terpapar darah ibu. Inflamasi pada daerah
serviks dan uretritis dapat meningkatkan deteksi sel yang terinfeksi HIV-A.8
b. Beberapa studi telah mempelajari penularan secara vertikal dari ibu kebayinya,
penularan melalui plasenta juga telah dipublikasikan. Terdapat beberapa faktor dari
ibu, diantaranya, viral load, antibody neutralizing, atau aktifitas sel T sitotoksik,
18
peranan plasenta melalui ekpresi FasL atau faktor tumor nekrosis berhubungan
dengan kejadian apoptosis menginduksi ligand atau ekspresi Apo2L dan faktor
plasenta seperti korioamnionitis, aktifitas supresi HIV, atau faktor fetus seperti
antibodi neutralizing atau HIV sel T spesifik sitotoksik.8

2.7. Pengaruh HIV dalam kehamilan


Sampai saat ini belum didapatkan adanya pengaruh dari infeksi HIV terhadap
kehamilan. Tetapi jika sudah terjadi AIDS, dapat meningkatkan insidensi gangguan
pertumbuhan janin dan persalinan premature pada wanita dengan penurunan kadar CD4 dan
penyakit yang lanjut. Diduga kondisi bayi dalam kandungan dipengaruhi oleh makin
memberatnya infeksi HIV. Dilaporkan tidak ada hubungan antara infeksi HIVdengan makin
meningkatnya cacat bayi. Meskipun kehamilan dikatakan menambah beban terhadap sistem
tubuh yang sudah berat menghadapi HIV, tetapi sampai sekarang belum ada bukti yang
menunjukkan bahwa HIV makin menjadi progresif setelah adanya kehamilan.1

2.8. Penanganan Pasien Hamil dengan HIV


Penanganan pasien hamil dengan HIV dapat dilakukan dengan penatalaksanaan
program PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission of HIV). PMTCT adalah
suatu program intervensi untuk mencegah penularan dari ibu penderita HIV/AIDS kepada
bayinya dan mencegah infeksi HIV pada perempuan. PMTCT ini sangat penting karena
penularan HIV pada anak sebagian besar (90%) terjadi secara vertikal, dan hanya sebagian
kecil (10%) sisanya melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril.
Tanpa intervensi, resiko penularan dari ibu ke bayinya adalah: selama kehamilan, saat
persalinan atau melalui ASI. Selama kehamilan 5-10%, selama persalinan 10-20%, dan saat
menyusui sebanyak 10-15% sehingga total resiko penularan vertikal adalah 45-50%. Infeksi
HIV/AIDS pada bayi akan mengganggu kesehatan, membebani keuangan keluarga, dan
mengurangi kualitas generasi penerus bangsa. Padahal dengan intervensi yang mudah dan
mampu laksana, proses penularan dapat ditekan hingga 50%. Intervensi PMTCT ini mudah
dilaksanakan, memungkinkan pencegahan primer kepada pasangan yang pengidap, dan
memungkinkan perawatan dan pengobatan dini oleh keluarga.3,5,6

19
2.8.1. Penatalaksanaan Saat Persalinan
a. Persalinan pervaginam
Wanita hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diushakan selaput
amnionnya utuh selama mungkin. Pengambilan sampel darah janin harus dihindari. Jika
sebelumnya telah diberikan obat HAART, maka obat ini harus dilajutkan sampai partus. Jika
direncanakan pemberian infuse zidovudin, harus diberikan pada saat persalinan dan
dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Dosis zidovudin adalah: dosis inisial 2 mg/kgBB dalam
1 jam dan dilanjutkan 1mg/kgBB/jam sampai partus. Tablet nevirapin dosis tunggal 200mg
harus diberikan di awal persalinan. Tali pusat harus diklem secepat mungkin dan bayi harus
dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi biasanya dilakukan karena alasan obstetrik,
menghindari partus lama, dan ketuban pecah lama.1
Kelahiran pervaginam dapat dipertimbangkan dengan syarat:
1. Selama kehamilan penderita menjalani perawatan prenatal
2. Viral load <1000 kopi/ml pada minggu ke-36 kehamilan
3. Penderita menjalani pengobatan HIV selama kehamilan.

b. Seksio Sesaria
Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus diberikan antibiotik
profilaksis. Infuse zidovudin harus dimulai 4 jam sebelum seksio sesaria dan dilanjutkan
sampai tali pusat diklem. Sampel darah ibu diambil saat itu dan diperiksa viral load-nya. Tali
pusat harus diklem secepatnya pada saat seksio sesaria dan bayi harus dimandikan segera.1
Kelahiran secara seksio sesarea direkomendasikan dengan syarat:
1. Wanita hamil penderita HIV dengan viral load >1000 kopi/ml atau viral
load tidak diketahui pada minggu ke-36 kehamilan
2. Penderita yang tidak menjalani pengobatan HIV selama kehamilan
3. Penderita yang tidak menjalani perawatan prenatal sebelum usia kehamilan
36 minggu
4. Belum terjadi ruptur membran (pecah ketuban).
Diskusi mengenai pilihan seksio sesarea harus dimulai secepat mungkin pada
wanita hamil dengan infeksi HIV untuk memberikan kesempatan adekuat pada
penderita untuk mempertimbangkan pilihan dan rencana untuk prosedur.

20
2.8.2. Pemberian Makanan Bayi
Terdapat 50-75% dari bayi yang terinfeksi HIV yang disusui ibu HIV/AIDS
tertular HIV pada 6 bulan pertama kehidupan. ASI eksklusif memiliki resiko transmisi
HIV yang rendah daripada ASI yang dikombinasikan dengan cairan atau makanan
lainnya (ASI campuran). 3,12
Ibu yang menderita HIV/AIDS sangat dianjurkan untuk memberikan ASI
Ekslusif hingga 6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI sekaligus makanan
tambahan hingga usia 12 bulan. Bila ibu yang menderita HIV/AIDS memutuskan
untuk tidak memberikan ASI ekslusif, dapat mengganti dengan makanan tambahan
bila kriteria AFASS terpenuhi. Adapun kriteria AFASS dari WHO yaitu: Acceptable
= mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau,
Sustainable = berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya. Salah satu alternatif untuk
menghindari penularan HIV yaitu dengan menghangatkan ASI > 66 0C untuk
membunuh virus HIV. Adapun bayi yang telah dinyatakan terinfeksi HIV positif
maka harus diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan diteruskan dengan pemberian ASI
campuran hingga usia 24 bulan.1,12,13

2.8.3. Tujuan Program PMTCT


Adapun program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi bertujuan untuk: 3,5
1. Mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi
Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu. Infeksi yang
ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan anak. Diperlukan upaya
intervensi dini yang baik, mudah, dan mampu laksana guna menekan proses penularan
tersebut.
2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi
Dampak akhir dari epidemi HIV berupa berkurangnya kemampuan produksi dan
peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung di masa mendatang karena
morbiditas dan mortalitas terhadap ibu dan bayi. Epidemi HIV terutama terhadap ibu dan
bayi tersebut perlu diperhatikan, dipikirkan, dan diantisipasi sejak dini untuk menghindari
terjadinya dampak akhir tersebut.

21
2.8.4. Strategi PMTCT
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dilaksanakan secara
komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu :
1. Prong 1 : Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif. 3,6,11
a. Mengubah perilaku risiko tinggi menjadi risiko rendah dengan menggunakan ABCD
(Abstinensia, Be Faithful, Condom, Drugs No). 6,13
b. VCT (Voluntary Counselling and Testing) atau konseling dan testing HIV/AIDS
sukarela adalah suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan klien untuk
memahami HIV/AIDS beserta resiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan
keluarga serta orang di sekitarnya. Tujuan utamanya adalah perubahan perilaku ke
arah perilaku lebih sehat dan lebih aman. Layanan informasi dan tes HIV diberikan
secara rutin bagi laki-laki dan perempuan yang merencanakan untuk memiliki bayi.
Semua ibu usia subur yang akan hamil sebaiknya diberikan konseling HIV untuk
mengetahui risiko dan sebaiknya semua ibu hamil disarankan untuk melakukan tes
HIV sebagai bagian dari perawatan antenatal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan
pervalensi HIV di masyarakat. Ibu hamil menjalani konseling dan diberikan
kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV atau
tidak. 10,14
2. Prong 2 : Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada Ibu HIV positif. 3,6
Mengingat adanya kemungkinan transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama
proses kehamilan, maka pada dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan
untuk hamil. Dengan alasan hak asasi manusia, perempuan HIV positif dapat memberikan
keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling, pengobatan dan pemantauan.
Adapun pilihan kontrasepsi bagi perempuan dengan HIV positif: 6
a. Suntik dan implant : bukan kontraindikasi,
b. Vasektomi dan Tubektomi : bila tidak ingin punya anak lagi,
c. AKDR (IUD) : tidak dianjurkan karena adanya resiko perdarahan,
d. Kondom : sangat dianjurkan (pilihan utama) karena bersifat dua proteksi (mencegah
kehamilan dan mencegah penularan HIV).
3. Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan HIV dari Ibu hamil HIV positif ke bayi selama
kehamilan, persalinan dan menyusui. 3,6
a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif

22
b. Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT). Pada kunjungan antenatal I
diperlukan anamnesis yang lengkap untuk mengetahui adanya tanda-tanda
serokonversi dan gejala infeksi oportunistik. Selain itu, diperlukan perhatian khusus
pada infeksi TBC, lesi di vagina atau mulut dan limfadenopati PMS (sifilis), serta
perlu untuk melakukan konsul bagian oftalmologi, neurologi dan interna.
c. Pemberian obat antiretrovirus (ART). Pada wanita pengidap HIV yang baru/belum
pernah terapi ARV maka dilakukan evaluasi gejala klinis HIV dan pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan fisik untuk menilai kelayakan pemberian ARV.
d. Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi.
e. Persalinan yang aman.
4. Prong 4 : Integrasi Pelayanan, pengobatan, dan dukungan bagi wanita yang HIV (+), anak
dan keluarganya. Termasuk juga intervensi pelayanan kesehatan reproduktif, kunjungan
antenatal, dan obstetri pada wanita yang terinfeksi HIV.

2.8.5. Konsep Dasar Intervensi PMTCT


Dengan intervensi yang baik maka resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar
25%-45% dapat ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun
terdapat 9.000 ibu hamil dengan HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak
ada intervensi diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya
di Indonesia.5
Konsep dasar intervensi PMTCT meliputi : 3,5,6
1. Mengurangi jumlah ibu hamil pengidap HIV/AIDS.
Upaya ini bertujuan: 6
a. Mencegah tertularnya penyakit HIV/AIDS pada seluruh wanita usia reproduksi.
b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita usia reproduksi yang
mengidap HIV.
Sebelum seorang ibu dengan HIV memutuskan untuk hamil, hendaknya melalui
diskusi yang intens dengan pasangan, mendapat dukungan keluarga, dan diijinkan dokter.
Ibu akan mendapat konseling mengenai kemungkinan resiko penularan pada janin,
mendapat pengobatan ARV (anti retrovirus terapi) dan pemantauan teratur dari dokter.
Dokter biasanya akan mengijinkan seorang ibu dengan HIV untuk hamil dengan syarat :
bila kadar CD4 > 500, tidak terdeteksi virus (viral load) dalam darah ibu, dan ibu minum
ART secara teratur sebelum dan selama kehamilan.6
23
2. Turunkan viral load (jumlah virus dalam tubuh pengidap) serendah-rendahnya.
Obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini hanya berfungsi untuk
menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus.
Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit
guna menurunkan viral load. 5
Upaya yang dilakukan untuk menurunkan viral load adalah: 6
a. Minum ARV secara teratur (bagi ibu dengan HIV positif yang tidak hamil)
b. Minum ARV profilaksis (pencegahan), bagi ibu dengan HIV positif yang hamil.
3. Meminimalkan paparan janin/bayi dengan cairan tubuh ibu yang mengidap HIV
positif.
Upaya yang dilakukan adalah:5,6
a. Selama kehamilan : memberikan ARV profilaksis pada ibu hamil dengan HIV positif.
b. Selama persalinan : tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan obstetrik yang
invasif yang tidak perlu dan dapat menjadi jalur penularan HIV, misalnya: episiotomi
secara rutin, ekstraksi vakum/forcep, memecahkan ketuban sebelum pembukaan
lengkap dan terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam. Apabila dipertimbangkan
seksio sesarea, perlu dipertimbangkan syarat, biaya dan tindakan operasi, fasilitas dan
komplikasi pasca bedah akibat imunitas rendah. 3,5,6
c. Menyusui (laktasi) : ibu hamil dengan HIV positif perlu mendapat konseling
sehubungan dengan keputusannya untuk memberikan ASI ekslusif atau susu formula.
5

4. Optimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif. Upaya yang dapat dilakukan: 6
a. Pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan untuk pemantauan kehamilan dan
keadaaan janin.
b. Minum roboransia (penunjang kesehatan misal : vitamin) untuk meningkatkan
kebutuhan mikronutrien.
c. Ibu menjalani pola hidup sehat : cukup gizi, cukup istirahat, cukup olahraga, tidak
merokok, dan tidak minum alkohol.
d. Menggunakan kondom, untuk mencegah infeksi baru (bila pasangannya tidak
menderita HIV/AIDS), atau mencegah superinfeksi (bila pasangannya menderita
HIV/AIDS).

24
2.8.6. Penggunaan obat Antiretroviral (ARV)
Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang
sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko
transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat
diturunkan hingga 20% dengan terapi antiretrovirus. 1,3
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup,
mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV.13 Pada kehamilan,
keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas,
teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas,
teratogenesis, dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit.
Efek samping tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus,
seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang dilaporkan
Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi antiretrovirus tidak meningkatkan resiko
prematuritas, berat badan lahir rendah atau kematian janin intrauterine. Kategori Food and
Drug Administration (FDA) tentang ART dapat dilihat pada table 2. 6,7

A. Monoterapi Zidovudine
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko transmisi
perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical
Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan peroral mulai minggu ke-14
kehamilan, dilanjutkan zidovudin intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan
zidovudin sirup yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu.1,7

Tabel 5.1. Regimen pemberian Zidovudine berdasarkan PACTG 076


Antepartum : Zidovudine oral dari kehamilan 14-34 minggu
5x100mg/hari
Intrapartum : Zidovudine intravena, dosis awal 2mg/kgBB/jam,
dilanjutkan infus 1mg/kgBB sampai 1 hari setelah
melahirkan
Postpartum : Zidovudine sirup, 2 mg/kgBB, dimulai 8-12 jam
postpartum dan diteruskan sampai 6 minggu
25
Pada penelitian ini bayi tidak mendapat air susu ibu. Cara ini ternyata efektif
menurunkan transmisi perinatal dari 25,5% pada kelompok kontrol menjadi 8,3%. Penelitian
ini kemudian dilanjutkan dengan PACTG 185 yang menambahkan imunoglobulin spesifik
HIV intravena yang diberikan tiap bulan pada ibu mulai minggu ke 20-30 hingga persalinan,
kemudian dilanjutkan pemberian pada bayi dalam 12 jam pertama. Namun ternyata
hiperimunoglobulin tidak memberikan efek protektif tambahan seperti yang diharapkan.
Kesulitannya, protokol PACTG 076 ini cukup rumit, membutuhkan kepatuhan yang
baik dan memerlukan biaya yang besar. Penelitian retrospektif oleh Wade, dkk di New York
menunjukkan kepatuhan orang dengan HIV-AIDS mengikuti protokol ini seringkali tidak
komplit. Transmisi yang terjadi 6,1% jika terapi dimulai antepartum, 10,0% jika dimulai
intrapartum dan 5,9% jika hanya diberikan pada bayi dalam 12 jam pertama. Jika zidovudin
baru diberikan setelah usia 48 jam, kejadian transmisi menjadi lebih tinggi 18,4%.1
Beberapa penelitian mencoba menggunakan zidovudin dalam jangka waktu yang
lebih singkat dengan regimen yang lebih sederhana dan murah. Makin lama penggunaan
antiretrovirus, makin besar kemungkinan penurunan resiko transmisi HIV. Joao, dkk
mengungkapkan pada bayi yang tidak tertular HIV, rata-rata lama penggunaan antiretrovirus
pada ibunya 16,63 minggu dibandingkan dengan lama penggunaan antiretrovirus ibu 6,28
minggu pada kelompok bayi yang tertular HIV. 1
Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah diteliti ialah
monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin dan lamivudin. Lallement, dkk
juga sedang meneliti kombinasi zidovudin dan nevirapin. 1
Saat ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah tersedia dalam bentuk
generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin, nevirapin dan
stavudin.1

B. Nevirapin
Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan disertai
pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari. Selain
karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali wanita hamil terinfeksi HIV-
AIDS baru dating pada saat melahirkan.1

26
Kategori FDA antiretrovirus untuk digunakan pada kehamilan1,7
Golongan Obat Kategori FDA
Nukleosida Reverse Zidovudin/ZDV/AZT C
Transcriptase Inhibitor Zalsitabin/ddC C
(NRTI) Didanosin/ddl B
Stavudin/d4T C
Lamivudin/3TC C
Abacavir/ABC C
Tenofovir/DF B
Non Nukleosida Reverse Nevirapin C
Transcriptase Inhibitor Delavirdin C
(NNRTI) Efavirenz C
Protease Inhibitor (PI) Indinavir C
Ritonavir B
Saquinavir B
Nelvinafir B
Amprenavir C
Lopinavir C
Golongan lain Hidroksiurea D
Keterangan :
Kategori B : Tidak terdapat resiko untuk janin pada penelitian pada hewan, namun belum terdapat penelitian
pada wanita hamil; atau penelitian pada hewan menunjukkan efek samping yang tidak sesuai
dengan penelitian kontrol pada wanita hamil trisemester pertama (dan tidak beresiko pada
trisemester berikutnya).
Kategori C:Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin (teratogenik atau embrisiodal atau
lainnya) dan belum terdapat penelitian kontrol pada wanita hamil atau belum terdapat penelitian
efek samping obat pada hewan ataupun wanita hamil. Obat kategori ini hanya diberikan jika
keuntungannya melebihi resiko potensial pada janin.
Kategori D : Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin manusia, namun keuntungan pada wanita
hamil dapat diterima dibandingkan resikonya terutama untuk penyelamatan jiwa.

Berdasarkan pedoman PMTCT WHO 2010, pemberian ARV dimulai pada semua wanita
hamil dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 atau stadium klinis 3 dan 4.5,10,11
Stadium Klinik Tidak Tersedia Tes Tersedia Tes CD4
WHO CD4
1 Tidak diobati Diobati jika jumlah sel CD4 <200/mm3
2 Tidak diobati
3 Diobati Diobati jika jumlah sel CD4 < 350/mm3
4 Diobati Diobati tanpa memandang jumlah sel CD4
Syarat Pemberian ART menurut PMTCT 2010 6
27
Pemberian ARV berdasarkan pedoman WHO 2010 yaitu: AZT+3TC+NVP/EFV
atau TDF+3TC+NVP/EFV. Terdapat 2 opsi yang ditawarkan WHO untuk tindakan
profilaksis:3,12,13
1. Profilaksis Opsi A
a. Ibu
i. Antepartum : AZT saat 14 minggu kehamilan
ii. Intrapartum : AZT/3TC + NVP 2 kali sehari
iii. Postpartum : AZT/3TC + NVP x 7 hari
b. Bayi
i. Bila diberikan ASI: NVP hingga 1 minggu lepas ASI
ii. Tanpa pemberian ASI: AZT atau NVP x 6 minggu
2. Profilaksis Opsi B
a. Ibu:Triple ARV mulai 14 minggu hingga 1 minggu lepas ASI
b. Bayi:VP/AZT setiap hari sejak lahir hingga umur 4-6 minggu tanpa memandang
pemberian ASI atau tidak.

28
Algoritma PMTCT 2010 3

29
Menurut PMTCT WHO 2012, terdapat tambahan opsi yaitu opsi B+. Pada opsi B+
tidak ada perbedaan untuk penatalaksanaan wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS dan
tindakan profilaksis dimana triple ARV dimulai sejak terdiagnosis terinfeksi HIV/AIDS
hingga seumur hidup tanpa memandang jumlah CD4. Sedangkan penatalaksanaan untuk bayi,
diberikan NVP/AZT setiap hari sejak lahir hingga umur 4-6 minggu tanhgpa memandang
pemberian ASI atau tidak.15

Program Update PMTCT April 2012 15


Opsi Wanita Bayi
Penatalaksanaan (sel Profilaksis (sel CD4
CD4 <350 sel/mm3) >350 se/mm3)
Opsi A Triple ARV dimulai Antepartum : AZT saat Bila diberikan ASI:
sesegara mungkin 14 minggu kehamilan NVP hingga 1
setelah didiagnosa Intrapartum : AZT/3TC minggu lepas ASI
terinfeksi HIV/AIDS + NVP 2 kali sehari Tanpa pemberian
dan berlanjut hingga Postpartum : AZT/3TC ASI: AZT atau NVP
seumur hidup. + NVP x 7 hari x 6 minggu
Opsi B Triple ARV dimulai Triple ARV mulai 14 NVP/AZT setiap
sesegera mungkin minggu hingga 1 minggu hari sejak lahir
setelah didiagnosa lepas ASI hingga umur 4-6
terinfeksi HIV/AIDS minggu tanpa
dan berlanjut hingga memandang
seumur hidup. pemberian ASI atau
tidak.
Opsi B+ Triple ARV dimulai sesegera mungkin setelah NVP/AZT setiap
didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS dan berlanjut hari sejak lahir
hingga seumur hidup tanpa memandang jumlah hingga umur 4-6
CD4 minggu tanpa
memandang
pemberian ASI atau
tidak.
(Dikutip dari kepustakaan 15)

30
Adapun kelebihan dari opsi B+:15
1. Aplikasinya lebih sederhana karena tidak membutuhkan tes CD4 untuk menilai apakah
memenuhi syarat untuk pemberian ART (seperti pada opsi A) atau harus diberhentikan
setelah tidak ada lagi resiko transmisi dari ibu ke anak (seperti pada opsi B) walaupun
jumlah pemeriksaan jumlah CD4 dan viral load masih dibutuhkan untuk menentukan
status imunologi dan menilai respon terhadap terapi.
2. Memberikan proteksi yang lebih lama terhadap transmisi HIV/AIDS dari ibu ke anak
pada kehamilan berikutnya yang dimulai sejak masa konsepsi.
3. Memberikan pencegahan yang kontinu terhadap transmisi seksual pada pasangan
serodiscordant.
4. Dengan terapi lebih awal, dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan ibu dan
mencegah resiko dari terputusnya penggunaan ARV terutama pada wanita usia subur.
5. Sebagai edukasi bagi masyarakat bahwa terapi ART merupakan terapi seumur hidup.
Program terbaru dari PMTCT ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan opsi B
terutama B+ lebih baik daripada opsi A. Walaupun opsi A telah berhasil diterapkan pada
negara-negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi, namun secara umum
pelaksanaannya sulit dilakukan dalam kondisi sumber daya yang rendah yang diakibatkan
perubahan penggunaan obat secara berkelanjutan (sejak masa anterpartum, intrapartum
dan postpartum) dan dibutuhkan pemeriksaan CD4 secara berkala untuk pemberian ART.
Sebaliknya, pada opsi B+, penggunaan ARV dimulai pada semua wanita yang terinfeksi
HV/AIDS tanpa membutuhkan pemeriksaan CD4. Opsi B dan B+ memberikan hasil yang
lebih baik pada kesehatan ibu dan juga untuk mengurangi resiko penularan ke bayi serta
menghindari intervensi profiaksis ARV yang kurang optimal akibat kurangnya sarana
untuk pemeriksaan CD4. 15

2.9. Universal Precaution untuk tenaga medis penolong persalinan


Universal Precaution merupakan suatu pedoman yang ditetapkan oleh the Centers
for Disease Control and Prevention CDC Atlanta (1985) dan the Occupational Safety and
Health Administration (OSHA), untuk mencegah transmisi dari berbagai penyakit yang
ditularkan melalui darah di lingkungan fasilitas pelayanan. 16

31
2.9.1. Upaya Menurunkan Risiko Transmisi pada Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan akan cukup aman bila dapat menjaga diri agar tidak kontak
langsung dengan cairan vagina, sperma, darah maupun produk darah. Ada beberapa
tindakan yang perlu dilakukan dalam rangka penerapan universal precaution, yaitu :
1. Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh penderita, bila menangani
cairan tubuh penderita; tenaga kesehatan perlu menggunakan pelindung.
2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
3. Dekontaminasi cairan tubuh penderita
4. Sterilisasi peralatan kedokteran,nmemakai jarum suntik sekali pakai
5. Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan
6. Membuang limbah secara benar

Untuk itu dianjurkan memakai peralatan :


1. Sarung tangan
2. Baju pelindung
3. Jas laboratorium, mantel pelindung (apron)
4. Masker
5. Pelindung mata
6. Penutup kepala
7. Sepatu boot

Seusai penggunakan peralatan perlindungan tadi tangan harus dicuci dengan sabun
dan air sesegera mungkin. Jika sabun dan air agak sulit diperoleh sementara tangan
dibersihkan dengan menggunakan handuk basah. Sedangkan peralatan pelindung seusai
digunakan ditempatkan pada suatu tempat penyimpanan tertentu, dekontaminasi (secara
fisika, kimia) atau pembuangan. Tenaga kesehatan yang sedang menderita dermatitis
basah atau mempunyai lesi pada kulit atau mukosa sebaiknya menghindari kontak dengan
semua penderita sampai kondisi betul-betul membaik. Dalam keadaan kulit maupun
mukosa terpapar oleh cairan tubuh yang berpotensi menimbulkan infeksi maka bagian
tubuh tersebut segera dibilas dengan sabun dan air. Jika terjadi kontak pada mata irigasi
dengan air secara berulang-ulang. Jika tenaga kesehatan terpapar secara secara parenteral,
tertusuk jarum suntik, tergores pisau bedah, atau paparan pada membran mukosa maka
perlu dilakukan pemeriksaan terhadap HIV dan hepatitis. 16
32
2.9.2. Protokol Universal Precaution
1. Cuci tangan atau permukaan kulit secara rata untuk mencegah kontaminasi tangan
oleh kuman pada tangan dengan menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun,
sesudah melakukan tindakan atau perawatan.
2. Pemakaian alat pelindung sesuai dengan indikasi (sarung tangan, masker, pelindung
wajah, jubah/celemek, kacamata pelindung) untuk setiap kontak langsung dengan
darah atau cairan tubuh lain dan sebagainya. berikut ini disajikan beberapa contoh.
a. Sarung tangan digunakan bila:
 akan menjamah darah atau cairan tubuh lain (cairan amnion/ketuban,
cairan peritoneal, cairan pleura, secret synovial, cairan pericardial, dan
cairan tubuh lain yang mengandung darah secara kasat mata) bila
menyentuh selaput mukosa, dan kulit yang luka dari setiap pasien.
 menangani benda-benda dan alat-alat yang dikotori oleh darah atau
cairan tubuh.
 untuk melaksanakan tindakan yang melibatkan pembuluh darah atau
tindakan invasif.
b. Sarung tangan diganti untuk setiap pasien dan cuci tangan segera setelah
melepas sarung tangan.
c. Masker dan pelindung mata, atau pelindung wajah dipakai untuk mencegah
pajanan pada mukosa mulut dan hidung.
d. Jubah atau celemek dipakai pada tindakan yang dapat menimbulkan percikan
atau tumpahan darah atau cairan tubuh.
e. Menyediakan Mouthpiece, resuscitation bag, atau alat bantu napas yang siap
digunakan sewaktu-waktu sebagai pengganti resusitasi mulut ke mulut di
tempat di mana resusitasi sering dilakukan.
3. Pemakaian antiseptic dan disifektan dengan benar-benar sesuai aturan.
4. Pengelolaan khusus untuk alat-alat bekas pakai dan benda tajam dan menghindari
resiko kecelakaan tusukan jarum suntik atau alat tajam lainnya.
5. Dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi/disinfeksi tingkat tinggi untuk bahan/alat
kesehatan bekas pakai.
6. Linen dan bahan-bahan yang dikotori darah atau cairan tubuh harus ditempatkan
dalam kantung antibocor.

33
7. Petugas kesehatan yang mempunyai luka basah atau luka mengucurkan darah/cairan
harus menjauhi tugas perawatan langsung kepada pasien atau menangani alat
perawatan pasien sampai sembuh.
8. Pengelolaan limbah yang sesuai dengan kaidah kesehatan yaitu dengan memisahkan
limbah medis dari limbah rumah tangga. Limbah medis harus melalui proses
pembakaran dengan incinerator atau dibakar biasa atau ditimbun dengan
menggunakan lapisan kapur.
9. Instrumen dan linen yang diduga tercemar dibersihkan atau direndam terlebih dahulu
dalam cairan sodium hipoklorit (klorin) selama 10 menit sebelum dicuci biasa. 16

2.9.3. Langkah tindakan untuk setiap pajanan darah/cairan tubuh dan alat
tajam tercemar
Segera setelah  Luka tusukan jarum suntik atau luka iris segera
terjadi pajanan dicuci dengan sabun dan air mengalir
 Percikan pada mukosa hidung, mulut, atau kulit
segera dibilas dengan guyuran air.
 Mata diirigasi dengan air bersih, larutan garam
fisiologis atau air steril.
 Jari yang tertusuk tidak boleh dihisap dengan
mulut seperti kebanyakan tindakan reflex untuk
menghisap darah.
Laporan pajanan  Setiap pajanan harus dicatat dan dilaporkan
kepada yang berwenang, dan diperlakukan
sebagai keadaan darurat. Dalam hal ini biasanya
Panitia Pengendalian Infeksi Nosokomial (PIN)
atau Panitia Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3).
 Laporan sangat diperlukan karena pemberian
profilaksis pascapajanan harus dimulai secepat
mungkin dalam waktu 24 jam. Memulai
pengobatan setelah 72 jam tidak dianjurkan
karena semakin lama tertunda semakin kecilarti

34
profilaksis pascapajanan.
Profilaksis  Keputusan untuk memberikan profilaksis
pascapajanan didasarkan atas derajat dari pajanan
terhadap HIV dan status HIV dari sumber
pajanan. Namun juga tergantung pada
ketersediaan obat antiretroviral.

35
BAB III
KESIMPULAN

Semakin meningkatnya kasus HIV/AIDS pada ibu hamil di dunia maupun di


Indonesia hendaknya menjadi perhatian semua kalangan, karena ini dapat merugikan semua
pihak.

Penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, terjadi secara horizontal maupun
vertikal (dari ibu ke anak). Transmisi horisontal dapat terjadi melalui darah (diantaranya
transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV, penggunaan alat yang tidak steril
disarana pelayanan kesehatan, penggunaan alat yang tidak steril dilayanan kesehatan
tradisional ) dan melalui hubungan seks (misalnya pelecehan seksual pada anak, pelacuran
anak ). Kurang lebih 10% penularan HIV terjadi melalui transmisi horizontal. Dan yang
cukup penting (90%) adalah penularan secara vertikal dari ibu ke anak. Penularan vertikal
dapat terjadi selama intra uterine, intra partum maupun post partum.

Upaya pencegahan transmisi vertikal ini disebut dengan PMTCT (Prevention of


Mother To Child Transmission of HIV). Diharapkan melalui progran PMTCT ini, angka
kasus HIV/AIDS pada ibu hamil dan anak dapat diturunkan. Diperlukan juga dukungan
semua pihak, terutama keluarga dan lingkungan untuk bersama-sama memberi bantuan dalam
program ini.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhaimi D., Savira M., Krisnadi S. Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi HIV (AIDS)
Pada Kehamilan. 2010. Riau: Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Riau.
2. Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan. Laporan Perkembangan Situasi HIV & AIDS di
Indonesia Triwulan 2 Tahun 2011. 2011. Jakarta: Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan.
3. World Health Organization. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Woman and
Preventing HIV Infections in Infant 2010 Version. 2010. Austria: Department of
HIV/AIDS WHO.
4. AVERT. Preventing Mother to Child Transmision of HIV (PMTCT). [online] 2011.
[cited 2012 20 Mei]. Avalaible from: http://www.avert.org/motherchild.htm.
5. Gondo HK. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. 2009. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.
6. Romadona N.F. Penyakit HIV/AIDS pada Anak. [online] 2010. [cited 20 Mei 2012].
Available from:
http://repository.upi.edu/operator/upload/pro_2011_iecs_nur_aids_pada_anakx.pdf.
7. Altfeld M. And Walker B.D. Acute HIV-1 Infection. In : HIV Medicine. Paris: Flying;
2007. P. 34-7.
8. Preiser W and Korsman S. HIV Testing. In : HIV Medicine. Paris: Flying; 2007. P. 41-51.
9. Catie, Women’s Health. HIV and Pregnancy : General Information. [cited 20 Mei 2012];
Available from: www.catie.ca.
10. Setiawan IM. Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke
Bayi yang Dilahirkan. Maj Kedokt Indon, Vol : 59, No: 10. 2009. P:489-94
11. USAIDS. Prevention of Mother to Child Transmision (PMTCT) of HIV. [online] 2011.
[cited 20 Mei 2012]. Avalaible from: http://www.usaid.org.
12. Esiru G. The New National Guidelines (2010) for PMTCT and Infant Feeding in The
Context of HIV. [online] 2011. [cited 20 november 2012]. Avalaible from:
http://www.aidsmap.com/New-WHO-guidelines-on-PMTCT-and-infant-
feeding/page/1436978/
13. Family Health International. Preventing Mother to Child Transmission of HIV, A
Strategic Framework. Arlington, University of North Carolina. 2004. p. 1-10.

37
14. Medik DBPP. Pedoman Diagnosis Laboratorium Bayi dan Anak Usia Kurang dari 18
Bulan Terpapar HIV. In: Indonesia KR, editor. Jakarta,2009. p. 1-10.
15. World Health Organization. Programmatic Update Use of Antiretroviral Drugs For
Treating Pregnant Woman and Preventing HIV Infection in Infants. Departement of
HIV/AIDS, WHO. 2012. Avalaible from: www.who.int/hiv/PMTCT_update.pdf
16. Nasronudin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial. Airlangga
University Press. Surabaya,2007. p. 119-131.

38

Anda mungkin juga menyukai