Hiv Dalam Kehamilan
Hiv Dalam Kehamilan
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human Immunodeficiency
Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamily Lentiviridae
.Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Partikel HIV
adalah virus RNA yang ber-envelope, berbentuk bulat sferis dengan diameter 80-120nm.
Partikel yang infeksius terdiri dari dua rantai single stranded RNA positif yang berada di
dalam inti protein virus (ribonukleoprotein) dan dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid
yang ditancapi oleh 72 buah tonjolan (spikes) glikoprotein. Envelope polipeptida terdiri dari
dua subunit yaitu glikoprotein luar (gp120) yang merupakan tempat reseptor (reseptor
binding) CD4+ dan glikoprotein transmembran (gp41) yang akan bergabung dengan envelope
lipid virus. Protein-protein pada membran luar ini terutama berfungsi untuk mediasi
terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan reseptor kemokin.1
Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks (p17), yang
kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural virion. Enveloped lipid
terbungkus dalam kapsid yang berbentuk ikosahedral 9p24 dan matriks 17. Protein kapsid
mengelilingi inti dalam virion sehingga membentuk ’cangkang’ di sekeliling material
genetik. Protein nukleokapsid terdapat dalam ’cangkang’ tersebut berikatan langsung dengan
molekul-molekul RNA.1
2
2.2. Patogenesis
Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi biasanya terdapat di
dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar melalui berbagai cara.
Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa genital. Keberhasilan
transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada viral load individu yang terinfeksi. Viral
load adalah perkiraan jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita. Apabila
virus ditularkan pada host yang belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan
kadar yang tinggi, virus menyebar luas dalam tubuh host. Sementara sel yang akan terinfeksi
untuk pertama kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu terinfeksi oleh
virus, bisa CD4+ sel T dan monosit di dalam darah atau CD4+ sel T dan makrofag pada
jaringan mukosa.
Ketika HIV mencapai permukaan mukosa maka akan menempel pada limfosit T
CD4+, makrofag, atau sel dendrit pada kulit. Setelah virus ditransmisikan secara seksual
melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target seluler pertama virus adalah sel dendrit
jaringan (sel Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal dan selanjutnya akan
bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik ini kemudian
berfusi dengan limfosit CD4+ yang akan bermigrasi ke dalam nodus limfatikus melalui
jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini mencapai
nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen dan tinggal pada
beberapa kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus maupun ekuivalennya (seperti plak
Peyeri pada usus) pada akhirnya akan mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung
mencapai aliran darah dan tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini
bereproduksi dalam nodulus limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan. Sebagian
virus baru ini dapat berikatan dengan limfosit CD4+ yang berdekatan dan menginfeksinya,
sedangkan sebagian lainnya dapat berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus
limfatikus.1
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal infeksi ke
jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga tiga bulan setelah
infeksi, terjadi respon imun seluler spesifik HIV. Respon ini dihubungkan dengan penurunan
kadar viremia plasma yang signifikan dan juga berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV
akut. Selama tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat oleh respon imun spesifik HIV
ini, namun tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai
3
kompartemen jaringan, terutama jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respon
terhadap HIV dan mikroba lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi
AIDS.1,6
Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang berikatan
dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel dendrit juga berperan
dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan limfoid, sel dendrit akan
melepaskan HIV ke CD4+ sel T melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa hari
setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak replikasi sehingga dapat dideteksi pada nodul
limfatik. Replikasi tersebut akan mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui sejumlah
besar partikel virus HIV dalam darah penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom
HIV akut dengan berbagai macam gejala klinis baik asimptomatis maupun simptomatis.
Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan infeksi sel
T helper, makrofag dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.1
Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh efek
sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai
infeksi hingga AIDS jauh lebih besar dibanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga
akibat sel T yang terinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan apoptosis.
Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati. Penderita yang telah terinfeksi virus HIV
memiliki suatu periode asimptomatik yang dikenal sebagai periode laten. Selama periode
laten tersebut virus yang dihasilkan sedikit dan umumnya sel T darah perifer tidak
mengandung virus, tetapi kerusakan CD4+ sel T di dalam jaringan limfoid terus berlangsung
selama periode laten dan jumlah CD4+ sel T tersebut terus menurun di dalam sirkulasi darah.
Pada awal perjalanan penyakit, tubuh dapat cepat menghasilkan CD4+ sel T baru untuk
menggantikan CD4+ sel T yang rusak. Tetapi pada tahap ini, lebih dari 10% CD4+ sel T di
organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan lamanya perjalanan penyakit, siklus infeksi
virus terus berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan penurunan jumlah CD4+ sel T di
jaringan limfoid dan sirkulasi.1
Selama fase kronik, penderita akan rentan terhadap infeksi lain dan respon imun
terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus HIV dan kerusakan jaringan limfoid
semakin menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang mematikan yang
dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan limfoid
dan jumlah CD4+ sel T dalam darah turun di bawah 200 sel/mm3 (normal 1500 sel/mm3).
Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan, gagal
4
ginjal (HIV nefropati) dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena
CD4+ sel T sangat penting dalam respon imun seluler dan humoral pada berbagai macam
mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa penderita AIDS
sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi.1,6
Gambaran klinis infeksi HIV terdiri dari tiga fase sesuai dengan perjalanan infeksi
HIV itu sendiri, yaitu: 1,7
2.3.1. Serokonversi
Serokonversi adalah masa selama virus beredar menujut target sel (viremia) dan
antibodi serum terhadap HIV mulai terbentuk. Sekitar 70% pasien infeksi HIV primer
menderita sindrom mononucleosis-like akut yang terjadi dalam 2 hingga 6 minggu setelah
5
infeksi awal, yang dikenal juga sebagai sindrom retroviral akut (acute retroviral syndrome;
ARS). Sindrom ini terjadi akibat infeksi awal serta penyebaran HIV dan terdiri dari gejala-
gejala yang tipikal, namun tidak khas. Sindrom ini memiliki berbagai macam manifestasi,
gejala yang paling umum mencakup demam, lemah badan, mialgia, ruam kulit,
limfadenopati, dan nyeri tenggorokan. Selama masa ini terjadi viremia yang sangat hebat
dengan penurunan jumlah limfosit CD4+.
6
diobati rata-rata meninggal dalam jangka waktu satu hingga tiga tahun. Terapi yang telah
tersedia saat ini telah memperbaiki prognosis pasien infeksi HIV secara signifikan.
Terdapat beberapa cara dimana seseorang dapat terinfeksi oleh HIV. Infeksi HIV
dapat ditransmisi melalui: 1,7
1. Kontak seksual: HIV terdapat dalam air mani dan secret vagina yang akan ditularkan
virus ke sel, kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual
seperti sifilis akan memudahkan terjadinya infeksi HIV. Hubungan seks tanpa
menggunakan proteksi dengan partner yang terinfeksi, sehingga memungkinkan
tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat
vagina) ; atau tercampurnya cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi
dalam hubungan seks lewat anus.1,7
2. Transfusi: HIV ditularkan melalui injeksi dengan darah yang sudah tercemar HIV
atau produk darah (infeksi melalui graf kulit, transplant organ)
3. Melalui pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai bergantian
tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna Narkotika
penyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit.
4. Transimisi (Perinatal) : wanita yang terinfeksi HIV sebanyak 15-40%
berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru dilahirkan melalui
plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air susu ibu.1
7
Stadium II
BB turun <10% BB BB turun tanpa sebab yang jelas, BB turun < 10%
sebelumnya atau BB tidak bertambah pada terdokumentasi
kehamilan
URTI rekuren (>1x selama 6 Sinusitis Laboratorium
bulan) Otitis Media
Tonsilopharyngitis
Herpes Zooster Vesicular rash, nyeri , distribusi Diagnosis klinik
dermatomal, tidak melewati
midline tubuh.
Angular cheilitis Pecah2 pada sudut bibir yang Diagnosis klinik
bukan diakibatkan oleh def fe,
biasanya berespon dengan
pemberian terapi antijamur
Ulserasi oral rekuren (≥2x Aphthous, nyeri, dan Diagnosis klinik
selama 6 bulan terakhir) pseudomembran kuning abu-abu
8
Infeksi bakteri berat Demam disertai gejala dan tanda Isolasi bakteri
(pneumonia, meningitis, spesifik, dan merespon terhadap
empiema, pyomiositis, pemberian antibiotik.
infeksi tulang dan sendi,
septicemia, PID)
Acute necrotizing Papilla gingival ulserasi, sangat Diagnosis klinik
ulcerative gingivitis atau nyeri, gigi tanggal, perdarahan,
necrotizing bau mulut tidak sedap, dll.
ulcerative periodontitis.
Anemia ( (8 gr%) - Lab
Neutropenia (<0,5×109/L)
Trombositopenia
(<50×109/L) kronik
Stadium IV
HIV wasting sindrom BB turun > 10% , wasting, BMI < 18.5 kg/m2
Disertai salah satu :
Diare kronik > 1 bulan tanpa sebab yang jelas
Atau
Demam > 1 bulan tanpa sebab yang jelas
9
Sarcoma kaposi Penampakan kasar tipikal Endoskopi, bronkoskopi,
persisten pada kulit atau histology
orofaring, biasanya datar, bercak
dengan warna pink atau
keunguan, lesi kulit yang
biasanya berkembang menjadi
plak atau nodul.
CMV disease (selain hati, Retinitis Kultur, DNA, histologi
limfa, dan KGB)
CNS toxoplasmosis Kelainan neurologis, penurunan Antibodi toxoplasma (+)
kesadaran, dan respon terhadap dan satu atau lebih masa
terapi spesifik intracranial pada
pemeriksaan CT scan atau
MRI
HIV encephalopati Gangguan kognitif / motorik Neuroimaging
progressif yang tidak disebabkan
oleh sebab lain
Criptococcosis Demam, sakit kepala, Isolasi criptococus
ekstrhgfapulmonal meningismus, bingung, neoformans atau antigen
(termasuk meningitis) perubahan tingkah laku, respon test
terhadap criptococcal terapi
Disseminated non - Ditemukannya bakteri
tuberculous mycobacteria atipikal
infection
Progressive multifocal - Gangguan neurologis
leukoencephalopathy. progresif (gangguan
kognitif, berbicara, berjalan,
penglihatan, kelemahan
ekstremitas, dan gangguan
saraf cranial) disertai
dengan lesi hipodense pada
white matter, atau (+)
poliomavirus JC PCR pada
LCS,
Chronic cryptosporidiosis - Cysts (+) pada pem Ziehl-
Nielsen
Chronic isosporiasis - Identifikasi Isospora.
Disseminated mycosis - Histology, antigen detection
(coccidiomycosis atau Atau culture
histoplasmosis).
10
Lymphoma (cerebral atau - Histology
Bcell non-Hodgkin). Neuroimaging techniques
12
Hasil negatif tes antibodi berarti wanita tersebut tidak terkena infeksi HIV lebih dari 6
bulan yang lalu, tetapi dapat juga berarti uji negatif palsu (false negative), bila wanita itu diuji
pada waktu periode jendela (window periode) antara infeksi dan serokonversi. 6
B. Faktor Bayi
1. Prematuritas
Beberapa pusat penelitian telah memaparkan tentang hubungan prematuritas terhadap
infeksi HIV. Sebagai contoh status HIV maternal menjembatani prematuritas kehamilan.
Ryder dan teman-teman pada tahun 1989 di Zaire, menggarisbawahi tentang prematuritas
sebesar 13% pada wanita + HIV dan 3% pada kelompok control. Pengamatan tersebut tidak
konsisten pada Negara berkembang, bayi yang lahir prematur lebih beresiko terinfeksi HIV
dibanding bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV.5
2. Nutrisi Fetus
Terlepas dari status infeksi HIV, nutrisi prenatal yang buruk dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan janin dalam rahim atau intrauterinegrowth retandation (IUGR)
15
dengan perbandingan pertumbuhan yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Semua akan
menyebabkan menurunnya imunitas selular dengan jumlah sel T yang rendah, respon
proliferatif yang buruk, pertumbuhan thymus yang terganggu, meningkatkan kecenderungan
terserang infeksi, dan menetap selama 5 tahun masa pertumbuhan yang akan terganggu.
Direkomendasikan untuk asupan vitamin A, untuk mencegah perburukan gejala diare yang
ada baik pada ibu maupun bayinya.5
3. Fungsi Pencernaan
Fungsi pencernaan pada neonatus memegang peranan penting dalam penularan HIV.
Sejak infeksi HIV diperkirakan masuk melalui pencernaan saat kelahiran, oleh karena
terpapar darah yang terinfeksi, sekresi vagina, cairan amnion dan air susu ibu. Pada sistem
pencernaan bayi memiliki keasaman lambung yang rendah, aktifitas enzym pencernaan yang
rendah, produksi cairan mukosa yang rendah dan sedikit sekresi dari immunoglobulin A (Ig
A) yang merupakan sistem kekebalan pada pencernaan untuk melawan kuman yang masuk.
Pada infeksi sekunder akan terjadi diare, pertumbuhan yang terganggu, dan menunjukkan
prekembangan perjalanan penyakitnya.5
4. Respon imun neonatus
Sistem kekebalan tubuh bayi yang baru lahir secara anatomi memiliki defisiensi
fungsional, belum terpapar oleh antigen dari luar dan sering mengalami ketidakmampuan
dalam mengkopi agen mayor infeksi. Merupakan perkembangan immunologi termasuk dalam
menghadapi berbagai virus seperti cytomegalovirus, hepatitis B dan virus herpes simplek.
Ketiga infeksi tersebut bersifat kronik, menjadi karier dalam tubuh dan dapat menyebabkan
penyakit neonates yang fatal. Pada saat sistem kekebalan tubuh neonatus tidak matang,
menyebabkan sistem sel T tidak berfungsi dengan baik terutama terhadap infeksi HIV,
peranan antibody, dan sistem makrofag rendah.5
19
2.8.1. Penatalaksanaan Saat Persalinan
a. Persalinan pervaginam
Wanita hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diushakan selaput
amnionnya utuh selama mungkin. Pengambilan sampel darah janin harus dihindari. Jika
sebelumnya telah diberikan obat HAART, maka obat ini harus dilajutkan sampai partus. Jika
direncanakan pemberian infuse zidovudin, harus diberikan pada saat persalinan dan
dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Dosis zidovudin adalah: dosis inisial 2 mg/kgBB dalam
1 jam dan dilanjutkan 1mg/kgBB/jam sampai partus. Tablet nevirapin dosis tunggal 200mg
harus diberikan di awal persalinan. Tali pusat harus diklem secepat mungkin dan bayi harus
dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi biasanya dilakukan karena alasan obstetrik,
menghindari partus lama, dan ketuban pecah lama.1
Kelahiran pervaginam dapat dipertimbangkan dengan syarat:
1. Selama kehamilan penderita menjalani perawatan prenatal
2. Viral load <1000 kopi/ml pada minggu ke-36 kehamilan
3. Penderita menjalani pengobatan HIV selama kehamilan.
b. Seksio Sesaria
Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus diberikan antibiotik
profilaksis. Infuse zidovudin harus dimulai 4 jam sebelum seksio sesaria dan dilanjutkan
sampai tali pusat diklem. Sampel darah ibu diambil saat itu dan diperiksa viral load-nya. Tali
pusat harus diklem secepatnya pada saat seksio sesaria dan bayi harus dimandikan segera.1
Kelahiran secara seksio sesarea direkomendasikan dengan syarat:
1. Wanita hamil penderita HIV dengan viral load >1000 kopi/ml atau viral
load tidak diketahui pada minggu ke-36 kehamilan
2. Penderita yang tidak menjalani pengobatan HIV selama kehamilan
3. Penderita yang tidak menjalani perawatan prenatal sebelum usia kehamilan
36 minggu
4. Belum terjadi ruptur membran (pecah ketuban).
Diskusi mengenai pilihan seksio sesarea harus dimulai secepat mungkin pada
wanita hamil dengan infeksi HIV untuk memberikan kesempatan adekuat pada
penderita untuk mempertimbangkan pilihan dan rencana untuk prosedur.
20
2.8.2. Pemberian Makanan Bayi
Terdapat 50-75% dari bayi yang terinfeksi HIV yang disusui ibu HIV/AIDS
tertular HIV pada 6 bulan pertama kehidupan. ASI eksklusif memiliki resiko transmisi
HIV yang rendah daripada ASI yang dikombinasikan dengan cairan atau makanan
lainnya (ASI campuran). 3,12
Ibu yang menderita HIV/AIDS sangat dianjurkan untuk memberikan ASI
Ekslusif hingga 6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI sekaligus makanan
tambahan hingga usia 12 bulan. Bila ibu yang menderita HIV/AIDS memutuskan
untuk tidak memberikan ASI ekslusif, dapat mengganti dengan makanan tambahan
bila kriteria AFASS terpenuhi. Adapun kriteria AFASS dari WHO yaitu: Acceptable
= mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau,
Sustainable = berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya. Salah satu alternatif untuk
menghindari penularan HIV yaitu dengan menghangatkan ASI > 66 0C untuk
membunuh virus HIV. Adapun bayi yang telah dinyatakan terinfeksi HIV positif
maka harus diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan diteruskan dengan pemberian ASI
campuran hingga usia 24 bulan.1,12,13
21
2.8.4. Strategi PMTCT
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dilaksanakan secara
komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu :
1. Prong 1 : Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif. 3,6,11
a. Mengubah perilaku risiko tinggi menjadi risiko rendah dengan menggunakan ABCD
(Abstinensia, Be Faithful, Condom, Drugs No). 6,13
b. VCT (Voluntary Counselling and Testing) atau konseling dan testing HIV/AIDS
sukarela adalah suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan klien untuk
memahami HIV/AIDS beserta resiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan
keluarga serta orang di sekitarnya. Tujuan utamanya adalah perubahan perilaku ke
arah perilaku lebih sehat dan lebih aman. Layanan informasi dan tes HIV diberikan
secara rutin bagi laki-laki dan perempuan yang merencanakan untuk memiliki bayi.
Semua ibu usia subur yang akan hamil sebaiknya diberikan konseling HIV untuk
mengetahui risiko dan sebaiknya semua ibu hamil disarankan untuk melakukan tes
HIV sebagai bagian dari perawatan antenatal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan
pervalensi HIV di masyarakat. Ibu hamil menjalani konseling dan diberikan
kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV atau
tidak. 10,14
2. Prong 2 : Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada Ibu HIV positif. 3,6
Mengingat adanya kemungkinan transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama
proses kehamilan, maka pada dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan
untuk hamil. Dengan alasan hak asasi manusia, perempuan HIV positif dapat memberikan
keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling, pengobatan dan pemantauan.
Adapun pilihan kontrasepsi bagi perempuan dengan HIV positif: 6
a. Suntik dan implant : bukan kontraindikasi,
b. Vasektomi dan Tubektomi : bila tidak ingin punya anak lagi,
c. AKDR (IUD) : tidak dianjurkan karena adanya resiko perdarahan,
d. Kondom : sangat dianjurkan (pilihan utama) karena bersifat dua proteksi (mencegah
kehamilan dan mencegah penularan HIV).
3. Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan HIV dari Ibu hamil HIV positif ke bayi selama
kehamilan, persalinan dan menyusui. 3,6
a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
22
b. Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT). Pada kunjungan antenatal I
diperlukan anamnesis yang lengkap untuk mengetahui adanya tanda-tanda
serokonversi dan gejala infeksi oportunistik. Selain itu, diperlukan perhatian khusus
pada infeksi TBC, lesi di vagina atau mulut dan limfadenopati PMS (sifilis), serta
perlu untuk melakukan konsul bagian oftalmologi, neurologi dan interna.
c. Pemberian obat antiretrovirus (ART). Pada wanita pengidap HIV yang baru/belum
pernah terapi ARV maka dilakukan evaluasi gejala klinis HIV dan pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan fisik untuk menilai kelayakan pemberian ARV.
d. Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi.
e. Persalinan yang aman.
4. Prong 4 : Integrasi Pelayanan, pengobatan, dan dukungan bagi wanita yang HIV (+), anak
dan keluarganya. Termasuk juga intervensi pelayanan kesehatan reproduktif, kunjungan
antenatal, dan obstetri pada wanita yang terinfeksi HIV.
4. Optimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif. Upaya yang dapat dilakukan: 6
a. Pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan untuk pemantauan kehamilan dan
keadaaan janin.
b. Minum roboransia (penunjang kesehatan misal : vitamin) untuk meningkatkan
kebutuhan mikronutrien.
c. Ibu menjalani pola hidup sehat : cukup gizi, cukup istirahat, cukup olahraga, tidak
merokok, dan tidak minum alkohol.
d. Menggunakan kondom, untuk mencegah infeksi baru (bila pasangannya tidak
menderita HIV/AIDS), atau mencegah superinfeksi (bila pasangannya menderita
HIV/AIDS).
24
2.8.6. Penggunaan obat Antiretroviral (ARV)
Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang
sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko
transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat
diturunkan hingga 20% dengan terapi antiretrovirus. 1,3
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup,
mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV.13 Pada kehamilan,
keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas,
teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas,
teratogenesis, dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit.
Efek samping tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus,
seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang dilaporkan
Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi antiretrovirus tidak meningkatkan resiko
prematuritas, berat badan lahir rendah atau kematian janin intrauterine. Kategori Food and
Drug Administration (FDA) tentang ART dapat dilihat pada table 2. 6,7
A. Monoterapi Zidovudine
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko transmisi
perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical
Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan peroral mulai minggu ke-14
kehamilan, dilanjutkan zidovudin intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan
zidovudin sirup yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu.1,7
B. Nevirapin
Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan disertai
pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari. Selain
karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali wanita hamil terinfeksi HIV-
AIDS baru dating pada saat melahirkan.1
26
Kategori FDA antiretrovirus untuk digunakan pada kehamilan1,7
Golongan Obat Kategori FDA
Nukleosida Reverse Zidovudin/ZDV/AZT C
Transcriptase Inhibitor Zalsitabin/ddC C
(NRTI) Didanosin/ddl B
Stavudin/d4T C
Lamivudin/3TC C
Abacavir/ABC C
Tenofovir/DF B
Non Nukleosida Reverse Nevirapin C
Transcriptase Inhibitor Delavirdin C
(NNRTI) Efavirenz C
Protease Inhibitor (PI) Indinavir C
Ritonavir B
Saquinavir B
Nelvinafir B
Amprenavir C
Lopinavir C
Golongan lain Hidroksiurea D
Keterangan :
Kategori B : Tidak terdapat resiko untuk janin pada penelitian pada hewan, namun belum terdapat penelitian
pada wanita hamil; atau penelitian pada hewan menunjukkan efek samping yang tidak sesuai
dengan penelitian kontrol pada wanita hamil trisemester pertama (dan tidak beresiko pada
trisemester berikutnya).
Kategori C:Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin (teratogenik atau embrisiodal atau
lainnya) dan belum terdapat penelitian kontrol pada wanita hamil atau belum terdapat penelitian
efek samping obat pada hewan ataupun wanita hamil. Obat kategori ini hanya diberikan jika
keuntungannya melebihi resiko potensial pada janin.
Kategori D : Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin manusia, namun keuntungan pada wanita
hamil dapat diterima dibandingkan resikonya terutama untuk penyelamatan jiwa.
Berdasarkan pedoman PMTCT WHO 2010, pemberian ARV dimulai pada semua wanita
hamil dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 atau stadium klinis 3 dan 4.5,10,11
Stadium Klinik Tidak Tersedia Tes Tersedia Tes CD4
WHO CD4
1 Tidak diobati Diobati jika jumlah sel CD4 <200/mm3
2 Tidak diobati
3 Diobati Diobati jika jumlah sel CD4 < 350/mm3
4 Diobati Diobati tanpa memandang jumlah sel CD4
Syarat Pemberian ART menurut PMTCT 2010 6
27
Pemberian ARV berdasarkan pedoman WHO 2010 yaitu: AZT+3TC+NVP/EFV
atau TDF+3TC+NVP/EFV. Terdapat 2 opsi yang ditawarkan WHO untuk tindakan
profilaksis:3,12,13
1. Profilaksis Opsi A
a. Ibu
i. Antepartum : AZT saat 14 minggu kehamilan
ii. Intrapartum : AZT/3TC + NVP 2 kali sehari
iii. Postpartum : AZT/3TC + NVP x 7 hari
b. Bayi
i. Bila diberikan ASI: NVP hingga 1 minggu lepas ASI
ii. Tanpa pemberian ASI: AZT atau NVP x 6 minggu
2. Profilaksis Opsi B
a. Ibu:Triple ARV mulai 14 minggu hingga 1 minggu lepas ASI
b. Bayi:VP/AZT setiap hari sejak lahir hingga umur 4-6 minggu tanpa memandang
pemberian ASI atau tidak.
28
Algoritma PMTCT 2010 3
29
Menurut PMTCT WHO 2012, terdapat tambahan opsi yaitu opsi B+. Pada opsi B+
tidak ada perbedaan untuk penatalaksanaan wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS dan
tindakan profilaksis dimana triple ARV dimulai sejak terdiagnosis terinfeksi HIV/AIDS
hingga seumur hidup tanpa memandang jumlah CD4. Sedangkan penatalaksanaan untuk bayi,
diberikan NVP/AZT setiap hari sejak lahir hingga umur 4-6 minggu tanhgpa memandang
pemberian ASI atau tidak.15
30
Adapun kelebihan dari opsi B+:15
1. Aplikasinya lebih sederhana karena tidak membutuhkan tes CD4 untuk menilai apakah
memenuhi syarat untuk pemberian ART (seperti pada opsi A) atau harus diberhentikan
setelah tidak ada lagi resiko transmisi dari ibu ke anak (seperti pada opsi B) walaupun
jumlah pemeriksaan jumlah CD4 dan viral load masih dibutuhkan untuk menentukan
status imunologi dan menilai respon terhadap terapi.
2. Memberikan proteksi yang lebih lama terhadap transmisi HIV/AIDS dari ibu ke anak
pada kehamilan berikutnya yang dimulai sejak masa konsepsi.
3. Memberikan pencegahan yang kontinu terhadap transmisi seksual pada pasangan
serodiscordant.
4. Dengan terapi lebih awal, dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan ibu dan
mencegah resiko dari terputusnya penggunaan ARV terutama pada wanita usia subur.
5. Sebagai edukasi bagi masyarakat bahwa terapi ART merupakan terapi seumur hidup.
Program terbaru dari PMTCT ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan opsi B
terutama B+ lebih baik daripada opsi A. Walaupun opsi A telah berhasil diterapkan pada
negara-negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi, namun secara umum
pelaksanaannya sulit dilakukan dalam kondisi sumber daya yang rendah yang diakibatkan
perubahan penggunaan obat secara berkelanjutan (sejak masa anterpartum, intrapartum
dan postpartum) dan dibutuhkan pemeriksaan CD4 secara berkala untuk pemberian ART.
Sebaliknya, pada opsi B+, penggunaan ARV dimulai pada semua wanita yang terinfeksi
HV/AIDS tanpa membutuhkan pemeriksaan CD4. Opsi B dan B+ memberikan hasil yang
lebih baik pada kesehatan ibu dan juga untuk mengurangi resiko penularan ke bayi serta
menghindari intervensi profiaksis ARV yang kurang optimal akibat kurangnya sarana
untuk pemeriksaan CD4. 15
31
2.9.1. Upaya Menurunkan Risiko Transmisi pada Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan akan cukup aman bila dapat menjaga diri agar tidak kontak
langsung dengan cairan vagina, sperma, darah maupun produk darah. Ada beberapa
tindakan yang perlu dilakukan dalam rangka penerapan universal precaution, yaitu :
1. Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh penderita, bila menangani
cairan tubuh penderita; tenaga kesehatan perlu menggunakan pelindung.
2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
3. Dekontaminasi cairan tubuh penderita
4. Sterilisasi peralatan kedokteran,nmemakai jarum suntik sekali pakai
5. Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan
6. Membuang limbah secara benar
Seusai penggunakan peralatan perlindungan tadi tangan harus dicuci dengan sabun
dan air sesegera mungkin. Jika sabun dan air agak sulit diperoleh sementara tangan
dibersihkan dengan menggunakan handuk basah. Sedangkan peralatan pelindung seusai
digunakan ditempatkan pada suatu tempat penyimpanan tertentu, dekontaminasi (secara
fisika, kimia) atau pembuangan. Tenaga kesehatan yang sedang menderita dermatitis
basah atau mempunyai lesi pada kulit atau mukosa sebaiknya menghindari kontak dengan
semua penderita sampai kondisi betul-betul membaik. Dalam keadaan kulit maupun
mukosa terpapar oleh cairan tubuh yang berpotensi menimbulkan infeksi maka bagian
tubuh tersebut segera dibilas dengan sabun dan air. Jika terjadi kontak pada mata irigasi
dengan air secara berulang-ulang. Jika tenaga kesehatan terpapar secara secara parenteral,
tertusuk jarum suntik, tergores pisau bedah, atau paparan pada membran mukosa maka
perlu dilakukan pemeriksaan terhadap HIV dan hepatitis. 16
32
2.9.2. Protokol Universal Precaution
1. Cuci tangan atau permukaan kulit secara rata untuk mencegah kontaminasi tangan
oleh kuman pada tangan dengan menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun,
sesudah melakukan tindakan atau perawatan.
2. Pemakaian alat pelindung sesuai dengan indikasi (sarung tangan, masker, pelindung
wajah, jubah/celemek, kacamata pelindung) untuk setiap kontak langsung dengan
darah atau cairan tubuh lain dan sebagainya. berikut ini disajikan beberapa contoh.
a. Sarung tangan digunakan bila:
akan menjamah darah atau cairan tubuh lain (cairan amnion/ketuban,
cairan peritoneal, cairan pleura, secret synovial, cairan pericardial, dan
cairan tubuh lain yang mengandung darah secara kasat mata) bila
menyentuh selaput mukosa, dan kulit yang luka dari setiap pasien.
menangani benda-benda dan alat-alat yang dikotori oleh darah atau
cairan tubuh.
untuk melaksanakan tindakan yang melibatkan pembuluh darah atau
tindakan invasif.
b. Sarung tangan diganti untuk setiap pasien dan cuci tangan segera setelah
melepas sarung tangan.
c. Masker dan pelindung mata, atau pelindung wajah dipakai untuk mencegah
pajanan pada mukosa mulut dan hidung.
d. Jubah atau celemek dipakai pada tindakan yang dapat menimbulkan percikan
atau tumpahan darah atau cairan tubuh.
e. Menyediakan Mouthpiece, resuscitation bag, atau alat bantu napas yang siap
digunakan sewaktu-waktu sebagai pengganti resusitasi mulut ke mulut di
tempat di mana resusitasi sering dilakukan.
3. Pemakaian antiseptic dan disifektan dengan benar-benar sesuai aturan.
4. Pengelolaan khusus untuk alat-alat bekas pakai dan benda tajam dan menghindari
resiko kecelakaan tusukan jarum suntik atau alat tajam lainnya.
5. Dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi/disinfeksi tingkat tinggi untuk bahan/alat
kesehatan bekas pakai.
6. Linen dan bahan-bahan yang dikotori darah atau cairan tubuh harus ditempatkan
dalam kantung antibocor.
33
7. Petugas kesehatan yang mempunyai luka basah atau luka mengucurkan darah/cairan
harus menjauhi tugas perawatan langsung kepada pasien atau menangani alat
perawatan pasien sampai sembuh.
8. Pengelolaan limbah yang sesuai dengan kaidah kesehatan yaitu dengan memisahkan
limbah medis dari limbah rumah tangga. Limbah medis harus melalui proses
pembakaran dengan incinerator atau dibakar biasa atau ditimbun dengan
menggunakan lapisan kapur.
9. Instrumen dan linen yang diduga tercemar dibersihkan atau direndam terlebih dahulu
dalam cairan sodium hipoklorit (klorin) selama 10 menit sebelum dicuci biasa. 16
2.9.3. Langkah tindakan untuk setiap pajanan darah/cairan tubuh dan alat
tajam tercemar
Segera setelah Luka tusukan jarum suntik atau luka iris segera
terjadi pajanan dicuci dengan sabun dan air mengalir
Percikan pada mukosa hidung, mulut, atau kulit
segera dibilas dengan guyuran air.
Mata diirigasi dengan air bersih, larutan garam
fisiologis atau air steril.
Jari yang tertusuk tidak boleh dihisap dengan
mulut seperti kebanyakan tindakan reflex untuk
menghisap darah.
Laporan pajanan Setiap pajanan harus dicatat dan dilaporkan
kepada yang berwenang, dan diperlakukan
sebagai keadaan darurat. Dalam hal ini biasanya
Panitia Pengendalian Infeksi Nosokomial (PIN)
atau Panitia Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3).
Laporan sangat diperlukan karena pemberian
profilaksis pascapajanan harus dimulai secepat
mungkin dalam waktu 24 jam. Memulai
pengobatan setelah 72 jam tidak dianjurkan
karena semakin lama tertunda semakin kecilarti
34
profilaksis pascapajanan.
Profilaksis Keputusan untuk memberikan profilaksis
pascapajanan didasarkan atas derajat dari pajanan
terhadap HIV dan status HIV dari sumber
pajanan. Namun juga tergantung pada
ketersediaan obat antiretroviral.
35
BAB III
KESIMPULAN
Penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, terjadi secara horizontal maupun
vertikal (dari ibu ke anak). Transmisi horisontal dapat terjadi melalui darah (diantaranya
transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV, penggunaan alat yang tidak steril
disarana pelayanan kesehatan, penggunaan alat yang tidak steril dilayanan kesehatan
tradisional ) dan melalui hubungan seks (misalnya pelecehan seksual pada anak, pelacuran
anak ). Kurang lebih 10% penularan HIV terjadi melalui transmisi horizontal. Dan yang
cukup penting (90%) adalah penularan secara vertikal dari ibu ke anak. Penularan vertikal
dapat terjadi selama intra uterine, intra partum maupun post partum.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhaimi D., Savira M., Krisnadi S. Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi HIV (AIDS)
Pada Kehamilan. 2010. Riau: Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Riau.
2. Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan. Laporan Perkembangan Situasi HIV & AIDS di
Indonesia Triwulan 2 Tahun 2011. 2011. Jakarta: Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan.
3. World Health Organization. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Woman and
Preventing HIV Infections in Infant 2010 Version. 2010. Austria: Department of
HIV/AIDS WHO.
4. AVERT. Preventing Mother to Child Transmision of HIV (PMTCT). [online] 2011.
[cited 2012 20 Mei]. Avalaible from: http://www.avert.org/motherchild.htm.
5. Gondo HK. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. 2009. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.
6. Romadona N.F. Penyakit HIV/AIDS pada Anak. [online] 2010. [cited 20 Mei 2012].
Available from:
http://repository.upi.edu/operator/upload/pro_2011_iecs_nur_aids_pada_anakx.pdf.
7. Altfeld M. And Walker B.D. Acute HIV-1 Infection. In : HIV Medicine. Paris: Flying;
2007. P. 34-7.
8. Preiser W and Korsman S. HIV Testing. In : HIV Medicine. Paris: Flying; 2007. P. 41-51.
9. Catie, Women’s Health. HIV and Pregnancy : General Information. [cited 20 Mei 2012];
Available from: www.catie.ca.
10. Setiawan IM. Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke
Bayi yang Dilahirkan. Maj Kedokt Indon, Vol : 59, No: 10. 2009. P:489-94
11. USAIDS. Prevention of Mother to Child Transmision (PMTCT) of HIV. [online] 2011.
[cited 20 Mei 2012]. Avalaible from: http://www.usaid.org.
12. Esiru G. The New National Guidelines (2010) for PMTCT and Infant Feeding in The
Context of HIV. [online] 2011. [cited 20 november 2012]. Avalaible from:
http://www.aidsmap.com/New-WHO-guidelines-on-PMTCT-and-infant-
feeding/page/1436978/
13. Family Health International. Preventing Mother to Child Transmission of HIV, A
Strategic Framework. Arlington, University of North Carolina. 2004. p. 1-10.
37
14. Medik DBPP. Pedoman Diagnosis Laboratorium Bayi dan Anak Usia Kurang dari 18
Bulan Terpapar HIV. In: Indonesia KR, editor. Jakarta,2009. p. 1-10.
15. World Health Organization. Programmatic Update Use of Antiretroviral Drugs For
Treating Pregnant Woman and Preventing HIV Infection in Infants. Departement of
HIV/AIDS, WHO. 2012. Avalaible from: www.who.int/hiv/PMTCT_update.pdf
16. Nasronudin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial. Airlangga
University Press. Surabaya,2007. p. 119-131.
38