Anda di halaman 1dari 2

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) 2012, sebanyak 1,6% remaja perempuan

(110 orang) usia 15-19 tahun telah melakukan hubungan seks sebelum berusia 15 tahun. Hanya 40,5%
(2.805 orang) remaja perempuan usia 15-19 tahun yang menggunakan kondom ketika berhubungan
seksual dan hanya 61% (4.225 orang) yang membatasi hubungan dengan satu pasangan. Hubungan
seksual yang dilakukan pada usia yang sangat muda meningkatkan kemungkinan seseorang terinfeksi
HIV, terutama jika melibatkan pasangan seksual yang beresiko atau pasangan yang berganti-ganti dan
penggunaan kondom yang rendah. Selain resiko HIV, melakukan hubungan seksual yang terlalu dini pada
remaja juga berdampak pada aborsi yang tidak aman, pernikahan dini, dan melahirkan di usia yang
masih sangat muda.

Remaja laki-laki usia 15-19 tahun memiliki prosentase lebih tinggi dalam seks pra-nikah dibandingkan
remaja perempuan. Sekitar 4,5% remaja laki-laki dan 0,7% remaja perempuan pernah melakukan seks
pra-nikah. Alasan melakukan hubungan seksual yang paling banyak diungkapkan adalah, 57,7% remaja
laki-laki karena penasaran/rasa ingin tahu, 38% remaja perempuan menyatakan terjadi begitu saja, dan
12,6% remaja perempuan menyatakan melakukan hubungan seksual karena dipaksa oleh pasangan
mereka. Kesadaran yang rendah terkait isu kesehatan dan seksualitas, tekanan sosial dari lingkungan
pertemanan, dan pola hubungan yang tidak seimbang menjadi sumber permasalahan kesehatan remaja.

Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA) 2010 dalam situasi
kesehatan reproduksi remaja menyebutkan Indonesia merupakan Negara ke-37 dengan persentase yang
tinggi pernikahan usia muda dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Pada tahun 2010, terdapat
158 negara dengan usia legal minimum perempuan menikah adalah 18 tahun, namun sangat
disayangkan di Indonesia usia minimal perempuan menikah masih 16 tahun. Berdasarkan SKDI 2012,
12,6% remaja usia 15-19 tahun sudah berstatus menikah. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013
menyebutkan proporsi kehamilan remaja usia 15-19 tahun di perkotaan sebesar 1,28% di perkotaan dan
2,71% di pedesaan. Kehamilan pada remaja usia di bawah 15 tahun juga masih terjadi meskipun dalam
persentase yang kecil sebesar 0,02%.

Seiring tekanan sosial dan ekonomi dalam perubahan menuju dewasa, remaja mulai aktif secara seksual,
menikah dan hamil di usia dini yang meningkatkan permasalahan kesehatan di kalangan remaja yang
diperparah dengan terbatasnya layanan kesehatan untuk remaja. Hal ini perlu mendapatkan perhatian
khusus tidak hanya bagi pemerintah namun juga bagi masyarakat dan terutama orang tua, terutama
karena masih kurangnya informasi dan pengetahuan bagi remaja mengenai resiko yang mungkin akan
mereka hadapi sebagai dampak dari perilaku tersebut. Masa remaja merupakan masa eksplorasi seksual,
oleh karena itu akses informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi bagian penting di
masa ini. Penguasaan hak-hak reproduksi, kematangan dan tanggung jawab individu, memberikan hak-
hak individu untuk memperoleh pengetahuan dari layanan kesehatan menjadi aspek mendasar yang
perlu dipahami oleh remaja.
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui sekolah sebenarnya dinilai sebagai salah satu strategi
pencegahan yang baik dalam meningkatkan pemahaman remaja dan menurunkan perilaku beresiko di
kalangan remaja. Pemerintah sudah mendorong upaya dan gerakan untuk memfasilitasi pendidikan
kesehatan reproduksi remaja hanya saja hal ini belum dilakukan secara komprehensif dan meluas. Masih
terdapat penolakan baik dari pihak sekolah ataupun masyarakat terkait pemberian pendidikan kesehatan
reproduksi ataupun informasi yang membahas isu seksualitas karena dirasa sebagai suatu hal yang tabu.
Pemikiran bahwa pemberian pendidikan seks dan pemahaman mengenai kondom mendorong para
remaja menjadi aktif secara seksual dan meningkatkan angka kehamilan masih dijadikan alasan
penolakan tersebut. Mitos-mitos ini haruslah mulai dan dan segera direduksi. Kesadaran masyarakat
mengenai pentingnya pendidikan kesehatan seksual harus mulai ditingkatkan sebagai langkah awal
memberikan akses informasi yang akurat bagi remaja. Model pendidikan kesehatan reproduksi yang
dibawakan dengan kesan “menakut-nakuti” remaja untuk menghindari seks juga harus mulai bergeser
dan diarahkan ke pendidikan kesehatan reproduksi yang positif (dengan tetap memaparkan resiko dan
konsekuensi secara objektif) sehingga semua informasi dapat disampaikan secara komprehensif dan
tidak dibatasi karena dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Perlu diperhatikan bahwa pembahasan
mengenai kesehatan reproduksi remaja bukanlah sekedar isu kesehatan semata, namun juga sangat
terkait dengan isu sosial dan budaya yang mana masih sangat membatasi remaja untuk dapat
memperoleh informasi dan pelayanan yang komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai