KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia dan
rahmat-Nya kepada penulis sehingga referat dengan judul “DIABETES
MELITUS“ ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh karena itu, upaya pencegahan dan pengelolahan diabetes perlu mendapat
perhatian yang serius. Jika tidak, penyakit tersebut dapat menyebabkan terjadinya
stroke (berisiko 2-4 kali lebih tinggi), tekanan darah tinggi, gagal ginjal, kerusakan
sistem saraf, dan gangguan pada mata. Sehingga angka kematian akibat DM menjadi
tinggi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Menurut WHO, diabetes merupakan penyakit kronis yang timbul karena
produksi insulin tidak cukup di pankreas, ataupun, keadaan dimana tubuh tidak dapat
EPIDEMIOLOGI3
Selama 2 dekade terakhir, prevalensi DM meningkat secara drastis, terutama
tipe 2. hal ini dikarenakan peningkatan obesitas dan penurunan aktivitas. DM
meningkat seiring dengan usia. Insidens di Amerika Serikat 15 kasus dari 100.000
individu per tahun dan terus meningkat
Pada tahun 2000 :
- 0,19% pada yang berusia < 20 tahun
- 8,6 % pada yang berusia > 20 tahun
- 20,1 % pada mereka yang berusia > 65 tahun
Berdasarkan penelitian epidemiologi yang telah dilakukan di Indonesia,
kekerapan diabetes sekitar 1,5 – 2,3% kecuali di Manado yang agak tinggi sebesar
6%. Suatu penelitian terakhir yang dilakukan di Jakarta, kekerapan DM di daerah sub-
urban yaitu Depok adalah 12,8%, sedangkan disuatu daerah rural di Jawa Barat angka
itu hanya 1,1%. Disini jelas ada perbedaan antara urban dengan rural, menunjukkan
bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian DM.
Berdasarkan data World Health Organisation (WHO), Indonesia menempati
urutan keenam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes mellitus
terbanyak setelah India, China, Uni Sovyet, Jepang, dan Brasil. Pada tahun 1995,
jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 5 juta dengan peningkatan sebanyak
230.000 pasien diabetes per tahunnya, sehingga pada tahun 2005 diperkirakan akan
mencapai 12 juta penderita.
KLASIFIKASI
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam 7
RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara periode 4 Maret – 11 Mei 2013
DIABETES MELITUS Franscisca Dini (406111008)
Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus (American Diabetes Association,1997) sesuai
anjuran PERKENI :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
(Destruksi sel β, biasanya menjurus ke defisiensi insulin absolut).
A. Autoimun
B. Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Bervariasi mulai dari dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik fungsi sel β :
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3
DNA mitokondria
b. Defek genetik kerja insulin:
c. Penyakit Eksokrin Pankreas :
Pankreatitis
Tumor / pankreatektomi
Fibrocalculous pancreatopathy
d. Endokrinopati :
Akromegali
Sindroma Cushing
Feokromositoma
Hipertiroidisme
Aldosteromoma
ETIOLOGI
DM tipe 1 1,2
Pada DM tipe 1 atau yang disebut juga Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM) terjadi destruksi bertahap dari sel beta pankreas dan prosesnya bervariasi
pada tiap individu. Penurunan progresif sekresi insulin akan mengakibatkan diabetes
jika massa sel beta telah hancur kira-kira 80 %. Pada 1 atau 2 tahun pertama setelah
onset diabetes dapat terjadi kebutuhan tubuh akan insulin menurun sehingga tercapai
kontrol gula darah dengan kadar insulin secukupnya atau bahkan yang lebih jarang,
insulin menjadi tidak diperlukan. Keadaan ini disebut sebagai fase Honeymoon.
dimana masih terdapat produksi insulin endogen dari sel beta residu. Tetapi
bagaimanapun juga, fase tenang ini akan menghilang bersamaan proses penghancuran
sel beta yang tersisa hingga akhirnya individu tersebut menjadi defisiensi insulin
komplit.
DM tipe 1 dibagi menjadi :
Respon Autoimun
Diabetes tipe 1 biasanya merupakan penyakit autoimun yang sifatnya progresif
dimana sel β yang memproduksi insulin perlahan-lahan dihancurkan oleh sistem
imun tubuhnya sendiri. Tidak diketahui bagaimana awal mulanya terjadi proses
DM tipe 21,2
Kasus tipe 2 ini disebut juga sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM). Jumlahnya mencapai 90-95% dari seluruh kasus DM. Penyebab yang
mendasarinya bermacam-macam dan tidak terjadi destruksi dari sel beta pankreas.
Setidaknya pada tahap awal, dan kadang sepanjang hidupnya, pada individu tipe 2 ini
tidak akan membutuhkan terapi insulin untuk bertahan. Risikonya meningkat dengan
usia, kegemukan dan tingkat aktivitas yang rendah.
Tipe ini memiliki faktor predisposisi genetik, lebih kuat dibandingkan DM tipe
1, tetapi proses genetiknya sangat kompleks serta belum dapat diterangkan dengan
jelas. Tipe ini biasanya terjadi tanpa diketahui pada awalnya selama beberapa tahun
karena hiperglikemia berkembang bertahap dan pada tahap awal biasanya gejala
klasik tidak cukup nyata sehingga dapat disadari oleh pasien tersebut.
DM tipe 2 ditandai oleh 3 kelainan metabolik:
- Resistensi insulin
Penurunan kerja insulin terhadap jaringan target perifer (terutama otot dan
hati) merupakan gambaran yang paling menonjol dari DM tipe 2 dan
merupakan akibat dari kombinasi kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi
insulin mengganggu pemakaian glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap
insulin dan meningkatkan produksi glukosa oleh hati; keduanya berkontribusi
pada hiperglikemia. Mekanisme molekuler dari resistensi insulin pada DM
tipe 2 belum dapat dijelaskan dengan pasti.
- Gangguan sekresi insulin
Sekresi dan sensitivitas insulin saling berhubungan. Pada DM tipe 2, sekresi
insulin awalnya meningkat sebagai respon terhadap resistensi insulin unutk
mempertahankan toleransi glukosa normal. Awalnya, defek sekresi ini ringan
(relatif) dan selektif melibatkan hanya sekresi insulin yang terstimulasi
glukosa. Respon terhadap sekretagok nonglukosa lainnya dipertahankan (mis:
PATOFISIOLOGI
Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian ke lambung dan
selanjutnya ke usus. Didalam saluran pencernaan, makanan yang terdiri dari
karbohidrat dipecah menjadi glukosa, protein dipecah menjadi asam amino dan
lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu diedarkan ke seluruh tubuh untuk
dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya
berfungsi sebagai bahan bakar zat makanan itu harus diolah, dimana glukosa dibakar
melalui proses kimia yang menghasilkan energi yang disebut metabolisme.
Dalam proses metabolisme insulin memegang peranan penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin
adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas, bila insulin
tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap
berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.
Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan
predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu
oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu
sendiri.
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, tetapi jumlah reseptor
insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk
ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat.
2. Keluhan lain :
Gangguan saraf tepi/kesemutan
Gangguan penglihatan
Gatal/bisul
DIAGNOSIS
Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Ada
perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala atau tanda DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala,
yang mempunyai risiko DM. Seringkali uji diagnostik dilakukan pada mereka dengan
uji penyaring positif.5
Kriteria Diagnostik diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO :
GDP ≥ 126 < 126 GDP ≥ 126 100 - 125 < 100
-atau - -atau -
GDS ≥ 200 < 200 GDS ≥ 200 140 - 199 < 140
NORMAL
Kepaniteraan KlinikEvaluasi
Ilmu Penyakit
status giziDalam
15
RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Evaluasi penyulit DM Nasihat umum
Evaluasi perencanaan Perencanaan
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara periode 4 Maret – 11 Mei 2013
Makan sesuai makan
kebutuhan Latihan jasmani
Berat idaman
Belum perlu obat
DIABETES MELITUS Franscisca Dini (406111008)
TTGO
DM TGT Normal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko
DM sebagai berikut : 8
1. Usia > 45 tahun
2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m 2, yang disertai dengan faktor
risiko :
a. Kebiasaan tidak aktif
b. Turunan pertama dari orangtua dengan DM
c. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau
riwayat DM-gestasional
d. Hipertensi (≥ 140/90 mmHg)
e. Kolestrol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserid ≥ 250mg/dl
f. Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.
g. Menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis
lain yang terkait dengan resistensi insulin
h. Memilki riwayat penyakit kardiovaskuler.
Pemeriksaan penyaring dapat melalui kadar glukosa darah sewaktu atau kadar
glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan test toleransi glukosa.
Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM
Kadar glukosa (mg/dl ) Bukan DM Belum pasti DM
DM
Sewaktu Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥ 200
Darah Kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200
Puasa Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126
Darah Kapiler < 90 90 – 109 ≥110
Sumber : PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2002
PENATALAKSANAAN
Terdapat 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu :
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi Farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin. 2,6
1. Edukasi 2
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi.
Prinsip dasar :
- Sampaikan informasi secara bertahap, mulai dari yang sederhana baru
kemudian yang lebih kompleks.
- Hindari informasi yang terlalu banyak dalam waktu singkat.
- Sesuaikan materi edukasi dengan masalah pasien.
- Libatkan keluarga / pendamping dalam proses edukasi.
- Berilah nasihat yang membesarkan hati dan hindari kecemasan.
- Usahakan adanya kompromi tanpa ada paksaan.
- Diskusikan hasil laboratorium.
- Berikan motivasi / penghargaan atas hasil yang dicapai.
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
Klasifikasi IMT :
BB kurang <18,5
BB normal < 18,5-22,9
BB lebih ≥ 23,0
Dengan resiko 23,0 – 24,9
Obes I 25,0 – 29,9
Obes II ≥ 30,0
Berat ideal : IMT ♀ = 18,5-22,9 kg/m
IMT ♂ = 20-24,9 kg/m
Bila pria dengan tinggi badan < 160cm atau wanita < 150 cm, rumus modifikasi
sbb:
BBI = (TB dalam cm – 100) x 1 kg
BB Normal = BBI ±10%
Kurus = < BBI – 10%
Gemuk = > BBI + 10%
Untuk kepentingan praktis dilapangan, digunakan rumus Broca.
Penentuan kebutuhan kalori perhari :
Kalori basal :
♂ : BBI (kg) x 30 kal/kgBB
♀ : BBI (kg) x 25 kal/kgBB
Berat badan :
Gemuk : kurangi 20–30% kalori basal (tergantung tingkat kegemukan)
BB lebih : kurangi 10 %
Kurus : tambah 20–30% kalori basal(sesuai kebutuhan untuk meningkatkan
BB)
Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 – 1200
kkal/ hari untuk wanita dan 1200 – 1600 kkal/ hari untuk pria.
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar makan pagi (20%), siang (30%)
dan sore (25%) serta porsi 2 – 3porsi makanan ringan (10-15%) diantara makan besar.
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara
bertahap disesuaikan dengan kondisi dan kebiasaan. . Untuk diabetisi yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan makan diseuaikan dengan penyakit penyertanya.
Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan
sampai sedang hingga mencapai 30-60 menit.
Maximum Heart Rate (MHR) = 220 – umur
Target Heart Rate (THR)= 75 – 80% MHR.
Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani antara lain : 9
Periksa glukosa darah sebelum dan sesudah latihan dalam kurun waktu 30
menit untuk mengetahui glukosa darah stabil atau tidak. Jika gula darah sebelum olah
raga < 100 mg/dl, harus terlebih dahulu makan karbohidrat ± 25-50 g. Jika kadar gula
darah > 250 mg/dl, jangan melakukan latihan jasmani berat ( misalnya bulu tangkis,
sepakbola,dan lainnya). Latihan sebaiknya dilakukan 1-3 jam setelah makan. Kenakan
sepatu yang pas, periksa kedua kaki setiap sebelum dan sesudah latihan. Setiap latihan
dimulai dengan peregangan / pemanasan dan diakhiri dengan pendinginan masing-
masing selama 5-10 menit. Selalu ukur denyut nadi sebelum dan sesudah pemanasan,
ulangi lagi setelah 5 menit latihan inti. Setelah tercapai THR, intensitas
dipertahankan. Jangan teruskan jika ada gejala hipoglikemia.
4. Intervensi Farmakologis
A. Obat Hipoglikemia Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi 3 golongan antara lain : 8,13
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : Sulfonilurea dan Glinid
2. Penambah sensitivitas terhadap insulin (Insulin Sensitizing) : Thiazolidindion
3. Penghambat Glukoneogenesis : Biguanid
4. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukoside alfa (acarbose)
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja sulfonilurea adalah dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. 7,9
Farmakokinetik
Absorpsi derivate sulfonilurea melalui usus baik, sehingga dapat diberikan
peroral. Setelah absorpsi, obat ini tersebar keseluruh cairan ekstrasel. Dalam
plasma sebgaian terikat dengan protein plasma terutama albumin (70-90%). Mula
kerja dan farmakokinetik setiap derivat sulfonilurea berbeda-beda. 9
9
Tolbutamid ( Rastinon® )
Mula kerja cepat dan kadar maksimal dicapai dalam 3–5 jam dan masa kerja 6-12
jam.
Absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan.
Dalam darah terikat protein plasma.
Didalam hati diubah menjadi karbositolbutamid dan diekskresi melalui ginjal.
Dosisnya 0,5 – 1,5 g dibagi dalam beberapa dosis. Isi tablet 500 mg.
8
Asetoheksamid
Dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi
Masa paruh plasma hanya ½ - 2 jam dan masa kerja 12 – 24 jam.
Dalam tubuh diubah menjadi 1-hidroksiheksamid yang ternyata lebih kuat efek
hipoglikemianya daripada asetoheksamid itu sendiri. Selain itu juga
Tolazamid 9
Diserap lebih lambat didalam usus daripada sediaan lain, efek terhadap kadar
glukosa darah belum nyata untuk beberapa jam setelah obat diberikan.
Masa paruh 7 jam dan masa kerja 10 – 14 jam.
Tolazamid memiliki sifat khusus yaitu menurunkan resistensi insulin jaringan hati
dan diluar hati serta pemberian jangka panjang dapat memperbaiki resistensi
insulin.
Dosis : 100 – 250 mg dosis tunggal atau dalam beberapa dosis. Isi tablet 100 mg
dan 250 mg.
Glikuidon (Glunenorm®)
Efek hipoglikemik sedang, sehingga jarang menimbulkan hipoglikemia.
o Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari dua
macam obat yaitu :
a. Repaglinid (NovoNorm ®)
Derivate asam benzoate.
Efek antihipoglikemik ringan sampai sedang
Diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral.
Mekanisme kerja dengan cara mengaktifkan ATP- Sensitive- K-Channel
sehingga meningkatkan produksi insulin.
Diekresikan melalui hati.
Efek samping hipoglikemia lebih sedikit dibanding sulfonilurea, efek samping
lain berupa keluhan gastrointestinal.
Dosis : 1,5 – 6 mg/hari
b. Nateglinide ( Starlix®)
Derivate fenilalanin
Cara kerja hampir sama dengan repaglinid.
Diabsorbsi cepat setelah pemberian oral
Efek samping yang terjadi keluhan infeksi saluran pernapasan.
Dosis : 360mg/hari
3. Penghambat Glukoneogenesis
Golongan ini terdiri dari Metformin, buformin, dan fenformin.Mekanisme kerjanya
berbeda dengan sulfonilurea , obat–obat tesebut kerjanya tidak melalui perangsangan
insulin tetapi langsung terhadap organ sasaran. Pemberian biguanid pada orang non-
diabetik tidak menurunkan kadar glukosa darah; tetapi sediaan biguanid ternyata
menunjukan efek potensiasi dengan insulin. Pemberian biguanid tidak menimbulkan
perubahan ILA (insulin Like Activity) di plasma, dan secara morfologis sel pulau
langerhans juga tidak mengalami perubahan. Pada penelitian in vitro ternyata
biguanid merangsang glikolisis anaerob, dan anaerobiosis tersebut mungkin sekali
berakibat lebih banyaknya glukosa memasuki sel otot.
Biguanid tidak merangsang atau pun menghambat perubahan glukosa menjadi
lemak. Pada penderita diabetes yang gemuk, ternyata pemberian biguanid
menurunkan berat badan dengan mekanisme yang belum jelas.
Penyerapan biguanid oleh usus baik sekali dan obat ini dapat digunakan
bersamaan dengan insulin dan sulfonilurea. Sebagian besar penderita diabetes yang
gagal diobati dengan sulfonilurea dapat ditolong dengan biguanid.
Derivat biguanid :
Metformin (Gludepatic®, Glucophage®, Glumin®)
Metformin menurunkan kadar glukosa darah dengan memperbaiki kepekaan
hati dan jaringan perifer terhadap insulin tanpa mempengaruhi sekresi insulin.
Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh usus sehingga menurunkan
glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah
makan.
Fenformin
Fenformin kini telah telah dilarang beredar di Indonesia karena bahaya asidosis
laktat. Di Eropa fenformin digantikan dengan metformin yang kerjanya serupa
dengan metrormin tetapi diduga lebih sedikit menyebabkan ketoasidosis.
B. Insulin
Berdasarkan sumbernya insulin dibedakan atas insulin endogen yang
dihasilkan oleh pankreas dan insulin eksogen adalah insulin yang disuntikan dan
merupakan suatu produk farmasi.
Sekarang tersedia insulin dari sapi, babi dan insulin manusia rekombinan
(Humulin). Humulin pada umumnya lebih dipilih karena cenderung kurang
imunogenik dibanding insulin sapi atau babi, dan dengan demikian resistensi akibat
antibodi anti insulin juga berkurang. 11,13
Variasi pemberian insulin dapat diberikan untuk mencapai sasaran glukosa darah : 9
Insulin kerja pendek / kerja cepat saja, diberikan 3 kali sehari sebelum makan.
Insulin kerja menengah / panjang saja, diberikan 1 – 2 kali sehari.
Insulin campuran kerja pendek/cepat dan kerja menengah/panjang 1- 2 kali
sehari.
Insulin kerja menengah/panjang sebagai insulin basal.
Insulin kerja pendek / cepat bolus preprandial.
Pemilihan cara pemakaian insulin sangat individual dan bergantung pada judegment
masing–masing pengelolah, diharapkan sasaran kadar glukosa darah pasien yang
dianjurkan dapat tercapai.
Predileksi tempat
penyuntikan insulin
I. AKUT
HIPOGLIKEMIA
Merupakan salah satu komplikasi akut yang tidak jarang terjadi dan seringkali
membahayakan hidup penderitannya serta ditandai dengan kadar glukosa darah
yang melonjak turun di bawah 90 mg/dl atau suatu keadaan klinik gangguan saraf
yang disebabkan penurunan glukosa darah.2
Faktor predisposisi terjadinya hipoglkemia :
Kadar insulin yang berlebihan
Dosis yang berlebihan : kesalahan dokter, farmasi, pasien ; ketidak
sesuaian dengan kebutuhan pasien.
Peningkatan bioavabilitas insulin : absorpsi yang cepat (aktivitas
jasmani, suntik dipeut, perubahan ke human insulin, antibodi insulin,
gagal ginjal (clearance insulin berkurang)
Peningkatan sensitivitas insulin
Defisiensi hormon counter regulatory : penyakit Addison,
hipopituitarisme.
Penurunan berat badan
Latihan jasmani, postpartum, variasi siklus mensturasi.
Asupan karbohidrat yang kurang
Makan tetunda atau lupa, porsi yang kurang.
Anorexia nervosa
Muntah, gastroparesis
Pencetus
KAD dapat dicetuskan oleh infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut,
pengunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin.
Sedangkan 20% kasus tidak diketahui faktor pencetusnya. 1,16
Patofisiologi
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator
terutama epinefrin, mengakibatkan peningkatan lipolisis sehingga terjadi
peningkatan produksi asam lemak bebas dan badan keton (asetosat,
betahidroksibutirat, dan aseton) secara berlebihan. Pada keadaan normal, asam
lemak bebas diubah menjadi VLDL dan trigliserida. Tetapi pada keadaan
hiperglukagonemia akan merangsang transfer asam lemak bebas ke dalam
mitokondria dimana terjadi oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis. Akumulasi
produksi badan keton oleh sel hati menyebabkan asidosis metabolik. 1,16
Selain itu akibat utilisasi glukosa darah yang kurang maka kadar glukosa
darah akan meningkat. Tubuh akan berusaha menjaga kesimbangan glukosa darah
dengan cara membuang kelebihan glukosa melalui urin. Sifat glukosa yang
menarik air dari lingkungan sekitar akan mengakibatkan terjadinya diuresis
osmotik. Apabila proses ini terus berlanjut akan menyebabkan dehidrasi yang
pada akhirnya memicu terjadinya syok. 17
Klinis 1,16
Gejala : mual, muntah dan nyeri perut akibat asidosis metabolik, poliuri,
polidipsi, penurunan berat badan,
Pemeriksaan fisik : keadaan lemah yang bervariasi selama beberapa hari
sebelumnya kemudian perlahan–lahan mengalami penurunan kesadaran hingga
koma, pernapasan cepat dan dalam (kussmaul), tanda–tanda dehidrasi dan
hipovolemi ( hipotensi, takikardi, penurunan turgor kulit, lidah dan bibir kering).
Biasanya napas berbau aseton yang khas sekali.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam 44
RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara periode 4 Maret – 11 Mei 2013
DIABETES MELITUS Franscisca Dini (406111008)
Faktor pencetus
Dibagi menjadi 6 kategori: 18
Penyakit penyerta
Infeksi
Pengobatan
Penyalahgunaan obat
Noncompliance
DM tidak terdiagnosa
1,18
Patofisiologi
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria.
Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam
mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air.
Hilangnya air lebih banyak dari pada natrium menyebabkan keadaan
Klinis 18
Secara klinis HHNK akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil
laboratorium seperti kadar glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum ada
hasilnya. Berikut adalah gejala–gejala dan tanda sebagai pegangan :
Sering ditemukan pada lansia (>60tahun), jarang pada usia muda.
Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa
insulin.
Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap
penyakit ginjal atau kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit
akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit cushing.
Sering oleh obat – obatan seperti tiazid, furosemid, manitol, digitalis,
resepin, steroid, klopromazid, hidralazin, dilantin, simetidin dan
haloperidol.
Pemeriksaan Penunjang18
Pemeriksaan laboratorium sangat membantu untuk membedakannya dengan
ketoasidosis diabetik. Kadar glukosa darah > 600 mg%, aseton negatif, dan
beberapa tambahan yang perlu diperhatikan: adanya hipernatremia, hiperkalemia,
azotemia, kadar blood urea nitrogen (BUN): kreatinin = 30:1 (normal 10:1),
bikarbonat serum > 17,4 mEq/1. Bila pemeriksaan osmolalitas serum belum dapat
dilakukan, maka dapat dipergunakan formula :
Serum osmolalitas = 2 (Na++K+) + urea * + glukosa mg%**
6 18
* Urea diperhitungkan bila ada kelainan fungsi ginjal
** Glukosa 1 mmol = 18 mg%
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HHNK serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah
cairan yang hipotonus. Penatalaksanaan HHNK meliputi lima pendekatan : 18
1) Rehidrasi intavena agresif
2) Penggantian elektrolit
3) Pemberian insulin intravena
4) Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
5) Pencegahan
Pemantauan kadar glukosa darah harus lebih ketat, dan pemberian insulin harus
lebih cermat dan hati – hati. Respon penurunan kadar glukosa darah lebih baik.
Walaupun demikian, angka kematian lebih tinggi, karena banyak terjadi pada usia
lanjut, dan tentu saja banyak disertai dengan kelainan lain. 13
Secara klinis HHNK akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil
laboratorium seperti kadar glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum ada
hasilnya. Berikut adalah gejala–gejala dan tanda sebagai pegangan : 15
Sering ditemukan pada lansia (>60tahun), jarang pada usia muda.
Asidosis Laktat
II. KRONIS
Komplikasi kronik diabetes ada 3 yakni komplikasi makroangiopati,
mikroangiopati dan neuropati.
A. MAKROANGIOPATI
Makroangiopati melibatkan pembuluh darah jantung. Dari studi epidemiologik
menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan risiko payah jantung pada pasien
DM dibanding populasi non-DM, yang ternyata disebabkan karena kontrol
glukosa darah yang buruk dalam waktu yang lama. 17
Faktor – faktor yang turut memperberat risiko terjadinya payah jantung dan
strok pada pasien DM antara lain, hipertensi, resistensi insulin, hiperinsulinemia,
dislipidemia, dan gangguan koagulasi serta hiperhomosisteinemia.
Bila didapatkan kecurigaan seperi rasa tidak nyaman didaerah dada, mudah
capek, dyspnoe’s effort atau dispepsia , harus segera dilanjutkan dengan
pemeriksaan penyaring yang teliti untuk mencari dan menangkap kemungkinan
adanya penyakit pembuluh darah koroner, paling sedikit dilanjutkan dengan
pemeriksaan EKG. Pada penyandang DM, rasa nyeri mungkin tidak nyata akibat
adanya neuropati perifer yang sering sekali terjadi pada penyandang DM. 17
B. MIKROANGIOPATI
Retinopati
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini masih belum diketahui,
namun keadaan hiperglikemia yang lama merupakan faktor utama. 19 Retinopati
Retinopati diabetika
Nefropati
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes
mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300mg/24jam atau
Patofisiologi
Dari 4 faktor (metabolik, vaskular, imun dan Growth Factor) yang berperan
pada mekanisme patogenik neuropati diabetik, hiperglikemia berkepanjangan
sebagai komponen faktor metabolik merupakan dasar utama patogenesisnya.
Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivasi jalur poliol meningkat dengan
hasilnya adalah akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf. Hal ini
menyebabkan kerusakan ada sel saraf dengan mekanisme yang belum jelas.
Salah satu kemungkinannya ialah terjadi edem saraf dan gangguan transduksi
sinyal sel saraf. Hiperglikemia yang berkepanjangan juga menyebabkan
terbentuknya Advance Glycosilation End Products (AGEs) yang berakibat
vasodilatasi berkurang dan aliran darah ke saraf menurun. 1,24
Klasifikasi
Neuropati diabetik dibedakan atas : 24
a) Menurut perjalanan penyakitnya :
Neuropati fungsional / subklinis
Gejala kelainan biokimiawi, belum ada kelainan patologik, reversibel.
Neuropati struktural/.klinis
Gejala kerusakan struktur saraf, masih ada komponen yang reversibel.
Kematian neuron / ireversibel
Klinis
Manifestasinya bervariasi tergantung dari jenis dan lokasi serabut saraf yang
mengalami lesi, mulai dari rasa kesemutan, kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar,
seperti ditusuk, dirobek, ditikam. Diagnosis tergantung dari ketelitian anamnesa dan
oemeriksaan fisik. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap diabetisi perlu
dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan
sederhana (refleks motorik, tes rasa getar dan tekanan, tes sensai suhu,
elektromiografi). Dilakukan sedikitnya setiap tahun. 8
Penatalaksanaan
Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan NSAID (Ibuprofen 600 mg 4x/hari),
antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150mg malam hari, imipramin 100ng/hari,
nortriptilin 50-150mg malam hari, proxetine 40mg/hari), antikonvulsan (gabapentin
900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg 4x/hari) dan topikal : capsaicin 0,075% 4x/hari,
transcutaneus electrical nerve stimulation. 8
PENGENDALIAN DM
Secara umum, tujuan penatalaksanaan diabetes melitus adalah meningkatkan
kualitas hidup diabetisi. Secara khusus, tujuan dari penatalaksanaan ini dapat dibagi
menjadi :8
Tujuan jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah
Tujuan jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan mortalitas dini DM
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku. Untuk dapat mencegah
terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yng merupakan
target terapi. Berikut kriteria pengendalian DM : 8
Kriteria Pengendalian DM
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl) 80-109 110-125 -126
Glukosa darah 2 jam (mg/dl) 110-144 145-179 ≥ 180
HbA1C (%) 4-5.9 6-8 >8
Kolesterol total (mg/dl) < 200 200-239 ≥ 240
Kolesterol LDL (mg/dl) < 100 100-129 ≥130
Kolesterol HDL (mg/dl) > 45 35-45 < 35
BAB III
KESIMPULAN
LAMPIRAN
DIABETES MELITUS
Nasihat umum
Perencanaan makan
Latihan jasmani
Berat idaman
Belum perlu obat penurun glukosa
Evaluasi satatus gizi
DM Tipe 2
Gemuk
Penyuluhan DM menyeluruh
Penyuluhan perencanaan makan & kegiatan jasmani
N
ST#
Evalusi 2-4 minggu
STT
(sesuai keadaan klinis pasien)
A
Penekanan kembali
Perancanaan makan & kegiatan jasmani
ST
K
ST
Evalusi 2-4 minggu
STT
U
ST
R
ST Evalusi 2-4
STT minggu
Penyuluhan DM menyeluruh
Penyuluhan perencanaan makan & kegiatan jasmani
ST#
N
Penekanan kembali
Kegiatan jasmani + insulin secretagogues
TKOI** Insulin
Insulin STT
DAFTAR PUSTAKA