Anda di halaman 1dari 18

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN LEPROSY

I. PENDAHULUAN
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks. Ia disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae
(M.Leprae). Kuman golongan Myco ini berbentuk batang yang tahan terhadap asam
terutama asam alkohol dan oleh sebab itu disebut juga Basil Tahan Asam (BTA).
Penyakit ini bersifat kronis pada manusia yang bisa menyerang saraf-saraf dan kulit. Bila
dibiarkan begitu saja tanpa diobati, maka akan menyebabkan cacat-cacat jasmani yang
(1)
berat. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Leprae (M.leprae) yang pertaman kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas,
sistem retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis.(2)

Penyebab penyakit ini adalah Mycobacterium leprae (M.leprae). Secara


bmorfologik, M.leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi parallel dengan
kedua ujung bulat, ukuran 0.3-0.5 X 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif,
tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk
kelompok, termasuk massa irregular besar yang disebut sebagai globi. Dengan mikroskop
elektron, tampak M.leprae mempunyai dinding yang terdiri dari 2 lapisan, yakni lapisan
peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida dan
kompleks protein-lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida ini adalah
suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 20nm.
Tampaknya peptidoglikan ini mempunyai sifat spesifik pada M.leprae, yaitu adanya asam
amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin. (2, 3)
Dalam suatu penelitian, didapatkan dinding membrane ini tetap simetrik
walaupun dilakukan suatu fiksasi dengan pewarnaan. Keadaan ini merupakan salah satu
sifat khas dari M.leprae yang tidak didapatkan pada mikrobakterium lainnya, seperti
Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium aurum. Beberapa tahun terakhir ini
terlihat perkembangan dalam bidang penelitian penyakit kusta. Telah ditemukan struktur
kimia suatu antigen, terutama phenolic glycolipid (PGL), sehingga menghasilkan revolusi
dalam serodiagnosis penyakit kusta. Antigen ini ternyata dapat ditemukan pada jaringan

1
Armadillo yang terinfeksi dengan M.leprae. PGL terdiri dari 3 macam yakni PGL-I,
PGL-II dan PGL-III. (2) (3)
M.leprae ini merupakan basil Gram positif karena sitoplasma basil ini mempunyai
struktur yang sama dengan basil Gram positif yang lain, yaitu mengandung DNA dan
RNA dan berkembang biak secara perlahan dengan cara binary fision yang membutuhkan
waktu 11-13 hari. Sifat multiplikasi ini lebih lambat daripada Mycobacterium
tuberculosis yang hanya membutuhkan waktu 20 jam. Pertumbuhan yang sangat lambat
ini tidak diragukan sebagai faktor utama yang menyebabkan masa inkubasi kusta sangat
lama (5-7 tahun) dan menyebabkan semua manifestasi kliniknya menjadi kronik. Basil ini
belum dapat dibiak in vitro walaupun telah dapat diinokulasi pada beberapa binatang
percobaan seperti armadillo, mencit, tupai, hedgehog, dengan pertumbuhan yang terbatas
dan tidak teratur.(2)
Basil ini bersifat tahan asam, tetapi kurang tahan asam bila dibanding dengan
M.tuberculosis. Piridin bisa merusak kemampuan basil ini untuk dapat diwarnai dengan
karbol fuhsin. Sifat ini khas untuk M.leprae. Dengan pulasan Ziehl-Neelsen, basil ini
dapat terlihat soliter, bergerombol atau berbentuk globi yang dibatasi oleh membrane,
dan dapat mengandung 50-1000 basil M.leprae. Dengan pulasan ini, basil yang hidup
tampak berbentuk batang utuh berwarna merah terang dengan ujung yang bulat (solid),
sedangkan basil yang mati terpecah-pecah (fragmented) atau granuler..(2)

Adanya distribusi lesi yang secara klinik predominan pada kulit, mukosa hidung,
dan saraf perifer superfisial menunjukkan pertumbuhan basil ini cenderung menyukai
temperature kurang dari 37oC. Bagian tubuh yang dingin merupakan tempat predileksi
tidak hanya karena pertumbuhan optimal M.leprae pada temperature rendah, tetapi
mungkin oleh karena rendahnya temperatur dapat mengurangi respons imunologis. (2)

Penderita kusta terutama didapatkan di Negara Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Tahun 1993 diperkirakan jumlah 3.1 juta penderita, yang terdaftar berobat sekitar 2.3 juta
orang. Jumlah penderita kusta di Negara Indonesia pada tahun 1994 berada pada
peringkat 4 sebesar dibandingkan Negara-negara lain. Sampai Desember 1994 jumlah
penderita kusta yang terdaftar sebanyak 43.908 orang dengan prevalensi 2.2 per 10.000

2
penduduk, dimana 80% dengan tipe multibasiler (MB) dengan jumlah penderita baru
sebanyak 17.255 orang dan umur 0-14 tahun. Penderita ini terutama menyebar di
kawasan timur Indonesia, Sulawesi Selatan dengan prevalensi 6.1 per 10.000 penduduk
berada ke 5 setelah Irian Jaya, Maluku, Aceh dan Kalimantan Selatan.(2)
Sesuai data Departemen Kesehatan Indonesia pada akhir Maret 1999, jumlah
penderita kusta yang terdaftar di Sulawesi Selatan sebesar 1.787 penderita yang terdiri
penderita pausibasiler (PB) sebanyak 271 penderita dan MB sebanyak 1.516 penderita.
Prevalensi kusta yang terdaftar sebesar 2.2/10.000 penduduk. (2)
Di Kotamadya Makassar, data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Tingkat II
sampai Maret 1999 tercatat jumlah penderita kusta sebesar 74 penderita yang terdiri dari
PB sebanyak 16 penderita dan MB sebanyak 58 penderita, Penderita baru selang tahun
tersebut sebanyak 64 penderita yang terdiri dari PB sebanyak 20 dan MB sebanyak 44
penderita. Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo, Makassar
antara Maret 1998-Maret 1999 terdapat 144 penderita terdiri dari PB sebanyak 55
penderita dan MB sebanyak 89 penderita. (2)
Port of entry adalah tempat masuknya kuman M.leprae ked alam tubuh manusia.
Ada beberapa cara masuk M.leprae kedalam tubuh: (2)
 Penularan melalui kontak.
 Penularan melalui inhalasi
 Penularan melalui ingesti/saluran pencernaan

Yang dimaksud port of exit adalah tempat dimana M.leprae keluar dari tubuh
manusia yaitu kulit dan mukosa hidung. Masih diperdebatkan apakah M.leprae terdapat
pada deskuamasi sel epitel kulit yang intak, namun yang jelas bahwa M.leprae
dikeluarkan dari kulit yang terluka, cairan/discharge yang keluar dari ulkus penderita dan
melalui kelenjar keringat dan kelenjar sebasea. Mukosa nasal melepaskan paling banyak
M.leprae dimana mampu melepaskan 10 miliar organism hidup per hari dan mampu
hidup lama diluar tubuh manusia sekitar 7-9 hari didaerah tropis. (2)

Kusta adalah penyakit sistemik yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf.
Penyakit ini disebabkan oleh M.leprae yang mempunyai sifat neurotropism, yang bisa
ditemukan intra neural dan ekstra neural yang akan mengakibatkan kerusakan saraf.

3
Jaringan saraf terdiri dari berjuta-juta unit primer yang disebut neuron (sel saraf dan
cabang cabangnya) dan sheath (pembungkus saraf). (2)

Pada saraf perifer terdapat penyokong khusus yang mengandung makanan saraf,
yang disebut neurilemma = lapisan Schwann yang mengelilingi akson dan mengandung
sel Schwann. Akson adalah cabang-cabang saraf yang panjang, merupakan unit
penghantar. M.leprae mempunyai afinitas selektif terhadap saraf perifer. Ini dibuktikan
dengan banyaknya basil pada saraf dibanding jaringan lain. Dalam hal ini sel Schwann
disukai karena merupakn sel host yang paling cocok untuk keselamatan dan
multiplikasinya; stadium lanjut akan mengakibatkan kerusakan saraf. Gangguan saraf
dapat terjadi mulai dari hipestesi sampai anestesi, gangguan rasa terhadap temperature
dan akhirnya hilang rasa sakit. Adanya kerusakan saraf yang dipengaruhi oleh: (2, 4)
 M.leprae menyenangi tempat yang bersuhu tubuh rendah
 Saraf superfisialis mudah terkena trauma
 Adanya reaksi imunitas tubuh
 Saraf superfisialis terletak dekat artikulasi
 Meningkatnya tekanan intraneural menimbulkan iskemia pada saraf,
timbul edema dan infiltrasi sel ke dalam saraf, sehingga saraf tertekan
 Saraf superfisialis yang terletak dalam kanalis saling bersilangan sehingga
saraf yang rusak karena trauma akan merusak saraf sekitarnya.

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang
terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

Tuberculoid polar. Tipe ini merupakan tipe yang stabil. Lesi awal dapat berupa plak dan
pembesaran saraf tidak selamanya terjadi. Lesi dapat berupa lesi hipopigmentasi maupun
eritematosa dengan permukaan yang kering, berskuama dan tidak memiliki rambut.(5, 6)

4
Gambar 1: Lesi soliter, anestesi, dan annular pada kusta tuberkuloid, selama 3 bulan. Batas tegas,
ertema dengan tepi lebih meninggi.

Borderline tuberculoid. Pada tipe ini mirip dengan lesi tuberkuloid namun lebih kecil dan
banyak. Karekteristik dari tipe ini adalah lesi satelit disekitar papul atau makula. (4, 5)

Gambar 2: Salah satu dari beberapa lesi borderline kusta tuberkuloid, yang memiliki konfigurasi
annular dengan papula satelit. Sedikit eritem, skuama tidak ada, bentuknya seperti “footsprint”

Mid Borderline. Pada tipe ini lesi ditemukan banya namun masih dapat dihitung . lesi berupa
plak eritem ireguler. Dapat pula ditemukan lesi satelit. Lesi tidak berbatas tegas dan dapat
ditemukan pembesaran saraf, dan hipoanestesi. (4, 5)

5
Gambar 3 : Mid borderline

Borderline lepromatous. Pada tipe ini lesi ditemukan simetris dan banyak dapat disertai papul,
plak dan nodul. Dapat ditemukan pembesaran saraf namun pembesaran saraf terjadi belakangan.
Pasien biasanya tidak menunjukkan madarosis, keratitis, dan nasal ulserasi. (4, 5)

Lepromatosa indefinite. Pada tipe ini ditemukan makula hipopigmentasi dapat disertai gangguan
fungsi saraf. (4, 5)

Gambar 4 : Beberapa lesi pada pasien dengan kusta borderline lepromatosa. Lesi annular
bervariasi dalm ukuran, dan distribusinya asimetris.

Lepromatous polar. Tipe ini merupakan lepromatosa 100% yang juga merupakan bentuk yang
stabil. Pada tipe ini ditemukan lesi makular yang penyebarannya secara simetris dan menyebar
ke seluruh tubuh. Infiltrasi lepromatisa dapat dibedakan menjadi difus, plak dan nodul.

6
Karakterisitik difus menyerang pada daerah wajah terutama bagian dahi , madarosis, permukaan
kulit yang mengkilat yang kadang digambarkan sebagai “varnished appeareance” (4, 5)

Gambar 5 : Lepromatosa polar

Menurut WHO, kusta dibagi mejadi tipe multibasilar dan pausibasilar. Yang termasuk dalam
multibasilar (MB) adalah tipe LL,BL dan BB. Sedangkan tipe pausibasiler (PB) adalah tipe I,TT
dan BT. Digolongkan sebagai tipe PB apabila bercak kusta 1-5 dengan hanya 1 penebalan saraf
yang disertai gangguan fungsi serta pada pemeriksaan BTA hasil BTA (-). Untuk tipe MB
ditemukan bercak putih lebih dari 5, penebalan saraf yang disertai gangguan fungsi lebih dari
satu. Pada pemeriksaan BTA ditemukan hasil BTA (+).(4, 7)

Pada penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta adalah suatu episode dalam
perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan atau reaksi antigen-
antibodi. Terdapat 2 jenis reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1 dan tipe 2. Reaksi tipe 1 (reaksi
reversal) reaksi tipe ini terjadi pada tipe borderline yang disebabkan meningkatnya respon
kekebalan seluler secara cepat. Pada reaksi 1 ringan gejalanya dapat berupa lesi kulit tambah
aktif, menebal, eritem, panas (+), nyeri tekan (+) namun tidak terdapat nyeri tekan saraf dan
gangguan fungsi. Gejala klinis tipe 1 berat berupa lesi membengkak, eritem, panas (+), nyeri
tekan (+), ada lesi kulit , tangan dan kaki membengkak, arthtritis. Reaksi tipe 2 (reaksi ENL)
terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi humoral. Gejala klinis tipe 2 ringan berupa
nodul dengan nyeri tekan, jumlahnya sedikit dan biasanya menghilang sendiri dalam 2-3
hari.tidak ada nyeri tekan dan gangguan fungsi pada saraf. Pada tipe 2 berat memiliki gejala
klinis nodul nyeri tekan, ulserasi, jumlah banyak, berlangsung lama, ada nyeri tekan dan

7
gangguan fungsi pada saraf, dapat ditemukan peradangan pada organ lain seperti iridocyclitis,
epididymoorchitis, nephritis, arthritis, dan limphadenitis. (4, 7)

II. DIAGNOSIS KUSTA

Diagnosis kusta dapat didasarkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik yang
meliputi gambaran klinik, pemeriksaan bakterioskopis, histopatologi maupun serologi. Klinis
yang terpenting dan paling sederhana untuk dilakukan. (5)

Anamnesis

Pada pasien yang dicurigai kusta ditanyakan keluhan yang dialami pasien. Telusuri keluhan
tersebut dengan menanyakan berapa lama keluhan dirasakan. Riwayat kontak dengan pasien
kusta juga turut ditanyakan apa pernah sebelumnya tinggal bersama atau ada tidak jiran sekitar
yang menghidap kusta.

Pemeriksaan klinis

a. Pemeriksaan kulit (4, 5)

Inspeksi: Perhatikan lesi kulit. Kelainan pada kulit yang berupa nodul, infiltrate, jaringan parut,
ulkus terutama pada tangan dan kaki.

Palpasi: Dapat dilakukan pemeriksaan berupa rasa raba pada kelainan kulit berupa anestesi,
temperature dan rasa nyeri.

b. Pemeriksaan saraf tepi

Dilakukan palpasi untuk memeriksa kelainan saraf apakah ada penebalan atau nyeri tekan. Untuk
nyeri tekan harus diperhatikan raut wajah. Saraf-saraf yang terlibat ialah N. Auricularis, N.
Facialis, N. Trigeminus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Peroneus communis, N.
Tibialis posterior.(8)

Untuk tes fungsi saraf, selain dilakukan tes untuk rasa raba, rasa nyeri, rasa suhu dengan
menggunakan kapas, jarum dan tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama), yaitu : (4, 5)

8
1. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa
pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu danrasa nyeri.

2. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu :

a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa


b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
3. Ditemukannya kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif.
Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit dan saraf. Untuk menegakkan diagnosis
penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum
dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu
diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kustadapat ditegakkan atau
disingkirkan. Terdapat 3 cardinal sign pada penyakit kusta, yaitu:

a. Lesi kulit yang hipostesi atau anastesi. Lesi dapat berupa hipopigmentasi maupun
eritematous
b. Penebalan saraf yang disertai gangguan fungsi. Saraf yang sering terlibat adalah n.
Facialis, n. Auricularis magnus, n. Radialis, n. Ulnaris, n. Medianus, n. Cutaneus
radialis, n. Peroneus communis, n. tibialis posterior
c. Basil Tahan Asam (+)
Apabila ditemukan salah satu dari cardinal sign tersebut, maka penyakit kusta dapat
ditegakkan.

9
I. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan bakterioskopik,

histopatologik dan serologik. Pada pemeriksaan bakterioskopik sediaan dibuat dari kerokan kulit

yang diwarnai dengan pewanaan basil tahan asam. Bakterioskopik negatif pada seorang

penderita, bukan berarti orang tersebut tidak menderita kusta.(9)

a. Histopatologik.

Apabila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh makan makrofag bertugas untuk memakan

kuman tersebut. Apabila seseorang memiliki Sistem Imunitas Selular (SIS) tinggi maka

makrofag mampu memfagosit M. leprae. Pada penderita yang memiliki SIS rendah,

makrofag tidak dapat memfagosit M.leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan

tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa.

Gambaran histopatologik untuk tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang

lebh nyata, tidal ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat

subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah dibawah epidermis yang jaringannya tidak

patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. (4)

b. Serologik.

Pemeriksaan didasarkanpada pembentukn antibodi spesifik tubuh terhadap M.leprae yaitu

anti phenolic glicolipid-1 (GPL-1). Kegunaan pemeriksaan ini untuk membantu diagnosis

kusta yang meragukan jika tanda klinis dan bakterioslogik tidak jelas.(9)

10
III. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari Lepra adalah :

a. Pitiriasis alba

Suatu bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya. Lesinya
ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang dan
meninggalkan area yang depigmentasi. Lebih sering ditemukan pada anak-anak dengan lokasi
lesi 50-60% pada muka, terutama di sekitar mulut, dagu, pipi serta dahi. Lesi umumnya menetap
dan tidak melebar, batas tidak tegas dan tidak gatal.(5)

Gambar 6. Pitiriasis alba(5)


b. Pitiriasis rosea
Penyakit kulit acute exanthematous eruption yang dimulai dengan lesi awal
berbentuk eritema dan skuama halus kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di
badan, lengan, dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit. Umumnya
bersifat self limiting disease. Lesi pertama (herald patch) di badan, soliter, berbentuk oval
dan anular, diameter 3 cm, eritema dan skuama halus. Lesi berikutnya lebih kecil dari
sebelumnya, susunan sejajar kosta menyerupai pohon cemara terbalik (christmas tree).
Kadang disertai gatal ringan, demam, dan malaise. (5)

11
Gambar 7. Lesi herald patch pitiriasis rosea(5)

c. Vitiligo
Suatu penyakit hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan adanya makula
putih yang dapat meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel
melanosit, misalnya ekstensor jari, daerah sekitar mata, hidung, mulut, tibialis anterior
dan pergelangan tangan bagian fleksor. Bercaknya berwarna putih dengan diameter
beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas.
Etiologinya belum pasti, tetapi diduga krisis emosi dan trauma fisik, autoimun, hipotesis
neurogenik, serta self destruct. Ada yang bersifat lokalisata (fokal, segmental, dan
mucosal) dan generalisata (akrofasial, vulgaris, dan campuran). (5)

12
Gambar 8. Vitiligo segmental(5)

Gambar 9. Vitiligo akrofasial(5)

13
IV. PENATALAKSANAAN

Saat ini penatalaksanaan kusta diberikan berdasarkan tipe kusta menurut WHO dengan
menggunakan MDT (multi drug therapy).Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson,
rifampisin dan klofasimin. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati
resistensi, memperpendek masa pengobatan, serta mempercepat pemutusan mata rantai
penularan.(2) (1, 10)

Cara pemberian MDT(10)


1. MDT untuk multibasilar (BB,BL,LL atau semua tipe dengan BTA positif) adalah :
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
- DDS (Diamnodifenil sulfon) 100 mg setiap hari.
- Klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari atau 100
mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.

Mula-mula kombinasi obat ini dberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan syarat
bakterioskopis harus negatif.Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan
sampai bakterioskopis negatif.Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap
bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan.Jadi besar kemungkinan pengobatan
kusta multibasilar ini hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relative sangat
singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan cara sebelumnya yang
memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai seumur hidup. Penghentian pemberian obat lazim
disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan)
secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap
negatif dan klinis tidak ada keatifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut
Release From Control (RFC).(2)
Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian obat dapat dihentikan
tanpa memperhatikan bakterioskopis.

2. MDT untuk pausibasilar (I,TT,BT dengan BTA negatif) adalah (1)


- Rifampisin 600 mg setiap bulan dengan pengawasan.
- DDS 100 mg setiap hari.

14
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 BUlan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9
bulan. Selama pengobatan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6
bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaandilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun
secara klinis dan bakterioskopis.
Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998, telah
memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan,
sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9
bulan.

a) Pengobatan ENL(Eritema Nodusum Leprosum)

Obat yang paling sering ialah tablet kortikosteroid, antara lainprednisone.Dosisnya


bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone 15-30 mg sehari,kadang-kadang
lebih.Makin berat reaksinya, makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila rekasinya terlalu
ringan tidak perlu diberikan.Dapat ditambahkan obat analgetik, antipiretik dan sedatif.ENL akan
timbul kalau obat tersebutdihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita
harus mendapatkan kortikosteroid terus menerus.

Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi harus berhati-hati
karena mempunyai efek teratogenik.(1, 10)

b) Pengobatan reaksi Reversal

Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak.Sebab kalau tanpa neuritis
akut tidak perlu di beri pengobatan tambahan.Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama
adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neurtitis, makin
berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisone 40mg -60mg sehari, kemudian
diturunkan perlahan-lahan 5mg selama 2-4 minggu.(6)

15
Skema pemberian prednisone dan lampren(2)

1. Pemberian prednison

Minggu pemberian Dosis harian yang dianjurkan


Minggu 1-2 40 mg
Minggu 3-4 30 mg
Minggu 5-6 20 mg
Minggu 7-8 15 mg
Minggu 9-10 10 mg
Minggu 11-12 5 mg

2. Pemberian lampren (2)

ENL yang berat dan berkepanjangan dan terdapat ketergantungan pada steroid (pemberian
prednison tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu ditambahkan klofazimin, untuk dewasa 300
mg/hari selama 2 sampai 3 bulan. Bila ada perbaikan diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-
3 bulan. Jika ada perbaikan diturunkan menjadi 100 mg/hari selam 2-3 bulan, dan selanjutya
kembali ke dosis klofazimin semula, 50 mg/hari, kalau penderita masih dalam pengobatan MDT,
atau dihentikan bila penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis prednisone
diturunkan secara bertahap.

V. PENCEGAHAN CACAT

Pada penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT memiliki resiko
tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau
prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
MDT yang cepat dan tepat.

Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai
sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan

16
benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu
diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari.(1)

VI. PROGNOSIS

Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat,
serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis
menjadi kurang baik.(2)

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr.Christina Widaningrum. Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan;
2012.
2. Amiruddin. Penyakit Kusta - Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates; 2000.
3. Roberta Olmo Pinheiro, Jorgenilce de Souza Salles, Euzenir Nunes Sarno, Elizabeth.
Mycobacterium leprae-host-cell interactions and genetic determinants in leprosy: an overview. Future
Microbiol. 2011;6(2):217-30.
4. RameshMarne Bhat, Prakash C. Review Article Leprosy: An Overview of Pathophysiology.
Hindawi Publishing Corporation. 2012:6.
5. G. Lowell. Fitzpatrick's: Dermatology in General Medicine. 8th ed. Lapeere H, editor. New York:
Mc Graw Hill; 2012.
6. Burns T., Breathnach S. Rook's: Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: Wiley-Balckwell; 2010.
7. James DW, Berger GT, MD. E. Andrew’s Disease of The Skin. 3rd ed: Elsvier Saunders; 2006. . p.
343-52. p.
8. Joel Carlos Lastória, Marilda Aparecida, Milanez Morgado de Abreu. Leprosy: review of the
epidemiological, clinical, and etiopathogenic aspects. An Bras Dermatol. 2014;89(2):205-18.
9. Mathur, Ghimire, Shrestha. Clinicohistopathological Correlation in Leprosy. Kathamdu Univ
Medical J. 2011;36(4):248-51.
10. Girao R J. Leprosy treatment dropout: a systematic review. Int J Med Abbreviation. 2013;6(34).

18

Anda mungkin juga menyukai