Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB paru) masih merupakan masalah kesehatan. Indonesia
sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi didunia.
Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010)dan
estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat
TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.Indonesia merupakan negara dengan
percepatan peningkatan epidemi HIVyang tertinggi di antara negara-negara di Asia.
HIV dinyatakan sebagai epidemikter konsentrasi (a concentrated epidemic), dengan
perkecualian di provinsi Papuayang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5%
(generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi
dewasa adalah 0,2%.Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas
untuk intervensi HIV dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia
sekitar 190.000-400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru
adalah 2.8%.
Pada tahun 2011, secara global terjadi peningkatan kasus baru di Asia sebesar
60%. Beberapa negara mengalami penurunan kasus secara drastis, sementara negara
lainnya mengalami penurunan kasus yang lambat, contohnya Brasilia dan Cina yang
menunjukkan penurunan secara berkelanjutan selama kurun waktu 20 tahun terakhir.
Saat ini, jumlah kasus TB baru di sebagian besar negara maju hanya 10-20 kasus TB
per 100.000 penduduk pertahun. Di negara berkembang angkanya masih cukup tinggi,
termasuk Indonesia. Berdasarkan Global Report TB WHO tahun 2011, angka
prevalensi TB paru di Indonesia diperkirakan 289 per 100.000 penduduk.
Perkiraan insidens dan kematian masing-masing 189 dan 27 per 100.000
penduduk. Situasi terbaru menunjukkan terjadi peningkatan suspek dari 57 (2010)
menjadi 63 (2011) per 100.000 penduduk. Terjadinya peningkatan penjaringan suspek
karena meningkatnya jumlah Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain yang
terlibat DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) yaitu pengawasan
langsung jangka pendek. Di Indonesia, upaya penanggulangan TB paru dengan
strategi DOTS sudah diperkenalkan sejak tahun 1995 kemudian di implementasikan
secara luas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Strategi ini telah
membawa keberhasilan dalam pengobatan TB paru dari 83% (2004) menjadi 91%
(2005).

1
Selain itu, hampir seluruh propinsi mencapai kemajuan dalam pengobatan
penderita dan peningkatan penemuan kasus baru TB paru menular antara tahun 2004-
2006. Meskipun demikian, beban TB di Indonesia masih sangat tinggi. TB paru
merupakan penyakit infeksi dan menular langsung, disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai bakteri tahan asam (BTA). Penyebaran penyakit ini erat
kaitannya dengan kondisi lingkungan tempat masyarakat tinggal. Faktor-faktor yang
berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit TB paru pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok faktor risiko, yaitu faktor risiko kependudukan
(jenis kelamin, umur, kondisi sosial ekonomi) dan faktor risiko lingkungan
(kepadatan, lantai rumah, dinding, atap plafon, jenis bangunan rumah, dan bahan
bakar yang digunakan dalam rumah). Sampai saat ini upaya dalam mengeliminasi
kasus TB paru masih mengalami banyak kendala. Laporan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2010 menyebutkan bahwa poin prevalence TB paru adalah 289 per
100.000 penduduk. Selain itu dari 33 propinsi di Indonesia ada 5 propinsi yang
memiliki angka prevalensi tertinggi dalam 2 kali pelaksanaan Riskesdas 2007 dan
2010. Tiga propinsi diantaranya adalah DKI Jakarta, Banten, dan Sulawesi Utara.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dilakukan analisis menggunakan data Riskesdas
2010, bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi lingkungan fisik
rumah dan perilaku di ketiga propinsi tersebut serta hubungan faktor risiko
lingkungan rumah dan perilaku dengan kejadian TB paru. Analisis tentang perilaku
masyarakat dan kondisi fisik lingkungan tempat tinggal merupakan salah satu upaya
dalam pencegahan, penanggulangan serta pengendalian penyebaran TB paru di
masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara menurunkan prevalensi TB di Kecamatan Sukamandi?
2. Kenapa kinerja PMO menurun?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum:

2
Mengetahui cara penurunan prevalensi TB melalui peningkatan PMO di
Kecamatan Sukamandi
2 Tujuan Khusus:
a. Mengidentifikasi jumlah penderita TB yang ada PMO dengan yang tidak ada
PMO.
b. Meningkatkan kinerja PMO melalui peningkatan Knowledge, Atitude, Practice

BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHSAN

SKENARIO
Dokter dari puskesmas Sukamandi ingin melaksanakan program menekan tingginya
prevalensi diwilayahnya. Prevalensi TB didaerahnya termasuk tertinggi di Kabupaten.
Angka prevalensi Kecamatan Sukamandi 455/100.000 penduduk sedangkan angka
prevalensi Kabupaten keseluruhan sekitar 385/100.000 penduduk.
Dokter Puskesmas tersebut ingin membuat program yang mungkin dapat
menurunkan angka prevalensi dengan menggunakan beberapa faktor risiko terjadinya
kejadian tingginya angka prevalensi TB tersebut.
Dalam analisis odds ratio dari penelitian yang dilakukan terlihat sebagai berikut:

3
Tabel 1: Beberapa jenis faktor risiko dan odds ratio penyakit TB

No FaktorResiko Odds Ratio Keterangan


1 Kurangnya penyuluhan Tb 2 OR > 1
2 Rendahnya PMO 9 OR > 1
3 Kondisi lingkungan 5 OR > 1
4 Kepadatan hunian 6 OR > 1
5 Rendahnya pengertian PHBS 0,2 OR < 1
6 Rendahnya pendidikan 1 OR = 1
7 Kondisi sosial ekonomi 4 OR > 1

A. Analisis
Dari data pada skenario diatas dapat dianalisis permasalahan sebagai berikut :
1. Tingginya prevalensi TB di kecamatan sukamandi
2. Kurangnya penyuluhan TB
3. Rendahnya peranan pemantau menelan obat (PMO)
4. Kondisi lingkungan yang buruk
5. Kepadatan hunian
6. Kondisi sosial ekonomi menengah kebawah

Faktor tersebut menjadi faktor resiko tingginya prevalensi TB di kecamatan


sukamandi karena bernilai odds >1. Sedangkan rendahnya tingkat pendidikan bukan
menjadi faktor resiko dikarenakan odds ratio = 1, dan rendahnya pemahaman PHBS
bahkan menjadi faktor protektif dikarenakan odds ratio <1
Tingkat pengetahuan tidak menjadi faktor resiko dalam peningkatan prevalensi
TB, diperkirakan karena diwilayah tersebut pengtahuan masyarakat terhadap TB
sudah cukup baik atau dama sekali tidak paham tentang penyakit TB, perilaku
masyarakat terhadap TB tidak dapat dibedakan. Masyarakan yang memahami
mengabaikan ancaman TB sedangkan yang tidak tahu tidak berbuat apa-apa untuk
mencagah ancaman TB.
Rendahnya pemahaman tentang PHBS merupakan faktor protektif karena
pemahaman masyarakat hanya sebagian kecil dan tidak menyeluruh. Ada 10 indikator
dalam PHBS, namun yang berkaitan dngan TB hanya sebagian kecil saja.
Diperkirakan yang dikuasai oleh masyarakat tidak berkaitan dengan TB. Ke 10
indikator tersebut adalah :
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Memberi Bayi ASI Eksklusif
3. Menimbang bayi dan balita setiap bulan
4. Menggunakan air bersih
5. Mencuci Tangan dengan Air Bersih Yang Mengalir dan Sabun

4
6. Menggunakan WC/Jamban Sehat
7. Memberantas jentik di rumah sekali seminggu
8. Makan Buah dan Sayur Setiap Hari
9. Melakukan Aktivitas Fisik Setiap Hari
10. Tidak merokok di dalam rumah.

PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota


rumah tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan
sehat serta berperan aktif dalam kesehatan dimasyarakat.
Manfaat Rumah Tangga Ber-PHBS :
1. Bagi Rumah Tangga:
• Setiap anggota keluarga menjadi sehat dan tidak mudah sakit.
• Anak tumbuh sehat dan cerdas.
• Anggota keluarga giat bekerja.
• Pengeluaran biaya rumah tangga ditujukan untuk memenuhi gizi keluarga,
pendidikan dan modal usaha untuk menambah pendapatan keluarga.

2. Bagi Masyarakat:
• Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan sehat, mencegah dan
menanggulangi masalah-masalah kesehatan
• Masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
• Masyarakat mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber masyarakat
(UKBM) seperti Posyandu, tabungan ibu bersalin, arisan jamban, ambulans desa
dan lain-lain.

1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan


Tenaga kesehatan merupakan orang yang sudah ahli dalam membantu
persalinan, sehingga keselamatan ibu dan bayi lebih terjamin. Disamping itu
dengan ditolong oleh tenaga kesehatan, apabila terdapat kelainan dapat diketahui
dan segera ditolong atau dirujuk ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Jika ibu bersalin
ditolong oleh tenaga kesehatan maka peralatan yang digunakan aman, bersih dan
steril sehingga mencegah terjadinya infeksi dan bahaya kesehatan lainnya.

2. Memberi Bayi ASI Ekslusif

5
ASI adalah makanan alamiah berupa cairan dengan kandungan zat gizi yang
cukup dan sesuai untuk kebutuhan bayi, sehingga tumbuh dan berkembang dengan
baik. Manfaat memberi ASI bagi ibu adalah dapat menjalin hubungan kasih sayang
antara ibu dan bayi, mengurangi pendarahan setelah persalinan, mempercepat
pemulihan kesehatan ibu, dapat menunda kelahiran berikutnya, mengurangi risiko
kena kanker payudara dan lebih praktis karena ASI lebih mudah diberikan pada
saat bayi membutuhkan. Asi ekslusif diberikan pada bayi usia 0-6 bulan.

3. Menimbang Bayi dan Balita setiap bulan


Penimbangan bayi dan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhannya
setiap bulan. Menimbang secara rutin di posyandu akan terlihat perkembangan
berat badannya apakah naik atau tidak. Manfaatnya, dapat mengetahui apakah
balita tumbuh sehat, tahu dan bisa mencegah gangguan pertumbuhan balita, untuk
mengetahui balita sakit (demam, batuk, pilek, diare), jika berat badan dua bulan
berturut-turut tidak naik atau bahkan balita yang berat badannya dibawah garis
merah (BGM) dan dicurigai gizi buruk, sehingga dapat dirujuk ke Puskesmas.
Datang secara rutin ke Posyandu juga berfungsi untuk mengetahui kelengkapan
imunisasi serta untuk mendapatkan penyuluhan gizi.

4. Menggunakan Air Bersih


Manfaat menggunakan air bersih diantaranya agar kita terhindar dari
gangguan penyakit seperti diare, kolera, disentri, thypus, kecacingan, penyakit
mata, penyakit kulit atau keracunan. Dan dengan menggunakan air bersih setiap
anggota keluarga terpelihara kebersihan dirinya.

5. Mencuci Tangan dengan Air Bersih Yang Mengalir dan Sabun


Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir adalah salah satu tindakan
sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air mengalir
dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman.
Cuci tangan pakai sabun dan air mengalir ini di kenal dengan istilah 7 Langkah.

6. Menggunakan WC/Jamban Sehat

6
Anggota rumah tangga menggunakan wc yang sehat untuk BAB dan BAK
yaitu yang memenuhi syarat kesehatan (leher angsa dengan septic tank, cemplung
tertutup yang terjaga kebersihannya).

7. Memberantas jentik di rumah sekali seminggu.


Rumah bebas jentik adalah rumah tangga yang setelah dilakukan
pemeriksaan jentik secara berkala tidak terdapat jentik nyamuk dengan pola
Melaksanakan 4M, yaitu:
a. Menguras tempat penampungan air bersih sekurang-kurang seminggu sekali.
b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air dan
c. Mengumpul, mengubur atau memanfaatkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air
d. Memantau jentik nyamuk secara berkala.

8. Makan Buah dan Sayur Setiap Hari


Mengkonsunsi minimal 3 porsi buah dan 2 porsi sayuran atau sebaliknya
setiap hari karena buah Mengandung vitamin, mineral, dan serat yang mengatur
pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta memelihara pencernaan.

9. Melakukan Aktivitas Fisik Setiap Hari


Aktifitas fisik bisa berupa: Olah raga, jalan santai, ataupun maraton yang
bertujuan untuk meningkatkan tingkat kesehatan tubuh.

10. Tidak merokok di dalam rumah.


Rokok berbahaya tidak saja bagi perokok tetapi juga terhadap orang–orang
disekelilingnya, untuk itu hindarilah untuk merokok di dalam rumah.

Berdasarkan analisis kelompok kami, prioritas masalah yang diangkat adalah “


menekan prevalensi TB dan meningkatkan motivasi PMO di Kecamatan Sukamandi”
dan dapat disimpulkan faktor resiko yang tersusun dalam inventarisasi masalah adalah
sebagai faktor penyebab dan tingginya prevalensi TB sebagai faktor akibat. Setelah
mengetahui prioritas masalah dan penyebab tingginya prevalensi TB, makan kepala

7
puskesmas harus membuat program penurunan prevalensi TB dan memotivasi PMO.
PMO didata agar dapat diketahui seberapa besar minat warga untuk ikut berperan
dalam berpartisipasi sebagai PMO.

Penyebab menurunnya peranan PMO dikarenakan faktor berikut, yaitu :


1. Tingkat pengetahuan kader dan petugas tentang tugas dan fungsi PMO
2. Motivasi PMO menurun dikarenakan tidak adanya reward, misalnya tidak
digaji
3. Sarana transfortasi tidak menunjang untuk kerumah pasien TB yang jauh
4. Pelaporan kurang memadai, biarpun pasien rajin minum obat namum PMO
jarang melaporkan maka perhitungan tempo waktu jangka sembuh pasien di
puskemas menjadi rancu.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor tinggi prevalensi TB yaitu kurangnya


peranan PMO. Peranan PMO cenderung menurun, dikarenakan kurangnya motivasi dan
pengetahuan tentang penyakit TB. Beberapa cara memotivasi pengawas PMO :
1. Brainstorming (lokakarya dan pertemuan)
Masyarakat dikecamatan sukamandi dapat diberikan penyuluhan dan lokakarya
dengan tujuan agar dapat manambah ilmu yang terkait dengan TB dan memotivasi
masyarakat agar berminat berpartisipasi sebagai PMO agar prevalensi TB dapat
METHOD
menurun. MAN
2. Memenuhi kebutuhan PMO (dengan system rewads)
Para PMO dapat diberikan reward berupa gaji bila pasien TB yang diawasi sembuh.
Kurangnya
Hal ini akan meningkatkan
Penyuluhan motivasi PMO agar lebih giat lagi dalam pengawasan
Dokter Dinas
TB minum obat penderita TB.
Kesehatan

FISH BONE Pasien

Tingginya
Pendidikanpersentasi
Kurangnya Rendah Tb
Penyuluhan Pelayanan
TB Lingkungan Kesehatan

SosialEkonomi

Rendahnya PMO
8

ENVIRONTMENT FACILITY
Rendahnya
Pengertian
PHBS

Kondisi
Lingkungan

Kondisi
Sosial Ekonomi
Kepadatan
Hunian

A. MAN
 Tenaga medis “dokter”
1. Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar
operasional prosedur serta kebutuhan medis
2. Membantu lembaga terkait untuk melakukan pelaksanaan program
kesehatan yang sudah direncanakan oleh pemerintah.
 Pasien
1. Memberikan informasi yang lengkap, jujur dan dipahami tentang masalah
kesehatannya
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter
3. Memetuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan
 Dinas kesehatan
1. Melakukan monitoring berkala untuk mengetahui hasil dari suatu program
2. Melakukan rencana program ulang untuk memberbaiki program yang
gagal
 Pendidikan rendah
Masyarakat pendidikan rendah berdampak kurangnya informasi
tentang kesehatan dan hanya mengandalkan tekhnik tradisional yang
mungkan saja sudah dipercaya turun temurun. Selain satu faktor yang
mengakibatkan terjadinya suatu program pemerintang tentang kesehatan
gagal atau kurang berhasil. Pendidikan rendah biasanya dikarenakan
kurangnya kesadaran akan kemajuan suatu daerah.
B. Method
 Penyuluhan

9
Penyuluhan dapat diberikan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kewaspadaan massyarakat agar masyarakat mengetahui bahaya TB dan
pentingnya menjaga kesehatan.

C. Environment
 Lingkungan
Lingkungan kurang bersih memicu perkembangbiakan bakteri yang
menyebabkan TB dan bakteri tersebut terdapat dalam lingkungan yang kurang
bersih dan tidak steril dan juga akan meningkatkan prevalensi penularan
penyakit TB
 Sesial ekonomi
Sosial ekonomi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya kasus
TB di Indonesia. Rendahnya suatu ekonomi yang dimiliki individu itu
mencerminkan sebuah profesi seseorang individu dan juga gaya hidupnya.

D. Facility
 Pelayanan kesehatan
 Pelayanan kesehatan baik merupakan pelayanan kesehatan yang diberikan
pada seluruh elemen masyarakat tanpa memandang status sosial ekonomi.
Pada dewasa ini masih banyak sarana pelayanan kesehatan yang sulit
dijangkau serta kurangnya fasilitas yang memadai. Di sisi lain tenaga medis
yang terkadang mengacuhkan pelayanan kesehatan yang ada di tempat
terpencil, miskin dan sebagainya.

B. Pembahasan TB
a. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium tuberculosis (Alsagaf dan Mukti, 2008). Sebagian besar
kuman TB menyerang paru (TB paru), tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar lymphe, tulang, dll (Aditama dkk,
2008).
Mycobacterium tuberculosis menyebabkan TB dan merupakan patogen
manusia yang sangat penting (Jawets et al., 2008). Kuman ini non motil, non spora,
dan tidak berkapsul (Palomina et al., 2007). Berbentuk batang, bersifat aerob,
mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80o C, dan 20 menit pada suhu
60o C), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet (Alsagaf dan Mukti,
2008). Sebagian besar dinding kuman terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan
dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam

10
(asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan
terhadap gangguan kimia dan fisis (Sudoyo dkk, 2006). Dapat tahan hidup di udara
kering maupun dalam keadaan dingin, atau dapat hidup bertahun-tahun dalam
lemari es. lni dapat terjadi apabila kuman berada dalam sifat dormant (tidur). Pada
sifat dormant ini kuman tuberkulosis suatu saat dimana keadaan memungkinkan
untuk berkembang, kuman ini dapat bangkit kembali (Hiswani, 2004).

b. Cara Penularan TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita


TB).
Ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka
memercikkan kuman TB atau bacilli ke udara (DepKes, 2008). Percikan dahak
(droplet) yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Hanya droplet nukleus ukuran 1-5 µ (mikron) yang dapat
melewati atau menembus sistem mukosilier saluran nafas sehingga dapat mencapai
dan bersarang di bronkiolus dan alveolus (Widodo, 2004). Setelah kuman TB
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya (DepKes, 2000).
Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil
kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat
menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya
(DepKes,2008).

c. Gejala-gejala Tuberkulosis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2- 3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan (DepKes, 2006).

d. Diagnosis Tuberkulosis
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA) (DepKes, 2007). Kuman ini baru kelihatan
dibawah mikroskopis bila jumlah kuman paling sedikit sekitar 5000 batang dalam
1 ml dahak. Dalam pemeriksaan dahak yang baik adalah dahak yang mukopurulen

11
berwarna hijau kekuningan dan jumlahnya harus 3-5 ml tiap pengambilan
(Hiswani, 2004).
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya (DepKes, 2006).
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru
tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit (DepKes, 2007).

e. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) (DepKes, 2007).
Pengobatan pada penderita tuberkulosis dewasa dibagi menjadi beberapa kategori:
1) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid
(Z) dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4
bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
a) Penderita baru TB Paru BTA positif
b) Penderita TB Paru BTA negatif Rontgen Positif yang “sakit berat” dan
c) Penderita TB Ekstra Paru Berat

2) Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan. Dua bulan pertama dengan
Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan suntikan
streptomisin setiap hari di Unit Pelayanan Kesehatan. Dilanjutkan 1 bulan
dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E)
setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan
HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa
suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai minum obat.
Obat ini diberikan untuk :
a) Penderita kambuh (relaps)
b) Penderita gagal (failure)
c) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

12
3) Kategori-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan,
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu.
Obat ini diberikan untuk :
a) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
b) Penderita ekstra paru ringan

4) OAT Sisipan
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori
2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE)
setiap hari selama 1 bulan. (DepKes, 2002).

Evaluasi Pengobatan
1) Evaluasi Klinis
a) Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama, pengobatan selanjutnya
setiap 1 bulan.
b) Evaluasi: respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit.
c) Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.

2) Evaluasi Bakteriologis (0-2-6/9 bulan pengobatan)


a) Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.
b) Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis :
(1) Sebelum pengobatan dimulai
(2) Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
(3) Pada akhir pengobatan
c) Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.

3) Evaluasi radiologi (0-2-6/9 bulan pengobatan)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada :
a) Sebelum pengobatan
b) Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
c) Pada akhir pengobatan.

4) Evaluasi efek samping secara klinis


Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat
sesuai pedoman.

5) Evaluasi keteraturan berobat


a) Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum/tidaknya obat tersebut.

13
b) Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. (PDPI,
2006)

BAB III
RENCANA PROGRAM

DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah nama untuk strategi yang
dilaksanakan pada pelayanan kesehatan dasar di dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan
pasien TB.
Strategi ini terdiri dari lima komponen, yaitu :
a. Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang sehingga program ini menjadi
salah satu prioritas dan pendanaan pun akan tersedia.
b. Mikroskop sebagai komponen utama untuk mendiagnosa TB melalui pemeriksaan sputum
langsung pasien tersangka TB.
c. Pengawas Minum Obat (PMO) yaitu orang yang dikenal dan dipercaya baik oleh pasien
maupun petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi pasien minum seluruh obatnya. d.
Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar.
e. Paduan obat anti TB jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka waktu yang
tepat. (Mansjoer dkk, 2000).

Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Badan Kesehatan Dunia
(WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama (WHO-Indonesia Joint Evaluation) yang
menghasilkan rekomendasi, “Perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi
penanggulangan TB di Indonesia, yang kemudian disebut sebagai Strategi DOTS”. Sejak saat
itulah dimulailah era baru pemberantasan TB di Indonesia (Sembiring, 2001).

14
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan
demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (DepKes, 2007).
WHO menetapkan target CDR (Case Detection Rate) minimal 70% pada tahun 2005.
Jika CDR > 70%, Cure Rate > 85%, Error Rate < 5 % tercapai, dalam kurun waktu 5 tahun,
jumlah penderita TB akan berkurang setengahnya (Retnaningsih, 2005).
Sejak DOTS diterapkan secara intensif terjadi penurunan angka kesakitan TB menular
yaitu pada tahun 2001 sebesar 122 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2005 menjadi 107
per 100.000 penduduk. Hasil yang dicapai Indonesia dalam menanggulangi TB hingga saat
ini telah meningkat. Angka penemuan kasus TB menular ditemukan pada tahun 2004 sebesar
128.981 orang (54%) meningkat menjadi 156.508 orang (67%) pada tahun 2005.
Keberhasilan pengobatan TB dari 86,7% pada kelompok penderita yang ditemukan pada
tahun 2003 meningkat menjadi 88,8% pada tahun 2004 (DepKes, 2004).
Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan
rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB (DepKes, 2007).

Berdasarkan dari faktor resiko tertinggi pada skenario kasus tingginya prevalence TB
ini, maka kelompok kami akan membahas rencana program demi menurunkan prevalensi TB
dengan cara “Peningkatan Peranan PMO bagi penderita TB”.

Penderita TB paru yang tidak berobat atau minum obat tapi tidak sesuai pedoman akan
beresiko penyakitnya makin parah dan menulari orang disekitarnya saat yang bersangkutan
batuk dan bersin. Akibatnya jumlah penderita TB makin banyak dan program pemberantasan
TB jadi semakin besar. Salah satu usaha untuk menjamin pasien tetap semangat menelan obat
sampai sembuh adalah menyiapkan seseorang untuk mendampingi pasien TB, di sebut PMO
(Pengawas Menelan Obat) (Subagyo, 2013).
PMO sebaiknya sudah ditetapkan sebelum pengobatan TB dimulai. Bila pasien mampu
datang berobat teratur maka paramedic atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO,
namun bila sulit dapat berobat rutin maka PMO sebaiknya seseorang yang tinggal serumah,
atau dekat rumah pasien. Beberapa pilihan yang dapat menjadi PMO yaitu: Suami, istri,
keluarga, atau orang yang tinggal serumah dengan pasien TB.

15
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah
sakit. Syarat PMO yaitu Bersedia dengan membantu pasien TB sampai sembuh selama
pengobatan dengan obat anti TB (OAT) dan menjaga kerahasiann bila penderita juga
HIV/AIDS.
Di utamakan petugas kesehatan, pilihan lain adalah kader kesehatan, kader dasawisma,
kader PPTI, kader PKK atau keluarga yang di segani pasien.
Tugas PMO yaitu:
1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan.
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur sampai selesai.
5. Mengenali efek samping ringan obat dan menasehati pasien agar tetap mau menelan
obat.
6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat.
7. Melakukan kunjungan rumah
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB.

Bila jumlah dari petugas kesehatan tidak mencukupi, maka rumah sakit atau puskesmas
dapat membuat program baru dengan mengumpulkan para pengangguran atau orang-orang
dengan tingkat ekonomi rendah dan memberi sosialisasi dan penyuluhan dan jika mereka
bersedia menjadi PMO dengan di beri gaji kurang lebih 100.000 rupiah perbulan dan merka
dikordinir oleh petugas kesehatan. Hal ini diharapkan dapat menurunkan prevalensi penderita
TB.
Sosialisasi PMO diharapkan dapat meningkatkan pengobatan pada penderita TB serta
bisa mengurangi kekambuhan penyakit. Sosialisasi secara tidak langsung telah menolong
para pasien TB agar selalu rajin meminum obatnya dan melakukan pemeriksaan ulang di
rumah sakit maupun puskesmas. Tujuan dari sosialisasi ini adalah salah satunya untuk
mengupdate ilmu dari calon PMO sendiri agar selalu bertanggung jawab terhadap tugas nya
sebagai PMO untuk selalu mendampingi penderita TB dalam meminum obat.

Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO)


Maluyu S.P. Hasibuan mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja
yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Ada 3 faktor yang
berpengaruh terhadap kinerja :

16
1) Faktor individu : kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja,
tingkat sosial dan demografi seseorang.
2) Faktor psikologis : persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja
3) Faktor organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem
penghargaan (reward system). (Wikipedia, 2009)

Pengawas Minum Obat (PMO)


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.

2) Siapa yang bisa jadi PMO


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,
pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau
tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

3) Tugas seorang PMO


a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c) Mengingkatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas
seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit
pelayanan kesehatan.

4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan
keluarganya:

17
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan
ke UPK. (Depkes, 2007)

Kesembuhan
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) paling sedikit dua kali berturut-turut
hasilnya negatif (yaitu pada akhir pengobatan dan/atau sebelum akhir pengobatan, dan pada
satu pemeriksaan follow-up sebelumnya) (DepKes, 2002).
Dalam proses penyembuhan, penderita TB dapat diberikan obat anti – TB (OAT) yang
diminum secara teratur sampai selesai dengan pengawasan yang ketat. Masa pemberian obat
memang cukup lama yaitu 6-8 bulan secara terus-menerus, sehingga dapat mencegah
penularan kepada orang lain. Walau telah ada cara pengobatan tuberkulosis dengan efektivitas
tinggi, angka sembuh lebih rendah dari yang diharapkan. Kondisi seorang penderita penyakit
tuberculosis sering berada dalam kondisi rentan dan lemah, baik fisik maupun mentalnya.
Kelemahan itu dapat menyebabkan penderita tidak berobat, putus berobat, dan atau
menghentikan pengobatan karena berbagai alasan (Ainur, 2008).

Peranan PMO sangat mempengaruhi kedisiplinan penderita TB paru dan keberhasilan


pengobatan. Kerjasama petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk
mendampingi ketika penderita minum obat merupakan faktor yang perlu dievaluasi untuk
menentukan tingkat keberhasilan pengobatan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi angka
kesembuhan TB paru :
a. Faktor sarana ditentukan oleh:
1) Pelayanan kesehatan : sikap petugas kesehatan terhadap pola penyakit TB paru
2) Logistik obat
b. Faktor penderita ditentukan oleh :

18
1) Pengetahuan penderita mengenai penyakit TB paru, cara pengobatan, dan bahaya yang
dapat ditimbulkan akibat berobat tidak adekuat,
2) Menjaga kondisi tubuh dengan makan makanan bergizi, cukup istirahat, hidup teratur,
dan tidak mengkonsumsi alkohol atau merokok,
3) Menjaga kebersihan diri dengan tidak membuang dahak sembarangan dan bila batuk
menutup mulut dengan saputangan.
c. Faktor keluarga dan lingkungan
Ditentukan oleh: Dukungan keluarga, ventilasi yang tidak baik, lantai rumah yang
lembab, dan sirkulasi udara yang buruk sebagai faktor lingkungan yang sering
menyebabkan TB paru. (Yaffri dkk, 2009)

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Faktor-faktor pemicu terjadinya TB pada masyarakat Sukamandi, sbb :
1. Kurangnya penyuluhan TB pada masyarakat di kecamatan sukamandi
mengakibatkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang TB
2. Kondisi sosial ekonomi yang rendah menyebabkan adanya kondisi gizi
memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, akses terhadap pelayanan
kesehatan dan menurunnya kemampuan sehingga dapat meningkatkan tingginya
prevalensi TB
3. Kondisi lingkungan, faktor lingkungan yang sangat padat akan mempengaruhi
proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB
4. Kepadatan hunian, kepadatan hunian merupakan suatu proses penularan penyakit
5. Faktor yang paling mempengaruhi prevalensi TB dikecamatan sukamandi adalah
rendahnya PMO dikecamatan sukamandi, karena diperlukan pengawasan
menelan obat yang dapat dilakukan oleh keluarga bila penderita mengalami
kondisi bosan/jenuh minum obat.

B. Saran
1. Melakukan penyuluhan TB secara berkala di Kecamatan Sukamandi agar warga
mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang bahaya dan bagaimana cara
pencegahan penyebaran TB
2. Meningkatkan peran PMO untuk membujuk pasien agar mau mengkonsumsi obat
secara teratur sampai pengobatan selesai
3. Menciptakan kondisi lingkungan yang sehat agar memperlambat penularan RB di
lingkungan faktor.

19
4. Mengatur ruang yang cukup luas di setiap ruangan agar penyebaran TB tidak
terjadi secara cepat di dalam lingkungan keluarga
5. Memperbaiki kondisi ekonomi agar menekan tingginya prevalensi TB

Daftar pustaka

Andita Putri Nomi. 2010. HUBUNGAN KINERJA PENGAWAS MINUM OBAT (PMO)
DENGAN KESEMBUHAN PASIEN TB PARU KASUS BARU STRATEGI DOTS,
(online) https://eprints.uns.ac.id/8366/1/132130608201011501.pdf (diakses 22
November 2015)
Anwar hidayat. 2013. Uji Statistika, (online) http://www.statistikian.com/2012/11/odds-
ratio.html (diakses tanggal 18 November 2015)
Author. 2014. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga (PHBS), (online)
http://dinkes.tabalongkab.go.id/2014/12/perilaku-hidup-bersih-dan-sehat-tatanan-
rumah-tangga-phbs/ (diakses 22 November 2015)
Author. PMO DALAM PEMBERANTASAN TB, (online)
http://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detil_berita/611-pmo-dalam-pemberantasan-
tb (diakses 22 November 2015)
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB di
Indonesia 2010-2014. (Online),
http://www.searo.who.int/indonesia/topics/tb/stranas_tb-2010-2014.pdf (diakses
tanggal 17 November 2015)
Lutfi, amir,sardikin, giri, putro, 2012. Tuberkulosis nasokomial. Jurnal tuberk 8ulosis
indonesia. Volume 8, maret 2012
Ratnasari, Nita, Yuniant, 2012. HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITS
HIDUP PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI
PENGOBATAN PENYAKIT PARU (BP4) YOGAKARTA UNIT MINGGIRAN. Jurnal
tuberkulosis Indonesia. Volume 8, Maret 2012.
Rukmini, chatarina UW, 2012. Faktor-faktor berpengaruh terhadap kejadian TB paru dewasa
di indonesia( analisis data riset kesehatan dasar di indonesia). Buletin penelitian sistem
kesehatan. Penerbit airlangga vol. 14 No. 2, april 2011 university press surabaya

20
Subagyo, Ahmad. 2013. Pengawas Menelan Obat (PMO), (Online)
http://www.klikparu.com/2013/02/pengawas-menelan-obat-pmo.html (diakses tanggal
17 November 2015)

21

Anda mungkin juga menyukai