Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 3


I. Anatomi Laring .................................................................................................. 3
II. Definisi ................................................................................................................. 7
III. Epidemiologi ....................................................................................................... 7
IV. Patofisiologi ..................................................................................................... 8
V. Manifestasi Klinis ............................................................................................... 9
VI. Diagnosis ........................................................................................................ 10
VII. Penatalaksanaan ........................................................................................... 14

BAB III KESIMPULAN .............................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................ Error! Bookmark not defined.

1
BAB I

PENDAHULUAN

Refluks memiliki arti aliran balik. Kata ini diambil dari bahasa
latin yaitu “re” yang bermakna balik atau kembali dan “fluere” yang
artinya mengalir. Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux
(LPR) dapat didefinisikan sebagai pergerakan asam lambung secara
retrograd menuju faring dan laring serta saluran pencernaan atas.
LPR sering kali sulit dibedakan atau bahkan disamakan dengan
gastroesophageal reflux disease (GERD). Penyakit GERD terjadi akibat
lower esophageal sphincter (LES) gagal untuk menutup secara
sempurna, sehingga terjadi aliran balik isi lambung ke esofagus, berbeda
dengan LPR dimana terjadi aliran balik melewati upper esophageal
sphincter (UES) menuju ke faring dan laring.
Hingga saat dibuatnya tulisan ini, diagnosis penyakit LPR masih
sulit dilakukan dan terdapat beberapa kontroversi mengenai konfirmasi
diagnosis tersebut. Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk
memperkenalkan penyakit LPR secara umum, perbedaannya dengan
GERD, cara-cara untuk mendiagnosisnya semaksimal mungkin, dan juga
protokol penatalaksanaannya yang hingga kini masih umum digunakan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Laring
Laring membentuk saluran udara dari tulang hyoid ke trakea.
Laring merupakan kelanjutan dari laringofaring pada sisi superior, dan
berlanjut menjadi trakea di bagian inferior. Laring merupakan saluran
pernafasan yang terbuka, dan berfungsi sebagai mekanisme untuk
menyalurkan udara dan makanan ke saluran yang benar. Laring sering
juga disebut sebagai kotak suara, dan merupakan rangka tulang rawan
untuk pita suara dan otot-ototnya.(1)
Tulang hyoid terdiri dari badan, dua greater horn, dua lesser
horn, dan merupakan satu-satunya tulang yang tidak berartikulasi dengan
tulang lain. Tulang hyoid memiliki bentuk U dan menggantung pada
ujung dari prosesus styloid pada tulang temporal diikat oleh ligamen
stylohyoid. Tulang hyoid terhubung dengan kartilagi tiroid dan disokong
oleh otot suprahyoid dan infrahyoid, dan oleh otot konstriktor faring
medial. Tulang hyoid juga menyokong pangkal lidah.(1)
Kerangka laring terdiri dari susunan sembilan kartilago yang
disambungkan oleh beberapa membran dan ligamen. Kartilago thyroid
membentuk elevasi di bagian medial yang sering disebut prominensia
laring atau Adam's apple, dan terletak di bawah tulang hyoid. Kartilago
thyroid umumnya lebih besar pada laki-laki dibanding perempuan karena
hormon seks laki-laki merangsang pertumbuhan kartilago ini selama
pubertas. Superior horn dari kartilago laringea menempel pada ujung
greater horn dari tulang hyoid, sedangkan inferior horn membentuk
artikulasi dengan kartilagi cricoid dan membentuk sendi cricothyroid.
Membran thyrohyoid membentang antara kartilago thyroid dan tulang
hyoid. Pembuluh darah laryngeal superior dan saraf laryngeal internal
menembus membran ini menuju ke mukosa superior dari pita suara. (1)
Kartilago cricoid berbentuk seperti cincin signet, dengan bagian
luas dari cincin tersebut menghadap posterior. Batas bawah dari kartilago

3
ini merupakan perbatasan laring dengan faring. Kartilago ini berfungsi
sebagai tempat menempelnya otot-otot, kartilagi, dan ligamen yang
berperan dalam membuka dan menutup saluran udara untuk
memproduksi suara. (1)
Epiglotis merupakan kartilago elastis berbentuk seperti sendok
yang terletak di posterior pangkal lidah. Ujung bawah epiglotis
menempel pada permukaan dalam kartilago thyroid. Ketika udara
bergerak ke laring, saluran laring terbuka lebar dengan tepi epiglotis
terangkat ke arah superior dan anterior. Dalam proses menelan, laring
tertarik ke arah superior dan epiglotis akan bergerak ke arah posterior
untuk menutupi saluran masuk laring, sehingga berfungsi untuk
mencegah makanan masuk ke laring. (1)
Kartilago arytenoid berbentuk seperti piramida, dengan dasarnya
membentuk artikulasi dengan kartilago krikoid. Setiap kartilago
arytenoid memiliki vocal process, yang berfungsi sebagai tempat
menempelnya vocal ligaments dan otot vocalis, dan juga sebuah muscula
process sebagai tempat menempel ke thyroarytenoid serta otot
krikoarytenoid lateral dan posterior. Pada apeks dari kartilago arytenoid
terdapat kartilago cuneiform dan corniculate. (1)

4
Gambar 1. A. rangka kartilago B. anatomi ligamen vokal C. gerakan
sendi kartilago laring(1)
Otot-otot di laring dipersarafi oleh nervus vagus dan
menggerakkan rangka laring. Pergerakan tersebut merubah lebar dan
tegangan pita suara sehingga udara yang melewatinya akan
menggetarkan pita suara dan menghasilkan bunyi. Pergerakan otot
tersebut juga mengubah ukuran serta bentuk rima glottidis serta panjang
dan tegangan vocal folds. Secara garis besar otot-otot laring dibagi
menjadi otot abduktor, adduktor, tensor, dan relaksor. (1)
Rotasi kartilago krikoarytenoid menyebabkan pergesaran vocal
folds ke arah medial atau lateral sehingga memperkecil atau menambah
secara berurutan apertura rima glottis. Pada proses adduksi vocal folds,
otot krikoarytenoid lateral menarik otot-otot ke arah anterior,
merotasikan arytenoid sehingga prosessus vocal akan bergerak ke

5
medial. Pergerakan tersebut dikombinasikan dengan pergerakan otot
arytenoid transverse yang menarik kartilago arytenoid saling mendekat
akan menyebabkan sela antara vocal fold untuk berkurang. Proses
abduksi vocal folds karena otot krikoarytenoid posterior yang menarik
prosesus otot-otot ke arah posterior, menarik prosesus vocal ke arah
lateral dan memperlebar rima glottidis. (1)

Gambar 2. Pergerakan otot-otot laring(1)


Adduksi vocal fold juga dibantu oleh gerakan gliding horizontal media
dari kartilago arytenoid. Pergerakan tersebut diakibatkan oleh kontraksi
bilateral dari otot-otot krikoarytenoid lateral, arytenoid transverse dan
oblique, serta aryepiglottic. Abduksi vocal fold juga dibantu oleh gerakan
horizontal tersebut yang disebabkan oleh kontraksi bilateral otot-otot
krikoarytenoid posterior. (1)

6
Sendi krikotiroid merupakan artikulasi sinovial antara sisi dari
kartilago krikoid dengan inferior horn dari kartilago tiroid. Sendi ini
memungkinkan kartilago tiroid bergerak ke depan dan belakang terhadap
kartilago krikoid, sehingga mengubah panjang dan tegangan vocal fold.
Tegangan vocal fold diatur terurama oleh otot krikotiroid, yang
memiringkan kartilago tiroid ke arah anterior dan inferior sehingga
menambah jarak antara kartilago tiroid dengan kartilago arytenoid.
Gerakan ini memperjanng dan mengkencangkan ligament vokal dan
meninggikan nada suara. Sebaliknya relaksasi vocal fold terutama
dibantu oleh relaksor otot tiroarytenoid, dimana kontraksinya akan
menarik kartilago arytenoid ke arah anterior menuju prominensia tiroid
sehingga terjadi relaksasi ligamen vokal. (1)
II. Definisi
Laryngopharyngeal reflux (LPR) merupakan suatu aliran
retrograd dari isi lambung ke laring dan faring dimana material tersebut
akan bersentuhan dengan saluran aerodigestif atas. LPR berbeda dengan
gastroesophageal reflux disease (GERD) yang merupakan penyakit
akibat aliran balik asam lambung kembali ke esofagus. LPR telah
diimplikasikan sebagai etiologi dari berbagai penyakit laring seperti
laringitis reluks, stenosis subglotis, karsinoma laring, granuloma, ulkus
kontak, dan nodul vokal. Pasien dengan LPR mungkin sulit didiagnosa
oleh seorang dokter yang kurang berpengalaman karena gejala dari
penyakit ini tidak spesifik dan merupakan gejala dari etiologi lain seperti
infeksi, pemakaian suara berlebihan, alergi, merokok, inhalasi iritan,
peminum berat, dan perubahan nonpatologis. (2)
III. Epidemiologi
Kejadian refluks sering ditemukan di Negara-negara eropa
dengan angka kejadian 10-15% dan umumnya mengenai usia diatas 40
tahun (35%). Hal ini berhubungan dengan pola konsumsi masyarakat
barat, olahraga genetik dan kebiasaan berobat. Qadeer et al pada tahun
2005 menyebutkan bahwa prevalensi gejala yang berhubungan dengan
LPR adalah 15-20%. Diperkirakan lebih dari 15% pasien yang datang ke

7
spesialis THT disebabkan oleh manifestasi dari LPR. Vaezi dkk9 pada
tahun 2006 menyebutkan bahwa insiden GERD yang berhubungan
dengan gejala THT sekitar 10% di praktek.
Pada penelitian terdahulu menunjukkan bahwa prevalensi GERD
pada populasi China lebih rendah dibandingkan dengan populasi negara-
negara barat. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan kebiasaan diet,
perbedaan bentuk tubuh, genetik, dan perilaku kesehatan.10 Di Amerika
Serikat GERD adalah kelainan yang umum dijumpai. Sebesar 50% orang
dewasa menderita GERD dan diperkirakan 4-10% kelainan laring kronis
non spesifik di klinik THT berhubungan dengan penyakit refluks. Tidak
ditemukan predileksi ras pada penyakit refluks. Namun prevalensi pria
dibandingkan wanita yaitu 55%: 45% dan meningkat pada usia lebih dari
44 tahun.3
IV. Patofisiologi
Laring merupakan struktur yang rentan terhadap refluks gaster
sehingga pasien dapat memiliki gejala laringofaringeal tanpa adanya
heartburn atau regurgitasi. Terdapat empat pelindung fisiologis yang
melindungi saluran aerodigestif atas dari kerusakan refluks, yaitu lower
esophageal sphincter (LES), fungsi motorik esofagus dengan
pemebrsihan asam, ketahanan mukosa esofagus, dan upper esophageal
sphincter (UES). Epitel saluran pernafasan pada posterior laring yang
berfungsi untuk membersihkan mukus dari trakeobronkial akan
mengalami gangguan apabila keempat pelindung tersebut gagal, dan
menyebabkan disfungsi silia sehingga terjadi stasis mukus. Pengumpulan
mukus menyebabkan perasaan post nasal drip dan merangsang
pembersihan tenggorokan (mendeham). Iritasi zat refluks direk dapat
merangsang batuk dan laringospasme karena sensitivitas sensori laring
akan bertambah akibat inflamasi lokal. Kombinasi faktor-faktor ini dapat
menyebabkan edema vocal fold, ulkus kintak, dan granuloma yang
menyebabkan gejala LPR yaitu suara serak, globus pharungeus, dan
nyeri tenggorokan.(2)

8
Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa jaringan laring yang
rentan terlindungi dari kerusakan akibat refluks oleh efek regulasi pH
dari karbonik anhydrase di mukosa laring posterior.(4) Zat tersebut
mengkatalase produksi bikarbonat pada ruang ekstraselular yang
berfungsi untuk netralisasi asam lambung yang ter-refluks. Penelitian
menemukan bahwa tidak terjadi pemompaan aktif dari bikarbonat pada
epitel laring dan karbonik anhydrase yang biasanya diekspresikan pada
kadar yang tinggi di epitel laring normal tidak ada pada 64% pasien
dengan LPR.(4)
V. Manifestasi Klinis
Pasien dengan LPR sering datang berobat dengan keluhan yang
tidak khas, namun terdapat beberapa gejala yang sering ditemukan pada
kelompok pasien dengan LPR, antara lain disfagia servikal, batuk kronis,
disfonia, sensasi globus, suara serak, nyeri tenggorokan, mendeham, dan
refluks tengah hari atau refluks tegak. Selain gejala-gejala tersebut LPR
juga dapat muncul dalam manifestasi lan seperti eksaserbasi asma,
otalgia, mukus tenggorokan berlebihan, halitosis, nyeri leher, odinofagia,
postnasal drip, dan keluhan suara. Satu hal penting untuk mengkaitkan
keluhan pasien dengan LPR adalah membedakan gejala LPR dengan
gejala GERD. Pasien dengan GERD pada umumnya memiliki gejala
heartburn, regurgitasi, dan refluks apabila tiduran terlentang. Insiden
esofagitis dan displasia Barrett juga lebih sering muncul pada pasien
dengan GERD. (5)
Menurut penelitian, gejala throat clearing (berdeham) ditemui
pada 87% dengan LPR dan hanya pada 3% pasien GERD. Sebaliknya
hanya 20% pasien dengan LPR yang mengeluhkan heartburn, dibanding
83% pada pasien GERD.(6) Sebuah survei internasional oleh American
Bronchoesophagological Association menemukan bahwa 98% pasien
LPR memiliki gejala throat clearing, 97% memiliki batuk persisten, 95%
memiliki globus pharyngeus, dan 95% memiliki suara serak.(7) Gejala
serak biasanya berfluktuasi yang muncul pada pagi hari dan membaik
seiring berjalannya hari.(8)

9
LPR dapat muncul dalam berbagai penemuan klinis pada
pemeriksaan, terutama seputar eritema dan edema. Temuan yang khas
untuk LPR antara lain eritema dan edema interarytenoid, edema
infraglotis, dan ventricular effacement. Perubahan yang terjadi pada
daerah interarytenoid juga sering terjadi pada komisura posterior, dimana
seluruh penemuan tersebut dikelompokkan sebagai laringitis posterior.
Edema infraglotis sering juga dikenal sebagai pseudosulkus vokalis,
karena gejalanya seperti memiliki vocal fold kedua di bawah yang vocal
fold asli.(5)
VI. Diagnosis
LPR dapat didiagnosis secara klinis menggunakan kuesioner RSI
(Reflux Symptoms Index). Kuesioner RSI memiliki rentang skor 0 - 45,
seseorang pasien yang memiliki total nilai RSI >13 dapat dikatakan
memiliki nilai abnormal, dan kemungkinan besar pasien tersebut
memiliki LPR.(9)

Tabel 1. Reflux symptom index(8)


Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis LPR adalah dengan laringoskopi. Gambaran LPR pada
pemeriksaan ini dapat berupa tanda nonspesifik dari iritasi dan inflamasi
laring. Penemuan utama yang pada sering digunakan untuk mendiagnosis
LPR adalah adanya edema dan eritema di regio posterior.(6) Penemuan
lain yang umum adalah granuloma, ulkus kontak, dan pseudosulkus atau

10
edema infraglotik. Pseudosulkus ditemukan pada 90% kasus LPR.(2)
Pemeriksaan laringoskopi merupakan pemeriksaan penting pada pasien
dicurigai LPR karena penyakit ini memiliki kaitan dengan kanker(2),
stenosis subglotis, laringospasme, obstructive sleep apnea, bronkiektasis,
dan rhinitis atau rhinosinusitis kronis.(10) Menurut beberapa penelitian,
penemuan-penemuan tersebut juga dapat ditemukan pada pasien yang
sehat, kemudian tipe endoskopi yang digunakan juga dapat
mempengaruhi warna eritema. Terlebih lagi, pemeriksaan ini bergantung
kepada pemeriksanya, sehingga dapat muncul variasi dan menyebabkan
diagnosis pasti LPR menggunakan laringoskopi menjadi subjektif.(11)
Sebagai sebuah upaya untuk mengidentifikasi penemuan
laringoskopik yang paling spesifik untuk LPR, Belafsky et al(12)
membuat Reflux Finding Score (RFS) yang didasarkan pada penemuan
melalui laringoskopi fiberoptik. Sistem skor tersebut mengevaluasi
delapan hal yang merupakan tanda-tanda LPR yang paling sering muncul
dalam pemeriksaan laringoskopi, yaitu edema subglotis, obliterasi
ventrikular, erima atau hiperemia, edema vocal fold, edema laring
menyeluruh, hipertrofi komisura posterior, granuloma atau jaringan
granulasi, dan mukus yang berlebih di laring. Penemuan tersebut diberi
nilai sesuai dengan keparahan, lokasi, dan ada atau tidaknya, dengan skor
total maksimal 26. Pasien yang memiliki skor 7 atau lebih
diklasifikasikan memiliki LPR.(11) Selain itu, sistem skor ini juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi terapi pasien dengan LPR.

11
Tabel 2. Reflux finding score(8)

Gambar 3. a: edema subglotis; b: sulkus vokalis kanan(12)

Gambar 4. a: ventrikel laring; b: obliterasi ventrikel(12)

12
Gambar 5. a: edema vocal fold ringan; b: edema vocal fold sedang; c:
edema vocal fold berat; d: degenerasi polypoid true vocal folds. (12)

Gambar 6. a: komisura posterior normal. kartilago kuneiform dapat


terlihat; b: hipertrofi ringan komisura posterior, komisura tampak seperti
kumis. Tampak juga edema vocal fold sedang dan obliterasi ventrikel
parsial; c: hipertrofi sedang, tampak garis lurus pada posterior laring; d:
hipertrofi berat(12)

Kejadian refluks dapat ditemukan dengan pemantauan impedansi


intraluminal multichannel. Metode ini dapat mendeteksi cairan asam, non
asam, atau gas. Diagnosis LPR dengan metode ini masih memiliki
kontroversi, namun sebuah kejadian LPR terjadi ketika pH dari sensor
proksimal berkurang hingga <4 ketika atau segera setelah bagian distal
dari alat ini terpapar dengan asam. LPR dikonfirmasi apabila total waktu

13
paparan asam di dekat LES lebih dari 1% dalam 24 jam. Pemantauan
impedansi intraluminal multichannel berfungsi untuk mendiagnosis LPR
namun metode yang diunakan bervariasi secara luas dan tidak terdapat
konsensus mengenai definisi pH abnormal. Sensitivitas dari pemantauan
pH hipofaring hanya 40%, selain itu pemantauan pH juga merupakan
indikator yang buruk untuk menentukan tingkat keparahan gejala pada
pasien.
VII. Penatalaksanaan
Pilihan terapi untuk LPR dibagi menjadi tiga modalitas utama
yaitu perubahan gaya hidup, terapi farmakologi, dan terapi pembedahan.
Perubahan gaya hidup yang disarankan mirip seperti perubahan gaya
hidup yang dianjurkan pada pasien dengan GERD. Pasien diinstruksikan
untuk menghindari makan 2-3 jam sebelum terlentang dan untuk
mengelevasi kepala ketika tidur. Elevasi tersebut dapat dilakukan dengan
meletakkan bed blocks. Selain itu pasien juga dianjurkan untuk tidur
pada sisi kirinya karena crus diafragma dapat membuat belitan naturan di
sekitar gastroesophageal junction ketika seseorang berada dalam posisi
lateral dekubitus kiri. Pasien juga dianjurkan untuk menghindari alkohol,
kafein, minuman berkarbonasi, coklat, rokok, dan makanan yang
digoreng, pedas, atau mengandung sitrus, karena faktor-faktor tersebut
akan memperparah refluks.
Terapi farmakologis yang paling awal digunakan untuk LPR
adalah antasida dan histamine-2 receptor antagonist (H2RA) sebelum
dikembangkannya proton pump inhibitor (PPI). Antasida dan H2RA
memiliki efek mengurangi gejala yang muncul dan juga melawan
nocturnal acid breakthrough (NAB) yang diregulasi oleh histamin.
Penelitian awal menunjukkan bahwa kombinasi H2RA dengan PPI dapat
mengontrol NAB dengan baik dalam tahap awal terapi, sedangkan
penelitian selanjutnya menemukan hanya terdapat sedikit perbedaan
antara pasien yang diterapi menggunakan resimen PPI dua kali sehari
dengan pasien yang diterapi dengan tambahan H2RA. Obat-obatan PPI
digunakan sebagai modalitas farmakologis utama untuk LPR, dengan

14
efek optimal dirasakan apabila dikonsumsi 30-60 menit sebelum makan.
Penelitian Belafsky et al juga menunjukkan adanya perbaikan signifikan
dari pasien LPR yang diterapi menggunakan PPI dua kali sehari selama 4
bulan, dinilai menggunakan RFS dan RSI.(9, 12)
Apabila terapi farmakologi tidak meringankan gejala LPR, terapi
pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien dengan LPR adalah
Nissen fundoplication. Pada prosedur ini, esofagus pasien akan dilingkari
oleh fundus gaster. Prosedur ini memiliki rasio kesuksesan 10 tahun
hingga 90% pada pasien dengan GERD. Beberapa literatur menunjukkan
bahwa prosedur ini dapat meringankan gejala LPR pada 73%-86%
pasien.(5) Panduan klinis Society of American Gastrointestinal and
Endoscopic Surgeons menyarankan operasi ini dilakukan pada pasien
yang gagal atau tidak dapat mentoleransi pengobatan, memiliki
manifestasi ekstraesofagus yang signifikan seperti aspirasi, asma, atau
batuk, atau memiliki komplikasi GERD seperti striktur peptik.
Protokol terapi yang sekarang umum digunakan adalah dengan
memulai terapi secara empiris pasien yang dicurigai mengalami LPR,
berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditambah dengan
hasil RSI dan RFS. Terapi empiris tersebut dilakukan dengan pemberian
PPI dua kali sehari dengan atau tanpa tambahan H2RA. Pasien perlu
dikaji ulang setelah tiga bulan, apabila pasien melaporkan bahwa
gejalanya hilang maka terapi tersebut dapat dihentikan. Penelitian
menunjukkan bahwa hanya 10% pasien akan tetap tidak bergejala setelah
pengobatan tersebut dihentikan. Apabila dalam 3 bulan pasien
melaporkan perbaikan parsial, maka PPI yang diberikan dapat ditambah
dan dilakukan pemeriksaan ulang dalam 3 bulan. Gejala yang tidak
merespon atau bertambah buruk dengan terapi ini perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menghindari kemungkinan penyakit
lain.(5)

15
Gambar 7. Algoritma penanganan LPR(2)

16
BAB III

KESIMPULAN

Laryngopharyngeal reflux (LPR) merupakan suatu aliran


retrograd dari isi lambung ke laring dan faring dimana material tersebut
akan bersentuhan dengan saluran aerodigestif atas. LPR berbeda dengan
gastroesophageal reflux disease (GERD) yang merupakan penyakit
akibat aliran balik asam lambung kembali ke esofagus. Gejala paling
umum pada pasien dengan LPR adalah berdeham, batuk persisten,
globus pharyngeus, dan suara serak. Terdapat sistem skoring yang
menilai gejala klinis yang dirasakan pasien dan dapat digunakan untuk
mendiagnosis LPR yaitu Reflux Symptoms Index (RSI).
Diagnosis LPR dibuat melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis didapatkan adanya gejala-
gejala LPR yang khas, kemudian dari pemeriksaan laring juga dapat
ditemukan tanda-tanda LPR. Terdapat sebuah sistem skoring untuk
menilai penemuan endoskopik pada laring yang khas untuk LPR, yaitu
dengan Reflux Finding Score (RFS). Pada pasien yang dicurigai
memiliki LPR, pemeriksaan laring sebaiknya dilakukan.
Tata laksana pasien dengan LPR dibagi menjadi 3 modalitas yaitu
perubahan gaya hidup, terapi farmakologis, dan terapi pembedahan.
Gaya hidup yang perlu diajarkan ke pasien adalah jangan makan dalam 3
jam sebelum tidur, kemudian elevasi bagian kepala apabila dalam posisi
terlentang. Selain itu pasien juga perlu diedukasi untuk menghindari
makanan-makanan yang dapat memperparah gejala LPR seperti kopi,
teh, coklat, minuman berkarbonasi, dan lain-lain. Konsensus yang ada
saat ini untuk terapi pasien yang dicurigai LPR maka langsung dilakukan
terapi farmakologis empiris menggunakan PPI dengan atau tanpa H2RA,
kemudian keluhan pasien dinilai kembali dalam 3 bulan, kemudian dapat
diputuskan untuk melanjutkan terapi dengan dosis yang lebih tinggi,
perlu dilakukan pemeriksaan lain, dan indikasi pembedahan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Morton DA, Foreman KB, Albertine KH. Chapter 28. Larynx.


The Big Picture: Gross Anatomy. New York, NY: The McGraw-Hill
Companies; 2011.
2. Ford CN. Evaluation and management of laryngopharyngeal
reflux. JAMA. 2005;294(12):1534-40.
3. Vaezi MF, Richter JE, Stasney CR, Spiegel JR, Iannuzzi RA,
Crawley JA, et al. Treatment of chronic posterior laryngitis with
esomeprazole. The Laryngoscope. 2006;116(2):254-60.
4. Johnston N, Bulmer D, Ross PE, Axford SE, Gill GA, Pearson
JP, et al. Cell biology of laryngeal epithelial defenses in health and
disease: further studies. Annals of Otology, Rhinology & Laryngology.
2003;112(6):481-91.
5. PHYSICIAN R, Pham V. TITLE: Laryngopharyngeal Reflux
With An Emphasis On Diagnostic And Therapeutic Considerations
SOURCE: Grand Rounds Presentation, The University of Texas Medical
Branch, Department of Otolaryngology DATE: August 25, 2009. 2009.
6. Koufman JA. The otolaryngologic manifestations of
gastroesophageal reflux disease (GERD): a clinical investigation of 225
patients using ambulatory 24‐hour pH monitoring and an experimental
investigation of the role of acid and pepsin in the development of
laryngeal injury. The Laryngoscope. 1991;101(S53):1-78.
7. Book DT, Rhee JS, Toohill RJ, Smith TL. Perspectives in
laryngopharyngeal reflux: an international survey. The Laryngoscope.
2002;112(8):1399-406.
8. Campagnolo AM, Priston J, Thoen RH, Medeiros T, Assunção
AR. Laryngopharyngeal Reflux: Diagnosis, Treatment, and Latest
Research. International Archives of Otorhinolaryngology.
2014;18(2):184-91.
9. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. Validity and reliability
of the reflux symptom index (RSI). Journal of voice. 2002;16(2):274-7.
10. Remacle M, Lawson G. Diagnosis and management of
laryngopharyngeal reflux disease. Current opinion in otolaryngology &
head and neck surgery. 2006;14(3):143-9.
11. Branski RC, Bhattacharyya N, Shapiro J. The reliability of the
assessment of endoscopic laryngeal findings associated with
laryngopharyngeal reflux disease. The Laryngoscope. 2002;112(6):1019-
24.
12. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and
reliability of the reflux finding score (RFS). The laryngoscope.
2001;111(8):1313-7.

18

Anda mungkin juga menyukai