Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan Pikiran Rakyat On Line tanggal 1 Juni 2009, disebutkan bahwa
jumlah penderita bibir sumbing atau celah bibir di Indonesia bertambah 3.000-6.000
orang setiap tahun atau satu bayi setiap 1.000 kelahiran adalah penderita bibir sumbing.
Berdasarkan data dari Yayasan Pembina Penderita Celah Bibir dan Langit-Langit
(YPPCBL) kepada Radar Bandung tahun 2008, bahwa sejak tahun 1979 sampai tahun
2008 operasi dan perawatan bibir sumbing mencapai 11.472 di seluruh Indonesia atau
395 orang per tahun. Sedangkan pada tahun 2009 Ketua Pengurus YPPCBL kepada
harian Kompas menyatakan bahwa saat ini diperkirakan jumlah penderita bertambah
6.000-7.000 kasus per tahun. Namun, karena berbagai macam kendala, jumlah
penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal. Hanya 1.000-1.500 pasien per tahun yang
mendapat kesempatan menjalani operasi.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberi penyuluhan kebidanan pada orang tua bayi yang mengalami
labiopalatozkisis dengan tepat dan benar.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu mengurai dan melakukan konsep dasar serta manajemen kebidanan
pada bayi dengan labiopalatozkisis
b. Mampu mengidentifikasi dan mengantisipasi masalah dan melakukan analisa
data, membuat rencana manajemen, mengimplementasi rencana dan
mengevaluasi tindakan.

1
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Labio/palatoskisis merupakan kongenital anomali yang berupa adanya kelainan
bentuk pada struktur wajah. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato
yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12
minggu (Syaifuddin, 2006).
Labiopalatoskisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut,
palatoskisis (sumbing palatum) dan labioskisis (sumbing tulang) untuk menyatu selama
perkembangan embrio (Aziz Hidayat, 2005).

Labioskisis merupakan
kongenital yang berupa adanya
kelainan bentuk pada struktur
wajah (Ngastiah, 2005).

Bibir sumbing adalah


malformasi yang disebabkan
oleh gagalnya propsuesus nasal
median dan maksilaris untuk
menyatu selama perkembangan
embriotik. (Donna L Wong,
2003)

2. Klasifikasi
Beberapa jenis bibir sumbing :
a. Unilateral Incomplete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan tidak memanjang
hingga ke hidung
b. Unilateral Complete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan memanjang hingga ke
hidung.
2
c. Bilateral Complete
Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.

3. Anatomi Fisiologi

Mulut
Batas- batas mulut :
Atas : Palatum durum dan molle
Bawah : Mandibula, lidah dan struktur lain pada mulut
Lateral : Pipi
Depan : Bibir
Belakang : Lubang menuju faring

Palatum durum dibentuk oleh sebagian aksila di bagian depan dan os palatinum di
bagian belakang. Tulang dilapisi oleh periosteum dan membrana mukosa. Palatum
molle, dibentuk oleh otot dan jaringan ikat yang dilapisi membrana mukosa,

3
bersambungan dengan palatum durum di bagian depan. Sedangkan gusi merupakan
bagian mulut yang merupakan tempat melekatnya gigi dan syaraf-syaraf.

4. Penyebab
a. Faktor Herediter
1) Sebagai faktor yang sudah dipastikan.
2) Gilarsi, 75% dari faktor keturunan resesif dan 25% bersifat dominan.
3) Mutasi gen
4) Kelainan kromosom
b. Faktor Eksternal
1) Faktor usia ibu
2) Obat-obatan. Asetosal, Aspirin (SCHARDEIN-1985) Rifampisin, Fenasetin,
Sulfonamid, Aminoglikosid, Indometasin, Asam Flufetamat, Ibuprofen,
Penisilamin, Antineoplastik, Kortikosteroid
3) Nutrisi
4) Penyakit infeksi Sifilis, virus rubella
5) Radiasi
6) Stres emosional
7) Trauma pada trimester pertama.

5. Patofisiologi
Patofisiologinya antara lain:
a. Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama fase
embrio pada trimester I.
b. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nosal medial dan
maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu.
c. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu.
d. penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan

6. Tanda dan Gejala


a. Deformitas pada bibir
b. Kesukaran dalam menghisap/makan
c. Kelainan susunan archumdentis.
4
d. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
e. Gangguan komunikasi verbal
f. Regurgitasi makanan.
g. Pada Labioskisis
1) Distorsi pada hidung
2) Tampak sebagian atau keduanya
3) Adanya celah pada bibir
h. Pada Palatoskisis
1) Tampak ada celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan faramen incisive.
2) Ada rongga pada hidung
3) Distorsi hidung
4) Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksadn jari
5) Kesukaran dalam menghisap/makan.

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan prabedah rutin (misalnya hitung darah lengkap)
b. Pemeriksaan Diagnosis
1) Foto Rontgen
2) Pemeriksaan fisik
3) MRI untuk evaluasi abnormal

8. Komplikasi
1) Kesulitan berbicara – hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Dengan adanya celah
pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran sehingga suara yang keluar
menjadi sengau.
2) Maloklusi – pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan tulang alveol, alveol
ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan didaerah celah sering terjadi
erupsi.
3) Masalah pendengaran – otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya celah pada
paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya dapat terjadi otitis media
rekurens sekunder.
4) Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek menghisap dan
menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
5
5) Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong secara dini,
akan mengakibatkan distress pernafasan.
6) Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan palatum dapat
mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh, sehingga
kuman – kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran pernafasan.
7) Pertumbuhan dan perkembangan terlambat. Dengan adanya celah pada bibir dan
palatum dapat menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan terganggu.
Akibatnya bayi menjadi kekurangan nutrisi sehingga menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bayi.
8) Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung “ alar cartilago ” dan kurangnya
penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan asimetris wajah.
9) Penyakit peri odontal. Gigi permanen yang bersebelahan dengan celah yang tidak
mencukupi di dalam tulang. Sepanjang permukaan akar di dekat aspek distal dan
medial insisiv pertama dapat menyebabkan terjadinya penyakit peri odontal.
10) Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali paroksimallnya menonjol dan lebih
rendah posterior premaxillary yang colaps medialnya dapat menyebabkan terjadinya
crosbite.
11) Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir dan palatum serta
terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga diri da citra tubuh.

9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan bibir sumbing adalah tindakan bedah efektif yang melibatkan
beberapa disiplin ilmu untuk penanganan selanjutnya. Adanya kemajuan teknik
bedah, orbodantis, dokter anak, dokter THT, serta hasil akhir tindakan koreksi
kosmetik dan fungsional menjadi lebih baik. Tergantung dari berat ringan yang ada,
maka tindakan bedah maupun ortidentik dilakukan secara bertahap.
Biasanya penutupan celah bibir melalui pembedahan dilakukan bila bayi
tersebut telah berumur 1-2 bulan. Setelah memperlihatkan penambahan berat badan
yang memuaskan dan bebas dari infeksi induk, saluran nafas atau sistemis.
Perbedaan asal ini dapat diperbaiki kembali pada usia 4-5 tahun. Pada
kebanyakan kasus, pembedahan pada hidung hendaknya ditunda hingga mencapi usia
pubertas.

6
Karena celah-celah pada langit-langit mempunyai ukuran, bentuk danderajat
cerat yang cukup besar, maka pada saat pembedahan, perbaikan harus disesuaikan
bagi masing-masing penderita.
Waktu optimal untuk melakukan pembedahan langit-langit bervariasi yaitu dari
6 bulan – 5 tahun. Jika perbaikan pembedahan tertunda hingga berumur 3 tahun, maka
sebuah balon bicara dapat dilekatkan pada bagian belakang geligi maksila sehingga
kontraksi otot-otot faring dan velfaring dapat menyebabkan jaringan-jaringan
bersentuhan dengan balon tadi untuk menghasilkan penutup nasoporing. Operasi
dilakukan dengan beberapa tahap, sebagai berikut :
Penjelasan kepada orangtuanya
1) Umur 3 bulan (rule over ten) : Operasi bibir dan hidung, evaluasi telinga.
2) Umur 10-12 bulan : Qperasi palato/celah langit-langit, evaluasi
pendengaran dan telinga.
3) Umur 1-4 tahun : Evaluasi bicara, speech theraphist setelah 3
bulan pasca operasi.
4) Umur 4 tahun : Dipertimbangkan repalatoraphy
atau/dan Pharyngoplasty.
5) Umur 6 tahun : Evaluasi gigi dan rahang, evaluasi pendengaran.
6) Umur 9-10 tahun : Alveolar bone graft (penambahan tulang pada
celah gusi)
7) Umur 12-13 tahun : Final touch, perbaikan-perbaikan
bila diperlukan.
8) Umur 17 tahun : Evaluasi tulang-tulang muka.

b. Penatalaksanaan Kebidanan
1) Perawatan Pra-Operasi:
Fasilitas penyesuaian yang positif dari orangtua terhadap bayi.
a) Bantu orangtua dalam mengatasi reaksi berduka
b) Dorong orangtua untuk mengekspresikan perasaannya.
c) Diskusikan tentang pembedahan.
d) Berikan informasi yang membangkitkan harapan dan perasaan yang positif
e) Tunjukkan sikap penerimaan terhadap bayi.
f) Berikan dan kuatkan informasi pada orangtua tentang prognosis dan
pengobatan bayi.
7
Tahap-tahap intervensi bedah
a) Teknik pemberian makan.
b) Penyebab devitasi.
c) Tingkatkan dan pertahankan asupan dan nutrisi yang adequate.

Fasilitasi menyusui dengan ASI dengan botol atau dot yang cocok:
a) Monitor atau mengobservasi kemampuan menelan dan menghisap.
b) Tempatkan bayi pada posisi yang tegak dan arahkan aliran susu ke dinding
mulut.
c) Arahkan cairan ke sebalah dalam gusi di dekat lidah.
d) Sendawakan bayi dengan sering selama pemberian makan.
e) Kaji respon bayi terhadap pemberian susu.
f) Akhiri pemberian susu dengan air.

Tingkatkan dan pertahankan kepatenan jalan nafas:


a) Pantau status pernafasan.
b) Posisikan bayi miring kekanan dengan sedikit ditinggikan.
c) Letakkan selalu alat penghisap di dekat bayi
2) Perawatan Pasca-Operasi
Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adequate:
a) Berikan makan cair selama 3 minggu mempergunakan alat penetes atau
sendok.
b) Lanjutkan dengan makanan formula sesuai toleransi.
c) Lanjutkan dengan diet lunak.
d) Sendawakan bayi selama pemberian makanan.

Tingkatkan penyembuhan dan pertahankan integritas daerah insisi anak:


a) Bersihkan garis sutura dengan hati-hati.
b) Oleskan salep antibiotik pada garis sutura (Keiloskisis).
c) Bilas mulut dengan air sebelum dan sesudah pemberian makan.
d) Hindari memasukkan obyek ke dalam mulut anak sesudah pemberian
makan untuk mencegah terjadinya aspirasi.
e) Pantau tanda-tanda infeksi pada tempat operasi dan secara sistemik.
f) Pantau tingkat nyeri pada bayi dan perlunya obat pereda nyeri.
g) Perhatikan pendarahan, edema, drainage.
8
h) Monitor keutuhan jaringan kulit.
i) Perhatikan posisi jahitan, hindari jangan kontak dengan alat-alat tidak
steril, misal alat tensi.

9
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC

Syaifuddin, H. 2006. Anatomi fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika

Nelson. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta : EGC

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Wong, Dona L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC

100

Anda mungkin juga menyukai