Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS CERPEN "PEREMPUAN SINTING DI DAPUR" DENGAN

TEORI FEMINISME

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Cerpen merupakan satu diantara bentuk dari ekspresi karya sastra yang mampu
membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi dan memberi pandangan lain
terhadap kehidupan di masyarakat. Karya sastra senantiasa menarik untuk dikaji,
terlebih lagi cerpen. Cerpen adalah kepanjangan dari cerita pendek. Untuk
mengetahui isinya, pembaca tidak perlu membutuhkan waktu yang lama karenan isi
dan alur atau konflik dalam cerpen cukup sederhana. Kesederhanaan cerpen
menjadikan ketertarikan sendiri pada pembaca.
Satu diantara agenda kemanusiaan yang mendesak untuk segera digarap
adalah mewujudkan kesetaraan dalam sistem hubungan laki-laki dan perempuan
dalam masyarakat. Hal ini perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena
selama ini peran perempuan masih jauh tertinggal di belakang laki-laki.
Ketertinggalan itu tidak dikehendaki oleh perempuan, tetapi disisi yang lain masih
banyak di antara kaum perempuan sendiri yang tidak merasa bahwa dirinya
tertinggal. Bangsa Indonesia memiliki norma-norma sebagai filter kehidupan.

Seperti halnya norma susila yang melekat di masyarakat yang menjadi benteng
moral manusia. Contohnya poligami, poligami dianggap tabu oleh segelintir orang di
Indonesia khususnya perempuan, karena perempuan menganggap dirinya korban
masalah ini.
Ketabuan ini membuat penulis tergugah dalam hal keadaan yang ada di
masyarakat ini. Oleh karena itu penulis memilih cerpen Perempuan Sinting di Dapur
Karya Ugoran Prasad yang masuk dalam cerpen terbaik kompas ini. Penulis mencoba
mengungkap pandangan lelaki terhadap perempuan yang menganggap perempuan
tidak melebihi fungsi lelaki. Fenomena ini menjadi acuan penulis untuk mengaji lebih
jauh.

2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana prasangka gender dalam cerpen Perempuan Sinting di
Dapur Karya Ugoran Prasad.
b. Bagaimanakah bentuk ketidak adilan gender dalam dalam cerpen
Perempuan Sinting di Dapur Karya Ugoran Prasad.
3. Tujuan Masalah
a. Mendeskripsikan adanya prasangka gender dalam cerpen Perempuan
Sinting di Dapur Karya Ugoran Prasad.
b. Mendeskripsikan bentuk ketidakadilan gender dalam cerpen
Perempuan Sinting di Dapur Karya Ugoran Prasad.
B. LANDASAN TEORI

1. Teori Kritik Sastra Feminisme

Moelino, 1996 (dalam Ibnu, dkk, 2008) feminisme berarti gerakan wanita
yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara wanita dan pria. Goefe, 1986
(dalam Ibnu, dkk, 2008) memperkuat bahwa feminisme adalah teori tentang
persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial atau
kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.

Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang
lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Kritik
sastra feminisme merupakan aliran baru dalam sosiologi sastra. Lahirnya bersamaan
dengan kesadaran perempuan akan haknya. Inti tujuan feminisme adalah
meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan
kedudukan serta derajat laki-laki.

Adapun kritik sastra feminisme yang berkembang di masyarakat diantaranya adalah:


a. Kritik Ideologis

Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai
pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe seorang
wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita
dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris
diabaikan.

b. Kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita (Ginokritik)

Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya
penulisan, tema, genre, dan struktur penulis wanita. Di samping itu, dikaji juga
kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai suatu perkumpulan, serta
perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita.

c. Kritik sastra feminis sosialis

Kritik ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu
kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum
wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.

d. Kritik sastra feminis-psikoanalistik

Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya
bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau
menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada
umumnya merupakan cermin penciptanya.

e. Kritik feminis lesbian

Jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam kritik ini masih
sangat terbatas karena beberapa faktor, yaitu kaum feminis kurang menyukai
kelompok wanita homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal wanita yang menulis
lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi
lesbianisme, kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya
tujuan kritik sastra feminis-lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu
definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian pengkritik sastra lesbian akan
menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks
karyanya.

f. Kritik feminis ras atau etnik

Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan
karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisional dan sastra
feminis.Kajian sastra feminis mempunyai tiga fokus. Pertama, menggali, mengkaji
serta menilai karya penulis-penulis perempuan dari masa silam. Dan yang kedua
mengkaji karya-karya tersebut dengan pendekatan feminis. Ketiga, pengkritik sastra
feminis terutama berhasrat mengetahui bagaimana cara menerapkan penilaian estetik,
di mana letak nilai estetiknya serta apakah nilai estetik yang telah dilakukan sungguh-
sungguh sah. Singkatnya menilai tolok ukur yang digunakan untuk menentukan cara-
cara penilaian lama. Berdasarkan ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apa
yang dikehendaki pengkritik sastra feminis adalah hak yang sama untuk
mengungkapkan makna-makna baru yang mungkin berbeda dari teks-teks lama.

Kaum feminis memperjuangkan hak-hak perempuan di semua aspek


kehidupan dengan tujuan agar kaum perempuan mendapatkan kedudukan yang
sederajat dengan kaum laki-laki.

C. PEMBAHASAN
Teori sastra feminis, yaitu teori yang berhubungan dengan gerakan perempuan,
adalah salah satu aliran yang banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan
studi kultural. Sastra feminis berakar dari pemahaman mengenai inferioritas
perempuan. Konsep kunci feminis adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan
laki-laki. Teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai
manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.
Feminis merupakan teori yang mempelajari masalah-masalah kewanitaan
yang mensejajarkan dan memperjuangkan kesetaraan serta hak-hak antara wanita
dengan laki-laki. merupakan label generik untuk perspektif atau kelompok teori yang
mengeksploitasi makna konsep-konsep gender.
Feminis lahir sebagai akibat dari pertentangan kaum wanita terhadap ide-ide
patriakal yang mengukung kebebasan mereka dalam berekspresi dan melakukan
aktivitas sosial. Gerakan feminis ini pada awalnya menuntut persamaan hak antara
perempuan dan laki-laki terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan pendidikan,
ekonomi dan politik. Perkembangan ide-ide feminis ini lambat laun mulai
berkembang dan merambah dunia kesusastraan, di mana penulis wanita kemudian
mulai menambahkan ide-ide feminis dan pengalaman pribadinya ke dalam karya-
karya yang mereka buat.
Feminis tidak selalu dilambangkan anarkis seperti yang diberitakan dalam
media-media pertelevisian kita, karena pada dasarnya ide-ide feminis itu sendiri lahir
sebagai perlawanan terhadap kedudukan perempuan yang hanya meliputi persoalan-
persoalan domestik dalam rumah tangga. Namun, tidak dipungkiri jika memang
terdapat beberapa aktivis feminis yang lebih beraliran keras, sehingga cenderung
bersifat sebagai pembangkang terhadap kodrad kaumnya.
Gerakan feminis memang mengidentifikasikan pergerakan emansipasi
wanita, namun pergerakan ini tidak semata-mata hanya didukung oleh kaum wanita
saja. Terdapat beberapa tokoh penulis pria yang dipercaya turut mendukung
perkembangan ide-ide feminis yang semakin lama semakin menyebar ke segala aspek
kehidupan. Di Indonesia saja misalnya, beberapa tokoh kritikus sastra beranggapan
bahwa Pramudya Ananta Toer berupaya untuk menyalurkan ide-ide feminis dalam
karya-karya yang dihasilkannya. Penulis wanita penjadi pemengang peranan utama
dalam perkembangan feminisme tehadap kaumnya.
Terkadang mereka tidak hanya bicara mengenai perjuangan wanita, tetapi
juga mengenai aspek-aspek seksualitas. Feminisme dalam teori kesusastraan tidak
hanya bertujuaan untuk melihat bagaimana ketidakadilan gender terjadi dalam
kehidupan sehari-hari kita. Terdapat beberapa pendekatan yang melihat bagaimana
hubungan antara penulis wanita dengan karya-karyanya, pembaca, dan pengalaman
pribadi yang terpresentasi dalam karya sastranya. Berikut kita akan melihat beberapa
teori sastra yang bisa diaplikasikan dalam penganalisisan karya sastra.

SIPNOSIS
Cerpen ini menceritakan tentang seorang perempuan tua bernama Mak Saodah
yang bekerja sebagai penjual makanan di kampungnya. Makanan yang dimasaknya
amatlah enak hingga semua orang rajin datang ke warungnya meski cara
memasaknya sangat misterius dan secara pribadi Saodah bukan orang yang
menyenangkan. Hingga pada suatu hari seorang pemuka kampung bernama Wak Haji
Mail yang hendak menjelang ajal ingin bertemu dengan Saodah sebelum hembusan
nafas terakhirnya. Istri pertamanya, Wak Misnah, menyuruh tokoh “aku” untuk
menemui Saodah dan menyampaikan pesannya, tapi Saodah menolak. Dari anak
Saodah yang bernama Aminah, tokoh “aku” mendapatkan keterangan bahwa wak
Haji Mail pernah memfitnah suami Saodah yang menyebabkan ia terusir dari
kampung dan mati dalam keadaan hina. Namun sebelum meninggal, Wak Haji mail
berpesan lagi untuk meminta Saodah memasak makanan yang akan dibagikan ketika
tahlilan. Saodah menyanggupi dan pada saat Saodah memasak itulah tokoh “aku”
menemukan fakta bahwa selama masak, Saodah meludahi bahan makanan dan
mengencingi panci masakan.
ANALISIS

Karya sastra diklasifikasikan ke dalam beberapa kajian, diantaranya yaitu:


kajian struktural semiotik, kajian sosiologi sastra, kajian resepsi sastra, dan kajian
feminisme. Disini menulis lebih membahas tentang teori feminism. Cerpen yang
dianalisis adalah cerpen “Perempuan Sinting di Dapur” karya Ugoran Prasad masuk
ke dalam Cerpen Kompas Pilihan 2008. Pandangan penulis cerpen ini terhadap realita
seorang perempuan yang berjuang mengangkat drajatnya tanpa bergantung pada
sosok laki-laki seperti yang tertuang dalam cerpen ini menjadi bahan yang menarik
bagi penulis untuk mengaji dari sudut feminisme.

1. Kritik Feminisme dalam cerpen Perempuan Sinting di Dapur


Prasangka gender dalam cerpen Perempuan Sinting di Dapur karya Ugoran
Prasad
Ketika mendengar kata perempuan, maka dibenaka kita akan terlintas kata-
kata seperti; lembut, cantik, lemah, manja, penurut dan seterusnya. Bagi masyarakat
pada umumnya, konsep ini dimaklumi sebagai sesuatu yang kodrati bagi seorang
perempuan. Kaum esensialis pun seperti para pemuka agama dan masyarakat turut
mendukung bahwa atribut-atribut yang melengkat dalam konsep seorang perempuan
adalah sesuatu yang kodrati atau alamiah dikarenakan factor biologis sebagai
perempuan itu sendiri.
Dapur adalah ruang yang lekat dengan perempuan, sesuai dengan konsep
patriarki, hal-hal yang bersifat domestic identik dengan kelompok perempuan, satu
diantaranya dapur. Di dapur , perempuan memiliki kekuasaan lebih besar terutama
perempuan pedesaan, dapur adalah ruang perempuan untuk berektifitas dalam
keseharian . perempuan-perempuan desa didalam cerita ini lekat terlihat pada nam-
nama tokoh seperti Wak Misnah, Amnah, dan Mak Saodah yang menjadi kajian tulis
ini.
Dapur atau pawon dalam budaya Jawa merupakan representasi dari tata
kehidupan sehari-hari masyarakatJawa, baik dari tata letaknya, fungsinya, dan isinya.
Pawon atau dapur tradisional juga menegaskan adanya dskriminasi seks dalam
pembagian keja. Penegasan semacam ini secara eksplisit seharusnya cukup untuk
menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang
dilakukan wanita di sektor domestic dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif
dan menepatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Hal ini yang terjadi di Negara dunia
pertama (bukan bekas koloni), misalnya Amerika: budaya Amerika yang
materealistis, mengukur segala sesuatu dari materi, individualis sangat mendukung
keberhasilan kenyamanan hak kewajiban laki-laki dan perempuan. Wanita-wanita
tergiring keluar rumah, berkarir dengan bebasdan tidak bergantung kepada lagi pada
pria. Para feminis banyak mengkritik kegiatan didapur ini bakal memerangkap
perempuan dalam penjara domestic.
Tapi bagi sebagian perempua lainnya, dapur justru menjadi ruang ekspresi sekaligus
sarana membangun citra diri.
Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa bagi sebagian perempuan, dapur
merupakan tempat ekspresi untuk menumpahkan seluruh perasaan dan pikirannya.
Hal itu juga yang terjadi para diri Mak Saodah. Bagaimana dia menumpahkan segala
dendam dan kemurkaannya kepada Wak Haji Mail dan seluruh warga kampung
dengan masakannya yang sudah dicampr dengan ludah dan air kecingnya. Secara
tersurat hal tersebut nampak dalam kutipan sebagai berikut.
Mak Saodah sedang mengangkat kainnya tinggi-tinggi, melewati lutut, lalu
berdiri setengah jongkok mengangkangi salah satu panci yang isinya mulai mendidih.
Raut wajahnya, gabungan yang ganjil antara mengejan dan kebencian, mengerikan.
Sedetik kemudian, dari tempatnya berdiri, ku dengar suara desing yang akrab dan
gemercik air jatuh kepanci. Mak Saodah meludah lagi ke panci, sekali.
Desing dan gemercik itu belum selesai ketika mata Mak Saodah menusuk
tajam, menatapku. (Prasad, 2008:5)
Hal-hal tersebut di atas dengan jelas membedakan antara peran laki-lakidan
perempuan. Lelaki sebagai breed winner dan perempusn sebagai home maker, telah
mengemukakan perbedaan konsep mendasar antara keduanya. Pelajaran membaca
pun dikala kita sekolah dasar telah menjadi saksi dari segregasi gender ini. Kalimat-
kalimat Ayah pergi ke kantor dan Ibu memasak di dapur secara tidak langsung
menginternalisasi dalam alam pemikiran masyarakat. Hal ini pula yang dikemukakan
Wak Misnah kepada tokoh “Aku” dalam petuah lamanya setelah tahlilan Wak Haji
Mail yang merupakan akhir dari cerita ini.
Hal tersebut tampak dalam kutipan sebagai berikut.
”Jika hendak kau pahami semuanya, ingat-ingat saja tindak-tanduk uwakmu, Haji
Ismail almarhum.” Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah.
Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur. ”Itulah kenapa kalian tak pernah
paham. Jangan pula kau kira kau lebih pandai dari bibimu ini. Mati kuracun kau
nanti.”
Hidup diracun, menurutku, lebih ngeri. (Prasad, 2008:5)

1. Bentuk Ketidakadilan gender dalam cerpen Perempuan Sinting di Dapur


karya Ugoran Prasad
Dari judulnya “Perempuan Sinting di Dapur” karya Ugoran Prasad sudah
tersirat pandangan lelaki pada perempuan, bahwa sistem kultural patriarki mendoktrin
perempuan identik dengan dapur atau sebaliknya. Telihat juga penulis cerpen ini yang
bertindak menulis dengan kacamata lelaki terhadap perempuan menggambarkan
perempuan yang termarginalkan.
Dalam cerita ini, sang suami sudah meninggal dunia. Tetapi, yang dikatakan
dengan “memasak sebaik mungkin” dalam cerita ini bukan hanya tertuju pada
memasak sebaik mungkin yang sebenarnya. Akan tetapi, pada sebuah peristiwa Mak
Saodah memasak dengan mencampurkan ludah dan air kencingnya ke masakannya,
dan itulah yang menurut Mak Saodah disebut dengan memasak sebaik mungkin bagi
orang-orang yang telah menzalimi suaminya. Sehingga bentuk bakti istri kepada
suaminya di sini bukan memasak untuk suami, tetapi “memasak dengan baik” untuk
orang-orang yang menyebabkan suaminya meninggal.

Terkait dengan perilaku absurb Mak Saodah yang meludahi dan mengencingi
bahan makanan yang dimasaknya untuk warga kampung, hal ini semata-mata
merupakan sebuah kritik bahwa kekuataan perempuan terletak pada kelemahannya.
Pekerjaan memasak di dapur yang dianggap oleh laki-laki sebagai sesuatu yang
sepele, diasosiasikan sebagai tugas perempuan yang tidak membutuhkan kerja fisik.
Tokoh Saodah menyadari hal ini dan memanfaatkan keahliannya untuk memasak itu
untuk bertahan hidup. Sedangkan perilaku absurdnya itu dijadikan Saodah sebagai
sarana balas dendamnya kepada masyarakat yang telah memfitnah dan mengusir
suaminya dulu. Ini bukan keinginan normal Saodah atau perempuan pada umumnya,
melainkan masyarakatnya sendirilah yang telah membentuknya.

Saodah pun melakukan protes dengan selalu memasak untuk orang banyak
tanpa dibantu oleh siapapun. Secara eksplisit, Saodah ingin menunjukan bahwa
seorang perempuan yang tak bersuami lagi bukanlah makhluk lemah. Ia dapat
menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya dengan tanpa bantuan orang lain.
Ketidakramahan tanpa senyum Saodah pun dianggap sebagai penghancuran konsep
janda genit yang mengemis belas kasihan laki-laki untuk menyambung hidup. Saodah
mendapatkan nafkah murni dengan keringatnya sendiri. Menjual makanan yang
disukai semua orang meski ia tidak pernah ramah atau senyum mengerling kepada
lelaki. Hal tersebut tampak dalam kutipan sebagai berikut.

Semua orang tahu betapa keras Mak Saodah. Keras menghadapi pelanggannya,
keras menjaga rahasia dapurnya. Bertahun-tahun membuka warung makan di
kampung itu, tak membuatnya pandai beramah tamah. Para pelanggan memanggilnya
Mak Galak, tetap kembali ke warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya
sulit disaingi. Aku mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun
kulihat ia tersenyum. Tidak juga kepada Haji Mail atau orang-orang terpandang di
kampung ini. Bocah-bocah kampung kami menjulukinya Nenek Sihir Hutan
Larangan karena bila malam datang ia selalu menggerai rambutnya yang panjang dan
membuat sosoknya semakin mengerikan. (Prasad, 2008:2)

Ungkapan “wanita dijajah pria sejak dulu. Namun ada kala pria berlutut di
kerling wanita” seakan tergambar jelas dalam cerita ini pula. Saodah, seperti yang
sudah dijelaskan, suaminya terusir dari kampung karena difitnah murtad. Lalu,
apakah yang akan terjadi jika Mak Saodah tidak pintar memasak? Kemungkinan
besar ia juga akan diusir dari kampung atau bunuh diri karena mendapat cercaan dari
warga kampung. Bahkan dengan keahliannya ini, Wak Haji Mail yang semasa
hidupnya adalah pelaku utama pengusiran suami Saodah, dengan baik hati
menyantuni Saodah dan kelima orang anak Saodah, hanya karena terpukau oleh
masakannya yang enak. Hal tersebut tampak dalam kutipan sebagai berikut.
Sekalipun Wak Haji Mail mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua
orang kampung tahu kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di sayur
dan lauk masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik, Wak Haji
Mail mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai
bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan kelima
anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas istri
keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin. (Prasad, 2008:1)

Lebih jauh lagi, masyarakat ternyata tidak peduli dengan sikap misterius dan
kekurangramahan Mak Saodah, mereka hanya berurusan dengan masakan Saodah
yang terkenal enak. Keputusan Ugoran Prasad untuk menyajikan sesuatu yang
ekstrim dengan masakan yang enak ternyata mengandung air ludah dan kencing ini,
adalah wujud sebuah shock therapy bagi masyarakat tentang konsep seorang
perempuan. Seperti masakan Saodah, yang orang tahu hanyalah jika masakan itu
enak, bukan apa yang terkandung atau yang membuatnya menjadi enak. Dengan kata
lain, seorang perempuan bukan atas dirinya sendiri ia dipandang. Melainkan hanya
kecantikannya, kepintaran memasak, kepatuhan terhadap suami, atau kerajinannya
dalam merawat rumah saja.
“Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah. Laki-laki
sinting di jalan, perempuan di dapur. ”Itulah kenapa kalian tak pernah paham. Jangan
pula kau kira kau lebih pandai dari bibimu ini. Mati kuracun kau nanti.”
Maksud dari istilah-istilah tersebut tentulah bukanlah “sinting” dalam arti
yang sebenarnya, tetapi istilah laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur adalah
lebih pada batasan wilayah eksistensi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang
berkewajiban untuk mencari nafkah tentu lebih banyak menghabiskan waktunya di
luar rumah atau di jalan. Sedangkan perempuan bertugas mengurusi rumah tangga
sehingga kegiatan perempuan lebih banyak dihabiskan di dapur.

Pernyataan itu secara implisif menjadi sebuah kritik bagi konsep perbedaan
gender laki-laki dan perempuan. Para lelaki selalu menganggap peranannya lebih
dengan bekerja di luar rumah mencari nafkah. Mereka merasa lebih “hebat” dari
perempuan yang kerjanya hanya di rumah. Celakanya, masyarakat terus mendoktrin
bahwa mereka lemah, jadi mereka tak akan dapat hidup tanpa adanya suami. Padahal
pekerjaan perempuan di rumah itu tidak semudah yang dibayangkan lelaki. Judul
cerpen ini Perempuan Sinting di Dapur telah mengisyaratkan pesan ini. Tidak hanya
sebatas makna perempuan yang memasak dengan tambahan air liur dan kencing saja,
namun ada pula makna bahwa peranan perempuan tidak kalah penting dari lelaki
meski hanya berada di rumah. Selama lelaki masih menggunakan sudut pandang
falosentrisme, konsep kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan tak akan pernah
terwujud.
KESIMPULAN

Berdasarkan tinjauan feminisme cerpen “Perempuan Sinting di Dapur” karya


UgoranPrasad, menunjukkan 2 hal yaitu prasangka gender dan ketidakadilan gender.
2 hal trsebut sangat mendominasi dan menjadi kecenderungan dalam cerpen ini.
Tidak bisa dihindarkan bahwa memang cerpen ini merupakan satu diantara cerpen
yang beraliran feminisme.
Terlepas dari kekurangan yang ada, yaitu ketidakkonsistenan perasaan tokoh
Mak Saodah yang membenci Wak Haji Mail tetapi mau menerima uang pemberian
serta bantuan Wak Haji Mail, cerpen ini memiliki gambaran yang sangat gamblang
tentang peranan perempuan dan laki-laki tanpa keberpihakan pada satu sisi dan
mendeskriditkan sisi yang lain. Cerpen ini juga begitu jelas memberikan informasi
kepada kita tentang batasan tempat untuk berekspresi bagi laki-laki dan perempuan
serta batasan tempat yang dirahasiakan atau yang tidak dalam sebuah bangunan yang
disebut rumah. Secara keseluruhan cerpen ini mengangkat tema realitas sosial yang
berkembang di tengah masyarakat dengan ketragisan hidup yang cukup sering terjadi.
Pernyataan dalam masyarakat patriarkat perempuan dimasukkan ke dalam
lingkungan yang terbatas (mengurus rumah tangga/dapur) sedangkan laki-laki
menguasai lingkungan dan kehidupan di luar rumah ternyata tidak selamanya bisa
dibuktikan secara fasih. Terbukti dalam cerpen Perempuan Sinting di Dapur karya
Ugoran Prasad ini tokoh Saodah menjadi tokoh profeminis yang secara tersirat
menepis pernyataan masyarakat bahwa perempuan tidak sejajar dengan laki-laki dan
selalu jadi penurut jika diperintah oleh laki-laki. Tapi, Saodah bisa menghidupi
keluarganya dengan memasak dan dia tegar tanpa sosok seorang laki-laki (suaminya).
DAFTAR PUSTAKA
Bimbie. 2013. Sastra Feminis-Feminisme dalam Karya Sastra.
http://www.bimbie.com/sastra-feminis.htm Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013
13.00 WIB.
Prasad, Ugoran. 2008. Perempuan Sinting di Dapur.
http://cerpenkompas.wordpress.com/2008/01/02/perempuan-sinting-di-dapur/
Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013 13.00 WIB.
Ratna, Nyoman Khuta. 2005. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti. 2002. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai