Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TEORI FEMINISME
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Cerpen merupakan satu diantara bentuk dari ekspresi karya sastra yang mampu
membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi dan memberi pandangan lain
terhadap kehidupan di masyarakat. Karya sastra senantiasa menarik untuk dikaji,
terlebih lagi cerpen. Cerpen adalah kepanjangan dari cerita pendek. Untuk
mengetahui isinya, pembaca tidak perlu membutuhkan waktu yang lama karenan isi
dan alur atau konflik dalam cerpen cukup sederhana. Kesederhanaan cerpen
menjadikan ketertarikan sendiri pada pembaca.
Satu diantara agenda kemanusiaan yang mendesak untuk segera digarap
adalah mewujudkan kesetaraan dalam sistem hubungan laki-laki dan perempuan
dalam masyarakat. Hal ini perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena
selama ini peran perempuan masih jauh tertinggal di belakang laki-laki.
Ketertinggalan itu tidak dikehendaki oleh perempuan, tetapi disisi yang lain masih
banyak di antara kaum perempuan sendiri yang tidak merasa bahwa dirinya
tertinggal. Bangsa Indonesia memiliki norma-norma sebagai filter kehidupan.
Seperti halnya norma susila yang melekat di masyarakat yang menjadi benteng
moral manusia. Contohnya poligami, poligami dianggap tabu oleh segelintir orang di
Indonesia khususnya perempuan, karena perempuan menganggap dirinya korban
masalah ini.
Ketabuan ini membuat penulis tergugah dalam hal keadaan yang ada di
masyarakat ini. Oleh karena itu penulis memilih cerpen Perempuan Sinting di Dapur
Karya Ugoran Prasad yang masuk dalam cerpen terbaik kompas ini. Penulis mencoba
mengungkap pandangan lelaki terhadap perempuan yang menganggap perempuan
tidak melebihi fungsi lelaki. Fenomena ini menjadi acuan penulis untuk mengaji lebih
jauh.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana prasangka gender dalam cerpen Perempuan Sinting di
Dapur Karya Ugoran Prasad.
b. Bagaimanakah bentuk ketidak adilan gender dalam dalam cerpen
Perempuan Sinting di Dapur Karya Ugoran Prasad.
3. Tujuan Masalah
a. Mendeskripsikan adanya prasangka gender dalam cerpen Perempuan
Sinting di Dapur Karya Ugoran Prasad.
b. Mendeskripsikan bentuk ketidakadilan gender dalam cerpen
Perempuan Sinting di Dapur Karya Ugoran Prasad.
B. LANDASAN TEORI
Moelino, 1996 (dalam Ibnu, dkk, 2008) feminisme berarti gerakan wanita
yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara wanita dan pria. Goefe, 1986
(dalam Ibnu, dkk, 2008) memperkuat bahwa feminisme adalah teori tentang
persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial atau
kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang
lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Kritik
sastra feminisme merupakan aliran baru dalam sosiologi sastra. Lahirnya bersamaan
dengan kesadaran perempuan akan haknya. Inti tujuan feminisme adalah
meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan
kedudukan serta derajat laki-laki.
Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai
pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe seorang
wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita
dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris
diabaikan.
Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya
penulisan, tema, genre, dan struktur penulis wanita. Di samping itu, dikaji juga
kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai suatu perkumpulan, serta
perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita.
Kritik ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu
kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum
wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya
bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau
menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada
umumnya merupakan cermin penciptanya.
Jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam kritik ini masih
sangat terbatas karena beberapa faktor, yaitu kaum feminis kurang menyukai
kelompok wanita homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal wanita yang menulis
lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi
lesbianisme, kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya
tujuan kritik sastra feminis-lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu
definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian pengkritik sastra lesbian akan
menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks
karyanya.
Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan
karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisional dan sastra
feminis.Kajian sastra feminis mempunyai tiga fokus. Pertama, menggali, mengkaji
serta menilai karya penulis-penulis perempuan dari masa silam. Dan yang kedua
mengkaji karya-karya tersebut dengan pendekatan feminis. Ketiga, pengkritik sastra
feminis terutama berhasrat mengetahui bagaimana cara menerapkan penilaian estetik,
di mana letak nilai estetiknya serta apakah nilai estetik yang telah dilakukan sungguh-
sungguh sah. Singkatnya menilai tolok ukur yang digunakan untuk menentukan cara-
cara penilaian lama. Berdasarkan ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apa
yang dikehendaki pengkritik sastra feminis adalah hak yang sama untuk
mengungkapkan makna-makna baru yang mungkin berbeda dari teks-teks lama.
C. PEMBAHASAN
Teori sastra feminis, yaitu teori yang berhubungan dengan gerakan perempuan,
adalah salah satu aliran yang banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan
studi kultural. Sastra feminis berakar dari pemahaman mengenai inferioritas
perempuan. Konsep kunci feminis adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan
laki-laki. Teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai
manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.
Feminis merupakan teori yang mempelajari masalah-masalah kewanitaan
yang mensejajarkan dan memperjuangkan kesetaraan serta hak-hak antara wanita
dengan laki-laki. merupakan label generik untuk perspektif atau kelompok teori yang
mengeksploitasi makna konsep-konsep gender.
Feminis lahir sebagai akibat dari pertentangan kaum wanita terhadap ide-ide
patriakal yang mengukung kebebasan mereka dalam berekspresi dan melakukan
aktivitas sosial. Gerakan feminis ini pada awalnya menuntut persamaan hak antara
perempuan dan laki-laki terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan pendidikan,
ekonomi dan politik. Perkembangan ide-ide feminis ini lambat laun mulai
berkembang dan merambah dunia kesusastraan, di mana penulis wanita kemudian
mulai menambahkan ide-ide feminis dan pengalaman pribadinya ke dalam karya-
karya yang mereka buat.
Feminis tidak selalu dilambangkan anarkis seperti yang diberitakan dalam
media-media pertelevisian kita, karena pada dasarnya ide-ide feminis itu sendiri lahir
sebagai perlawanan terhadap kedudukan perempuan yang hanya meliputi persoalan-
persoalan domestik dalam rumah tangga. Namun, tidak dipungkiri jika memang
terdapat beberapa aktivis feminis yang lebih beraliran keras, sehingga cenderung
bersifat sebagai pembangkang terhadap kodrad kaumnya.
Gerakan feminis memang mengidentifikasikan pergerakan emansipasi
wanita, namun pergerakan ini tidak semata-mata hanya didukung oleh kaum wanita
saja. Terdapat beberapa tokoh penulis pria yang dipercaya turut mendukung
perkembangan ide-ide feminis yang semakin lama semakin menyebar ke segala aspek
kehidupan. Di Indonesia saja misalnya, beberapa tokoh kritikus sastra beranggapan
bahwa Pramudya Ananta Toer berupaya untuk menyalurkan ide-ide feminis dalam
karya-karya yang dihasilkannya. Penulis wanita penjadi pemengang peranan utama
dalam perkembangan feminisme tehadap kaumnya.
Terkadang mereka tidak hanya bicara mengenai perjuangan wanita, tetapi
juga mengenai aspek-aspek seksualitas. Feminisme dalam teori kesusastraan tidak
hanya bertujuaan untuk melihat bagaimana ketidakadilan gender terjadi dalam
kehidupan sehari-hari kita. Terdapat beberapa pendekatan yang melihat bagaimana
hubungan antara penulis wanita dengan karya-karyanya, pembaca, dan pengalaman
pribadi yang terpresentasi dalam karya sastranya. Berikut kita akan melihat beberapa
teori sastra yang bisa diaplikasikan dalam penganalisisan karya sastra.
SIPNOSIS
Cerpen ini menceritakan tentang seorang perempuan tua bernama Mak Saodah
yang bekerja sebagai penjual makanan di kampungnya. Makanan yang dimasaknya
amatlah enak hingga semua orang rajin datang ke warungnya meski cara
memasaknya sangat misterius dan secara pribadi Saodah bukan orang yang
menyenangkan. Hingga pada suatu hari seorang pemuka kampung bernama Wak Haji
Mail yang hendak menjelang ajal ingin bertemu dengan Saodah sebelum hembusan
nafas terakhirnya. Istri pertamanya, Wak Misnah, menyuruh tokoh “aku” untuk
menemui Saodah dan menyampaikan pesannya, tapi Saodah menolak. Dari anak
Saodah yang bernama Aminah, tokoh “aku” mendapatkan keterangan bahwa wak
Haji Mail pernah memfitnah suami Saodah yang menyebabkan ia terusir dari
kampung dan mati dalam keadaan hina. Namun sebelum meninggal, Wak Haji mail
berpesan lagi untuk meminta Saodah memasak makanan yang akan dibagikan ketika
tahlilan. Saodah menyanggupi dan pada saat Saodah memasak itulah tokoh “aku”
menemukan fakta bahwa selama masak, Saodah meludahi bahan makanan dan
mengencingi panci masakan.
ANALISIS
Terkait dengan perilaku absurb Mak Saodah yang meludahi dan mengencingi
bahan makanan yang dimasaknya untuk warga kampung, hal ini semata-mata
merupakan sebuah kritik bahwa kekuataan perempuan terletak pada kelemahannya.
Pekerjaan memasak di dapur yang dianggap oleh laki-laki sebagai sesuatu yang
sepele, diasosiasikan sebagai tugas perempuan yang tidak membutuhkan kerja fisik.
Tokoh Saodah menyadari hal ini dan memanfaatkan keahliannya untuk memasak itu
untuk bertahan hidup. Sedangkan perilaku absurdnya itu dijadikan Saodah sebagai
sarana balas dendamnya kepada masyarakat yang telah memfitnah dan mengusir
suaminya dulu. Ini bukan keinginan normal Saodah atau perempuan pada umumnya,
melainkan masyarakatnya sendirilah yang telah membentuknya.
Saodah pun melakukan protes dengan selalu memasak untuk orang banyak
tanpa dibantu oleh siapapun. Secara eksplisit, Saodah ingin menunjukan bahwa
seorang perempuan yang tak bersuami lagi bukanlah makhluk lemah. Ia dapat
menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya dengan tanpa bantuan orang lain.
Ketidakramahan tanpa senyum Saodah pun dianggap sebagai penghancuran konsep
janda genit yang mengemis belas kasihan laki-laki untuk menyambung hidup. Saodah
mendapatkan nafkah murni dengan keringatnya sendiri. Menjual makanan yang
disukai semua orang meski ia tidak pernah ramah atau senyum mengerling kepada
lelaki. Hal tersebut tampak dalam kutipan sebagai berikut.
Semua orang tahu betapa keras Mak Saodah. Keras menghadapi pelanggannya,
keras menjaga rahasia dapurnya. Bertahun-tahun membuka warung makan di
kampung itu, tak membuatnya pandai beramah tamah. Para pelanggan memanggilnya
Mak Galak, tetap kembali ke warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya
sulit disaingi. Aku mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun
kulihat ia tersenyum. Tidak juga kepada Haji Mail atau orang-orang terpandang di
kampung ini. Bocah-bocah kampung kami menjulukinya Nenek Sihir Hutan
Larangan karena bila malam datang ia selalu menggerai rambutnya yang panjang dan
membuat sosoknya semakin mengerikan. (Prasad, 2008:2)
Ungkapan “wanita dijajah pria sejak dulu. Namun ada kala pria berlutut di
kerling wanita” seakan tergambar jelas dalam cerita ini pula. Saodah, seperti yang
sudah dijelaskan, suaminya terusir dari kampung karena difitnah murtad. Lalu,
apakah yang akan terjadi jika Mak Saodah tidak pintar memasak? Kemungkinan
besar ia juga akan diusir dari kampung atau bunuh diri karena mendapat cercaan dari
warga kampung. Bahkan dengan keahliannya ini, Wak Haji Mail yang semasa
hidupnya adalah pelaku utama pengusiran suami Saodah, dengan baik hati
menyantuni Saodah dan kelima orang anak Saodah, hanya karena terpukau oleh
masakannya yang enak. Hal tersebut tampak dalam kutipan sebagai berikut.
Sekalipun Wak Haji Mail mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua
orang kampung tahu kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di sayur
dan lauk masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik, Wak Haji
Mail mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai
bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan kelima
anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas istri
keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin. (Prasad, 2008:1)
Lebih jauh lagi, masyarakat ternyata tidak peduli dengan sikap misterius dan
kekurangramahan Mak Saodah, mereka hanya berurusan dengan masakan Saodah
yang terkenal enak. Keputusan Ugoran Prasad untuk menyajikan sesuatu yang
ekstrim dengan masakan yang enak ternyata mengandung air ludah dan kencing ini,
adalah wujud sebuah shock therapy bagi masyarakat tentang konsep seorang
perempuan. Seperti masakan Saodah, yang orang tahu hanyalah jika masakan itu
enak, bukan apa yang terkandung atau yang membuatnya menjadi enak. Dengan kata
lain, seorang perempuan bukan atas dirinya sendiri ia dipandang. Melainkan hanya
kecantikannya, kepintaran memasak, kepatuhan terhadap suami, atau kerajinannya
dalam merawat rumah saja.
“Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah. Laki-laki
sinting di jalan, perempuan di dapur. ”Itulah kenapa kalian tak pernah paham. Jangan
pula kau kira kau lebih pandai dari bibimu ini. Mati kuracun kau nanti.”
Maksud dari istilah-istilah tersebut tentulah bukanlah “sinting” dalam arti
yang sebenarnya, tetapi istilah laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur adalah
lebih pada batasan wilayah eksistensi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang
berkewajiban untuk mencari nafkah tentu lebih banyak menghabiskan waktunya di
luar rumah atau di jalan. Sedangkan perempuan bertugas mengurusi rumah tangga
sehingga kegiatan perempuan lebih banyak dihabiskan di dapur.
Pernyataan itu secara implisif menjadi sebuah kritik bagi konsep perbedaan
gender laki-laki dan perempuan. Para lelaki selalu menganggap peranannya lebih
dengan bekerja di luar rumah mencari nafkah. Mereka merasa lebih “hebat” dari
perempuan yang kerjanya hanya di rumah. Celakanya, masyarakat terus mendoktrin
bahwa mereka lemah, jadi mereka tak akan dapat hidup tanpa adanya suami. Padahal
pekerjaan perempuan di rumah itu tidak semudah yang dibayangkan lelaki. Judul
cerpen ini Perempuan Sinting di Dapur telah mengisyaratkan pesan ini. Tidak hanya
sebatas makna perempuan yang memasak dengan tambahan air liur dan kencing saja,
namun ada pula makna bahwa peranan perempuan tidak kalah penting dari lelaki
meski hanya berada di rumah. Selama lelaki masih menggunakan sudut pandang
falosentrisme, konsep kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan tak akan pernah
terwujud.
KESIMPULAN