Anda di halaman 1dari 10

LEMBAGA PENDIDIKAN PESANTREN

FAWZUL ARIFIN
ka_fawzul@yahoo.com

PENDAHULUAN

Dewasa ini banyak tumbuh dan berkembang lembaga pendidikan di


Indonesia, mulai dari pendidikan umum, vokasi, dan keagamaan. Pendidikan
keagamaan (Islam) secara lebih rinci memuat berbagai lembaga seperti
pesantren, majelis taklim, diniyah diniyah dan lainnya. Kalau kita telusuri lebih
mendalam lagi, lembaga pendidikan pesantren memiliki berbagai macam
versi dan tipologi salafiyah dan khalafiyah. Namun pembagian tersebut hanya
berdasar pada metode dan kurikulum yang digunakan oleh masing-masing
pengelola pesantren, pada umumnya tujuan dari lembaga tersebut adalah
mencerdaskan anak bangsa.

Lembaga pesantren akhir-akhir ini mulai menjadi perbincangan


dikalangan elit politik seperti pemberlakukan kurikulum 2013 oleh Mendikbud
(M. Nuh) yang mana dalam kurikulum tersebut ruhnya diambil dari sistem
pendidikan pesantren. kemudian Mendikbud terbaru (Muhajir Effendy)
mewacanakan full day school yang sudah lama diterapkan oleh lembaga
pendidikan pesantren dan bahkan lebih jauh lagi lembaga pendidikan
pesantren sudah menjadi sebuah pilihan utama (prioritas) bagi masyarakat
umum dalam memilih lembaga pendidikan bukan lagi menjadi sebuah
alternatif.

Secara tegang Ki Hadjar Dewantara dalam sebuah tulisannya


menegaskan bahwa lembaga pendidikan pesantren disebut sebagai sistem
pendidikan yang ideal bagi pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan
sistem sekolah umum yang ada (Dewantara, 1928), dan merupakan warisan
budaya yang memiliki keaslian Indonesia (Madjid, 1997: 3)

DEFINISI PESANTREN

Secara terminologi, kata pesantren terdiri dari kata “santri” yang


mendapatkan awalan “pe” dan akhiran “an”, ini mempunyai makna “tempat
tinggal santri”. Ini mempunyai makna bahwa pesantren adalah tempat tinggal

1
para santri yang sedang menuntut ilmu. Dalam bahasa Arab disebut dengan
kata “funduq” yang berarti asrama atau hotel (Dhofier, 2011: 41).

Secara etimologi, Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan


Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau
secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya (PP RI No. 55 tahun 2007).

Definisi lain mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan


keagamaan Islam berbasis masyarakat baik sebagai santuan pendidikan
dan/atau sebagai wadah penyelenggara pendidikan (PMA No. 3 tahun 2012).

Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah penulis simpulkan bahwa


pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis
masyarakat sebagai satuan pendidikan atau sebagai wadah
penyelenggaraan pendidikan dengan sistem asrama.

Jelaslah pengertian di atas, bahwa pesantren bukan hanya saja sebagai


satuan pendidikan, tetapi juga sebagai wadah penyelenggara satuan
pendidikan, dan dilaksanakan dengan sistem asrama yang berarti peserta
didik (santri) tinggal di asrama (pondok) selama mereka menempuh
pendidikan di pesantren. pendidikan yang diselenggarakan di pesantren
adalah pendidikan diniyah (keagamaan) baik di tingkat ‘ula, wustha dan ‘ulya.
Atau dapat pula pendidikan umum (SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi),
pendidikan umum dengan muatan agama (MI, MTs, MA dan Perguruan
Tinggi Agama).

ASAL-USUL TERMINOLOGI PESANTREN

Manfred Ziemek berpendapat bahwa kata pesantren terdiri dari kata asal
“santri” dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang menunjukan makna
tempat, sehingga berarti “tempat para santri”, terkadang pula ikatan kata
“sant” (manusia baik) dihubungkan dengan suku kata “tra” (suka menolong),
sehingga kata pesantren dapat berarti “tempat pendidikan manusia baik”.
Lebih lanjut Clifford Geertz dalam Ziemek berpendapat bahwa kata santri
diturunkan dari bahasa Sansekerta dari kata “shastri” yang mempunyai
makna ilmuwan Hindu yang pandai menulis (Ziemek, 1986: 99).

Senada dengan pendapat Ziemek, Zamakhsyari Dhofier berpendapat


bahwa pesantren merupakan tempat tinggal para santri. Kemudian Jhons
dalam Dhofier berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil
yang berarti guru mengaji, sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa kata
santri berasal dari istilah “shastri” yang dalam bahasa Hindia berarti orang

2
yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci
Agama Hindu. Kata “shastri” berasal dari kata “shastra” yang berarti buku-
buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan
(Dhofier, 2011: 41).

Menurut Nurcholis Madjid, terdapat dua pendapat yang bisa dijadikan


acuan dalam menelusuri asal-usul kata “santri”. Pertama, bahwa kata “santri”
berasal dari kata “sastri” yang berasal dari bahasa Sansekerta yang
mempunyai makna “melek huruf”. Hal ini disebabkan karena mereka (santri)
mempunyai pengetahuan tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan
dengan menggunakan bahasa Arab dan dapat diasumsikan bahwa menjadi
seorang santri berarti menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab tersebut). Atau
paling tidak, seorang santri bisa membaca al-Qur’an yang dengan sendirinya
membawa kepada sikap serius dalam memandang agamanya. Kedua,
bahwa perkataan santri berasal dari bahasa Jawa yakni “cantrik” yang berarti
seseorang yang mengikuti guru kemanapun guru menetap, tentunya dengan
tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian (Madjid, 1997: 19-20).

Kedua pendapat ini ada hubungannya dengan kehidupan santri. Seperti


yang dijelaskan di atas, pendapat yang mengatakan bahwa santri berarti
“melek huruf”, mempunyai hubungan yang erat bahwa setiap santri yang
belajar di pesantren, ia dituntut untuk belajar membaca, menulis dan
memahami teks-teks kitab yang menggunakan bahasa arab, dan wajar pula
golongan ini disebut sebagai golongan yang “melek huruf” (bisa baca dan
tulis).

Kemudian pendapat kedua, yang mengatakan bahwa santri adalah orang


yang mengikuti guru kemanapun ia menetap dengan tujuan untuk belajar dari
guru tersebut. Ada benarnya bahwa seorang santri harus pergi jauh
meninggalkan kampung halamannya hanya untuk belajar dan mencari ilmu
kepada seorang guru (kyai), pada masa dahulu masih banyak dijumpai
santri-santri pengembara yang sudah menjadi tokoh terkenal, seperti KH.
Wahab Chasbulloh, KH. Hasyim Asy’ari, dan sederet tokoh lainnya, yang
mana mereka berusaha mencari ilmu kemanapun gurunya berada, setelah
dirasa cukup menyerap ilmu yang diberikan guru, kemudian mereka
mengembara lagi dan belajar kepada guru lainnya yang ilmunya lebih tinggi.

Dari beberapa pendapat para pakar di atas, kata yang lebih dekat
dengan pesantren adalah kata shastri yang berasal dari India, yang berarti
“melek huruf”, “buku suci” atau “buku-buku agama”. Orang yang disebut
santri adalah orang yang menjadi tahu agama lantaran belajar tentang
agama melalui kitab-kitab yang berbahasa Arab, atau dapat pula santri
adalah orang yang mempunyai ilmu yang mendalam tentang agama.

3
ELEMEN-ELEMEN PESANTREN

Sebagai sebuah lembaga keagamaan Islam berbasis masyarakat,


pesantren memiliki beberapa elemen yang membedakannya dengan
lembaga lain. Elemen-elemen tersebut seperti pondok, masjid, pengajaran
kitab Islam klasik (kitab kuning), santri dan kyai.

1. Pondok

Pondok berasal dari kata “funduq” merupakan bahasa Arab yang


mempunyai makna asrama, wisma atau hotel, tempat tinggal yang
sederhana.

Pondok, asrama bagi santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren


yang membedakan dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid
yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain.
Sistem pendidikan Surau di Minangkabau atau Dayah di Aceh pada
dasarnya sama dengan sistem pondok, yang membedakan hanya nama
(Dhofier, 2011: 81).

Pada zaman dahulu, pondok tempat tinggal santri terbuat dari kayu,
sangat sederhana, seperti gubuk-gubuk di pedesaan. Tetapi saat ini,
pesantren sudah banyak memiliki gedung-gedung asrama yang rapih,
nyaman dan dapat menampung banyak santri, tidak lagi menggunakan
pondokan pada masa dahulu.

Ada beberapa alasan mengapa pesantren menyediakan asrama bagi


santrinya. Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman
pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri datang dari tempat
yang jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan
dalam waktu yang lama, para santri meninggalkan kampungnya dan
menetap bersama kyai dalam waktu yang lama. Kedua, hampir
kebanyakan pesantren berada di desa-desa, yang mana tidak dijumpai
kos-kosan seperti di kota yang cukup untuk menampung santri, dengan
demikian perlu adanya asrama khusus tempat tinggal santri. Ketiga, ada
sikap timbal balik antara kyai dan santri. Dimana seorang santri
menganggap kyai seolah bapaknya sendiri dan sebaliknya, sang kyai
menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa
dilindungi. Sehingga sang kyai merasa mempunyai tanggung jawab untuk
menyediakan asrama bagi tempat tinggal santri, sedangkan santri
berusaha mengabdikan dirinya unuk kepentingan pesantren.

4
2. Masjid

Keberadaan masjid sangat penting dalam sebuah pesantren, selain


sebagai sarana ibadah, masjid juga digunakan untuk tempat mendidik
para santri. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam
pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan
tradisional sejak zaman Nabi. Lembaga pesantren menjaga terus tradisi
ini hingga sekarang.

Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren,


biasanya yang dilakukan pertama adalah mendirikan masjid di dekat
rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang
telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren
(Dhofier, 2011: 85-86).

3. Pengajaran Kitab Kuning (Kitab Islam Klasik)

Kitab kuning merupakan kitab-kitab keagamaan yang berbahasa Arab,


sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (al-salaf) yang
ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad XVII Masehi.

Secara lebih rinci, yang termasuk kitab kuning adalah kitab-kitab yang
(1) ditulis oleh ulama-ulama luar/asing (non Indonesia), tetapi secara
turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama
Indonesia, (2) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang
independen, dan (3) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau
terjemahan atas kitab karya ulama luar/asing (non Indonesia) (Mochtar,
2009: 32-33).

Dalam tradisi intelektual Islam, dikenal dua istilah dalam menyebut


karya ilmiah berdasarkan kurun dan formatnya. Pertama, kutub al-
qadimah (kitab-kitab klasik). Kedua, kutub al-‘ashriyyah (kitab-kitab
modern). Perbedaan keduanya, dilihat dari cara penulisan yang tidak
mengenal tanda baca dan kesan bahasanya yang berat, klasik dan tanpa
syakl (harokat). Kategori pertama ini disebut dengan kitab kuning.

Ditinjau dari formatnya, kitab kuning terbagi menjadi dua bagian.


Pertama, disebut matan, teks asal (inti) yang terletak di bagian pinggir
kanan. Kedua, syarah (komentar, penjelasan matan) yang terletak di
tengah dan biasanya syarah lebih banyak daripada matan.

5
Metode yang digunakan dalam pengajaran kitab kuning pada
umumnya terbagi menjadi dua. Pertama, yakni metode sorogan, dimana
seorang santri membacakan dihadapan kyai dan kyai menyaksikan
keabsahan bacaan santri baik dari segi konteks makna maupun bahasa
(nahwu dan shorof). Kedua, metode bandongan, santri mendengarkan
bacaan dan penjelasan dari kyai sambil memberi catatan pada kitabnya,
catatan itu dapat berupa syakl maupun makna (Direktorat PD Pontren,
2011: 63).

4. Santri

Santri merupakan elemen penting dalam sebuah pesantren. Santri


datang dari kampung-kampungnya untuk belajar dan mendalami ilmu dari
seorang kyai dan tinggal menetap di pesantren.

Terdapat dua macam santri dalam kehidupan di pesantren. pertama,


santri mukim, yakni santri yang menetap di pesantren. santri yang lama
tinggal di pesantren biasanya santri yang memiliki tanggung jawab
kepentingan pesantren sehari-hari, seperti mengajar santri muda tentang
kitab-kitab dasar dan menengah. Kedua, santri kalong, yaitu santri yang
berasal dari desa-desa sekitar pesantren dan biasanya tidak menetap
dalam pesantren. untuk mengikuti pelajar di pesantren, mereka pulang-
pergi dari rumah ke pesantren (Dhofier, 2011: 88-89).

5. Kyai

Kyai merupakan elemen dalam suatu pesantren. ia seringkali


merupakan pendirinya, sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan pesantren
semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya.

Menurut asal-usulnya, kata “kyai” dipakai untuk ketiga jenis gelar yang
berbeda, antara lain:

a. Gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat,


seperti “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas
yang ada di keraton Yogyakarta.

b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.

6
c. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama
Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan
mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.

Istilah yang terakhir itulah (poin c) yang dipakai dalam keseharian


pesantren dewasa ini (Dhofier, 2011: 93).

TIPOLOGI PESANTREN

Secara umum, pesantren di Indonesia dapat digolongkan ke dalam dua


macam tipe. Tipe pertama yakni pesantren salafiyah, adalah merupakan
lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama yang terdiri dari beberapa
unsur yaitu pengasuh (kyai, abuya, encik, ajengan, tuan guru) sebagai figur
utama, santri, masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya, dalam rangka
memahami, menghayati ajaran-ajaran Islam (tafaquh fi al-din) melalui
pelajaran al-Qur’an, Hadis, serta kitab-kitab kuning dengan metode sorogan
(individu), bandongan atau wetonan (kolektif) serta mudzakaroh (diskusi),
agar tercapai sublimasi antara kecerdasan keilmuan Islam dan kecerdasan
transenden (moral etik) (Direktorat PD Pontren, 2009: 19). Satu hal yang
menarik dari pesantren salafiyah adalah tidak mengenalnya sistem kelas
dalam kegiatan belajar mengajar. Materi yang diajarkan hanya materi
keagamaan dari kitab-kitab kuning dan tidak ada pelajaran umum. Serta
penggunaan metode belajar sorogan, bandongan atau wetonan dan
mudzakaroh.

Sedangkan pesantren tipe kedua yakni pesantren khalafiyah, yakni


pesantren yang mengadopsi sistem madrasah atau sekolah, dengan
menggunakan kurikulum yang disesuaikan dengan kurikulum pemerintah,
baik Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan Nasional.
Pesantren tipe ini biasanya menyelenggarakan kegiatan pendidikan jalur
sekolah, baik sekolah umum (SD, SMP, SMA dan SMK), maupun sekolah
berciri khas agama Islam (MI, MTs, MA dan MAK). Bahkan beberapa
pesantren telah menyelenggarakan pendidikan tinggi. Kegiatan pembelajaran
di pesantren ini dilaksanakan secara klasikal dan berjenjang. Metode yang
digunakan sudah adaptif atau telah mengadopsi metode-metode baru, seperti
Tanya jawab, diskusi, karya wisata, hafalan, sosiodrama, widyawisata,
problem solving, pemberian situasi, pembiasaan, dramatisasi, reinforcement,
stimulus-respon dan sistem modul (Suparta, 2009: 88).

7
Selain kedua tipe di atas, sejak tahun 1970-an, banyak bentuk pesantren
yang mulai bermunculan dan dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

a. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan


menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah
keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun juga yang
memiliki sekolah umum (SD, SMP, SMA dan PT Umum), seperti
pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren Syafi’iyyah Jakarta.

b. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam


bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak
menerapkan kurikulum nasional, seperti Pesantren Gontor Ponorogo
dan Pesantren Darul Rahman Jakarta.

c. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk


Madrasah Diniyah, seperti Pesantren Lirboyo Kediri dan Pesantren
Tegalrejo Magelang.

d. Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (Suparta,


2005: 5).

Selain bentuk pesantren di atas, juga terdapat bentuk-bentuk lain yang


lebih beragam, antara lain sebagai berikut:

a. Pondok pesantren dimana para santri belajar dan bertempat tinggal di


asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang
berlangsung secara tradisional.

b. Pondok pesantren yang melaksanakan pengajaran secara klasikal


ditambah oleh kyai yang bersifat aplikatif dan diberikan pada waktu-
waktu tertentu, sementara para santri tinggal di asrama lingkungan
pondok pesantren.

c. Pondok pesantren yang hanya merupakan asrama, sedangkan para


santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) dan kyai
hanya pengawas dan pembina mental para santri.

d. Pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren


dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah (Suparta, 2009: 89).

8
PENUTUP

Lembaga pendidikan pesantren dengan berbagai macam bentuknya


secara umum mengembangkan pendidikan sesuai dengan ciri khas dan
karakteristik masing-masing pesantren. dan dari berbagai macam bentuk-
bentuk pesantren di atas, dapatlah menjadi sebuah bukti bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan berbasis masyarakat yang dibangun dari
masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk kepentingan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Dewantara, Ki Hadjar. “Sistim Pondok dan Asrama Itulah Sistim Nasional”,


Wasita, Jilid I No. 2, Nopember 1928, tanpa halaman.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan


Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. 2011.

Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Membumikan Nilai


Karakter Berbasis Pesantren: Belajar dari Best-Practice Pendidikan
Karakter Pesantren dan Kitab Kuning. Jakarta: Kementerian Agama,
2011.

Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Pedoman Pondok


Pesantren Salafiyah. Jakarta: Kementerian Agama, 2009.

Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:


Paramadina. 1997.

Mochtar, Affandi. Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren. Bekasi:


Pustaka Isfahan. 2009.

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang


Pendidikan Keagamaan Islam.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang


Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

9
Suparta, Mundzier. eds. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva
Pustaka. 2005.

Suparta, Mundzier. Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah


Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat. Jakarta: Asta Buana
Sejahtera. 2009.

Ziemek, Manfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial, terjemahan Butche B.


Soendjojo. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat. 1986.

10

Anda mungkin juga menyukai