UNTAD
PEMBIMBING :
dr. DIAH MUTIARASARI., MPH
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka kejadian ISPA pada balita di Kota Palu pada tahun 2014 mencapai
17.524 kasus. Wilayah Kerja Puskesmas Tipo, Menurut data UPTD Puskesmas
Tipo angka kejadian ISPA termasuk dalam 10 penyakit terbanyak di Puskesmas
Tipo tahun 2015 yaitu menempati urutan pertama, dengan jumlah kasus 1566
kasus. Kemudian mengalmi penurunan pada tahun 2016 1324 kasus ISPA. Pada
tahun 2017 hingga bulan agustus ditemukan 626 kasus ISPA. (Profil Puskesmas
Tipo, 2015)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
rumusan masalah yang akan diteliti yakni apakah terdapat hubungan Faktor resiko
Kejadian ISPA pada balita usia 0-59 bulan di Puskesmas Tipo Kota Palu Periode
Oktober 2017 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan BBLR, asi eksklusif dan status gizi
terhadap kejadian ISPA pada balita usia 0-59 bulan di Puskemas Tipo Tahun
2017.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat kejadian ISPA pada balita usia 0-59 bulan di
Puskesmas Tipo
b. Untuk mengetahui prevalensi berdasarkan usia yang mengalami ISPA
pada balita usia 0-59 bulan di Puskesmas Tipo.
c. Untuk mengetahui risiko BBLR terhadap kejadian ISPA pada balita usia
0-59 bulan di Puskesmas Tipo.
d. Untuk mengetahui hubungan pemberian asi eksklusif terhadap kejadian
ISPA pada balita usia 0-59 bulan di Puskesmas Tipo.
e. Untuk mengetahui hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA pada
balita usia 0-59 bulan di Puskesmas Tipo.
B. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap :
1. Manfaat bagi Dinas Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan dan
informasi untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas gizi pada ibu hamil
untuk mencegah terjadinya berat badan lahir rendah. Selain itu, manfaat lain
4
C. Keaslian Penelitian
1. Sadono (2008) meneliti tentang “Hubungan BBLR dan kelengkapan status
imunisasi sebagai faktor risiko infeksi saluran pernapasan akut pada bayi di
Kabupaten Blora”. Kesimpulannya bayi berat lahir rendah secara statistik
terbukti merupakan faktor risiko infeksi saluran pernafasan akut pada bayi.
Selain itu, ada kecenderungan semakin rendah berat lahir, maka frekuensi
ISPA semakin sering. Penelitian kelengkapan status imunisasi juga
merupakan salah satu faktor risiko ISPA. Bayi yang tidak mendapat imunisasi
sesuai dengan umurnya, maka mempunyai risiko menderita ISPA sebesar 2,6
kali.
2. Lebuan dan Somia (2014) meneliti tentang “ Faktor yang berhubungan
dengan infeksi saluran pernapasan akut pada siswa taman kanak-kanan di
kelularah dangin puri kecatan denpasar timur tahun 2014” Penelitian ini
menggunakan studi analitik cross-sectional. Sampel yang digunakan
berjumlah 165 orang yang diambil secara konsekutif pada lima taman kanak-
kanak di Kelurahan Dangin Puri Kecamatan Denpasar Timur. Hasil penelitian
menggunakan uji chi-square menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
status gizi ( p < 0,0001), paparan terhadap asap rokok (p < 0,0001), pola
pemberian ASI (p < 0,0001; dan kepadatan hunian (p < 0,0001) dengan
kejadian ISPA. Sedangkan status imunisasi dasar, berat, dan tingkat
pendidikan ibu tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan kejadian
ISPA. Prevalensi ISPA pada siswa taman kanak-kanak cukup tinggi (63%)
5
dan terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi, paparan asap rokok,
pola pemberian ASI, dan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada siswa
taman kanak-kanak.
3. Sukmawati dan Ayu (2013) meneliti tentang “ Hubungan status gizi, Berat
badan lahir, imunisasi dengan kejadian ispa pada balita di wilayah kerja
puskesmas Tunikamaseang kecamatan Bontoa kabupaten Maros. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan
kejadian ISPA pada balita dengan nilai p0,031, tidak ada hubungan bermakna
antara berat badan lahir (BBL) dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai
p0,636 dan ada hubungan bermakna antara imunisasi dengan kejadian ISPA
pada balita dengan nilai p0,026.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
b. Epidemiologi ISPA
Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode penyakit
batuk pilek pada balita di Indonesi diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-
rata 4 kali per tahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan
serangan batuk pilek sebanyak 3-6 kali setahun. Penyakit ISPA merupakan
25% penyebab kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang
dari dua bulan. Dari Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986
diketahui bahwa morbiditas pada bayi akibat ISPA sebesar 42,4% dan pada
balita sebesar 40,6%, sedangkan angka mortlitas pada bayi akibat ISPA
sebesar 25% dan pada balita sebesar 36% (Widoyono, 2015).
c. Etiologi ISPA
Dari studi mikrobiologik ditemukan penyebab utama bakteriologik
ISPA pada neonatus disebabkan oleh bakteri gram negatif yaitu Klebsiella
spp dan E coli, sedangkan penyebab bakteri gram positif seperti S
pneumoniae. Penyebab utama pada anak balita adalah Streptococcus
pneumoniae (30-50 % kasus) dan Hemophilus influenzae (10-30% )
(Mardjanis, 2014).
Penyebab utama ISPA pada anak pra-sekolah yang disebabkan oleh
virus, yaitu: Adenovirus dan Parainfluenza, sedangkan penyebab bakteri
7
d. Cara Penularan
1) Penularan melalui udara
Bila seseorang sakit batuk-pilek, saat dia batuk, bersin atau berbicara
bisa menularkan virus pada bayi dan anak (Yuli & Khasanah, 2013).
2) Menyentuh benda yang terkontaminasi virus
Virus dari orang yang sedang sakit dapat melekat di permukaan
benda dalam waktu 2 jam atau lebih. Pada bayi dan anak bisa tertular
bila menyentuh benda yang terkontaminasi tersebut (Yuli & Khasanah,
2013).
e. Patogenesis
Secara umum efek dari pencemaran udara terhadap saluran
pernapasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat
dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan
saluran pernapasan yang menyebabkan iritasi. Jika silia rusak maka
kotoran akan masuk ke dalam sistem pernapasan bersama dengan udara.
Sehingga menunjukkan bahwa tidak ada proses penyaringan sehingga
menimbulkan pada infeksi. Ketika virus atau bakteri masuk ke dalam
saluran pernapasan kemudian menempel pada saluran pernafasan
sehingga menimbulkan infeksi pada saluran pernafasan yang
mengakibatkan sekresi mucus meningkat dan mengakibatkan sesak nafas
dan batuk produktif (Media Informasi Kesehatan Indonesia, 2013)..
Ketika saluran pernafasan telah terinfeksi oleh virus dan bakteri
yang kemudian terjadi reaksi inflamasi yang ditandai dengan rubor dan
dolor yang mengakibatkan aliran darah meningkat pada daerah inflamasi
yang ditandai dengan kemerahan pada faring dan menyebabkan
timbulnya nyeri. Tanda inflamasi berikutnya adalah kalor, yang
mengakibatkan suhu tubuh meningkat. Tumor yakni adanya pembesaran
8
f. Prosedur Diagnostik
1) Anamnesis
Pasien balita biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah,
rewel, dan sesak nafas. Sedangkan pada anak kadang mengeluh sakit
kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
2) Manifestasi Klinik
a) ISPA ringan
Batuk
Rinorea
Demam subfebris
b) ISPA sedang
Tenggorokan berwarna merah
Febris
Timbul bercak merah pada kulit
Telinga terasa sakit
c) ISPA berat
Bibir atau kulit tampak sianosis
Kesadaran menurun
Anak tampak gelisah
Stridor
Tidak dapat minum
Kejang
(Ade, 2014).
3) Penatalaksanaan
a) Terapi non-farmakologi
Berikan minum lebih banyak untuk mengencerkan lendir
di tenggorokanya
Memposisikan bayi dengan posisi pronasi atau posisi
tengkurap dengan demikian sekret dapat mengalir dengan
lancer sehingga drainase secret akan lebih mudah.
b) Terapi farmakologi
9
4) Pemeriksaan Penunjang
Darah Perifer Lengkap
Pada pasien ISPA yang disebabkan oleh bakteri terjadi
leukositosis (15.000-40.000/mm³) dengan predominan
Polimorfonuklear (PMN). Kadang-kadang terjadi anemia dan
laju endapan darah (LED) menigkat.
Transiluminasi
Pemeriksaan ini menunjukan adanya perbedaan sinus kanan
dan kiri. Sinus yang sakit akan tampak lebih gelap.
Pemeriksaan radiologi
Foto posisi waters tampak adanya edema mukosa dan
cairan dalam sinus. Jika cairan tidak penuh akan tampak
gambaran air fluid level
(Rahajoe,2013).
2) Faktor eksternal
Kebiasaan merokok anggota keluarga di lingkungan balita tinggal.
Perilaku merokok orang tua adalah bahaya utama bagi anak.
Dalam studi kasus, disimpulkan bahwa anak dengan orang tua
perokok dalam satu tempat tinggal dapatberesiko 2 kali untuk
11
b. Etiologi BBLR
1. Persalinan kurang bulan / prematur
Bayi lahir pada umur kehamilan antara 28 minggu sampai 36
minggu. Pada umumnya byi kurang bulan disebabkan tidak
mampunya uterus menahan janin, gangguan selama kehamilan,
lepasnya plasenta lebih cepat dari waktunya atau rangsangan yang
memudahkan terjadinya kontraksi uterus sebelum cukup bulan. Bayi
lahir kurang bulan mempunyi organ dan alat tubuh yang belum
berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Semakin muda
umur kehamilan, fungsi organ tubuh semakin kurang sempurna dan
prognosisnya semakin kurang baik. Kelompok BBLR ini sering
13
c. Klasifikasi BBLR
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bila berat
badannya kurang dari 2500 gram. Sebelum tahun 1961, berdasarkan berat
badan saja, dianggap bayi prematur atau berdasarkan umur kehamilan,
yaitu kurang dari 37 minggu. Ternyata tidak semua bayi dengan berat
badan lahir rendah , bermasalah sebagai bayi prematur, tetapi terdapat
beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Berat badan lahir rendah, sesuai dengan umur kehamilannya,
menurut perhitungan hari pertama haid terakhir.
2. Bayi dengan ukuran kecil masa kehamilan (KMK) artinya bayi
yang berat badannya kurang dari persentil ke -10 dari berat
sesungguhnya yang harus dicapai menurut umur kehamilannya
3. Atau berat badan lahir rendah ini disebabkan oleh kombinasi
keduanya artinya :
a. Umur hamilnya belum waktunya untuk lahir.
b. Tumbuh kembang intrauteri, mengalami gangguan sehingga
terjadi kecil untuk masa kehamilannya
(Manuamba, 2015).
f. Manajemen BBLR
15
g. Komplikasi BBLR
1. Bayi Preterm
BBLR dapat menyebabkan kondisi ketidakmatangan secara
anatomi dan fisiologis sehingga dapat mengakibatkan asfiksia lahir
hipotermia, tertundanya adaptasi peredaran darah setelah kelahiran
dengan ditandai pulmonary hypertension, hipotensi sistemik, dan
tertunda penutupan foramen ovale. Vaskular yang imatur
menyebabkan pendarahan intraventrikuler dan retinopati. Pada
susunan kulit yang belum sempurna mengakibatkan ketidakmatangan
fungsi imun selular dan humoral (Sigh G.et. al., 2014).
2. Bayi Aterm
Pada bayi yang mengalami IUGR akan lebih meningkatkan
risiko komplikasi posterm dibandingkan dengan pertumbuhan
intrauterin yang memadai. Pada bayi aterm akan menimbulkan
masalah pernapasan misalnya asfiksia walaupun jauh lebih jarang
dibandingkan pada bayi preterm. Penyebab umumnya antara lain
sepsis dan pneumonia intrauterin, hipertensi pulmonal persisten pada
neonatus (Persistent pulmonary hypertension of the newborn),
sindrom aspirasi mekonium, dan pendarahan paru. Septikemia,
terutama akibat Steroptococus grup B merupakan penyebab gawat
napas tersering. Selain itu dapat pula terjadi hipotermia, infeksi
16
dari usus bayi yang baru lahir. Lebih banyak mengandung protein
dibanding ASI yang matang. Mengandung zat anti-infeksi 10-17 kali
lebih banyak dibanding ASI yang matang. Kadar karbohidrat dan lemak
rendah dibandingkan dengan ASI matang (Roesli dkk, 2015).
Sel BALT diduga bermigrasi dari daerah limfoid lain dan berperan
dalam respon terhadap antigen kuman yang terhirup. MALT merupakan
agregat jaringan limfoid yang berperan dalam pertahanan imun lokal dan
regional melalui kontak langsung dengan antigen asing. MALT salah
satunya terdapat pada mukosa saluran nafas yang akan mengawali respon
imun terhadap antigen yang terhirup (Mataram, 2014).
2) ASI Transisi/Peralihan
Air susu ibu yang dihasilkan mulai hari keempat sampai hari
kesepuluh. Kadar protein semakin berkurang, sedangkan kadar
karbohidrat dan lemak semakin meningkat (Roesli dkk, 2015)
Pada ASI 2 minggu pertama mengandung leukosit lebih dari 4000
sel/unit. Terdiri dari 3 macam sel yaitu Bronchial-Associated Lymphoid
Tissue (BALT) sebagai antibodi saluran pernapasan, Gut-associated
Lymphoid Tissue (GALT) sebagai antibodi saluran cerna, dan Mucosal-
Associated Lymphoid Tissue (MALT) sebagai antibodi mamae.
(Mataram, 2014).
3) ASI Matang (Matur)
Air susu ibu yang dihasilkan mulai hari kesepuluh sampai seterusnya.
ASI merupakan satu-satunya yang paling baik dan cukup untuk bayi
sampai umur 6 bulan. (Roesli dkk, 2015)
4. Status Gizi
a. Definisi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat gizi untuk mem-
21
B. KERANGKA TEORI
(ISPA)
Faktor Lingkungan
1. Kebiasaan Merokok
Pada Lingkungan Balita
Tinggal
Status Gizi 2. Ventilasi Rumah
3. Kepadatan Hunian
1. Protein 1. Lebih
2. Karbohidrat 2. Baik
3. Lemak 3. Kurang
Faktor Internal
4. Mineral 4. buruk
5. Air 1. Usia ibu hamil
6. vitamin 2. Jarak kelahiran
3. Status gizi ibu
4. Kadar Hb
Faktor External
1. Faktor lingkungan
2. Faktor ekonomi
3.
Keterangan Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian(Bambang et al, 2013; Behrman et al, 2014;
Rudolph, 2015;Santrock, 2015; Supryanto, 2013Yuli & Khasanah 2014;)
C. KERANGKA KONSEP
Berat Badan
Lahir Rendah
(BBLR) Infeksi Saluran
Asi Eksklusif Pernapasan Akut(ISPA)
Status Gizi
F. Landasan Teori
BBLR merupakan salah satu penyebab kematian yang cukup tinggi pada
neonatus. BBLR menyebabkan kematian sebesar 51% bayi di dunia. BBLR juga
merupakan penyebab utama dari morbiditas. ASI meningkatkan IgA pada mukosa
traktus respiratorius dan kelenjar saliva bayi pada 4 hari pertama kehidupan. Ini
disebabkan karena faktor dalam kolostrum yang merangsang perkembangan
sistem imun lokal bayi. Hal ini terlihat dari lebih rendahnya penyakit pernapasan
seperti pneumonia. (Mataram,2014)
G. Hipotesis
H0 : Tidak terdapat hubungan antara Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), ASI
Eksklusif dan Status Gizi dengan Kejadian Ispa pada anak usia 0-59 bulan
di Puskesmas Tipo pada 2 Oktober sampai 22 Oktober 2017
BAB III
METODE PENELITIAN
D. Sample Minimal
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus untuk besar populasi
yang tidak diketahui karena dalam hal ini peneliti tidak mengetahui besar populasi
yang akan diteliti. Rumusnya yaitu :
Z21 – α/2P(1 – P)
n=
d2
n = 96,4
Keterangan :
n = besar sampel
P = proporsi subyek dalam penelitian
Q = (1 – P) proporsi non subyek dalam populasi
d2 = presisi (nilaiabsolut)
Z21 – α/2 = tingkat kemaknaan yang diinginkan
3) Status Gizi adalah Keadaan gizi balita, yang diukur dengan BB/TB
berdasarkan indeks antropometri: BB (Kg) yang diukur dibandingkan
dengan TB (cm) dengan menggunakan grafik z-score.
Alat ukur : Pengisian grafik Z-Score
Skala ukur : Ordinal
Hasil Ukur : 1. Gizi Baik -2 sampai +2 SD
2. Gizi kurang < -2 SD
3. Gizi buruk < -3 SD
(Kemenkes, 2011)
b. Variabel Terikat
Pasien usia 0-59 bulan yang datang dengan keluhan umum ISPA seperti
demam, batuk, flu, sesak napas, dan telah di diagnosis ISPA di Puskesmas
Tipo Palu.
Alat ukur : Rekam medik
Skala ukur : Nominal
Hasil Ukur : 1. ISPA
2. Tidak ISPA
F. Alur Penelitian
Usulan judul
penelitian
31
G. Pengolahan Data
H. Analisis Data
32
f fh
2
O
Kuadrat yaitu 2
fh
Keterangan :
2 Kai Kuadrat
I. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memandang perlu adanya
rekomendasi dari pihak institusi dengan mengajukan :
1. Informed Consent (Lembar Persetujuan)
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memandang perlu adanya
rekomendasi dari pihak institusi dengan mengajukan permohonan izin kepada
instansi tempat penelitian dilaksanakan yang di keluarkan oleh Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako dan disetujui oleh
Kepala Puskesmas Tipo Palu.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
33
BAB IV
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tipo pada tanggal 2 Oktober 2017 -
20 Oktober 2017. Data yang diambil adalah data pasien balita yang datang
berobat ke Puskesmas Tipo pada tanggal 2 Oktober sampai 22 Oktober tahun
2017 yang berjumlah 96 orang. Pengambilan data dilakukan di bagian Rekam
Medis Puskesmas Tipo dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi
Peneliti kemudian melakukan pengambilan sampel dengan metode purposive
sampling. Analisis data dari hasil penelitian ini dilakukan dengan tiga cara yaitu
34
b. Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
Total 96 100.0
Sumber : Data Primer (Kuesioner)
Berdasarkan data di atas sebanyak 28 orang (29.2%) memiliki
berat lahir < 2500 gram dan sebanyak 68 orang (70.8%) dengan berat lahir
≥ 2500 gram.
d. Asi Eksklusif
Table 4.4 Distribusi ssampel berdasarkan Asi Eksklusif
Baik 33 34.4
Kurang 63 65.6
Buruk 0 0
Total 96 100
f. ISPA
Tabel 4.6 Distribusi sampel berdasarkan ISPA
ISPA Jumlah Persentase (%)
Ya 58 60.4
36
Tidak 38 39.6
Total 96 100.0
ISPA
Berat TOTAL P
value
Lahir ISPA Tidak ISPA
n % N % n %
ISPA dan 0 orang (0%) balita dengan berat lahir < 2500 gram tidak
menderita ISPA. Pada pasien yang memiliki berat lahir ≥ 2500 gram
sebanyak 30 orang (31.2%) menderita ISPA dan sebanyak 38 orang
(39.6%) balita dengan berat lahir ≥ 2500 gram tidak mengalami ISPA. Dari
data di atas terlihat bahwa pasien balita yang memiliki berat lahir ≥2500
gram lebih banyak mengalami ISPA daripada balita yang memiliki berat
lahir < 2500 gram. Hal ini juga didukung dengan uji statistik dimana nilai
p < nilai α yaitu 0,121, artinya H0 diterima dan H1 ditolak.
b. Hubungan Asi Eksklusif dengan Keladian ISPA
Tabel 4.8 Hubungan Asi Eksklusif dengan Keladian ISPA
ISPA
ASI TOTAL P
Eksklusif value
ISPA Tidak ISPA
n % N % n %
0,012
Asi 29 30,2 16 16,7 45 46,9
Tidak Asi 30 31.25 21 21,9 51 53,1
Hal ini juga didukung dengan uji statistik dimana nilai p < nilai α yaitu
0,012, artinya H0 ditolak dan H1 diterima.
c. Hubungan Status Gizi dengan Keladian ISPA
Tabel 4.9 Hubungan Status Gizi dengan Keladian ISPA
ISPA
Status TOTAL P
value
Gizi ISPA Tidak ISPA
n % N % n %
0,025
Baik 26 27.1% 7 7.3% 33 34.4%
B. Pembahasan
a. Berat Lahir
Berdasarkan data dari tabel 4.3 menurut distribusi berat lahir bayi di
Puskesmas Tipo Kota Palu bulan Oktober Tahun 2017 menunjukkan jumlah
39
bayi yang lahir dengan berat < 2500 gram sebanyak 28 orang (29,2%) dan
jumlah bayi yang lahir dengan berat ≥ 2500 gram sebanyak 68 orang (70,8%).
Dari data tabel 4.6 sebanyak 58 (60,4) bayi mengalami ISPA dan sebanyak 38
orang (39,6%) bayi tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil analisis bivariat
pada tabel 4.7 diketahui distribusi antara BBLR dan kejadian ISPA pada bayi.
Pada kelompok BBLR didapatkan 28 orang (29,2%) menderita ISPA dan 31
orang (81,57%) tidak menderita ISPA.
Untuk mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada
bayi dilakukan uji statistic menggunakan Lambda dan diperoleh nilai p 0,121
yang secara statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
BBLR dengan kejadian ISPA pada bayi usia 0-59 bulan yang terdiagnosis
ISPA di Puskesmas Tipo Tahun 2017. Oleh karena itu, hipotesis kerja (H1)
ditolak.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang sebelumnya
dilakukan oleh Ribka (2013) dan yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p
0,436. Hasil penelitian yang sama juga dikemukakan oleh Sukmawati dan Sri
(2014) bahwa tidak terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA
Pada balita dengan nilai p 0, 636. Hal ini diakibatkan karena ISPA memiliki
banyak faktor resiko lainnya seperti status gizi balita yang baik dan imunisasi
yang lengkap yang dapat memberi kekebalan kepada balita yang mengalami
BBLR.
Namun hasil penelitian yang berbeda didapatkan oleh Musdalifah
(2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara Berat Bayi Lahir
Rendah dengan kejadian ISPA. Sadono, et al (2011) menyimpulkan dari hasil
penelitian yang dilakukannya bahwa terdapat hubungan antara Berat Bayi
Lahir Rendah dengan kejadian ISPA.
Bayi berat lahir yang rendah dapat disebabkan oleh kelahiran prematur
atau retardasi pertumbuhan (Farrer, 2013). Bayi prematur adalah bayi lahir
pada umur kehamilan antara 28 minggu sampai 36 minggu. Pada umumnya
bayi kurang bulan disebabkan oleh ketidakmampuan uterus ibu dalam
menahan janin, gangguan selama kehamilan, lepasnya plasenta lebih cepat
40
Menurut Erlina (2008), upaya preventif pada kasus Berat Lahir Rendah
(BBLR) adalah langkah yang penting. Beberapa hal-hal yang dapat dilakukan
diantaranya adalah melakukan antenatal care secara berkala minimal empat
kali selama kehamilan. Ibu hamil yang diduga berisiko, terutama faktor risiko
yang mengarah melahirkan bayi BBLR harus cepat dilaporkan, dipantau dan
dirujuk pada institusi pelayanan kesehatan yang lebih mampu. Upaya lainnya
yang dapat dilakukan dalam menurunkan kasus BBLR adalah pemberian gizi
yang adekuat terhadap ibu hamil.
b. Asi Eksklusif
Berdasarkan data dari tabel 4.4 menurut distribusi Asi eksklusif di
Puskesmas Tipo Kota Palu bulan Oktober Tahun 2017 menunjukkan jumlah
bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif sebanyak 46 balita (47,9%) sedangkan
yang tidak mendapat ASI Eksklusif sebanyak 50 balita (52,0%). Dari data
tabel 4.6 sebanyak 58 (60,4%) orang balita mengalami ISPA dan sebanyak 38
orang (39,6%) balita tidak ISPA.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sugiharto (2012) bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap terjadinya ISPA dengan
diperoleh nilai p=0,000 dan mempunyai risiko 8 kali lebih besar untuk
menderita ISPA, dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa Air Susu Ibu merupakan
makanan terbaik dan utama bagi bayi karena di dalam ASI terkandung
antibodi yang diperlukan bayi untuk melawan penyakit-penyakit yang
menyerangnya. Pada dasar-nya ASI adalah imunisasi pertama karena ASI
mengandung bergbagai zat kekebalan antara lain immunoglobulin. (Umboh et
al,2013)
ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan
lain. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu
setidaknya selama 6 bulan, dan setelah 6 bulan bayi mulai diperkenalkan
dengan makanan padat. Sistem pertahanan tubuh balita akan berusaha
mempertahankan atau melawan benda asing yang masuk kedalam tubuh,
sistem pertahanan tubuh yang paling baik diperoleh dari ASI. Bayi yang
diberi ASI terbukti lebih kebal terhadap berbagai penyakit infeksi.
(Sugihartono & Nurjazuli,2012)
c. Status Gizi
Berdasarkan data dari tabel 4.5 menurut distribusi status gizi balita yang
di berobat jalan di puskesmas Tipo selama bulan oktober 2017 menunjukkan
bahwa jumlah balita dengan status gizi kurang sebanyak 63 orang (65,6%)
dan jumlah balita dengan status gizi baik sebanyak 33 orang (34,4%).).
Berdasarkan data dari tabel 4.6 menunjukkan jumlah pasien balita yang
menderita ISPA sebanyak 58 (60,4%) dan 38 orang (39,6%) balita tidak
menderita ISPA. Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 4.9 diketahui
distribusi antara status gizi dan kejadian ISPA pada balita di dapatkan 32
orang (33,3%) balita yang memiliki status gizi kurang menderita ISPA dan
sebanyak 31 (32,3%) balita yang memiliki status gizi kurang tidak menderita
ISPA.
Untuk mengetahui hubungan antara Status gizi dengan kejadian ISPA pada
balita dilakukan uji statistic menggunakan lambda dan diperoleh nilai p 0,025
( p < α ) yang secara statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita usia 0-59 bulan yang
berobat jalan di Puskesmas TIpo Palu tahun 2017. Oleh karena itu, hipotesis
kerja (H1) diterima.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan
oleh Athanasia dkk (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara
status gizi dengan kejadian ISPA. Sudan Yos (2013) menyimpulkan dari hasil
44
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
.
45
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ade, I.A, 2014, Hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian infeksi
saluran pernafasan akut pada anak balita di kabupaten wonosobo provinsi
jawa tengah, Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi
Epidemiologi, Vol.2, No.1, diakses 02 20 Oktober 2017.
Bambang, S., Setiani, O., Endah, N. 2013. Hubungan Paparan Pestisida Pada
Masa Kehamilan dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di
Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 12(1).
[diakses 23 Oktober 2017].
Cunningham, F.G., Leveno, J., Alexander, N.,Bloom, S.L., Casey B., Dashe, J.,
Sheffield, J., Yost, N. 2006. Obstetrics Williams Jilid 2 Edisi 22. EGC :
Jakarta.
47
Hadiana, S.Y., 2013. Hubungan Status Gizi terhadap terjadinya Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ispa) pada balita di Puskesmas Pajang Surakarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, pp. 3-12. 20
Oktober 2017. Dari [http://eprints.ums.ac.id/22566/9/NASKAH_ PUBLI-
KASI.pdf].
Hull, D., Johnston, D., 2008. Dasar-Dasar Pediatri edisi 3. EGC : Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI., 2013. Rencana Kerja Pembinaan Gizi tahun 2013 .
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
48
Kurniasari ,F.N., Surono,A., Pangastuti, R., 2015. Status Gizi Sebagai Prediktor
Kualitas Hidup Pasien Kanker Kepala Dan Leher. Indonesian Journal of
Human Nutrition, pp 61 – 68.
Manuamba, I.B.G. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. EGC : Jakarta.
Mataram, I.K. 2014. ‘Aspek Imunologi Air Susu Ibu’. Jurnal Ilmu Gizi, Vol.2,
No.1. Diakses pada 20 Oktober 2017. Dari <http://poltekkes-denpasar.ac.id>
Rahajoe, N.N, Supriyanto, B, Setyanto, D.B, 2013, Buku Ajar Respirologi Anak,
EGC, Jakarta
Rudolph, C.D., Hostette, M.K., Siegel, J.N., Lister, G., 2014, Buku Ajar Pediatrik,
Edisi 20, Vol.1, EGC, Jakarta
Ruseng, W.M.R., 2012. Analisis Faktor Risiko Berat Badan Lahir Rendah (bblr)
dan Induksi Persalinan Terhadap Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSUD
Undata Palu Periode Januari - Desember 2012. Skripsi, Palu : Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako.
Santrock, J.W., 2015, Perkembangan Anak, Edisi 11, Jilid, Erlangga, Jakarta
Sigh, G., Chauhan, C.R., Sidhu, M.K., 2008. Maternal Factors for Low Birth
Weight Babies. Obstetric & Gynaecology Military Hospital : Gwalior.
Scott J.A., dkk, 2014, Review series : Pneumonia research to reduce childhoold
mortality in the developing world, Jurnal Clin Invest, Vol.118,No.4.
Waspodo, D., Madjid, O.A., Wiknyosastro, G., Hadijono, R.S., Kosim, M.S.,
Indarso, F.,. 2005. Pelatihan Kegawat Daruratan Obstetri Neonatal Dasar.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.
WHO, 2013, Pencegahan & pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
yang menjadi epidemi & pendemi di pelayanan kesehatan primer,Jurnal
World Health Organization, Vol.6, diakses20 Oktober 2017, dari
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/69707/14/WHO_CDS_EPR
Yuli T., dan Khasanah, K., 2013, Analisis faktor intrinsik & ekstrinsik yang
berpengaruh terhadap kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada balita
tahun 2013, Jurnal Kebidanan, Vol.5, No.1, diakses 3 Mei 2015, dari
<http://journal.akbideub.ac.id/index.php/>
50
LAMPIRAN