Anda di halaman 1dari 10

Abstrak

Pada sistem interkoneksi Sulseltrabar, intensitas terjadinya kasus black out


(pemadaman total) kecenderungannya semakin meningkat. Hal ini disebabkan
semakin kompleksnya permasalahan yang ada pada sistem diantaranya
meningkatnya beban puncak, berubahnya konfigurasi sistem, keterbatasan saluran
transmisi, aspek ekonomis dan lain-lain. Pada tanggal 30 September 2007 terjadi
black out selama ± 3 jam, dengan total energi yang tidak tersalurkan sebesar
860.24 MWh. Kejadian ini diawali oleh lepasnya pembangkit Bakaru sebesar 28.6
MW akibat terjadinya hubung singkat satu phasa pada sisi 11 kV, kemudian
terjadi kegagalan main proteksi mengakibatkan PMT pada sisi 150 kV yang open.
Dengan terlepasnya PMT 150 kV maka Pembangkit Bakaru lepas dari sistem.
Selanjutnya terjadi pelepasan berantai pada sistem; PLTD SWD, PLTD Swatama,
Beban Bosowa dan Tonasa, Suppa, Sengkang. Kemudian sistem mengalami
hunting selama 17 menit, selanjutnya terjadilah black out. Study ini dilakukan
untuk mampu menjelaskan kronoligis terjadinya black out serta memberikan saran
agar kasus ini tidak terulang kembali pada masa mendatang.
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem tenaga listrik yang memiliki banyak mesin biasanya menyalurkan
daya kebeban melalui saluran interkoneksi. Tujuan utama dari sistem saluran
interkoneksi adalah untuk menjaga kontinuitas dan ketersediaan tenaga listrik
terhadap kebutuhan beban yang terus meningkat. Semakin berkembang sistem
tenaga listrik dapat mengakibatkan lemahnya performansi sistem ketika
mengalami gangguan. Salah satu efek gangguan adalah osilasi elektromekanik
yang jika tidak diredam dengan baik maka sistem akan terganggu dan dapat keluar
dari area kestabilannya sehingga mengakibatkan pengaruh yang lebih buruk
seperti pemadaman total (black out).
Pada sistem interkoneksi Sulseltrabar, peristiwa terjadinya pemadaman
total (blackout) kecenderungannya mengalamai peningkatan. Hal ini dapat dilihat
dari data sebagai berikut :
§ Tahun 2004 terjadi blackout sebanyak 3 kali
§ Tahun 2005 tidak pernah terjadi blackout
§ Tahun 2006 terjadi blackout sebanyak 1 kali
§ Tahun 2007 terjadi blackout sebanyak 2 kali
(data terakhir diambil pada bulan Oktober 2007, Sumber :AP2B Sistem Sulsel)
Peningkatan fenomena ini adalah akibat semakin meningkatnya
pembebanan sistem disamping konfigurasi sistem yang telah berubah menjadi
sistem ring (closed loop). Pada tanggal 30 September 2007 pukul : 09:16:24
WITA, terjadi peristiwa padam total (black out). Dimana beban sistem yang lepas
sebesar 270 MW dengan total energy yang tidak tersalurkan sebesar 860,42 MWh
(Sumber: AP2B Sistem Sulsel).

1.2 Tujuan dan Manfaat


Tujuan dan manfaat dari studi kasus ini adalah :
1. Untuk Mengetahui Penyebab Black Out di Sistem Sulseltrabar
2. Agar Kejadian Black Out di Sulseltrabar tidak terjadi lagi
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Sistem Interkoneksi Sulsetrabar


Sistem tenaga listrik Sulawesi Selatan, memiliki karakter khusus. Pusat
pembangkit terbesar dengan biaya operasi yang termurah terletak di bagian utara
sistem, sedangkan pusat beban terbesar berada di bagian selatan sistem. Masalah
yang timbul adalah, jika diprioritaskan penghematan biaya operasi pembangkit,
dengan mengoptimalkan pembangkit di utara, maka dalam mensupplai tenaga
listrik dari utara keselatan tersebut harus melalui penghantar dengan panjang ±
200 km (89,2 km merupakan penghantar bottle neck), akibatnya tegangan pada
pusat beban di selatan sistem mengalami drop tegangan yang berakibat pada rugi-
rugi transmisi yang besar.

2.2 Karakteristik Pembangkit


Pada gambar 2.2, terdapat ketidakseimbangan letak pembangkit dan
beban. Bagian utara sistem dengan total pembangkitan sebesar 320 MW (PLTA
Bakaru, PLTGU Sengkang dan PLTD Suppa), memiliki beban antara 45-110
MW, sedangkan bagian selatan sistem dengan total pembangkit sebesar 162 MW
(PLTG/U/D Tello), memiliki beban 100-290 MW. Selain itu biaya operasi
termurah terdapat pada mesin pembangkit bagian utara, sehingga jika diinginkan
biaya operasi minimum, pengoperasian pembangkit di utara diprioritaskan,
dengan resiko rugi transmisi yang besar dan tegangan di ujung penerimaan di
selatan semakin kecil.

2.3 Karakteristik Beban


Pelanggan listrik di Sulawesi Selatan di dominasi oleh rumah tangga.
Dengan demikian, pemakaian listrik yang menghasilkan beban puncak terjadi
pada malam hari. Industri yang besar ada dua yaitu Semen Tonasa (40 MW) dan
Semen Bosowa (30 MW). Karena beban yang cukup besar, kedua industri ini
sangat mempengaruhi nilai beban sistem. Secara garis besar karakteristik beban
pelanggan Sulsel terlihat pada gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.1. Karakteristik beban Sulsel

Gambar 2.2 Komposisi letak pembangkit dan biaya operasinya


Gambar 3. Beban dan pembangkit utara

2.4 Kronologis Black Out


Pada pukul 09:16:24 terjadi hubung singkat 1 phasa ke tanah pada sisi 11
kV sektor Bakaru. Kemudian karena PMT pada sisi 11 kV gagal beroperasi, maka
PMT pada sisi 150 kV MW lepas dari sistem. Selanjutnya PLTD SWD dan
Swatama lepas dengan total daya yang hilang sebesar 22.5 MW dengan indikasi
gangguan overload. Kemudian Bosowa dan Tonasa lepas sebesar 38 MW akibat
relay undervoltage yang bekerja. PLTD Suppa#6,5,4 dan Sengkang GT#11 trip
dengan indikasi gangguan out of range active and reactive power. Disusul PLTD
Suppa #1,2,3 sebesar 28 MW. Kemudian Sengkang GT#12 dan ST#18, PLTD
MITS#1 dan PLTU#2 juga lepas dari sistem. Kemudian sistem mengalami
hunting selama kurang lebih 17 menit kemudian sistem menjadi black out.

2.5 Analisa Gangguan


Setelah dilakukan simulasi dengan model PSSE yang ada, diperoleh
kesimpulan bahwa untuk gangguan hubung singkat 1 phasa ketanah pada bus
bakaru 11 kV selama 1.4 detik belum menyebabkan adanya pembangkit yang
lepas, sistem masih stabil. Kemudian pada saat PMT di sisi 150 kV pada bus
Bakaru#1 lepas, mengakibatkan tegangan turun pada semua bus. Akibatnya pada
pusat beban (Makassar) tegangan akan turun drastis.
Pada beban (P) konstan, maka terjadi fenomena kenaikan arus akibat
turunnya tegangan. Arus pada sisi sekunder trafo akan naik, yang mengakibatkan
arus pada sisi primer naik pula. Naiknya arus pada sisi primer disupplai dari
pembangkit yang ada. Sedangkan besar arus ini terbatas tergantung kemampuan
generatornya.
Akibat naiknya permintaan arus maka pembangkit (SWD dan Swatama)
mengalami over current stator/rotor sehingga pembangkit SWD/Swatama harus
terlepas dari sistem. Untuk melihat keterbatasan generator untuk menyuplai daya
reaktif dapat dilihat pada gambar 4. Dari kurva ini terlihat bahwa ketika sebuah
generator dibebani dengan daya nyata P yang besar maka generator tersebut akan
memiliki kemampuan mengatur Q yang senakin rendah. Hal ini adanya
pembatasan arus rotor akibat pemanasan pada belitan medan demikian pula arus
pada stator.
Analisis selanjutnya :
 Lepasnya pembangkit (SWD dan Swatama), juga akibat lepasnya Bakaru atau
keduaduanya mengakibatkan tegangan semakinanjlok sehingga Bosowa dan
Tonasa lepas dari sistem.
 Selanjutnya frekuensi sistem tetap turun sehingga UFR bekerja sampai tahap
IV (Total Load Rejection = 117.61 MW). Sehingga selisih beban yang ada dan
pembangkit yang tersisa besar (105 MW) mengakibatkan frekuensi naik
drastis.
 Selisih (105 MW) ini adalah termasuk kajian Transient Stability. Akibat
besarnya selisih daya ini menyebabkan pembangkit (PLTD Suppa #456,
Sengkang GT#11, Bili2, PLTD Suppa #123) lepas dari sistem
 Selanjutnya sistem mengalami osilasi selama 17 menit (Sistem tidak memiliki
pembangkit sebagai pengatur frekuensi).
 Sistem black out.
Gambar 4. Kurva kapabilitas generator

Gambar 5. Respon frekuensi sistem pada saat awal terjadi gangguan


Gambar 6. Frekuensi dan tegangan pada saat terjadi hunting selama 17 menit
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Terjadinya peristiwa black out tanggal 30 September 2007 sebenarnya
dipicu oleh lamanya hubung singkat 1 phasa akibat gagalnya PMT pada sisi 11
kV bekerja. Walaupun hubung singkat ini bukan menjadi penyebab langsung
lepasnya pembangkit di Sektor Tello (SWD dan Swatama). Lepasnya kedua
pembangkit ini akibat indikasi Overload relay yang bekerja. Hal ini
mengindikasikan bahwa kedua generator ini meresponse turunnya tegangan akibat
hubung singkat dengan jalan menaikkan daya reaktif (menambah arus eksitasi)
akan tetapi kenaikan ini terlalu besar sedangkan pada rotor ada batasan arus akibat
panas yang ditimbulkan. Karena arus ini melebihi batas (limit heater) maka
generator harus dilepas dari sistem. Akibat lepasnya pembangki (SWD dan
Swatama) maka terjadilah efek cascade yang selanjutnya membuat sistem menjadi
black out.

3.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, disarankan :
1. Untuk mencegah kasus ini berulang, maka disarankan adanya pembangkit di
Selatan yang berfungsi untuk mengatur supplai daya reaktif. Pembangkit ini
sebaiknya dibebani tidak terlalu besar.
2. Memperbaiki nilai tegangan pada semua bus agar berada pada nilai yang dekat
dengan nilai nominalnya, misalnya dengan pemasangan kapasitor.
3. Perlunya managemen daya reaktif, sehingga generator masih memiliki
kemampuan untuk mengatur kekurangan/kelebihan daya reaktif pada sistem.
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Operasi, 2007. Evaluasi Operasi Tenaga Listrik Sistem Sulawesi Selatan,
PT. PLN (Persero) AP2B Sistem Sulsel, Makassar.
CIGRÉ TF 38-02-10, 1993. Modelling of Voltage Collapse Including Dynamic
Phenomena.
D. Karlsson, 1995. Voltage Stability Simulations Using Detailed Models Based on
Field Measurements, Ph.D. thesis, ISBN 91- 7032-725-4, 1992 CIGRÉ TF
38-02-08, “Long Term Dynamics Phase II-Final Report”,.
Marsudi, Ir.Djiteng 1990. Operasi Sistem Tenaga Listrik, Jakarta.
M. K. Pal, 1992. Voltage stability conditions considering load characteristics,
Transactions on Power Systems, Vol. 7, No. 1, February.
N. U. Krantz, M. N. Gustafsson, J. E. Daalder, 1995. Voltage Collapse with a
Laboratory Power System Model, Stockholm Power Tech.
P. Borremans, A. Calvaer, J.P. de Reuck,J. Goossens, E. Van Geert, J. Van Hecke,
A. Van Ranst, 1984. Voltage Stability- Fundamental concepts and
comparison of practical criteria, CIGRÉ 38-11/1-8.
S. J. Chapman, Electric Machinery Fundamentals, McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai