Anda di halaman 1dari 10

Ketoasidosis pada anak dengan DM tipe 1

Gerry Batti

102015058

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp (021)56942061

Pendahuluan
Diabetik ketoasidosis adalah salah satu komplikasi akut dari DM akibat defisiensi
hormon insulin. Salah satu faktor pencetus yang paling sering menyebabkan suatu penyakit
dalah infeksi, dimana saat infeksi insulin akan meningkat di tubuh. Infeksi yang biasa dijumpai
adalah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Ketoasidosis diabetikum merupakan trias dari
hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang terlihat terutama pada pasien dengan diabetes tipe 1.
Diabetik ketoasidosis paling sering terjadi pada pasien penderita diabetes tipe 1 (yang pada
mulanya disebut insulin-dependent diabetes mellitus), akan tetapi diabetik ketoasidosis juga
bisa terjadi pada Diabetes tipe 2 dengan ciri ciri berkulit hitam dan berbadan gemuk, namun
hal ini jarang terjadi. Penanganan pasien penderita diabetik ketoasidosis adalah dengan
memperoleh informasi yang lengkap dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai
upaya untuk mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu. Pengobatan utama terhadap
kondisi ini adalah rehidrasi awal dengan pergantian potassium serta terapi insulin dosis rendah.
Penggunaan bikarbonat tidak direkomendasikan pada kebanyakan pasien. cerebral edema,
sebagai salah satu dari komplikasi diabetik ketoasidosis yang paling langsung, lebih umum
terjadi pada anak anak dan anak remaja dibandingkan pada orang dewasa.pada makalah ini
juga akan membahas lebih dalam lagi mengenai faktor pencetus dan gejala-gejala dari penyakit
ketoasidosis serta penanganannya.

Anamnesis

Anamnesis diawali dengan memberikan salam kepada pasien dan menanyakan identitas
pasien tersebut. Dilanjutkan dengan menanyakan keluhan utama, dan untuk setiap keluhan
waktu muncul gejala, cara perkembangan penyakit, derajat keparahan, hasil pemeriksaan
sebelumnya dan efek pengobatan dapat berhubungan satu sama lain.1
Riwayat penyakit sekarang berhubungan dengan gejala penyakit, perjalanan penyakit
dan keluhan penyerta pasien. Riwayat penyakit terdahulu merupakan penyakit yang pernah
diderita pasien dapat masa lalu. Riwayat sosial ialah kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan
kebiasaan pasien sehari-hari. Riwayat keluarga ialah riwayat penyakit yang pernah dialami atau
sedang diderita oleh keluarga pasien.1
Riwayat keluarga dan kerabat yang berhubungan juga perlu ditanyakan untuk
menguatkan dugaan. Misalnya apakah ada kerabat yang dalam kurun waktu belakangan ini
mengalami penyakit demam berdarah dan apakah ada kontak antara pasien dengan kerbabatnya
tersebut. Jika data-data dari pasien sudah lengkap untuk anamnesis, maka dapat dilakukan
pemeriksaan fisik untuk menunjang anamnesis tadi. 1
Dari anamnesis yang dilakukan pada kasus ini mendapatkan bahwa seorang anak
perempuan berusia 6 tahun dibawa orangtuanya ke IGD RS karena napas tampak sesak sejak
1 jam SRMS. Anak tampak mengantuk sejak beberapa jam SRMS dengan napas yang cepat
dan dalam, serta bau napasnya seperti buah-buahan. Anaknya juga mengalami penurunan berat
badan yang semula 20 kg menjadi 14 kg yang disertai dengan polifagi, poliuri, dan polidipsi.
Tidak ada deman, batuk pilek kejang, sesak, dan trauma kepala.
Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik umum adalah untuk mengidentifikasi keadaan umum pasien
saat pemeriksaan dengan penekanan pada tanda-tanda vital, keadaan sakit, gizi dan aktivitas
pasien. Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya dimulai dengan
pemeriksaan objektif yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan tingkat kesadaran,
serta pemeriksaan tanda-tanda vital dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.2
Untuk kasus ini, anak tampak sakit berat, kesadaran letargi. TTV didapatkan tekanan
darah 80/50, suhu 36’C frekuensi napas 40x/menit, frekuensi nadi 110x/menit. Mukosa bibir
dan mulut tampak kering, leher dalam batas normal, thoraks :jantung BJ I-II regular tidak ada
galoop dan murmur. Paru tidak ada retraksi suara naps vesikuler, tidak ada ronkhi dan mengi.
Turgor kulit kembali lambar, akral dingin, nadi teraba lemah, moottled skin.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan laboratorium dalam arti luas adalah setiap
pemeriksaan yang dilakukan di luar pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dalam garis
besarnya dimaksudkan sebagai alat diagnostik, petunjuk tatalaksana, dan petunjuk prognosis.2
Pemeriksaan laboratorium yang meliputi : 2
 Glukosa: >250 mg / dL. Klinisi dapat melakukan tes glukosa dengan fingerstick sambil
menunggu hasil lab. Pada sebagian pasien di DKA, glukosa serum akan berada di antara 300
dan 1000 mg / dL (16,6 dan 55,5 mmol/L). Kadar glukosa mencerminkan derajat
kehilangan carian ekstraselular. Kehilangan cairan yang berat menyebabkan aliran darah
ginjal menurun dan menurunnya ekskresi glukosa.3 pada kasus didapatkan GDS sebesar
500 mg/dl
 Gas darah arteri (analisa gas darah): pH <7,3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang
pengukuran pH. pH vena pada pasien dengan DKA adalah 0,03 lebih rendah dari pH arteri.
Karena perbedaan ini relatif dapat diandalkan dan tidak signifikansi klinis, maka hampir
tidak ada alasan untuk melakukan lebih menyakitkan.3 pada kasus didapatkan PH sebesar
6,5.
 Bikarbonat: digunakan untuk mengukur anion gap. Sehingga dapat menentukan derajat
asidosis. Dan pada kasus di dapatkan HCO3 10 mEq/L
 Urinalysis: Cari ketosis glycosuria dan urin. Gunakan ini untuk mendeteksi mendasari infeksi
saluran kencing. 3 didapatkan pada kasus benda keton +++
 Elektrolit: Natrium: Hiperglikemia mengakibatkan efek osmotik sehingga air dari
ekstravaskuler ke ruang intravaskular. Untuk setiap kelebihan 100 mg / dL, tingkat natrium
serum diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium serum
meningkat dengan jumlah yang sesuai.3 Kalium: kalium perlu diperiksa secara berkala,
ketika asidosis kadar kalium normal atau sedikit meningkat (3-5 mmol per liter). Ketika
diberi pemberian insulin maka kalium akan menurun. Insulin dapat diberikan jika kadar
kalium di atas 3.3 mmol/L. pada kasus didapatkan kadar natrium sebesar 120 mEq/L dan
kalium sebesar 2,5 mEq/L
Working Diagnosis

Ketoasidosis Diabetik

Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut DM tipe-1 yang disebabkan oleh
kekurangan insulin. hal ini sering ditemukan pada penderita DM tipe 1 yang tidak patuh pada
jadwal suntikan insulin, adanya jeda dalam pemberian insulin karena anak sakit dan tidak mau makan,
adanya kasus baru DM tipe 1. 4

Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat digunakan oleh sel
untuk metabolisme karena glukosa tidak dapat memasuki sel, akibatnya kadar glukosa dalam
darah meningkat (hiperglikemi). Pada anak sakit walaupun tidak makan di dalam tubuh tetap
terjadi mekanisme glukoneogenesis, sehingga terjadi hiperglikemi. Benda keton yang
terbentuk karena pemecahan lemak disebabkan karena ketidakadaan insulin. Akumulasi benda
keton ini menyebabkan asidemia, dan asidemia ini dapat menyebabkan ileus, menurunkan
kompensasi terhadap poliuria dan menyebabkan diuresis osmotik menyebabkan terjadinya
dehidrasi berat. Makin meningkatnya osmolaritas karena hiperglikemia dan asidosis yang
terjadi menyebabkan penurunan fungsi otak sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran. Oleh
karena itu pada penderita KAD ditemukan berbagai tingkatan dehidrasi, osmolaritas, dan
asidosis. Bila tidak segera ditangani dengan tepat maka angka kematian karena KAD akan
tinggi. 4

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan maka pasien di


diagnosis menderita ketoasidosis diabetikum. Diagnosis kerja ditegakkan berdasarkan temuan
pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Data anamnesis yang menjadi
patokan adalah adanya gejala klasik diabetes melitus, yakni poliuria, polidipsi dan polifagi
serta keadaan pasien yang lemas dan penurunan berat badan, serta penurunan kesadaran.

Differential Diagnosis

Namun terdapat diagnosis banding pada kasus ini, yaitu koma hiperosmolar hiperglikemik non
ketotik. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik adalah suatu keadaan hiperglikemik dalam darah
dan ditandai juga dengan peningkatan osmolalitas darah. Kondisi ini berbahaya karena dapat
menyebabkan menurunnya perfusi jaringan, oklusi dan intravaskular koagulasi. Untuk membedakan
KAD dan HHNK adalah dari gejala klinis adanya napas Kussmaul yang menandakan adanya
mekanisme kompensasi terhadap asidosis. Karena pada pasien dengan HHNK tidak terdapat tanda-
tanda dari asidosis, dan penelitian epidemiologi bahwa HHNK biasanya terjadi pada orang tua di atas
usia 60 tahun.

Etiologi

Ketoasidosis diabetikum di dasarkan oleh adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah
insulin yang nyata, yang dapat disebabkan oleh:5

- Insulin diberikan dengan dosis yang kurang.

- Keadaan sakit atau infeksi pada DM, contohnya : pneumonia, kolestisitis, iskemia
usus dan apendisitis.
Keadaan sakit dan infeksi akan menyertai resistensi insulin. Sebagai respon terhadap stres fisik
(atau emosional), terjadi peningkatan hormon – hormon ”stres” yaitu glukagon, epinefrin,
norepinefrin, kotrisol dan hormon pertumbuhan. Hormon – hormon ini akan meningkatkan
produksi glukosa oleh hati dan mengganggu penggunaan glukosa dalam jaringan otot serta
lemak dengan cara melawan kerja insulin. Jika kadar insulin tidak meningkatkan dalam
keadaan sakit atau infeksi, maka hipergikemia yang terjadi dapat berlanjut menjadi
ketoasidosis diabetik.

Epidemiologi

Insidens tahunan KAD pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (T1DM) antara satu sampai
lima persen, berdasarkan beberapa studi yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat dan
nampaknya konstan dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara barat. Namun demikian
studi epidemiologi terbaru memperkirakan insidens total nampaknya mengalami tren
meningkat, terutama disebabkan oleh karena peningkatan kasus diabetes mellitus tipe 2
(T2DM). Laju insidens tahunan KAD diperkirakan antara 4,6 sampai 8 per 1000 pasien dengan
diabetes. Sedangkan insidens T1DM sendiri di Indonesia, diperkirakan berkisar antara 6-8%
dari total penduduk.3

Patogenesis

1. Metabolisme glukosa dan lipid

Pada saat terjadi defisiensi insulin, peningkatan level glukagon, katekolamin dan
kortisol akan menstimulasi produksi glukosa hepatik melalui mekanisme peningkatan
glikogenolisis dan glukoneogenesis. Hiperkortisolemia akan menyebabkan peningkatan
proteolisis, sehingga menyediakan prekursor asam amino yang dibutuhkan untuk
glukoneogenesis. Insulin rendah dan konsentrasi katekolamin yang tinggi akan menurunkan
uptake glukosa oleh jaringan perifer. Kombinasi peningkatan produksi glukosa hepatik dan
penurunan penggunaan glukosa perifer merupakan kelainan patogenesis utama yang
menyebabkan hiperglikemia baik pada KAD maupun KHH (Koma Hiperglikemia
Hiperosmolar). Hiperglikemia akan menyebabkan glikosuria, diuresis osmotik dan dehidrasi,
yang akan menyebabkan penurunan perfusi ginjal terutama pada KHH. Penurunan perfusi
ginjal ini lebih lanjut akan menurunkan bersihan glukosa oleh ginjal dan semakin memperberat
keadaan hiperglikemia.
Gambar 1. Patogenesis KAD dan KHH, perhatikan perbedaan yang terletak pada defisiensi
insulin absolut dan relatif FFA (free fatty acid)6

Gejala Klinik

Ketoasidosis diabetikum biasanya timbul dengan cepat, biasanya dalam rentang waktu
<24 jam, penurunan berat badan menetap selama beberapa hari sebelum masuk rumah sakit
(13 kg), Nausea vomitus merupakan salah satu tanda dan gejala yang sering diketemukan.
Nyeri abdominal terkadang dapat diketemukan pada pasien dewasa (lebih sering pada anak-
anak) dan dapat menyerupai akut abdomen. Meskipun penyebabnya belum dapat dipastikan,
dehidrasi jaringan otot, penundaan pengosongan lambung dan ileus oleh karena gangguan
elektrolit serta asidosis metabolik telah diimplikasikan sebagai penyebab dari nyeri abdominal.
Asidosis, yang dapat merangsang pusat pernapasan medular, dapat menyebabkan pernapasan
cepat dan dalam (Kussmaul). Poliuria, polidipsia dan polifagia yang khas sebagai bagian dari
diabetes tak terkontrol. Pemeriksaan fisis dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau
napas seperti buah atau pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton melalui
sistem respirasi dan tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit, mukosa membran
yang kering, takikardia dan hipotensi. Status mental dapat bervariasi mulai dari kesadaran
penuh sampai letargi yang berat; meskipun demikian kurang dari 20% pasien KAD atau KHH
yang diperawatan dengan penurunan kesadaran. Pada KHH, obtundasi mental dan koma lebih
sering diketemukan sebagai akibat dari hiperosmolaritas pada sebagian besar pasien. 4
Komplikasi

 Hipoglikemia, apabila pemberian insulin yang memungkinkan gula darah turun terlalu
cepat bisa memberikan komplikasi hipoglikemi
 Hipokalemia, karena cairan dan insulin yang digunakan untuk mengatasi KAD yang
tidak sesuai atau berlebihan dapat menyebabkan kadar kalium turun terlalu rendah.
 Edema serebral (bengkak di otak) mungkin terjadi apabila tubuh menyesuaikan kadar
gula darah terlalu cepat bisa menghasilkan pembengkakan di otak. Edema serebral
merupakan komplikasi yang lebih sering terjadi pada anak-anak.7
Penatalaksaan

Prinsip-prinsip pengelolaan KAD ialah :

1) Penggantian cairan dan garam yang hilang


2) Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati dengan pemberian
insulin
3) Mengatasi stres sebagai pencetus KAD
4) Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta
penyesuaian pengobatan.
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit ada beberapa hal yang perlu yaitu :

 Cairan
Apabila terjadi syok, atasi syok dengan memberikan NaCl 0,9% 20 ml dalam 1 jam
sampai syok teratasi. Dan resusitasi cairan selanjutnya dilakukan secara perlahan dalam 36-48
jam berdasarkan derajat dehidrasi. Dan apabila keadaan belum stabil secara metabolik (Na >15
mEq/L, gula darah <200 mg/dL, pH >7.3) pasien tetap dipuasakan terlebih dahulu.

 Insulin
Pemberian insulindapat menurunkan hormon glukagon sehingga dapat menekan
produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam
amino dari jaringan otot, dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Tujuan pemberian
insulin ini bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal tetapi untuk mengatasi keadaan
ketonemia. Oleh karena itu bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% insulin diteruskan dan
untuk mencegah hipoglikemia diberikan cairan yang mengandung glukosa sampai asupan
kalori oral pulih kembali. Terapi insulin harus segera dimulai setelah syok teratasi (apabila
ada). Bisa diguakan reguler (rapd) insulin secara intravena dengan dosis antara 0,05-0,1
U/kgBB/jam. Apabila secara metabolic sudah stabil, insulin bisa diberikan secara subkutan
dengan dosis 0,5-1 U/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
 Koreksi elektrolit
a. Natrium
Pada hipernatremia gunakan cairan NaCl 0,45%, dan oada hiponatrmia infus 3% NaCl
sejumlah 0.5–2 mL/kg/jam.
b. Kalium
Pada awal KAD biasanya kadar ion K serum meningkat. Hiperkalemia yang fatal sangat
jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikabonat. Bila pada elektro
kardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera
mengatsi keaadan hiperkalemia tersebut.
 Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun.
Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60
mg%/ jam. Bila kadar glukosa mencapai kurang dari 200 mg% maka dapat dimulai infuse yang
mengandung glukosa. Perlu ditekankan tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar
glukosa tapi untuk menekan ketogenesis.
 Bikarbonat
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Hal ini disebabkan
karena dapat menyebabkan hipertonis dan kelebihan natrium, meningkatkan insiden
hipokalemia dan gangguan fungsi cerebral.7
Pencegahan

1. Ketika jatuh sakit, periksa kadar gula darah setiap 2 – 4 jam.


2. Periksa keton dalam urin jika gula darah terlalu tinggi (diatas 250 mg/dl).
3. Jangan sampai terlewat meminum obat insulin, bahkan jika perut sedang kosong.
4. Minum jus bebas gula dan minuman tanpa kafein.
5. Menyimpan nomor kontak dokter untuk dihubungi dalam keadaan darurat.
6. Menjaga agar tubuh tetap terhidrasi
7. Hindari makanan dan minuman tinggi karbohidrat ketika kadar gula di atas 250 mg/dl.
Prognosis

Tingkat mortalitas untuk ketoasidosis diabetik adalah 0,2-2%, dengan tingkat tertinggi
di negara-negara berkembang. Prognosis pasien yang diobati dengan benar sangat baik,
terutama pada pasien yang berusia muda jika tidak terjadi infeksi rekurens. Prognosis terburuk
biasanya terjadi pada pasien yang lebih tua dengan penyakit persisten berat (infark miokard,
sepsis, atau pneumonia).

Kesimpulan

Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh


hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin. KAD dan
hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan
pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat
dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Kurangnya glukosa dalam sel mengakibatkan
proses gluconeogenesis dan terbentuknya benda-benda keton yang bersifat asam sehingga
menyebabkan kondisi asidosis. Terapi utama pada KAD adalah rehidrasi dan insulin serta
dilakukan pemantauan terhadap kadar elektrolit, gula dan status pasien untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Prognosis penyakit umumnya buruk jika tidak ditangani segera dan
tepat.
Daftar Pustaka
1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC; 2009. h. 2-7.
2. Swartz MH. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta; EGC; 2008.h.61
3. 2. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL. Harrison’s principals of internal medicine. USA:
The McGraw- Hill Inc; 2008.
4. Tridjaja B, Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. Jakarta:Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;2009. h.34-6
5. 5. English P, Williams G. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus.
Liverpool: Postgrad Med; 2003.
6. Diunduh dari
https://www.google.co.id/search?q=patofisiologi+ketoasidosis+diabetik&oq=patofisiolo
gi+ketoasidosis+&aqs=chrome.0.0j69i57j0l4.13884j0j8&sourceid=chrome&ie=UTF-8,
27 November 2017
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2007.

Anda mungkin juga menyukai