Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rheumatoid Arthritis

2.1.1 Pengertian

Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit peradangan sistemik kronis dan


progresif yang tidak diketahui penyebabnya. Dimana sendi merupakan target
utamanya. Dengan pemicu eksternal nya yaitu (merokok, infeksi, atau trauma)
yang dapat memicu reaksi autoimun, menyebabkan hipertrofi sinovial dan
peradangan sendi kronis.

2.1.2 Etiologi

Penyebab RA tidak diketahui. Dimana, terdapat beberapa faktor resiko yang


berhubungan yaitu seperti : faktor genetik, lingkungan, hormonal, imunologis, dan
infeksi yang memainkan peranan penting. Faktor sosial ekonomi, psikologis, dan
gaya hidup (misalnya, penggunaan tembakau, faktor lingkungan) dapat
mempengaruhi perkembangan dan prognosis dari penyakit ini.

1. Agen Infeksi

Dari beberapa penelitian, terdapat beberapa organisme penyebab potensial


RA, termasuk organisme Mycoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), dan virus
rubella. Tetapi tidak ada bukti yang kuat mengenai penelitian ini. misalkan
adanya produk bakteri, termasuk RNA bakteri, pada sendi pasien.

Bukti yang muncul juga menunjukkan hubungan antara Rheumatoid Arthritis


dan bakteri periodontopatik. Sebagai contoh, cairan sinovial pasien RA telah
ditemukan mengandung antibodi tingkat tinggi terhadap bakteri anaerob yang
umumnya menyebabkan infeksi periodontal, termasuk Porphyromonas gingivalis.
3

AGEN INFEKSI MEKANISME


Parvovirus B19 Infeksi sinovial langsung
Retrovirus Infeksi sinovial langsung
Enteric bacteria Kemiripan molekul
Mycobacteria Kemiripan molekul
Epstein-barr Virus Kemiripan molekul
Bacterial cell walls Aktivasi makrofag
Mycoplasma Infeksi sinovial langsung, Superantigen
Daftar tabel agen infeksi etiologi reumatoid artritis

2.1.3 Faktor Resiko

1. Faktor Hormonal

Hormon seks dapat berperan dalam rheumatoid arthritis, sebagaimana


dibuktikan pada sejumlah perempuan yang telah terdiagnosis dengan penyakit ini
terjadi kekambuhan pada postpartum awal, dan mengalami penurunan resiko pada
wanita yang menggunakan kontrasepsi oral. Dan juga hiperprolaktinemia
mungkin merupakan faktor risiko dari rheumatoid arthritis.

Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental


Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA),
yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi
esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon
imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan
progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini
(Suarjana, 2009).

2. Konsumsi Kopi

Konsumsi kopi decaffeinated lebih dari 3 cangkir sehari, khuusnya kopi


decaffeinated mungkin juga berisiko.
4

3. Genetik

hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka


kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).

4. Faktor Lingkungan
Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).

2.1.4 Patogenesis
5

2.1.5 Patofisiologi dan Manifestasi Klinik Extra-artikular


6

RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling
sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan
lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti
oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).

Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu


(Nasution, 2011):
a. Stadium sinovitis.
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi
pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya
simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi
permukaan sendi sehingga terjadi deformitas
dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan hampir selalu
terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal (Suarjana,
2009).
b. Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial (Nasution, 2011).
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution,2011).
Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular
dan manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009).
Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi,
bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan
sendi, serta hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda cardinal inflamasi berupa
nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau
selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak
dijumpai pada RA kronik (Surjana, 2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu dan
lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini mungkin
7

berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset terjadinya (Longo,


2012).

Gambar Sendi Metacarpopalangeal dan proksimal interfalangeal yang


bengkak pada penderita artritis reumatoid (Longo, 2012).

Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak semua


sendi proporsinya sama, beberapa sendi lebih dominan untuk mengalami
inflamasi, misalnya sendi sendi kecil pada tangan (Suarjana, 2009).
Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA (Syamsyuhidajat,
2010). Secara umum, manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh.
Manifestasi ekstraartikular pada RA, meliputi (Longo, 2012):
a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan
gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3 c ,kelelahan
(fatigue), malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang
secara umum merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului
terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi (Longo, 2012).
b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level
tertinggi aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak
lembut, dan dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa
terdapat di paru-paru, pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya
benign (jinak), dan diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan gangren
(Longo, 2012).
8

c. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary


sjogren’s syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan
keratoconjutivitis sicca (dryeyes) atau xerostomia (Longo, 2012).
d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti
dengan penyakit paru interstitial (Longo, 2012).
e. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung
yang disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis,
penyakti arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).
f. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan
penyakit RA yang sudah kronis (Longo, 2012).
g. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated
trombocytopenia dan keadaan dengan trias berupa neutropenia,
splenomegaly,dan nodular RA sering disebut dengan felty syndrome.
Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir (Longo, 2012).
h. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar
dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell
lymphoma sercara luas (Longo, 2012).

Beberapa keadaan yang diasosiakan dengan mordibitas dan mortalitas pada


pasien RA adalah penyakti kardiovaskuler, osteoporosis dan hipoandrogenisme
(Longo, 2012).

2.1.6 Kriteria Diagnosis

Kriteria American College of Rheumatology (ACR)/European League


Against Rheumatism (EULAR) 2010 untuk artritis reumatoid mulai diperkenalkan
dengan menitikberatkan pada gambaran klinis tahap awal penyakit. Artritis
reumatoid ditegakkan berdasarkan adanya sinovitis pada paling sedikit 1 sendi,
tidak adanya diagnosis alternatif lain yang dapat menjelaskan penyebab sinovitis,
serta skor total individu dari 4 kriteria (keterlibatan sendi, pemeriksaan serologis,
peningkatan acutephase reactant, dan durasi gejala) ≥ 6.
9

Tabel 2.1 Kriteria Artritis Reumatoid Berdasarkan American College of


Rheumatology (ACR) atau European League Against Rheumatism (EULAR) 2010

SCORE
Populasi target (Siapa yang harus dites?): Pasien yang 1. Paling sedikit
memiliki 1 sendi dengan sinovitis klinis definitif (bengkak) 2. Dengan
sinovitis yang tidak lebih baik dijelaskan dengan penyakit lain
Kriteria klasifikasi RA (algoritme berdasarkan skor)
A. Keterlibatan sendi
1 sendi besar
2 - 10 sendi besar
1 - 3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)
4 - 10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)
> 10 sendi (paling sedikit 1 sendi kecil)
B. Serologis (paling sedikit 1 hasil tes dibutuhkan
untuk klasifikasi)
RF negatif dan anti-CCP negatif
RF positif rendah atau anti-CCP positif rendah
RF positif tinggi atau anti-CCP positif tinggi
C. Acute-phase reactant (paling sedikit 1 hasil tes dibutuhkan
untuk klasifikasi)
CRP normal dan laju endap darah normal
CRP abnormal atau laju endap darah abnormal
D. Durasi gejala
< 6 minggu
≥ 6 minggu

Keterlibatan sendi ditandai dengan adanya sendi nyeri atau bengkak pada saat
pemeriksaan, yang dapat dikonfirmasi dengan bukti gambaran sinovitis. Yang
termasuk sendi besar adalah sendi bahu, siku, panggul, lutut dan tumit, sedangkan
10

yang termasuk sendi kecil adalah sendi metacarpophalangeal, interphalangeal


distal, sendi metatarsophalangeal kedua sampai kelima, sendi interphalangeal ibu
jari, dan pergelangan tangan.17 Antibodi anti-CCP lebih spesifik dibandingkan
rheumatoid factor (RF) untuk penegakan diagnosis artritis reumatoid secara dini
dan lebih baik dalam memprediksi progresifitas penyakit secara radiologis serta
prognosis penyakit.

2.1.7 Penatalaksanaan

Tujuan terapi dari artritis reumatoid adalah :


(1) mengurangi nyeri
(2) mengurangi inflamasi
(3) menjaga struktur persendian
(4) mempertahankan fungsi sendi, dan
(5) mengontrol perkembangan sistemik.
Adapun penatalaksanaan dari artritis reumatoid adalah sebagai berikut:

1. Obat-obatan
a. Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID)
Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi proses
produksi mediator peradangan. Tepatnya, obat ini menghambat sintetase
prostaglandin atau siklooksigenase. Enzim-enzim ini mengubah asam lemak
sistemik andogen, yaitu asam arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin,
tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat standar yang sudah dipakai sejak
lama dalam kelompok ini adalah aspirin.

Selain aspirin, NSAID yang lain juga dapat menyembuhkan artritis


reumatoid. Produksi dari prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan ini
memberikan efek analgesik, anti-inflamasi, dan anti-piretik.

b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD)


Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas, D-
penicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki kesamaan
11

kimia dan farmakologis, pada prakteknya, obat-obat ini memberikan beberapa


karakteristik.
Pemberian obat ini baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak dapat
mengendalikan artritis reumatoid. Beberapa obat-obatan yang telah disebutkan
sebelumnya tidak disetujui oleh U.S Food and Drugs Administration untuk
dipakai sebagai obat artritis reumatoid. Tujuan pengobatan dengan obat-obat kerja
lambat ini adalah untuk mengendalikan manifestasi klinis dan menghentikan atau
memperlambat kemajuan penyakit.
2. Terapi glukokortikoid
Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi
simptomatik pada penderita artritis reumatoid. Prednison dosis rendah (7,5
mg/hari) telah menjadi terapi suportif yang berguna untuk mengontrol gejala.
Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru mengatakan bahwa terapi glukokortikoid
dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi tulang.
3. Operasi
Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita artritis
reumatoid dengan kerusakan sendi yang parah. Meskipun artroplasti dan
penggantian total sendi dapat dilakukan pada beberapa sendi, prosedur yang
paling sukses adalah operasi pada pinggul, lutut, dan bahu. Tujuan realistik dari
prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan mengurangi disabilitas.1
12

2.1.8 Diagnosis Banding

OSTEOARTHRITIS REUMATOID ARTRITIS GOUT ARTRITIS


Definisi penyakit kronis jangka Penyakit autoimun yang Penyakit heterogen
panjang ditandai ditandai oleh inflamasi sebagai akibat deposisi
dengan kerusakan sistemik kronik dan kristal monosodium urat
tulang rawan di sendi progresif, dimana sendi pada jaringan atau akibat
yang menyebabkan merupakan target utama. supersaturasi asam urat
tulang saling di dalam cairan
bergesekan dan ekstraselular.
menciptakan kekakuan,
nyeri, dan gerakan
gangguan.
Etiologi Degenerasi Autoimun Peningkatan asam urat
Faktor Resiko Aktivitas sendi yang Riwayat sebelumnya Hiperurisemia, leukimia,
terkait penggunaan obat diet (emping)
salisilat/aspirin, faktor
hormon, konsumsi kopi,
agen infeksi (virus dan
bakteri)
Anamnesis Berat pada pagi hari Menjelang pagi hari Pagi hari
 Onset
 Nyeri Nyeri ketika bergerak/ Nyeri hilang saat istirahat Nyeri hilang timbul
menanggung beban dan mendadak
berkurang ketika
istirahat
 Lokasi Lutut, Distal Metacarpophalangeal Meta tarso phalangeal
interphalang, medial (MCP) 85% Pergelangan interdigiti I
tibio femoral, lateral tangan 80% Proximal
tibio femoral, humero interphalangeal 75% , dan
patella, vertebra pinggul
13

cervical & lumbal


Pemeriksaan Tidak ada Ada deformitas, perubahan Ada deformitas (tophus),
Fisik pembengkakan warna dan pembengkakan perubahan warna
sendi, Ada sendi (eritema) dan
pembengkakan tapi pembengkakan sendi
tidak ada perubahan
warna
Gejala Sistemik Demam, penurunan berat Terkait keadaan
badan, malaise, fatigue hiperurisemia
_

Pemeriksaan
Penunjang
 Rontgen
14

 Laborato Tidak ada kelainan 1.CRP sampai >0,7 Analisis cairan sinovial :
ry laboratorium yang picogram/MI ditemukan kristal urat
terkait OA 2.LED >30 mm/jam yang berbentuk seperti
3.Hemoglobin dan jarum sensitivitas 84%
Hematokrit sedikit dengan spesifisitas
menurun, hb rata-rata 100% Asam urat
sekitar 10 g/dL serum Sekitar 25%
3.Pemeriksaan autoantibodi populasi memiliki
4.Antibodi RF meningkat peningkatan asam urat
5.RF titer> 20 U/ml serum
6.RF titer tinggi (>50 U/ml)
7.Anti PKC positif
15

2.1.9 Komplikasi

Dokter harus melakukan pemantauan terhadap adanya komplikasi yang


terjadi pada penderita AR. Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita AR
dirangkum dalam Tabel 11 dan Tabel 12.

Tabel 11. Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita artritis reumatoid.

Komplikasi Keterangan

Anemia Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit; 75%


penderita AR mengalami anemia karena penyakit kronik
dan 25% penderita tersebut memberikan respon terhadap
16

terapi besi.

Kanker Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan;


kejadian limfoma dan leukemia 2 – 3 kali lebih sering
terjadi pada penderita AR; peningkatan risiko terjadinya
berbagai tumor solid; penurunan risiko terjadinya kanker
genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS.

Komplikasi kardiak 1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial


asimptomatik saat diagnosis ditegakkan; miokarditis bisa
terjadi, baik dengan atau tanpa gejala; blok
atrioventrikular jarang ditemukan.

Penyakit tulang Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa


belakang leher menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-hati bila
(cervical spine melakukan intubasi endotrakeal; mungkin ditemukan
disease) hilangnya lordosis servikal dan berkurangnya lingkup
gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan
celah sendi pada foto sevikal lateral. Myelopati bisa
terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada
ekstremitas atas dan parestesia.

Gangguan mata Episkleritis jarang terjadi.

Pembentukan fistula Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena,


terhubungnya bursa dengan kulit.

Peningkatan infeksi Umumnya merupakan efek dari terapi AR.

Deformitas sendi Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas


tangan boutonniere (fleksi PIP dan hiperekstensi DIP);
deformitas swan neck (kebalikan dari deformitas
boutonniere); hiperekstensi dari ibu jari; peningkatan
risiko ruptur tendon
17

Deformitas sendi Beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain


lainnya :frozen shoulder, kista popliteal, sindrom terowongan
karpal dan tarsal.

Komplikasi Nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan


pernafasan pembentukan lesi kavitas; Bisa ditemukan inflamasi
pada sendi cricoarytenoid dengan gejala suara serak dan
nyeri pada laring; pleuritis ditemukan pada 20%
penderita; fibrosis interstitial bisa ditandai dengan
adanya ronki pada pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat
Tabel 6).

Nodul rheumatoid Ditemukan pada 20 – 35% penderita AR, biasanya


ditemukan pada permukaan ekstensor ekstremitas atau
daerah penekanan lainnya, tetapi bisa juga ditemukan
pada daerah sklera, pita suara, sakrum atau vertebra.

Vaskulitis Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal,


perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus, arteritis
organ viscera dan arteritis koroner; terjadi peningkatan
risiko pada : penderita perempuan, titer RF yang tinggi,
mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam
DMARD; berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya infark miokard.

PIP = proximal interphalangeal; DIP = distal interphalangeal; RF = rheumatoid


factor

Tabel 12. Komplikasi pleuroparenkimal primer dan sekunder dari artritis


heumatoid.17

Pleural disease

 Pleural effusions, Pleural fibrosis


18

Interstitial lung disease

 Usual interstitial pneumonia, Nonspecific interstitial pneumonia,


Organizing pneumonia, Lymphocytic interstitial pneumonia, Diffuse
alveolar damage, Acute eosinophilic pneumonia, Apical fibrobullous
disease, Amyloid, Rheumatoid nodules
Pulmonary vascular disease

 Pulmonary hypertension, Vasculitis, Diffuse alveolar hemorrhage


with capillaritis
Secondary pulmonary complications

Opportunistic infections

 Pulmonary tuberculosis, Atypical mycobacterial infections,


Nocardiosis, Aspergillosis, Pneumocystis jeroveci pneumonia,
Cytomegalovirus pneumonitis
Drug toxicity

 Methotrexate, Gold, D-penicillamin, Sulfasalazin

2.1.10 Prognosis

Prognosis penyakit ini sangat bervariasi. Beberapa orang memiliki gejala


jangka pendek ringan, namun pada sebagian besar penyakit ini progresif seumur
hidup. Sekitar 20% -30% akan memiliki nodul subkutan (dikenal sebagai nodul
rheumatoid) Hal ini terkait dengan prognosis yang buruk.

Dari beberapa faktor terdapat faktor prognostik yang buruk meliputi :

1) Sinovitis persisten
2) Penyakit erosif dini
3) Temuan ekstra artikular (termasuk nodul rheumatoid subkutan
4) Temuan antibodi RF serum positif
5) Autoantibodi anti-PKC positif
19

6) Operator alfa HLA-DR4 "Shared Epitope"


7) Riwayat keluarga RA
8) Status fungsional yang buruk
9) Faktor social dan ekonomi
10) Respon fase akut yang meningkat (tingkat sedimentasi eritrosit [ESR],
protein C-reaktif [CRP])
11) Meningkatnya keparahan klinis.
12) Kematian

RA dapat menyebabkan kematian yaitu rata-rata dari tiga sampai dua belas
tahun. Menurut Arthritis Society Rheumatoid Nasional Inggris, usia muda saat
onset, durasi penyakit yang panjang, adanya masalah kesehatan lainnya yang
bersamaan (disebut co-morbiditas), dan karakteristik RA berat - seperti
kemampuan fungsional yang buruk atau status kesehatan secara keseluruhan,
banyak kerusakan sendi pada rontgen, kebutuhan untuk rawat inap atau
keterlibatan organ selain persendian - telah terbukti dikaitkan dengan kematian
yang lebih tinggi ". Respons positif terhadap pengobatan dapat mengindikasikan
prognosis yang lebih baik. Studi tahun 2005 oleh Mayo Klinik mencatat bahwa
penderita RA mengalami peningkatan risiko penyakit jantung dua kali lipat,
terlepas dari faktor risiko lain seperti diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan
peningkatan kolesterol, tekanan darah dan indeks massa tubuh. Mekanisme yang
menyebabkan risiko peningkatan ini tetap tidak diketahui , adanya peradangan
kronis telah diusulkan sebagai faktor pendukung. Ada kemungkinan penggunaan
terapi obat biologis baru memperpanjang umur penderita RA dan mengurangi
risiko dan perkembangan aterosklerosis. Ini didasarkan pada studi kohort dan
masih tetap hipotetis. Masih belum pasti apakah biologis memperbaiki fungsi
vaskular pada RA atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai