OLEH :
SUGIANTO
(157048013)
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya Makalah
Hukum Agraria mengenai “Aspek Yuridis Hak Pakai Diatas Hak Milik”. Makalah ini dibuat
berdasarkan beberapa referensi buku dari beberapa pengarang buku mengenai Hukum Agraria
dan Hak Atas Tanah. Dalam makalah ini dijelaskan mengenai hak pakai dan hak milik
PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGATAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
a) Bagaimanakah Pemberian Hak Guna Bagunan atau Hak Pakai atas
Hak Milik ?
b) Bagaimanakah Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai
atas Tanah Hak Milik ?
c) Bagaimanakah Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh Warga Negara
Asing dan Badan Hukum Asing ?
d) Apakah Tanah Hak Pakai Bankable?
C. Tujuan Penulisan
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan
Saran
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN UMUM
Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu saranan pengejawantahan cita-cita
nasional bagi kita semua, melalui hakikat dan fungsinya yakni sebagai hukum yang:
1. menjaga keserasian antara alam dan manusia serta mempertahankan
keserasian kehidupan segala makhluk pengisi ala mini dalam kehidupan
alamiahnya yang lestari;
2. mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat dan semerata mungkin
memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah Negara;
3. mengatur hak rakyat/pribad hukum tantra maupun perdata untuk
memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan dan
kedudukan pribadi masing-masing;
4. mengatur segala kewajiban (rakyat/ pribadi hukum tersebut) selaras dengan
segala hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan penggunaannya;
5. memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat keadaan tanah yang ada
berikut tingkatan hak dan kewajiban beserta segala persyaratan dan harus
diperhatikan oleh para pemegang dan para calon pemegang hak dan
kewajiban atas tanah yang bersangkutan;
3[3] ) Urip Santoso, S.H.,M.H, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah
6. menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang harus dipenuhi
oleh yang menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti tegas merata
dan seimbang, demi tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di seluruh
negeri.
Kepemilikan hak atas tanah merupakan hak dasar yang juga merupakan bagian
dari hak asasi manusia. Pencabutan kepemilikan hak atas tanah oleh presiden
dilakukan untuk kepentingan umum. Perlindungan subjek hak atas dalam menghadapi
pencabutan hak didasarkan kepada pemahaman pengertian kepentingan umum.
Kepentingan umum merupakan suatu yang abstrak, mudah dipahami secara teoritis,
tetapi menjadi sangat kompleks ketika diimplementasika
b. Sertifikasi Tanah
Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu
penyebab dari minimnya proses pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang
menjadi penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat akan arti
pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan
sertifikat maka mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah
yang mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya tanah-tanah yang dimiliki
masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun
dari nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang mereka
miliki sangat minim bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali. Mereka
menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun
sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A
atau si B tanpa perlu mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut.
Dan saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak
lanjuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang
kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak
mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat
kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat. Mengingat
pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti kepemilikan
hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38
Undang-Undang Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban untuk
mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat.
Dapat kita lihat saat ini UUPA sedang mengalami tekanan dan cobaan yang
sangat keras, terbukti dengan munculnya wacana-wacana untuk merubah/ mengganti
UUPA dengan Peraturan Perundang-undangan sejenis yang baru, dengan dalih
penyesuaian dan pemenuhan terhadap kebutuhan serta tuntutan zaman, dimana UUPA
dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan serta kebutuhan
terhadap kemajuan maupun pembangunan yang berwawasan global. Argumentasi
berikutnya yaitu, UUPA semenjak di Undangkan pada Tahun 1960 sampai saat ini
belum berhasil mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, dan argumen-argumen
tajam lainnya.
Dalam pandangan banyak ahli, segala tekanan dan permasalahan di atas akan
bertambah semakin berat dan kompleks ke depan, alasannya menurut analisis mereka,
hanya sedikit orang (ahli/ ilmuan) yang benar-benar mengetahui tentang esensi UUPA
ini, yang kemudian mau dan mampu, menyampaikan secara baik dan benar kepada
masyarakat secara luas, kemudian juga dapat menjelaskan kaitan antara kesejahteraan
yang belum dicapai oleh bangsa Indonesia dengan amanat UUD RI 1945 Pasal 33
ayat (3) khususnya UUPA sebagai penjabarannya, dan dapat pula menyampaikan
serta menjelaskan secara tepat dan benar bagaimana sebenarnya kedudukan
pemahaman maupun kedudukan hukum dari hal-hal yang belum dicapai tersebut.
Telah di tegaskan bahwa, UUPA digali dari prinsif-prinsif hukum Adat dan hukum
Agama (bagian berpendapat huruf : A dan Pasal 5, UUPA yang berlaku di Indonesia
dengan mengutamakan) kepentingan Nasional dan sifat-sifat kebersamaan yang
sangat khas yaitu “sosialis nasionalis” Indonesia.
Penjelasan Pasal 9 UUPA tersebut, juga biasa disebut dengan Prinsif/ Asas
Nasionalitas, yaitu tidak semua orang bisa mempunyai Hak Milik atas tanah di
wilayah Indonesia, artinya apabila ada Orang Asing (WNA) memiliki lahan dan/ atau
bangunan atas dasar Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU) secara langsung,
maka tentu menyalahi Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 9 ayat (2) UUPA : Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita,
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah
serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun orang
lain.
Catatan: dalam penguasaan tanah tidak diadakan perbedaan lagi antara warga
negara pribumi dan non-pribumi dan antara laki-laki dan perempuan.
4. Asas Musyawarah
Pasal 11, 13, 15, dan pasal-pasal yang mengatur landreform (Pasal 7, 10, 17, 53)
UUPA. Penjelasan pasal 11 : ... harus diperhatikan adanya perbedaan keadaan
masyarakat dan keperluan golongan rakyat, tetapi dengan menjamin perlindungan
terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah. Golongan ekonomis lemah
tersebut, bisa warga negara asli maupun keturunan asing. Demikian pula
sebaliknya.
Pasal 6 UUPA : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial; yang
memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah
yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan, jangan mengabaikan,
melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pasal 7 : Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
diperkenankan.
Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman
yang ada di atasnya. Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya
meliputi bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Namun dalam praktek
dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai tanah meliputi juga bangunan
dan tanaman yang ada di atasnya, aasalkan bangunan dan tanaman tersebut secara
fisik merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan, artinya bangunan
yang berfondasi dan tanaman merupakan tanaman keras; bangunan dan tanaman
keduanya milik si empunya tanah; maksud demikian secara tegas disebutkan
dalam akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang
bersangkutan.
9. Asas Spesialitas
Bahwa tanah yang didaftarkan harus jelas-jelas diketahui dan nyata ada di lokasi
tanahnya.
Proses pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik diawali
dengan pembuatan perjanjian antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan. Perjanjian tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 huruf b UUPA haruslah
berbentuk otentik dan dituangkan dalam akta PPAT yang berjudul: Akta Pemberian Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut
PMNA/Ka. BPN No. 3 Tahun 1997), sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai
pemindahan atau pembebanan hak atas tanah, PPAT wajib terlebih dahulu mengecek
keabsahan dari sertipikat Hak Milik yang bersangkutan pada Kantor Pertanahan setempat.
Oleh karena perbuatan hukum pembebanan hak ini merupakan obyek Pajak
Penghasilan (PPh) pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan obyek Bea Perolehan Hak atau
Tanah dan Bangunan (BPHTB), maka masing-masing pihak wajib membayar pajak-pajak
dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dapat dilakukan
terhadap seluruh tanah Hak Milik atau sebagian dari tanah Hak Milik, hal mana disepakati para
pihak secara tegas dalam Akta PPAT.
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut memuat
syarat-syarat yang disepati oleh para pihak, yakni :
Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (untuk selanjutnya disebut PP 40 Tahun
1996) menetapkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka
waktu paling lama 30 tahun. Sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan
untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Jangka waktu tersebut tidak dapat
diperpanjang, akan tetapi atas kesepakatan antara para pihak, pembebanan hak tersebut
dapat diperbaharui dengan pembuatan akta PPAT dan hak tersebut wajib didaftarkan.
Permasalahannya, dengan jangka waktu terbatas dan tidak dapat diperpanjang,
apakah pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik
menguntungkan bagi para investor/penanam modal, baik lokal maupun asing?
Bandingkan dengan jangka waktu untuk tanah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai
atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang
dapat diperpanjang dan diperbaharui haknya. Dan khusus untuk kepentingan
penanaman modal, Pasal 28 juncto Pasal 48 PP 40 Tahun 1996 menetapkan, permintaan
perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai dapat dilakukan
sekaligus dengan membayar uang pemasukan untuk itu pada saat pertama kali
mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai. Dan dalam hal uang
pemasukan telah dibayar sekaligus, untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai hanya dikenakan biaya administrasi. Hal ini berarti investor dapat
memperoleh jaminan kepastian hukum atas jangka waktu penggunaan tanah Hak Guna
Bangunan selama 80 tahun dan untuk tanah Hak Pakai selama 70 tahun dengan
pembayaran uang pemasukan sekaligus di muka.
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut memberi hak kepada pemegang hak
yang bersangkutan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah
Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak sampai berakhirnya jangka
waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut.
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap membebani Hak Milik yang
bersangkutan, walaupun Hak Milik itu telah beralih atau dialihkan oleh
pemegang Hak Milik kepada pihak lain, dan pemegang Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap dapat melaksanakan haknya sampai jangka
waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai itu berakhir.
Dalam melaksanakan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut, pemegang Hak
Guna Bangunan/Hak Pakai tidak diperbolehkan menghilangkan tanda-tanda
batas pada tanah Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan tidak boleh
membangun bangunan yang melintasi batas obyek pemberian hak.
Dalam melaksanakan pembangunan, pemegang Hak Guna Bangunan/Hak
Pakai wajib memenuhi segala ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pendirian bangunan dan rencana tata ruang wilayah serta wajib
memiliki ijin-ijin yang disyaratkan.
Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku menjadi
tanggung jawab pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang bersangkutan.
Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai akan memelihara dan mengelola
bangunan, termasuk benda-benda serta sasarannya dengan sebaik-baiknya, dan
apabila ternyata ditelantarkan, maka yang bersangkutan menyerahkan dan
memberi kuasa kepada pemegang Hak Milik untuk mengelola dan
memeliharanya hingga jangka waktu pemberian haknya berakhir.
Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tidak diperkenankan menjual
dan/atau dengan cara apapun mengalihkan hak yang diperolehnya dan/atau
bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh
persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik.
Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak
diperkenankan untuk mengagunkan/menjaminkan hak yang diperolehnya
dan/atau bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu
memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik.
Khusus untuk Hak Pakai atas tanah Hak Milik, sekalipun dalam Pasal 4 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut
UU Hak Tanggungan) termasuk obyek hak tanggungan, namun karena hingga
saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya lebih lanjut,
sehingga belum bisa dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib :
Mengosongkan bangunan yang ada di atas tanah Hak Milik yang
menjadi obyek pemberian hak dan menyerahkannya kepada pemegang
Hak Milik berikut bangunan dan segala sesuatu yang berdiri dan
tertanam di atas bidang tanah tersebut, tanpa pembayaran ganti rugi
berupa apapun.
Membongkar bangunan yang ada di atas tanah Hak Milik yang menjadi
obyek pemberian hak dan menyerahkannya kembali kepada pemegang
Hak Milik seperti keadaan semula.
Bahwa mulai hari ditandatanganinya akta Pemberian Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik tersebut, segala keuntungan
yang didapat dari, dan segala kerugian/beban atas obyek pemberian hak
tersebut menjadi hak/beban pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai.
Untuk itu pemegang Hak Milik menjamin bahwa obyek pemberian hak
tersebut tidak tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak
terikat sebagai jaminan untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam
sertipikat dan bebas dari beban-beban lainnya yang berupa apapun.
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut
wajib didaftarkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
ditandatanganinya akta yang bersangkutan.
Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dilakukan
pada Kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan :
1. Surat permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak
Milik;
2. Sertipikat Hak Milik;
3. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Negara yang dibuat di
hadapan PPAT yang berwenang;
4. Identitas pemilik tanah Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai;
5. Surat kuasa tertulis dari pemohon (kalau ada);
6. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dalam
hal bea tersebut terhutang;
7. Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan, dalam hal pajak tersebut
terhutang.
Pendaftaran pembebanan hak tersebut dicatat dalam buku tanah dan sertipikat
Hak Milik yang bersangkutan dan selanjutnya sertipikat Hak Milik dikembalikan
kepada pemegang Hak Milik. Sedangkan untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
dibuatkan Buku Tanah dan Surat Ukur tersendiri dan kepada pemegang Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai diterbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan/Hak Pakai, yang di
dalamnya disebutkan asal sertipikat Hak Milik.
C. Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik Dipandang Dari Perspektif
Pemilikan Properti oleh Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing
Pada pertengahan tahun 1996, tepatnya tanggal 17 Juni 1996, Pemerintah
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia
(untuk selanjutnya disebut PP 41 Tahun 1996). Setelah lebih dari 14 tahun berlaku,
peraturan tersebut dirasa belum mampu memacu minat orang asing untuk memiliki
properti di Indonesia.
Pemerintah saat ini tengah gencar melakukan upaya deregulasi dan
debirokratisasi di bidang penanaman modal, agar Indonesia masuk dalam jajaran
negara berkembang yang mempunyai daya tarik bagi para investor, terutama investor
asing.
Dengan masuknya investor asing ke Indonesia, maka banyak warga negara
asing yang bekerja di Indonesia. Di samping itu dengan telah diberlakukannya
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang
Permohonan dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal pada tanggal 2 Januari
2010 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang
Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman
Modal pada tanggal 25 Mei 2010, maka akan semakin banyak investor asing yang
membutuhkan tanah dan properti untuk kegiatan proyek usahanya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat telah
menuntaskan Rancangan Peraturan Pemerintah pengganti PP 41 Tahun 1996 (untuk
selanjutnya disebut RPP). RPP ini diharapkan bisa membuka lapangan kerja bagi warga
lokal, meningkatkan arus wisatawan, serta meningkatkan pasar perumahan Indonesia
di luar negeri.
Hingga makalah ini dibuat, RPP tersebut belum diundangkan, oleh karena
masih menunggu disetujuinya amandemen 2 (dua) Undang-Undang, yakni UU No 4
Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dan UU No 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun.
Oleh karenanya pembahasan dalam makalah ini masih mengacu pada PP Nomor
41 Tahun 1996, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996
tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing
(selanjutnya disebut PMNA/Ka. BPN 7 Tahun 1996) dan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 8 Tahun 1996 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing (untuk selanjutnya disebut
PMNA/Ka. BPN 8 Tahun 1996) dikaitkan dengan RPP yang saat ini sedang digodog.
Pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing dapat dilakukan
dengan cara :
1. Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Negara berikut rumah yang ada di atasnya
dengan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk
tanah dan bangunan yang besangkutan sesuai ketentuan yang berlaku;
2. Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Negara dengan membayar BPHTB tanah dan
kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB) dan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Bangunan;
3. Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Pakai (setelah
memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik) berikut rumah yang ada
di atasnya dengan membayar BPHTB tanah dan bangunan;
4. Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Pakai (setelah
memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik) dengan membayar
BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat
mengurus IMB dan membayar PPN Bangunan;
5. Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Milik berdasarkan
perjanjian, berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar BPHTB tanah dan
bangunan;
6. Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Milik berdasarkan
perjanjian, dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri
rumah di atasnya, dengan syarat mengurus IMB dan membayar PPN Bangunan;
7. Memperoleh Hak Sewa untuk Bangunan (HSUB).
Sekalipun UUPA mengatur HSUB dalam Pasal 44 dan 45, namun hingga saat
ini belum ada satupun peraturan pelaksana yang mengatur hak tersebut. Hal ini
berpotensi besar terhadap timbulnya penyelundupan hukum.
HSUB adalah Hak Pakai yang mempunyai sifat khusus. Seperti halnya Hak
Pakai, subyek HSUB adalah warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan
di Indonesia, badan hukum Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia. HSUB adalah hak yang diberikan kepada orang/badan hukum
untuk mendirikan bangunan di atas tanah Hak Milik kepunyaan orang lain yang
diserahkan dalam kondisi kosong, dengan pembayaran sejumlah uang kepada
pemegang Hak Milik. Pemberian HSUB dibuktikan dengan akta sewa tanah yang
dibuat di hadapan Notaris atau PPAT. Hak ini tidak termasuk hak atas tanah yang wajib
didaftarkan, tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan dan
hanya dapat beralih dengan persetujuan pemegang Hak Milik.
RPP pengganti PP 41 Tahun 1996 mengatur pula HSUB. Hanya dalam RPP
tersebut HSUB dapat diberikan di atas tanah Hak Milik maupun di atas tanah Hak
Pengelolaan. Untuk melindungi pemberi Hak Sewa di atas tanah Hak Milik, jangka
waktu pemberian hak sewa disesuiakan dengan masa konstruksi bangunan yang
ditetapkan oleh instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya dan paling lama 50 (lima puluh) tahun.Dalam hal masa konstruksi
lebih dari 50 (lima puluh) tahun, maka dapat diperbaharui haknya 1 (satu) kali, dengan
jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun. Sedangkan jangka waktu
pemberian Hak Sewa di atas tanah Hak Pengelolaan paling lama 75 (tujuh puluh lima)
tahun dan tidak dapat diperpanjang dan diperbaharui.
1. Membeli Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dibangun di atas tanah Hak
Pakai atas Tanah Negara, dengan membayar BPHTB untuk tanah dan bangunan.
Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik untuk orang asing diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b PP 41 Tahun 1996 juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a PMNA/Ka.
BPN 7 Tahun 1996. Pembebanan tersebut didasarkan pada perjanjian tertulis antara
orang asing yang bersangkutan dengan pemegang Hak Milik, yang dibuat dengan Akta
PPAT.
Perjanjian tersebut dibuat untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak
boleh lebih lama dari 25 (dua puluh lima) tahun. Jangka waktu tersebut tidak bisa
diperpanjang. Sepanjang orang asing yang bersangkutan masih berkedudukan di
Indonesia, jangka waktu Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu tidak lebih
dari 25 (dua puluh lima) tahun, yang dibuat atas dasar kesepakatan dan dituangkan
dalam perjanjian yang baru.
Apabila orang asing tersebut sudah tidak lagi berkedudukan di Indonesia, maka
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah
dan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Dalam hal lewat jangka waktu tersebut, hak atas tanah berikut rumah tersebut
belum dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain, maka rumah tersebut menjadi milik
pemegang Hak Milik.
D. Tanah Hak Pakai Bankable
Sebidang tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Syarat Umum :
2. Syarat Khusus :
a) Tanah tersebut wajib didaftar;
b) Ditunjuk oleh Undang-Undang;
UU Hak Tanggungan menetapkan Hak Pakai sebagai salah satu obyek Hak
Tanggungan, tetapi apakah semua tanah Hak Pakai bisa dijadikan jaminan utang
dengan dibebani Hak Tanggungan ?
Hak Pakai dapat dibedakan menjadi Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pakai
atas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
1. Hak Pakai atas Tanah Negara
UU Hak Tanggungan menetapkan Hak Pakai atas tanah Negara sebagai
salah satu hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan.
Namun tidak semua tanah Hak Pakai atas tanah Negara dapat dijaminkan.
Hanya yang memenuhi syarat umum dan syarat khusus sebagaimana diuraikan di
atas yang dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan. Oleh karena itu,
tanah-tanah Hak Pakai yang diberikan kepada Instansi Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Badan-Badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara Asing,
walaupun wajib didaftar, namun karena menurut sifatnya tidak dapat
dipindahtangankan, maka bukan merupakan obyek hak tanggungan.
Dalam praktek, Bank kadangkala “enggan” menerima tanah Hak Pakai atas
tanah Negara sebagai jaminan kredit, oleh karena Pasal 43 UUPA menetapkan Hak
Pakai atas tanah Negara hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin dari
pejabat yang berwenang.
Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 98 ayat (1) PMNA/Ka.
BPN 3 Tahun 1997 yang menetapkan bahwa setiap pemindahan dan pembebanan
Hak Pakai atas tanah Negara memerlukan Ijin Pemindahan Hak. Ijin tersebut harus
sudah diperoleh sebelum akta yang bersangkutan dibuat.
2. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan tidak diatur dalam UU Hak Tanggungan.
Oleh karenanya tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan.
3. Hak Pakai atas tanah Hak Milik
Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik,
menurut pasal 4 ayat (3) UU Hak Tanggungan akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.