Anda di halaman 1dari 23

TRAUMA HIDUNG

I. DEFINISI

Trauma Hidung didefinisikan sebagai cedera pada hidung atau struktur terkait
yang dapat mengakibatkan pendarahan, sebuah cacat fisik, penurunan kemampuan
untuk bernapas normal karena obstruksi, atau terjadi gangguan penciuman. cedera
hidung dapat terjadi baik internal maupun eksternal.1

II. ANATOMI HIDUNG


Hidung merupakan bagian wajah yang paling sering mengalami trauma karena
merupakan bagian yang berada paling depan dari wajah dan paling menonjol. Hidung
secara anatomi dibagi menjadi dua bagian yaitu :2
 Hidung bagian luar (Nasus eksterna)
 Rongga hidung (Nasus interna atau kavum nasi)
a) Hidung bagian luar (Nasus eksterna)
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :3
 Pangkal hidung (bridge)
 Batang hidung (dorsum nasi)
 Puncak hidung (tip)
 Ala nasi
 Kolumela
 Lubang hidung (nares anterior)

1
Hidung luar dilapisi oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. 3
Kerangka tulang terdiri dari :3
 Tulang hidung ( os nasalis)
 Prosesus frontalis os maksila
 Prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :3
 Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
 Sepasang kartilago nasalis inferior yang disebut sebagai kartilago ala
mayor
 Tepi anterior kartilago septum

Gambar 1: Struktur Nasal Eksternal 4

2
b) Rongga Hidung (Nasus Interna/ Kavum Nasi)
Rongga hidung dibagi dua bagian, kanan dan kiri di garis median oleh septum
nasi yang sekaligus menjadi dinding medial rongga hidung. Kerangka septum
dibentuk oleh :3
 Lamina perpendikularis tulang etmoid
 Krista nasalis os maksila
 Tulang vomer
 Krista nasalis os palatine
Dibagian anterior septum nasi terdapat bagian yang disebut Area Little,
merupakan anyaman pembuluh darah yaitu Pleksus Kiesselbach. Tempat ini
mudah terkena trauma dan menyebabkan epistakis. Di bagian antrokaudal,
septum nasi mudah digerakkan. 3

Gambar 2: Septum nasi 4

3
Struktur Hidung bagian dalam terdiri atas:1
1. Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago
septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior
dan inferior oleh os vomer, krista maksila, Krista palatine serta krista sfenoid.
2. Kavum nasi, terdiri dari:
 Dasar hidung, dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
 Atap hidung, terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh
filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior.
 Dinding Lateral, dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial.
 Konka, Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus
inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di
sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan
konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior,
dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian
superior dan palatum.

4
Gambar 3: Struktur Nasal Internal 4

 Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus.1
Vaskularisasi Hidung
Rongga hidung bagian atas mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna,
sedangkan rongga hidung bagian bawah mendapat pendarahan dari cabang
a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina. a.etmoid anterior,
a.labialis superior dan a.palatine mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s

5
area).1 Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung), terutama pada
anak. 3
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan factor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial.3

\
Gambar 4: Vaskularisasi hidung 5
Persarafan Hidung
Bagian depan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V). Rongga hidung lainnya,sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion
sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut- serabut simpatis dari n.petrousus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung

6
posterior konka media. Nervus olfaktorius, saraf ini turun dari lamina kribrosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.3

Gambar 5 : Innervasi hidung bagian lateral 6

III. FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologi hidung dan sinus paranasalis adalah:3
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal. Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu
naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kea rah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara
yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lender. Pada musim

7
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lendir, sebaliknya pada musim dingin. Suhu
udara yang melalui hidung diatur 37 derajat selsius. Fungsi pengatur suhu
ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah dibawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus,
bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh ; rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir.Debu dan bakteri
akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke
nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat
menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.
2. Fungsi penghidu karena adanya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra
penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,
konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu
pembentukan konsonan nasal (m,n,ng).
4. Refleks nasal, mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan.
Contoh iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas
berhenti, dan rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pancreas.

8
IV. EPIDEMIOLOGI

Pada penelitian yang dilakukan di Brazil menyatakan bahwa berdasarkan


umur, kelompok usia 11-40 tahun sering mengalami trauma nasal. Berdasarkan
jenis kelamin, baik pria maupun wanita tidak ada perbedaan statistik pada trauma
hidung, namun insiden pada usia remaja laki-laki dua kali lebih sering mengalami
trauma hidung dibandingkan pada perempuan.7

V. KLASIFIKASI

Trauma hidung dapat mengenai hidung, jaringan subcutis, mukosa yang


meliputi cavum nasi, kerangka tulang dan tulang rawan yang membentuk hidung
itu sendiri. Trauma pada hidung terdiri atas: 8

1. Trauma soft tissue: trauma kulit, jaringan subcutis dan mukosa yang meliputi
cavum nasi, dapat berupa contusio jaringan atau tanpa hematoma, laserasi,
echymosis, abrasi, vulnus, corpus allienum yang tertinggal di tempat trauma
atau hilangnya bagian-bagian hidung tersebut.
2. Trauma tulang: trauma pada tulang dapat berupa 1) Fraktur (kominutif yang
banyak mengenai pada orang tua, fraktur terbuka/tertutup), 2) Dislokasi
(banyak terjadi pada anak), dapat mengenai semua sendi rangka hidung /
septum, 3) Kombinasi fraktur-dislokasi.
- Trauma kerangka tulang dan tulang rawan dapat dibagi atas:
1) Fraktur os nasalis
2) Trauma naso-orbital
- Trauma berdasarkan hubungan dengan dunia luar, dibagi atas:
1) Trauma terbuka
2) Trauma tertutup
- Menurut arah traumanya dapat dibagi atas :7
1) Trauma lateral
2) Trauma frontal

9
Gambar 6 : Klasifikasi trauma berdasarkan arahnya7

Menurut Colton dan Beekhuis ada 4 tipe fraktur hidung berdasarkan arah trauma : 9

1. Tipe I : Depresi tulang hidung unilateral. Disebabkan trauma dari arah lateral
dengan kekuatan ringan dan sedang.
2. Tipe II : Fraktur multipel dari piramid hidung akibat trauma tumpul arah
frontolateral. Terjadi fraktur pada os nasal dan lamina perpendikularis dengan
fragmen eksternal dislokasi ke lateral.
3. Tipe III : Fraktur bilateral dan depresi atau dislokasi os nasal karena trauma
langsung dari arah frontal. Fraktur lamina perdenkularis dan kartilago dapat
terjadi karena depresi yang hebat.
4. Tipe IV : Kompresi dan fraktur septum disebabkan trauma arah kaudal kranial.

10
Gambar 7 : Fraktur nasal (A) Unilateral, (B) Bilateral , (C) Open Book, (D)
Comminuted, (E) Posterior inferior impaction, (F) Medial canthal ligament.9

11
VI.PATOMEKANISME

Hidung merupakan bagian penting pembentuk wajah dan merupakan struktur


yang prominen dari wajah. Oleh karena struktur tersebut, hidung mudah terkena
trauma. Trauma hidung dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecerobohan
dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dan perkelahian serta kecelakaan olah
raga, trauma pada hidung juga bisa berupa trauma akibat inhalasi. Trauma hidung
dapat merupakan trauma sendiri atau pun bagian trauma wajah lainnya dan dapat
mengenai kulit, jaringan subkutis, kerangka tulang, septum atau os maksila. 1,6,8

Trauma hidung bisa terjadi secara internal maupun eksternal. Trauma internal
pada hidung biasanya terjadi ketika sebuah benda asing (termasuk jari) dimasukkan
didalam hidung atau ketika seseorang mengonsumsi obat-obatan penyalahgunaan
(inhalants atau kokain) melalui hidung. Trauma eksternal hidung biasanya disebabkan
kekerasan atau trauma tumpul yang dapat berhubungan dengan olahraga, tindakan
pidana (pemukulan), kekerasan yang dilakukan orangtua terhadap anak, kecelakaan
mobil atau sepeda. Jenis trauma ini dapat mengakibatkan fraktur hidung. 1,10

Kerusakan yang dapat terjadi pada trauma hidung bervariasi, tergantung dari
beberapa faktor yaitu:1,8

1. Usia
Usia pasien sangat berpengaruh pada fleksibilitas jaringan dalam meredam energi
dari pukulan.
2. Besar kekuatan trauma/besarnya gaya yang mengenai
Tenaga sebesar 25-75 pons per meter persegi cukup untuk membuat fraktur nasal.
3. Arah pukulan dimana akan menentukan bagian nasal yang rusak
Trauma dari arah lateral berbeda dengan trauma dari arah frontal.

12
a. Trauma lateral

Trauma dari arah lateral paling sering terjadi dan bervariasi beratnya mulai
dari fraktur sederhana ipsilateral (simple-fracture) sampai kerusakan lengkap
(complete-fracture) dari tulang nasal disertai trauma jaringan lunak intranasal dan
ekstranasal.1

b. Trauma fontal

Trauma dari arah depan energi rendah biasanya memecahkan septum lebih
dahulu sebelum menyebabkan trauma piramid nasal. Pada trauma dengan energi
yang lebih besar menyebabkan pemisahan nyata dari tulang nasal yang
merupakan bagian dari fraktur nasoorbital ethmoid kompleks.1

Gambar 8: Menunjukkan adanya peningkatan derajat kerusakan karena peningkatan


kekuatan trauma berdasar pola trauma dari: A. arah frontal, B. arah lateral1

4. Kondisi dari obyek yang menyebabkan trauma nasal1

 Pola trauma tulang berupa fragmen-fragmen tulang yang tidak kominutif,


penyebab tersering karena pukulan tangan saat perkelahian, trauma olahraga,
jatuh tersandung, atau kecelakaan kendaraan kecepatan rendah.

13
 Pada trauma ini sejumlah energi yang besar diabsorbsi oleh kerangka nasal
dan wajah, menyebabkan putusnya fragmen tulang, rusaknya jaringan lunak
regio nasal dan rusaknya kerangka orbital wajah. Penyebabnya biasanya
pukulan keras tongkat atau pipa, jatuh dari ketinggian, kecelakaan olahraga
dengan proyektil (bola) yang bergerak cepat, atau kecelakaan kendaraan
kecepatan tinggi.

VII. DIAGNOSIS

A. Anamnesis

Anamnesis mekanisme terjadinya cedera secara detail akan


memudahkan untuk mengetahui tipe dan tingkat keparahan yang terjadi.
Trauma nasal seringkali terjadi karena kecelakaan lalu lintas, cedera olahraga,
perkelahian atau jatuh. Pada kasus kecelakaan kendaraan, informasi yang bisa
kita dapatkan yaitu kecepatan mengendaran, benturan secara langsung. Pada
anak-anak yang duduk di bangku depan akan berisiko pada trauma di kepala
dan di servikal. Selain itu yang harus dievaluasi adalah adanya perubahan
fungsi pada pernapasan, dan apakah ada perdarahan dengan rasa manis atau
asin ( untuk megetahui kebocoran cairan serebrospinal). Anosmia persisten
atau hiposmia akan terjadi setidaknya 5% pada individu yang menderita
trauma kepala dengan atau tanpa trauma hidung.1,2

mengetahui mengenai riwayat pasien termasuk riwayat trauma pada


hidung, deformitas sebelumnya pada hidung, riwayat operasi, dispneu, alergi,
dan adanya riwayat sinusitis. Orang yang melakukan rinoplasty sebelumnya
akan lebih mudah mengalami fraktur hidung. Diagnosis fraktur tulang hidung
biasanya berdasarkan adanya riwayat trauma hidung dan gejala klinis.
Keluhan apakah ada hidung terasa tersumbat, gangguan penciuman dan keluar
darah dari hidung atau mulut (epistaksis) perlu ditanyakan.1,8

14
B. Pemeriksaan fisis

Pemeriksaan intranasal dilakukan dalam rangka mencari sebuah defek


berupa hematoma yang dapat mengakibatkan konsekuensi yang serius seperti
matinya jaraingan kartilago yang mengalami defek. Pemeriksaan fisik pada
hidung dilakukan untuk menentukan ada tidaknya nyeri tekan, epistaksis,
edema, ekimosis, obstruksi nasal, hematoma orbital, hematoma jaringan
lunak, obstruksi nasal, laserasi mukosa, deformitas, dislokasi septum, depresi
tulang hidung dan krepitasi.1,2

C. Pemeriksaan penunjang (Radiography)

Biasanya pemakaian sinar X belum diperlukan, namun pada keadaan


fraktur yang lebih hebat misal yang melibatkan beberapa tulang sebuah
computed tomography (CT scan) mungkin diperlukan. Seorang dokter harus
mencari klinis cedera terkait seperti ekimosis periorbital, mata berair, atau
diplopia (penglihatan ganda) yang menunjukkan adanya cedera orbital. Selain
itu, fraktur gigi-geligi dan kebocoran cairan serebrospinal harus dicari.
Kebocoran cairan serebrospinal mengindikasikan adanya sebuah cedera yang
lebih parah dan memungkinkan terjadinya fraktur tulang etmoid.1,2

VIII.PENATALAKSANAAN

Pilihan penatalaksanaan bisa dengan reduksi tertutup atau reduksi terbuka


pada fraktur piramida eksternal atau septum. Kesempatan terbaik untuk
keberhasilan terapi adalah pada saat 3 jam pertama setelah cedera. Indikasi untuk
reduksi tertutup adalah fraktur unilateral atau bilateral dari tulang hidung dan
fraktur nasal septal kompleks dengan septum. Sedangkan pada reduksi terbuka
umumnya baik untuk fraktur luas dengan diskolasi tulang hidung dan septum,
deviasi piramida hidung, fraktur disertai dislokasi pada septum bagian caudal,
fraktur septum terbuka, dan deformitas persisten setelah reduksi tertutup. Indikasi

15
lain untuk reduksi terbuka termasuk hematoma septum, pengurangan tulang yang
tidak memadai karena deformitas septum, cacat gabungan septum dan kartilago
alar, fraktur pengungsi dari tulang belakang hidung anterior dan riwayat operasi
intranasal baru-baru ini.8

Deviasi septum adalah penyebab paling banyak yang terjadi pada obstruksi
nasal Di antara pasien dengan deviasi septum, riwayat trauma hidung atau trauma
midfasial sering menunjukkan perubahan asli fitur anatomi hidung yang normal.
Indikasi septoplasti secara klinis ialah pada deviasi septum yang mengakibatkan
sumbatan hidung bilateral maupun unilateral, epistaksis yang persisten maupun
rekuren, sakit kepala akibat contact point dengan deviasi septum, memperluas
akses ke daerah kompleks osteomeatal pada operasi sinus, akses pada operasi
dengan pendekatan transeptal transfenoid ke foss hipofise.11

Jika hanya fraktur tulang hidung saja dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut
dengan analgesia lokal. Tetapi jika pasien tidak koperatif memerlukan anestesi
umum. Analgesia lokal dapat dilakukan dengan memasang tampon lidokain 1-2%
yang dicampur dengan epinefrin 1:1000. Tampon kapas yang berisi obat analgesia
lokal ini dipasang masing-msing 3 buah pada setiap lubang hidung. Tampon
pertama diletakkan pada meatus nasi superior, tepat di bawah tulang hidung.
Tampon kedua diletakkan pada konka media dan septum dan bagian distal dari
tampon tersebut terletak dekat foramen spenopalatina. Tampon ketiga diletakkan
antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon tersebut dipertahankan
selama 10 menit. Kadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin
spray beberapa kali melalui rinoskopi anterior untuk memperoleh efek anestesi dan
vasokontriksi yang baik.12

Penggunaan analgesia yang baik dapat memberikan hasil yang sempurna pada
tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan reduksi tidak sempurna maka
fraktur tulang hidung tetap saja posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi
dikerjakan 1-2 jam setelah trauma. Di mana waktu tersebut edema yang terjadi

16
masih sedikit. Namun tindakan reduksi secara lokal masih dapat dilakukan sampai
14 hari setelah trauma. Sesudah waktu tersebut tindakan reduksi sangat sulit
dikerjakan karena sudah terjadi kalsifikasi. Sehingga harus dilakukan rinoplasti
osteotomi. 12

Alat-alat yang digunakan pada reduksi:13

a. Elevator tumpul yang lurus (Boies Nasal Fracture Elevator)


b. Cunam Asch
c. Cunam Walsham
d. Spekulum hidung pendek dan panjang (Killuan)
e. Pinset bayonet

Gambar 11 : Cunam ash, Walsham, dan Boles13

Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur dapat direposisi dengan


tindakan yang sederhana. Reposisi dilakukan dengan bantuan cunam Walsham. Pada
penggunaan cunam ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam kavum nasi sedangkan sisi
lain di luar hidung di atas kulit yang dilindungi dengan karer. Jika terdapat deviasi
piramid hidung karena dislokasi tulang hidung, cunam Asch digunakan dengan cara
memasukkan masng-msing bilah ke dua rongga hidung sambil menekan septum
dengan kedua sisi forsep. Sesudah fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula

17
dilakukan pemasangan tampon di dalam lubang hidung yang bisa ditambahkan
dengan antibiotik.12

Perdarahan yang timbil selama tindakan akan berhenti, sesudah pemasangan


tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar (gips) dilakukan dengan melakukan
beberapa lapis gips yang dibentuk dengan huruf T yang dipertahankan 10-14 hari.
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat pada tulang hidung
tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit. Kerusakan atau kelainan kulit pada
hidung diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi pada saat tindakan.12

Saat ini dikenal berbagai teknik septoplasti antara lain septoplasti tradisional
atau yang sering disebut septoplasti konvensional, septoplasti endoskopi dan teknik
open book septoplasty yang diperkenalkan oleh Prepageran dkk. Olphen menjelaskan
bahwa Cottle pada tahun 1963 memberikan konsep septoplasti konvensional, yang
dikerjakan dalam 6 tahap : (a) melepaskan mukosa periostium dan perikondrium dari
kedua sisi septum; (b) mengoreksi daerah patologis (c) membuang daerah yang
patologis (d) membentuk tulang dan tulang rawan yang dibuang (e) rekonstruksi
septum (f) fiksasi septum. Teknik untuk septoplasti dengan endoskopi adalah dengan
melakukan infiltrasi epinefrin 1:200.000 pada sisi cembung septum yang paling
mengalami deviasi menggunakan endoskopi kaku 00. Dilakukan insisi hemitransfiksi,
insisi tidak diperluas dari dorsum septum nasi ke dasar kelantai kavum nasi, tidak
seperti insisi konvensional yang diperluas sampai bagian superior dan inferior. Pada
septoplasti endoskopi hanya dibutuhkan pemaparan pada bagian yang paling deviasi
saja. lap submukoperikondrial dipaparkan dengan menggunakan endoskopi, tulang
yang patologis dan bagian septum yang deviasi dibuang. Bekas insisi ditutup dan
tidak dijahit kemudian dipasang tampon. Sedangkan Prepageran dkk melaporkan
teknik septoplasti dengan metode open book, dimana insisi dibuat secara vertikal
tepat di daerah anterior deviasi kemudian insisi horizontal sesuai aksis deviasi paling
menonjol.14

18
IX. PROGNOSIS

Fraktur tulang hidung tanpa malposisi memiliki prognosis yang sangat


baik, biasanya penyembuhan tanpa cacat kosmetik atau fungsional. Pada fraktur
dengan malposisi, bahkan setelah dilakukan reduksi tertutup, sering meninggalkan
kelainan kosmetik dan deviasi septum, dan mengharuskan dilakukannya rinoplasti
dan/atau septoplasti. Prognosis untuk trauma jaringan lunak hidung tergantung
pada penyebab dan sejauh mana luka yang terjadi. Seperti cedera robek yang
disebabkan oleh gigitan memakan waktu lebih lama untuk sembuh daripada luka
yang sederhana, dan mungkin memerlukan bedah plastik di kemudian hari untuk
mengembalikan penampilan hidung. Kerusakan jaringan lapisan hidung yang
disebabkan oleh paparan iritasi asap atau tembakau dalam lingkungan biasanya
reversibel setelah pasien dijauhkan atau menghindar dari kontak dengan zat yang
merusak.1,8

X. KOMPLIKASI
1) Komplikasi cepat

Komplikasi cepat sementara termasuk edema, ekimosis, dan hematom.


Hal tersebut bisa kembali baik secara spontan tetapi hematom pada septum
merupakan hal yang cukup serius untuk segera melakukan drainase. Hal
tersrbut bisa menyebabkan infeksi dan menyebabkan hilangnya kartilago
septum dan juga deformitas pada septum. Hematoma septum bisa di diagnosis
ketika terdapat pembengkakan yang persisten da nada rasa nyeri. Epistaksis
biasanya akan berhenti secara spontan, tetapi jika kembali hal ini bisa
dikontrol dengan tampon hidung, pengikatan pembuluh darah untuk mencapai
hemostasis. Sedalam-dalamnya perdarahan pada anterior disebabkan karena
laserasi pada arteri ethmoidal anterior, yang merupakan cabang dari arteri
carotis interna. Perdarahan pada bagian posterior biasanya berasal dari arteri
ethmoidalis posterior yang merupakan cabang lateral dari arteri spenopalatina.

19
CSS hal yang jarang terjadi dan berhubungan dengan fraktur pada cibriform
plate atay pada dinding posterior dari sinus frontal. Mendeteksi β-transferrin
pada drainase hidung adalah metode yang cukup dipercaya untuk
mendiagnosis kebocoran cairan serebrospinal.8

2) Komplikasi lambat

Komplikasi lambat ataupun komplikasi tertunda termasuk diantaranya


obstruksi jalan napas, fibrosis atau scar yang kontraktur, deformitas hidung
sekunder, sinekia, saddle-nose deformity, dan perforasi septum. Penanganan
terbaik pada komplikasi ini adalah dengan mencegah.8

Secara umum komplikasi yang bisa terjadi di antaranya:

a. Kosmetik

Kelainan fisik secara eksternal merupakan hasil dari trauma hidung yang
termasuk diantaranya pembengkokan bagian belakang, deviasi sisi lateral pada
bagian dorsum dan ujung, serta ujung hidung yang miring. Kelainan septum
kompleks (dan obstruksi) juga bisa mengakibatkan pembengkokan tulang,
perubahan kompleks pada hidung, defleksi angular pada septum. Secara internal,
bisa ditemukan laserasi disertai obstruksi jaringan.8

b. Disfungsi penciuman

Trauma kepala dapat menyebabkan fraktur hidung, fraktur yang lebih dari 2
mingu menyebakan deformitas, dan anosmia post traumatic.8

c. Epistaksis dan kebocoran cairan serebrospinal

Permulaan edema dan epistaksis pada trauma hidung biasanya tanpa


intervensi bisa ditangani. Meskupun, epistaksis persisten pada trauma nasal
memerlukan tamponade. Dengan kebocoran cairan serebrospinal, kerusakan akan
terjadi secara signigikan lebih berat. Terapi yang dilakukan biasanya melakukan
observasi tertutup, bone grafting.2

20
d. Septal hematom dan Saddle nose deformity

Septal hematom merupakan hasil dari perdarahan, jarang terjadi secara


bilateral, di dalam subperikondrial pada septum. Jika tanpa kendali, fibrosis pada
`septal kartikalago akan terjadi, diikuti dengan nekrosis dan perforasi selama 3-4
hari. Penanganannya sangat penting dan dilakukan pembuatan insisi secara
horizontal pada dasar septal. Deformitas pada hidung bisa terjadi akibat trauma
lahir. 2

XI. KESIMPULAN

Trauma Hidung merupakan cedera pada hidung atau struktur terkait yang
dapat mengakibatkan pendarahan, sebuah cacat fisik, penurunan kemampuan untuk
bernapas normal karena obstruksi, atau terjadi gangguan penciuman. cedera mungkin
baik internal maupun eksternal. Penanganan dan pengobatan Trauma hidung dapat
berbeda tipenya tergantung pada kondisi pasien dan penyakit yang dideritanya.
Pilihan pengobatan adalah pembedahan hidung. Pencegahan trauma hidung berupa
menghindari faktor risiko yang memungkinkan terjadinya trauma hidung.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Lalwani AK. Nasal trauma: Current diagnosis & treatment in otolaryngology-


head & neck surgery. 2th ed. USA: McGraw-Hill;2007.

2. Stephen W, Perkins MD, Steven H, Dayan MD. Management of nasal


trauma. New York: 2002 Nov: 1-20

3. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi EA,


Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (editors). Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke tujuh. Jakarta; Badan
Penerbit FKUI:2014.96-100.

4. Amedee RC , Miller AJ. Sinus anatomy and function in head and neck
surgery-otolaringology. 2001;3(1):321-328.

5. Moore KL, Agur AM, Dalley AF. Essensial clinical anatomy. 4th.
Ed.2000.690.

6. Probst R, Grevers G, et al. Nose,Paranasal Sinus, and Face : Basic


Otolaryngology. A Step By Step Learning Guide. Thieme. 2006. P1-27.

7. Gaia RB, Machado MR. Epidemiological study of nasal trauma in a


otorhinology clinic in the south zone of the city of Sao Paulo.
Brazil:Faculdade de Medicina de santo Amaro;2008. p1-6.

8. Bailey BJ. Nasal Trauma in head and neck surgery otolaryngology. J B


Lippincott Company Philadelphia. 2006;(1):1007-31

9. Michael PO, Lipinsky Lindsay, The Treatment of Nasal Fractures A Changing


Paradigm. American Medical Association.2009. P1-7

10. Chegar BE, Tatum SA. Nasal Fraktures. Cummings: Otolaryngology head &
neck surgery, 4th ed.Elsiever. 2007.

11. Nawaiseh S, Al-Khtoum N. Endoscopic septoplasty: Retrospective analysis of


60 cases. J Pak Med Assoc.2010; 60:796-8.

12. Munir M, Widiarni D, Trimatani. Trauma muka. Dalam: Soepardi EA,


Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (editors). Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke tujuh. Jakarta; Badan
Penerbit FKUI:2014.181-5.

13. Ondik MP, Lipinski L, Dezfoli S, Fedok FG. The treatment of nasal fracture:
a changing paradigm. Arch Facial Plast Surg. 2009;11(5):296-302.

22
14. Nawaiseh S, Al-Khtoum N. Endoscopic septoplasty: Retrospective analysis of
60 cases. J Pak Med Assoc.2010; 60:796-8.

23

Anda mungkin juga menyukai