Anda di halaman 1dari 30

BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. J
Usia : 64 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Kristen
Pekerjaan : Penjahit
Pendidikan Terakhir : SD

KELUHAN UTAMA

- Kontrol Diabetes Mellitus dan Hipertensi

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

- Pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2017 pasien datang ke Puskesmas X untuk kontrol
penyakit Diabetes Mellitus dan Hipertensi. Menurut keterangan pasien, pasien sudah
menderita Diabetes Mellitus dan Hipertensi sejak 4 tahun yang lalu. Awalnya pasien hanya
merasa lemes kemudian pasien periksa ke Puskesmas Gedongtengen, setelah dilakukan
pemeriksaan gula darah sewaktu hasilnya adalah 400mg/dL dan tekanan darahnya adalah
180/110 mmHg. Untuk selanjutnya pasien rutin kontrol gula darah tiap bulan, saat ini
pasien mengaku tidak ada keluhan apapun.
- Semenjak terdiagnosis DM, awalnya pasien tidak percaya, namun akhirnya pasien
menerima dan mulai sering memperbanyak aktifitas fisik seperti jalan sehat, senam masal,
dan kontrol gula darahnya di puskesmas setiap 1 bulan sekali. Pasien mengatakan untuk
sakit DM-nya pasien tidak pernah mendapatkan obat suntik tetapi hanya obat minum
saja.Setelah terdiagnosis DM pasien kadang mengalami keluhan sering lemas, sering lapar
dan haus, dan sering BAK.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

- Riwayat penyakit jantung, stroke dan asma disangkal


- Riwayat trauma disangkal
- Riwayat operasi disangkal
- Riwayat alergi disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

- Kedua orang tua pasien memiliki riwayat hipertensi


- Kakak kedua dan kakak ke enam pasien memiliki riwayat DM
- Riwayat penyakit jantung, stroke dan asma pada keluarga disangkal
- Riwayat alergi pada keluarga disangkal

RIWAYAT PERSONAL SOSIAL

a. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien adalah SD. Setelah lulus pasien tidak melanjutkan ke jenjang
selanjutnya dikarenakan masalah biaya.
b. Riwayat Penikahan
Pasien menikah 1 kali pada tahun 1971. Dari pernikahannya pasien dikaruniai 1 anak
perempuan dan 1 anak laki-laki. Hubungan pasien dengan keluarga terjalin baik.
c. Riwayat Sosial
Pasien berhubungan dengan tetangganya hanya jika ada keperluan saja. Hubungan pasien
dengan tetangganya terjalin baik.
d. Riwayat Pekerjaan
Pasien bekerja dirumahnya sebagai penjahit bersama suaminya. Penghasilan yang
didapatkan dirasa cukup untuk memenuhi kegiatan sehari-hari.
e. Gaya Hidup
1) Pola Makan
Pasien makan 2x sehari pada siang dan malam dengan nasi, lauk, dan sayur. Pasien
jarang sarapan. Pasien mengurangi makan dan minum yang manis.
2) Olahraga
Tiap minggu pasien mengikuti senam masal yang diselenggarakan oleh RT.
3) Istirahat
Pasien mengatakan tidur cukup. Pasien tidur jam 10 malam dan bangun jam 5 pagi.
Pasien tidak pernah tidur siang.
4) Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan minum kopi, merokok, dan alkohol.

ANAMNESIS SISTEM

a. Sistem saraf pusat : pusing (-), nyeri kepala (-)


b. Sistem integumentum : tidak ada keluhan
c. Sistem muskuloskeletal : nyeri pada persendian (-)
d. Sistem gastrointestinal : nyeri perut kanan bawah (+), mual (+), muntah (+)
e. Sistem urinaria : tidak ada keluhan
f. Sistem respiratori : sesak nafas (-)
g. Sistem cardiovascular : berdebar-debar (-)

ANAMNESIS PENGALAMAN SAKIT

a. Pikiran: Pasien mengerti sakit diabetes tidak dapat disembuhkan namun dapat
dikendalikan.
b. Perasaan: Pasien tidak khawatir dengan kondisinya. Pasien berdamai dengan
penyakitnya, bersikap menerima dan memasrahkan diri kepada tuhan.
c. Efek pada Fungsi: Pasien mengaku aktivitas sehari-hari tidak menjadi batasan karena
penyakitnya. Pasien masih dapat beraktivitas sehari-hari sebagai penjahit dan masih
sering mengikuti kegiatan sosial.
d. Harapan: Pasien berharap sakit yang dideritanya tidak akan membatasi aktivitas sehari-
harinya dan tidak bertambah parah.

PEMERIKSAAN FISIK

Kesan umum : Baik


Kesadaran : Compos mentis GCS : E4 M6 V5
Vital sign : - Tekanan Darah : 140/90 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Respirasi : 22 x/menit
- Suhu : 36,5 oC
-
Status Gizi : BB: 70 kg IMT: 25,2 (overweight)
TB: 165 cm
Pemeriksaan
kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, dan wajah simetris
- Mata : edema (-/-), CA (-/-), SI (-/-), pupil isokor, r.cahaya
(+/+)
- Telinga : perdarahan (-/-), cairan (-/-)
- Hidung : jelaga (-/-), perdarahan (-/-)
- Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), edema
faring (-)
Pemeriksaan
leher : - Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar
- Kelenjar limfonodi : tidak teraba membesar
Pemeriksaan
dada : Bentuk dada : simetris (+), retraksi sela iga (-)
Pemeriksaan Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi :ictus cordis teraba pada sela iga V linea midclavicularis.
Perkusi : Batas jantung
- Kanan atas : SIC II linea para sternalis kanan
- Kiri atas : SIC II linea para sternalis kiri
- Kanan bawah : SIV IV linea para sternalis kanan
- Kiri bawah : SIC V linea midclavicularis kiri
Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan paru-paru :
Kanan Kiri
Inspeksi Tampak simetris Tampak simetris
retraksi subcostalis (-) retraksi subcostalis (-)
retraksi supraclavicularis (-) retraksi supraclavicularis (-)
retraksi intercostalis (-) retraksi intercostalis (-)
ketinggalan gerak (-) ketinggalan gerak (-)
Palpasi Ketinggalan gerak (-) Ketinggalan gerak (-)
vokal fremitus sama (+) vokal fremitus (+)
Perkusi Sonor pada seluruh lapangan Sonor pada seluruh lapangan
paru paru
Auskultasi Suara dasar vesicular Suara dasar vesicular
ronkhi (-) ronkhi (-)
wheezing (-) wheezing (-)
Pemeriksaan
perut
: Inspeksi : distended (-), darm contour (-)
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut, shifting dullnes (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Pemeriksaan
genital dan
: Pembesaran kelenjar limfe inguinal (-/-)
regio inguinal

Pemeriksaan : Superior : oedem (-/-), tremor (-/-), sianosis (-/-), capillary refill
ekstremitas <2 detik, akral hangat, tonus otot cukup
:
Inferior : oedem (-/-), tremor (-/-), sianosis (-/-), capillary refill
<2 detik, akral hangat, tonus otot cukup

PEMERIKSAAN PENUNJANG

- GDP (19/9/2017): 105 mg/dL


- GDP (6/11/2017: 112 mg/dL
- GDP (19/12/2017): 91,10 mg/dL

INSTRUMEN PENILAIAN KELUARGA

a. Genogram Keluarga
b. Bentuk Keluarga (Family Structure)
Extended family (Goldberg, 1980)
c. Tahapan Siklus Keluarga (Family Life Cycle)
Family in later life (Carter & McGoldrick ,1989)
d. Peta Keluarga (Family Map)

e. APGAR Keluarga (Family APGAR)

APGAR Keluarga Hampir selalu Kadang- Hampir tidak


(2) kadang (1) pernah (0)
1. Saya merasa puas karena saya dapat meminta pertolongan v
kepada keluarga saya ketika saya menghadapi
permasalahan
2. Saya merasa puas dengan cara keluarga saya membahas v
berbagai hal dengan saya dan berbagi masalah dengan saya.
3. Saya merasa puas karena keluarga saya menerima dan v
mendukung keinginan-keinginan saya untuk memulai
kegiatan atau tujuan baru dalam hidup saya.
4. Saya merasa puas dengan cara keluarga saya v
mengungkapkan kasih sayang dan menanggapi perasaan-
perasaan saya, seperti kemarahan, kesedihan dan cinta.
5. Saya merasa puas dengan cara keluarga saya dan saya v
berbagi waktu bersama.
Skor Total 9 (Keluarga Fungsional)

Skala pengukuran: Skor: Contoh:


Hampir selalu = 2 8-10 = Sangat fungsional Jumlah = 7 poin.
Kadang-kadang = 1 4-7 = Disfungsional sedang Keluarga disfungsional sedang
Hampir tidak pernah = 0 0-3 = Disfungsional berat

f. SCREEM Keluarga (Family SCREEM)

Aspek Sumber Daya Patologis


SCREEM
Social Interaksi dengan keluarga inti baik.
Sering bersosialisasi dengan
tetangga.
Cultural Pasien dan keluarga tidak
mempercayai mitos yang tidak
jelas terkait penyakitnya. Pasien
juga tidak berobat ke pengobatan
alternatif sebelumnya.
Religious Pasien mengaku taat dan sering
beribadah di Gereja.
Educational Pendidikan terakhir pasien SD.
Economic Pasien dan suaminya bekerja
sebagai penjahit. Penghasilan yang
didapat dirasa cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Medical Pasien memiliki BPJS. Akses ke
fasilitas kesehatan mudah.

g. Perjalanan Hidup Keluarga (Family Life Line)

Tahun Usia (Tahun) Life Events/ Crisis Severity of Illness


1996 43 Pasien mulai bekerja sebagai penjahit
2006 53 Gempa Jogja Stress Psikologis
2007 54 Ayah pasien meninggal Stress Psikologis
2013 61 Pasien terdiagnosis DM dan hipertensi Stress Psikologis

RUMAH DAN LINGKUNGAN SEKITAR

1. Kondisi Rumah
 Kepemilikan rumah sepenuhnya milik pasien.
 Lokasi rumah terletak di dekat jalan raya, jarak antar rumah kurang lebih 1 meter.
 Ukuran rumah 6 x 9 meter, dinding rumah terbuat dari tembok, lantai semen halus, langit-langit
tidak terpasang plafon, dan atap terbuat dari genteng.
 Kebersihan di dalam rumah cukup baik, tidak banyak barang berserakan di dalam rumah, pasien
tidak memiliki hewan peliharaan.
 Pencahayaan di dalam rumah sudah cukup baik.
 Ventilasi dan pertukaran udara mencukupi.
2. Lingkungan Rumah Sekitar
 Sumber air bersih: Sumber air dai sumur dan PAM
 Jamban keluarga: Terdapat 1 buah kamar mandi dengan 1 jamban jongkok dan bak mandi terbuat
dari semen dan sudah dilapisi porselen. Kesan kamar mandi bersih, tidak bau dan terawat.
Berukuran sekitar 1,5 x 1 m. Air dalam ember mandi bersih tidak ada jentik nyamuk.
 Tempat pembuangan sampah: Sampah dikubur di bawah pohon.
3. Denah Rumah

INDIKATOR PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT

No. Indikator PHBS Jawaban


Ya Tidak
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0 - 6 bulan
3. Menimbang berat badan balita setiap bulan
4. Menggunakan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan v
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun v
6. Menggunakan jamban sehat v
7. Melakukan pemberantasan sarang nyamuk di rumah dan v
lingkungannya sekali seminggu
8. Mengkonsumsi sayuran dan atau buah setiap hari v
9. Melakukan aktivitas fisik atau olahraga v
10 Tidak merokok di dalam rumah v
Kesimpulan: Rumah tangga tidak berPHBS.

DIAGNOSIS

- Differential Diagnosis
Diabetes Mellitus tipe 2
Hiperglikemia
Hipertensi

- Diagnosis Klinis
Diabetes Mellitus tipe 2 disertai Hipertensi grade 1

- Diagnosis Psiko-Sosial dan Kultural-Spiritual


Seorang Perempuan Lanjut Usia dengan Berat Badan Berlebih yang Bekerja dan Rumah
Tangga Tidak Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat
- Diagnosis Holistik
Diabetes Mellitus Tipe 2 Terkontrol dan Hipertensi Grade 1 pada Perempuan Lanjut Usia
dengan Berat Badan Berlebih yang Bekerja dan Rumah Tangga Tidak Berperilaku Hidup
Bersih dan Sehat

RENCANA PENGELOLAAN KOMPREHENSIF

1. Upaya Promotif
Edukasi kepada pasien dan minimal ada satu anggota keluarga yang ikut mendengarkan,
terkait:
a. Pengetahuan tentang Diabetes Mellitus tipe 2 dan apa saja penyebabnya, faktor resiko,
gejala-gejala, serta hal apa saja yang harus dilakukan untuk menunjang kesehatannya
karena DM adalah salah satu penyakit kronis tidak menular yang tidak dapat
disembuhkan namun dapat dikontrol.
b. Pengetahuan terkait cara mengubah pola hidup yang tidak sehat dan menjaga pola hidup
sehat yang sudah dilakukan, terutama dalam hal pola makan serta kandungan makanan,
aktifitas fisik rutin teratur, serta istirahat cukup.
c. Menekankan selalu pentingnya minum obat dan kontrol rutin ke layanan kesehatan
terdekat.
d. Memberikan dukungan semangat dan nasihat terkait dengan kewajiban taat dalam
beribadah.
2. Upaya Preventif
a. Menerapkan pola makan dengan prinsip 3J (Jadwal, Jenis, dan Jumlah).
b. Melakukan aktifitas fisik secara teratur 30 menit/ hari.
c. Istirahat cukup minimal 6-8jam/hari.
d. Melakukan manajemen stress yang baik.
e. Minum obat teratur sesuai anjuran dokter.
f. Melakukan kontrol rutin ke dokter untuk penyakitnya.
g. Melakukan perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Upaya Kuratif
R/ Metformin 500mg No.XXX
S2dd1
R/Amlodipin 5mg No. XV
S1dd1
4. Upaya Rehabilitatif
Belum diperlukan
5. Upaya Paliatif
- Mengingatkan pasien untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
- Memberitahu keluarga agar selalu memberikan dukungan kepada pasien.
BAB II

ANALISIS KASUS

Diagnosis klinis pasien adalah diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi grade 1. Diagnosis
tersebut didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis, didapatkan bahwa pasien menderita DM dan hipertensi sejak 4 tahun
yang lalu dan pasien melakukan kontrol rutin sejak saat itu.

Berdasaran PERKENI 2011, pengendalian kadar gula darah dapat menggunakan obat
minum. Pada pasien ini, pilihan terapi yang diberikan adalah Metformin 500mg yang diminum
sebanyak 2 kali sehari, setelah atau pada saat makan. Untuk hipertensinya pasien menggunakan
amlodipin 5 mg yang diberikan 1 kali sehari.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik
pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health
Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak
dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor
di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. (Sudoyo
et.al 2006)

2. Klasifikasi

Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 2.


American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in Diabetes
(2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam :

1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi

sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.

2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi
insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.

3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain

seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin,

penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia
lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ).

4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama
masa kehamilan.

3. Patofisiologi

1 Diabetes melitus tipe 1

Pada DM tipe I ( DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut diabetes


juvenilis), terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien membutuhkan suplai
insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi pada sel beta pankreas karena mekanisme
autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I terjadi lebih
sering pada pembawa antigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal ini terdapat
disposisi genetik. Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-
onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah
diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat defek
sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhan spankreas. IDDM dapat diderita

oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun lebih sering didapat pada anak – anak.

2 Diabetes Melitus tipe 2


Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM), sebelumnya disebut
dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan diabetes yang paling sering terjadi.
Pada tipe ini, disposisi genetik juga berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin
relatif; pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin
dapat normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas yang
berkurang terhadap insulin. Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat badan
berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak,
dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran
energi meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan
menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi
insulin yang memaksa untuk meningkatan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun
pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yang
penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yang lebih
penting adalah adanya disposisi genetic yang menurunkan sensitifitas insulin. Sering kali,
pelepasan insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen
yang menigkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa factor, kelaian
genetik pada protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi penggunaan
substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat terjadi pada usia
muda. Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek insulin pada
metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein dapat
dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan hiperglikemia
berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak.

3 Diabetes tipe lain

Defisiensi insulin relative juga dapat disebabkan oleh kelainan yang sangat jarang
pada biosintesis insulin, reseptor insulin atau transmisi intrasel. Bahkan tanpa ada disposisi
genetic, diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit lain, seperti pancreatitis dengan
kerusakan sel beta atau karena kerusakan toksik di sel beta. Diabetes mellitus ditingkatkan
oleh peningkatan pelepasan hormone antagonis, diantaranya, somatotropin (pada
akromegali), glukokortikoid (pada penyakit Cushing atau stress), epinefrin (pada stress),
progestogen dan kariomamotropin (pada kehamilan), ACTH, hormone tiroid dan
glucagon. Infeksi yang berat meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang telah
disebutkan di atas sehingga meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang telah
disebutkan diatas sehingga meningkatkan manifestasi diabetes mellitus. Somatostatinoma
dapat menyebabkan diabetes karena somatostatin yang diekskresikan akan menghambat
pelepasan insulin. (Silabernagi,2002)

4. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap
dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO.Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukandengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM


perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

 Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan
ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Apa bila hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).

Keterangan:
1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2
jam < 140mg/dL.

Tabel 3. Kriteria diagnosis DM

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda
diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan
mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji
diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasilpemeriksaan penyaringnya positif,
untuk memastikan diagnosis definitif (Sudoyo et.al 2006).

Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Diabetes melitus, toleransi
glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu(GDPT), sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementaramenuju diabetes melitus. Kedua keadaan
tersebut merupakan faktor risiko untukterjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular
di kemudian hari (PERKENI,2006).

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan testoleransi glukosa oral
(TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006).
Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan
diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan diagnosis
diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa terganggu. Berikut
adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

5. Penatalaksanaan

5.1. Tujuan penatalaksanaan

 Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman,
dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
 Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikro angiopati,
makro angiopati, dan neuropati.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatanmandiri dan perubahan perilaku. (PERKENI,2011)

5.2.`Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:

Evaluasi medis meliputi:

Riwayat Penyakit

 Gejala yang timbul,


 Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C, dan hasil
pemeriksaan khusus yang terkait DM
 Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
 Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
 Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi
medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri,
serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
 Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan
dan program latihan jasmani
 Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan
hipoglikemia)
 Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis serta
kaki
 Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata,
saluran pencernaan, dll.)
 Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
 Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)
 Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
 Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
 Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.

Pemeriksaan Fisik

 Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang


 Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri
untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta anklebrachial index
(ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi
 Pemeriksaan funduskopi
 Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
 Pemeriksaan jantung
 Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
 Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
 Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis
 Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
Evaluasi Laboratoris / penunjang lain

 Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial


 A1C
 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
 Kreatinin serum
 Albuminuria
 Keton, sedimen, dan protein dalam urin
 Elektrokardiogram
 Foto sinar-x dada

5.3. Evaluasi medis secara berkala

• Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan, atau pada
waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan kebutuhan

• Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan

• Secara berkala dilakukan pemeriksaan:

o Jasmani lengkap
o Mikroalbuminuria
o Kreatinin
o Albumin / globulin dan ALT
o Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dantrigliserida
o EKG
o Foto sinar-X dada
o Funduskopi

5.4. Pilar penatalaksanaan DM

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apa bila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada
keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai
indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat,
berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
(PERKENI,2011)

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup danperilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus.

2. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian daripenatalaksanaan diabetes secara total.
Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes
sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip
pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori danzat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka
yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

Karbohidrat

 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.


 Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
 Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau
diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak

 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan


melebihi 30% total asupan energi.
 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
 Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.

Protein

 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.


 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/Kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.

Natrium

 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok
teh) garam dapur.
 Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat

 Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi


cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik
untuk kesehatan.
 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

Pemanis alternatif

 Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.


Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
 Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
 Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
pada lemak darah.
 Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
 Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake
/ ADI)

B. Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkanpenyandang diabetes. Di
antaranya adalah dengan memperhitungkankebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30
kalori/kgBB ideal,ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.

Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yangdimodifikasi adalah sbb:

 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.


 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
 Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 BB Normal : BB ideal ± 10 %
 Kurus : < BBI - 10 %
 Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).

Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:


IMT = BB(kg)/
TB(m2)

Klasifikasi IMT

 BB Kurang < 18,5


 BB Normal 18,5-22,9
 BB Lebih ≥ 23,0

Keterangan:

o Dengan risiko 23,0-24,9

o Obes I 25,0-29,9

o Obes II > 30

*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its
Treatment.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara
40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi
20%, di atas usia 70 tahun.
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20%
pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan.Bila
kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-
1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi
besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan
(10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan
dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yangmengidap penyakit lain,
pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. (PERKENI,2011)

3. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit,sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive training). Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi maksimal (220/umur),
disesuaikandengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan
adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit
dan olahraga berat misalnya joging. (Sudaryono et.al 2006)

4. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5golongan:

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):sulfonilurea dan glinid

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformindan tiazolidindion


C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambatglukosidase alfa.

E. DPP-IV inhibitor

A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkansekresi insulin oleh sel beta pankreas,
dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun
masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal
dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan di ekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada PeroxisomeProliferator Activated Receptor


Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa diperifer.Tiazolidindion dikontraindikasikan pada
pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala.

C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat
atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi
pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping
hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

E. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L
di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke
dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan
sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian,secara cepat GLP-1 diubah
oleh enzim dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak
aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4(penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor,mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk
aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.

2. Suntikan

A. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:

• Penurunan berat badan yang cepat

• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

• Ketoasidosis diabetik

• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

• Hiperglikemia dengan asidosis laktat

• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan


perencanaan makan

• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

• Insulin kerja pendek (short acting insulin)

• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

• Insulin kerja panjang (long acting insulin)


Efek samping terapi insulin

• Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

•Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan
alergi insulin atau resistensi insulin.

B. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan
DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatanberat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel betapankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini
antara lain rasa sebah dan muntah. (PERKENI,2011)

3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal
atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-
combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi
OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin
kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10
unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan
terapi kombinasi insulin. (PERKENI,2011)

8.Pencegahan

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 tahap yaitu
(Suyono, 2006) :

Pencegahan primer: Semua aktifitas ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia


pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.

Pencegahan sekunder: Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes


penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang
sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikiandapat dilakukan upaya
untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversible. (cegah
kompilkasi)

Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi yang sudah
ada. Usaha ini meliputi:

- Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalanorgan (jangan
sampai timbul chronic kidney disease)

- Mencegah kecacatan tubuh


DAFTAR PUSTAKA

1. Soegondo, Sidartawan. Soewondo, Pradana. Subekti, Imam. 1995. Penatalaksanaan


Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan kelima, 2005. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.
2. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
JilidIII, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. Fauci, Anthony S. Braunwald, Eugene. Kasper, Dennis L. Hauser, Stephen
L.Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th Edition. The McGraw-
HillCompanies. 2008.
4. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakrta: IPD FKUI. 2006.
5. Silabernagi, Stefan. Florian Lang. Penyebab Diabetes Melitus. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. 2002. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Hiswani. Peranan Gizi Dalam Diabetes Mellitus.2009
7. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 : PERKENI 2011
8. Boon, Nicholas A. Walker, Brian. Davidson’s Principles and Practice of
Medicine. 20th Edition. Elsevier. 2006.
9. Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. Patofisologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2005
10. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006

Anda mungkin juga menyukai