Anda di halaman 1dari 57

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan


Sistem Pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan
mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses pencernaan (pengunyahan,
penelanan dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut
(oris) sampai anus. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan (esofagus), lambung (gaster), usus halus, usus besar (kolon), rektum dan anus.
Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu
pankreas, hati dan kandung empedu (Sherwood, 2011).

Gambar 1. Sistem pencernaan

a. Mulut
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan. Fungsi rongga mulut adalah
melumatkan-mencampurkan-mengecap makanan, berbicara juga bernafas.
Rongga mulut terdiri dari pipi, bibir, gigi dan lidah. Ada 2 jenis pencernaan
dalam rongga mulut, yaitu pencernaan mekanik dan kimiawi oleh enzim-enzim.

4
b. Faring
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Pada
lengkung faring terdapat tonsil yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung
kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi.

c. Esofagus
Berbentuk tabung / tube berotot dekat vertebra yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan
melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu
dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang.

d. Gaster
Gaster terletak pada epigastrium dan terdiri dari mukosa, submukosa,
lapisan otot tebal, dan serosa. Secara anatomis, ventrikulus terbagi atas kardiak,
fundus, korpus, antrum dan pilorus. Sphincter cardia mengalirkan makanan
masuk ke dalam ventriculus dan mencegah refluks isi ventrikulus. Di bagian
pilorus ada sphincter piloricum yang ketika berelaksasi makanan masuk ke dalam
duodenum, dan ketika berkontraksi mencegah terjadinya aliran balik isi
duodenum.
Lapisan epitel mukosa lambung terdiri dari sel mukus tanpa sel goblet. Pada
bagian kardiak, kelenjar terutama adalah sel mukus. Pada bagian fundus dan
korpus kelenjar mengandung sel parietal yang mensekresi HCl dan faktor
intrinsik, dan chief cell mensekresi pepsinogen. Bagian pilorus mengandung sel G
yang mensekresi gastrin.
Mukosa lambung dilindungi oleh berbagai mekanisme dari efek erosif asam
lambung. Mukus dan HCO3 dapat menetralkan asam di daerah dekat permukaan
sel. Prostaglandin E yang dibentuk oleh mukosa lambung melindungi lambung
dan duodenum dengan merangsang peningkatan sekresi bikarbonat, mukus
lambung, aliran darah mukosa, dan kecepatan regenerasi sel mukosa.
Fungsi utamanya adalah sebagai tempat penampungan makanan,
menyediakan makanan ke duodenum dengan jumlah sedikit secara teratur. Cairan
asam lambung mengandung enzim pepsin yang memecah protein menjadi pepton
dan protease. Asam lambung juga bersifat anti bakteri.

e. Usus Halus

5
Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang
diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang
melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan makanan yang
dicerna). Dinding usus juga melepaskan enzim yang mencerna protein, gula dan
lemak. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum),
usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
 Duodenum
Terletak setelah lambung dan merupakan bagian terpendek dari usus
halus, dimulai dari bulbus duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.
Duodenum merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus
seluruhnya oleh selaput peritoneum. Pada duodenum terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.
 Jejunum
Usus digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan
dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili),
yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan
dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara
hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel
goblet dan Plak Peyeri.
 Ileum
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.
Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi
menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.

f. Kolon
Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Kolon terdiri dari
beberapa bagian yaitu kolon asendens (kanan), transversum, desendens (kiri) dan
sigmoid (berhubungan dengan rektum). Bakteri yang ada pada kolon berfungsi
mencerna dan membantu penyerapan zat gizi, juga membuat zat-zat penting,
seperti vitamin K.

g. Sekum
Suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
yang menanjak dari usus besar.

6
h. Apendiks
Merupakan organ intraperitoneal. Vermiform appendix adalah tabung
dengan ujung yang buntu yang menyambung dengan sekum.

i. Rektum
Sebuah saluran setelah kolon sigmoid dan berakhir di anus. Organ ini
berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini
kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon
desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka
timbul keinginan untuk defekasi.

j. Anus
Merupakan lubang di ujung saluran pencernaan. Sebagian anus terbentuk
dari kulit dan sebagian lainnya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur
oleh otot sphincter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi.

k. Pankreas
Pankreas berfungsi menghasilkan enzim pencernaan (jaringan asini) serta
beberapa hormon seperti insulin (pulau langerhans). Pankreas melepaskan enzim
ke duodenum dan melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan
oleh pankreas akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Pankreas juga
melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi
duodenum dengan menetralkan asam lambung.

l. Hati
Hati memiliki peran penting dalam metabolisme dan beberapa fungsi tubuh
termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat,
juga memproduksi empedu, yang penting dalam pencernaan.

m. Kandung Empedu
Organ ini dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu, panjangnya sekitar 7-10
cm dan berwarna hijau gelap. Organ ini dihubungkan dengan hati dan duodenum
melalui saluran empedu. Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu membantu
pencernaan dalam penyerapan lemak dan pembuangan limbah tertentu dari tubuh,
terutama haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan
kelebihan kolesterol.
(Sherwood, 2011; Guyton, 2007)

7
2.2 Perdarahan Saluran Pencernaan
2.2.1 Definisi
Perdarahan saluran cerna merupakan suatu perdarahan yang terjadi
akibat suatu penyakit pada sepanjang saluran cerna mulai dari mulut hingga
anus. Secara garis besar perdarahan saluran cerna dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu perdarahan saluran cerna bagian atas dan bawah. Perdarahan saluran
cerna bagian atas adalah perdarahan saluran makanan proksimal dari
ligamentum Treitz mulai dari esofagus, gaster, duodenum dan yeyunum
proksimal. Sedangkan perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah yang
berasal dari ileum, kolon, rektum dan anus. Manifestasi klinis yang terjadi
dapat bersifat ringan sehingga sering diabaikan atau bahkan berat sehingga
merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan penanganan segera
(SIGN, 2008).

2.2.2 Epidemiologi
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu permasalah dalam
bidang kesehatan yang paling umum dijumpai sehingga memerlukan perhatian
khusus karena manifestasi klinisnya dapat berupa keluhan ringan hingga berat
yang dapat berakibat fatal. Berdasarkan letak perdarahan menurut adanya
ligamentum Treitz, dapat dibedakan menjadi perdarahan saluran cerna bagian
atas dan bawah, yaitu jika perdarahan berasal dari organ traktus
gastrointestinal yang terletak di proksimal dari ligamentum Treitz disebut
perdarahan saluran cerna atas dan jika di distal ligamentum Treitz disebut
perdarahan saluran cerna bawah.
Insidensi perdarahan saluran cerna masih sangat banyak. Di Amerika
Serikat (AS), terdapat sedikitnya 400.000 kasus rawat inap di rumah sakit dan
membutuhkan biaya sekitar 2 milyar dolar setiap tahunnya akibat PSCBA
(ASGE, 2014). Kasus yang sering terjadi di AS dan negara di Eropa adalah
ulkus peptikum yang berkaitan dengan penggunaan obat anti inflamasi non
steroid (OAINS / NSAID) dan pengaruh infeksi bakteri Helicobacter pylori
(Sanchez, 2011). Di Indonesia, tidak didapatkan secara pasti mengenai hal
terkait pada studi populasi. Namun menurut Purnomo (2005), penyebab utama
PSCBA di Indonesia adalah varises esofagus. Hasil yang sama didapatkan dari

8
penelitian di SMF Penyakit Dalam RSCM (2007) bahwa kasus PSCBA paling
banyak disebabkan oleh pecahnya varises esofagus.
Sedangkan pada saluran cerna bagian bawah, di Amerika rata-rata terjadi
35.7 dari 100.000 orang dewasa dirawat inap akibat PSCBB. Insidensi PSCBB
meningkat seiring bertambahnya usia dengan penyakit terbanyak adalah
divertikula pada usus besar. Para ahli mengatakan bahwa penyakit divertikula
kolon terjadi pada pasien dengan usia ≥ 50 tahun dan prevalensinya meningkat
pada usia ≥ 80 tahun. Kemudian untuk kasus hemorhoid merupakan penyebab
tersering LGIB pada pasien di segala usia, namun perdarahan yang terjadi
tergolong ringan (ASGE, 2014).

2.2.3 Faktor Resiko


a. Genetik
Menurut Gordan B. Mills dan Paula Trahan Rieger dalam Genetic
Predisposition to Cancer (2001), menyatakan bahwa kanker adalah
penyakit genetik. Pada karsinoma kolorektal terdapat dua kelompok pada
individu dengan keluarga penderita penyakit yang sama, yaitu individu
dengan riwayat keluarga menderita penyakit poliposis familial maupun
non-poliposis. Poliposis familial sering terjadi pada dewasa muda dan
biasanya mengalami degenerasi maligna. Adanya kanker kolon pada usia
muda kemungkinan berasal dari pertumbuhan poliposis. Sebagian dari
penyakit ini asimptomatik, namun ada yang menimbulkan gejala
perdarahan (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2011).

b. Usia
Menurut Syam A.F (2005), perdarahan SCBA sering terjadi pada orang
dewasa dan resiko meningkat pada usia > 60 tahun. Usia ≥ 70 tahun atau
lansia pembentukan musin berkurang sehingga rentan terkena gastritis dan
perdarahan saluran cerna. Pada lansia juga terjadi peningkatan frekuensi
pemakaian OAINS dan interaksi penyakit komorbid yang menyebabkan
terjadinya berbagai macam komplikasi. OAINS dan antiplatelet dianggap
mempengaruhi proteksi sel yang dibentuk oleh prostaglandin atau
mengurangi sekresi bikabornat (Soll, 2009). Individu dengan usia dewasa

9
muda dapat terkena karsinoma kolorektal, namun kemungkinan
meningkat tajam setelah usia 50 tahun (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2011).

c. Jenis Kelamin
Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang
mengalami perdarahan SCBA berjenis kelamin laki-laki. Dari penelitian
yang sudah dilakukan mayoritas menggunakan pendekatan epidemiologi
dan belum ada penelitian yang secara spesifik menjelaskan hubungan
perdarahan saluran cerna dengan jenis kelamin (Wasse, 2003).

d. Riwayat Gastritis
Riwayat gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada
kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi
oleh adanya gangguan dalam mekanisme pertahanan mukosa dan proses
penyembuhan (Soll, 2009).

e. Infeksi Helicobacter pylori


Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral yang
hidup dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung.
Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat infeksi
H.pylori <75% pada pasien ulkus duodenum dan 63% pada ulkus gaster
(Soll, 2009).

f. Peggunaan OAINS
Terdapat peningkatan risiko komplikasi ulkus (rawat inap, operasi,
kematian) pada orang tua yang mengkonsumsi OAINS. Studi cross
sectional terhadap individu yang mengkonsumsi OAINS pada dosis
maksimal dalam jangka waktu lama 35% hasil endoskopi adalah normal,
50% menunjukkan adanya erosi atau petechiae dan 5%-30% menunjukkan
adanya ulkus. Contoh OAINS yang sering dikonsumsi adalah ibuprofen,
naproxen, indomethacin, piroxicam, asam mefenamat, diklofenak (Soll,
2009).

g. Penggunaan Obat Anti Platelet


Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg / hari) menyebabkan faktor
perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan dosis subterapi 10 mg per
hari masih dapat menghambat siklooksigenase. Aspirin dapat

10
menyebabkan ulkus lambung, ulkus duodenum, komplikasi perdarahan
dan perforasi pada perut dan lambung (Derry, 2000).

h. Merokok
Merokok menghambat proses penyembuhan ulkus, memicu kekambuhan,
dan meningkatkan risiko komplikasi ulkus ke arah perforasi (Soll, 2009).

i. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan
mukosa lambung terhadap ion hidrogen (alkohol merangsang sekresi
asam) dan menyebabkan lesi akut mukosa gaster berupa perdarahan
mukosa (Soll, 2009).

j. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM terjadi perubahan mikrovaskuler salah satunya adalah
penurunan prostasiklin yang berfungsi mempertahankan mukosa lambung
sehingga mudah terjadi perdarahan (Djokomoeljanto, 2010).

k. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena jejas.
Selain itu hipertensi memperparah artherosklerosis karena plak mudah
melekat sehingga pada penderita hipertensi dianjurkan untuk
mengkonsumsi obat-obat antiplatelet (Wolf, 1991).

2.2.4 Manifestasi Klinis Umum


a. Hematemesis
Gejala berupa muntah darah yang merupakan indikasi adanya perdarahan
saluran cerna atas. Muntahan dapat berwarna merah kecoklatan atau
coffee ground (hematin, hitam seperti kopi).

b. Hematokezia
Gejala berupa keluarnya darah segar dari rektum yang merupakan indikasi
adanya perdarahan saluran cerna bawah, misalnya dari kolon proksimal.

c. Melena
Gejala berupa keluarnya feses berwarna gelap. Hal ini dapat disebabkan
karena feses bercampur dengan asam lambung atau darah yang

11
disebabkan dari perdarahan saluran cerna bagian atas, misalnya dari
duodenum atau kolon bagian kanan.
(Porter, 2008)

Mekanisme kehilangan darah akibat perdarahan yang terjadi dapat


berupa perdarahan samar hingga perdarahan masif yang dapat diikuti dengan
syok. Perdarahan tersamar (occult bleeding) hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan darah samar pada feses atau adanya anemia defisiensi besi,
sehingga sering tidak diketahui pada fase awal sakit (Djojoningrat, 2011).
Sedangkan kehilangan darah akut melebihi 20% volume intravaskular
mengakibatkan keadaan hemodinamik menjadi tidak stabil sehingga muncul
tanda-tanda seperti:
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau Mean Arterial Presure (MAP)<70
mmHg) dengan frekuensi nadi > 100/menit.
b. Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun >
20 mmHg.
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit.
d. Akral dingin.
e. Kesadaran menurun.
f. Anuria atau oliguria (produksi urine < 30ml/ jam).
(Adi, 2010)

2.2.5 Macam Perdarahan Saluran Cerna


Berdasarkan Oxford Handbook of Clinical Medicine (2010), penyebab
perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering terjadi adalah diakibatkan
oleh penyakit berikut:
 Esofagitis
 Varises esofagus
 Sindroma Mallory-Weiss
 Gastritis erosif
 Ulkus peptikum
 Duodenitis
 Neoplasma

12
Sedangkan kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah yang sering
terjadi diakibatkan oleh penyakit berikut:
 Penyakit divertikular
 Penyakit inflamasai pada usus :
o Penyakit Chron’s
o Kolitis ulserativa
 Penyakit jinak pada anorektal :
o Hemoroid
 Gangguan vaskular :
o Angioektasia / angiodisplasia
 Neoplasma :
o Karsinoma kolorektal
o Polip kolorektal
(ASGE, 2014)

13
2.3 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
A. Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum merupakan penyakit tukak lambung dan tukak duodenum
merupakan penyakit yang banyak dijumpai pada kelompok umur di atas 45 tahun.
Ulkus yang terjadi di setiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun tempat
perdarahan yang paling sering adalah dinding posterior bulbus duodenum, karena
di tempat ini dapat terjadi erosi arteri pankreatikoduodenalis atau arteria
gastroduodenalis. Insidensi perdarahan akibat tukak cenderung meningkat pada
pasien usia ≥ 60 tahun akibat adanya penyakit degeneratif dan pemakaian
OAINS. Banyak faktor yang berperan dalam patogenesis ulkus peptikum, antara
lain bakteri H. pylori, sekresi bikarbonat mukosa, pemakaian OAINS, alkohol,
stress, refluks empedu atau enzim pankreas, radiasi, gastrinoma dan Chron’s
disease.
Pada pasien akan muncul gejala dispepsia atau serangkaian gejala seperti
mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar dan cepat merasa
kenyang. Pada ulkus gaster, rasa sakit akan tetap ada walaupun sudah diberi
makan, sedangkan pada ulkus peptikum rasa sakit akan hilang setelah diberi
makan dan obat antasida. Gejala yang berkaitan dengan perdarahan ulkus
bergantung pada kecepatan kehilangan darah. Hematemesis atau melena dengan
tanda syok apabila perdarahan masif secara tiba-tiba dan perdarahan tersembunyi
yang kronik yang mengakibatkan terjadinya anemia defisiensi besi.
Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan selain dengan anamnesis dan
pengamatan klinis melalui pemeriksaan fisik, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan kontras (barium enema dan radiologi) dan
endoskopi. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan
melakukan biopsi jaringan melalui endoskopi, pemeriksaan darah samar pada
feses yang memperlihatkan hasil positif (test guaiac positif) dan pemeriksaan
darah rutin juga kadar besi bila terjadi perdarahan pada beberapa kasus pasien
(Akil, 2007).

14
Gambar 2. Gambaran endoskopi dan radiologi ulkus gaster

Gambar 3. Gambaran endoskopi dan radiologi ulkus duodenum

Tatalaksana
Terapi ulkus yang diberikan ada bermacam-macam tipe, salah satunya
adalah terapi ulkus dengan kausa H. pylori yang menggunakan kombinasi
antibiotik dan PPI, yaitu:
 PPI 2x1 + amoksisilin 2x1 g/hari + klaritromisin 2x500mg.
 PPI 2x1 + amoksisilin 2x1 g/hari + metronidazole 2x500mg.
 PPI 2x1 + klaritromisin 2x500mg + metronidazole 2x500mg.
Jenis preparat PPI yang tersedia adalah omeprazol 20mg, rabeprazol 10 mg,
pantoprazol 40mg, lanzoprazol 30mg, dan esomeprazol magnesium 20/40mg.
Proton pump inhibitor (PPI), merupakan obat pilihan untuk ulkus peptikum,
diberikan sekali sehari sebelum sarapan pagi atau jika perlu 2 kali sehari sebelum
makan pagi dan makan malam, selama 4minggu.
Obat lainnya adalah sukralfat 2x2gr sehari, atau 4x1 sehari berfungsi
menutup permukaan ulkus sehingga menghindari iritasi/pengaruh asam-pepsin
dan garam empedu, selain itu mempunyai efek tropik.

15
Terkadang akibat perdarahan yang terjadi memerlukan pemberian transfusi
dengan memperhatikan tanda – tanda hemodinamik seperti:
 Tekanan darah sistol < 100 mmHg.
 Hb < 10 gr%.
 Nadi > 100x/menit.
 Hematokrit < 30% / jam dianjurkan untuk pemberian transfusi dengan
darah segar hingga hematokrit mencapai > 30%.
Selain dengan farmakologi, bila tingkat keparahan ulkus yang terjadi terlalu
tinggi maka dapat dilakukan tindakan pembedahan untuk menutup ulkus yang ada
(Tarigan, 2007).

16
B. Sindroma Mallory-Weiss
Tahun 1929, Kenneth Mallory dan Soma Weiss pertama kali
menggambarkan suatu sindrom dengan karakteristik adanya perdarahan esofagus
yang disebabkan oleh robekan mukosanya pada pasien dengan keluhan mual dan
muntah yang menetap akibat konsumsi alkohol. Namun penyakit ini dapat terjadi
pada semua kejadian yan mengakibatkan tekanan lambung mendadak atau
prolapsus lambung ke dalam esofagus. Walaupun robekan biasanya terjadi pada
kejadian muntah berulang tetapi dapat juga terjadi pada kejadian yang pertama
kali. Sindroma Mallory-Weiss digambarkan sebagai perdarahan gastrointestinal
sekunder akibat robekan mukosa longitudinal pada gastroesophageal junction
atau cardia gaster.

Gambar 4. Mallory-Weiss’s tear

Robekan Mallory-Weiss tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Gambaran


klinis yang dapat ditemukan tergantung dari derajat perdarahan gastrointestinal.
Gambaran klasik termasuk episode hematemesis setelah mual atau muntah.
Kemudian dapat juga terjadi melena, takikardi, hipotensi, hematokezia, sinkop,
nyeri abdomen juga syok akibat perdarahan yang terjadi. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium untuk melihat derajat
keparahan perdarahan yang terjadi dan faktor koagulasi darah. Pemeriksaan
lainnya yang dapat dilakukan yaitu endoskopi. Diagnosa endoskopi dari
perdarahan Mallory-Weiss ditegakkan dengan adanya pedarahan aktif, bongkahan
fibrin yang menempel pada robekan mukosa dalam atau dekat junction
gastroesofagus. Rata-rata robekannya 2-3 cm dan selebar beberapa mm. Sebagian
besar pasien (>80%) datang dengan robekan tunggal. Lokasi robekan biasanya
terletak tepat dibawah junction gastroesofagus di kurvatura minor gaster (antara
jam 2 dan 6 pada tampilan endoskopi dengan posisi LLD).

17
Gambar 5. Gambaran endoskopi

Tatalaksana
Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk menangani perdarahan yang terjadi, di
antaranya adalah:
 Terapi farmakologi dengan injeksi epinefrin untuk mengurangi atau
menghentikan perdarahan melalui mekanisme vasokonstriksi dan
dikombinasikan dengan tamponade. Penelitian mengungkapkan bahwa
tamponade balon dapat dilakukan namun beresiko terjadi laserasi dan dapat
melebarkan robekan;
Injeksi sklerosan dilaporkan telah berhasil menghentikan perdarahan namun
bila ada alternatif lebih aman sebaiknya tidak dilakukan karena beresiko
menyebabkan nekrosis jaringan juga dapat terjadi perforasi.
 Peralatan termal kontak, seperti elektrokoagulasi multipolar (EKMP) atau
probe panas dengan atau tanpa injeksi epinefrin, untuk menangani
perdarahan aktif. Probe yang ditempelkan pada titik perdarahan akan
berakhir pada berhentinya perdarahan dan pembentukan koagulan putih.
 Ligasi pita dengan endoskopi telah menunjukkan efetif untuk menangani
perdarahan pada robekan. Ligasi pita terutama digunakan pada perdarahan
yang berkaitan dengan hipertensi portal dan varices esofagus, di mana terapi
panas tidak dianjurkan.
 Endoskopi hemoklip juga efektif , tepi dari robekan bisa didekatkan. Dimulai
dari ujung distal robekan,dan diteruskan kearah proksimal, atau hanya titik
perdarahan yang dihemoklip. Kadang terjadi kegagalan akibat lokasinya
miring atau robekan terlalu besar.

18
 Angioterapi dengan infus vasopresin selektif atau embolisasi arteri gastrika
sinistra dapat dilakukan pada pasien yang tidak memberikan responvterapi
endoskopi atau beresiko tinggi terhadap komplikasi endoskopi.
(Louis, 2004)

19
C. Varises Esofagus
Varises esofagus adalah terjadinya protrusi vena mulai dari distal hingga
proksimal lumen esofagus akibat hipertensi portal yang merupakan salah satu
komplikasi sirosis hati. Komplikasi hipertensi portal yang paling berbahaya
adalah perdarahan varises esofagus (D’ Amico, 2002).
Hipertensi portal paling baik diukur dengan menggunakan pengukuran
hepatic vein pressure gradient (HVPG). Perbedaan tekanan antara sirkulasi portal
dan sistemik sebesar 10-12 mmHg memicu terbentuknya varises. Nilai normal
HVPG adalah 3-5 mmHg. Perdarahan terjadi ketika varises pada esofagus ruptur
akibat tekanan dinding telah maksimal (de Franchis, 2010).
Pemeriksaan yang menjadi gold standar varises esofagus adalah
esofagogastroduodenoskopi (EGD) yang dapat menentukan lokasi dan ukuran
varises, perdarahan akut dan berulang serta menentukan penyebab dan derajat
beratnya penyakit hati. Jika esofagogastroduodenoskopi tidak dapat dikerjakan,
maka dapat dilakukan USG Dopler, radiografi (barium swallow), manometri dan
angiografi vena porta.

Panduan Diagnosa
1) Screening EGD untuk diagnosis varises esofagus dan gaster
direkomendasikan ketika diagnosa sirosis telah ditegakkan.
2) Pemeriksaan endoskopi disarankan berdasarkan tingkat sirosis dan kehadiran
juga ukuran varises:

Pasien dengan dan Pemeriksaan EGD Berkala


Tidak ada varises Setiap 2-3 tahun
Sirosis terkompensasi
Varises kecil Setiap 1-2 tahun
Sirosis tidak terkompensasi Setiap tahun

(D’ Amico, 2002)

20
Derajat varises esofagus berdasar ukuran dan sempitnya lumen:

Gambar 6. Derajat varises esofagus


a. Derajat 1
Dilatasi vena (<5 mm) yang masih berada pada sekitar esofagus.
b. Derajat 2
Dilatasi vena (>5 mm) menuju ke dalam lumen esofagus tanpa obstruksi.
c. Derajat 3
Dilatasi yang besar, berkelok-kelok, pembuluh darah menuju lumen esofagus
yang cukup menimbulkan obstruksi.
d. Derajat 4
Obstruksi lumen esofagus hampir lengkap, dengan tanda bahaya akan
terjadinya perdarahan (cherry red spots).
(Block, 2004)

Tatalaksana
Penatalaksanaan perdarahan pada varises esofagus dengan terapi
farmakologi; endoskopi antara lain adalah skleroterapi dan ligasi, tamponade
balon, Transjugular Intrahepatic Portosistemic Shunt (TIPS); dan operasi.

 Terapi farmakologi
Prinsip terapi farmakologi adalah menurunkan tekanan vena porta dan
intravena, yaitu dengan vasopresin dan terlipresin. Pada pasien dengan sirosis
dan hipertensi porta terjadi sirkulasi hiperdinamik dengan vasodilatasi.
Vasopresin adalah vasokonstriktor kuat yang efektif menurunkan tekanan
portal dengan menurunkan aliran darah portal yang menyebabkan
vasokonstriksi splanknik. Terapi ini rasional bila tekanan portal yang tinggi
(> 20 mmHg) dengan prognosis yang kurang baik. Sedangkan Terlipresin

21
adalah turunan dari vasopresin sintetik yang long acting, bekerja lepas
lambat. Memiliki efek samping kardiovaskuler lebih sedikit dibandingkan
dengan vasopresin. Terlipresin memodifikasi sistem hemodinamik dengan
menurunkan cardiac output dan meningkatkan tekanan darah arteri dan
tahanan vaskuler sistemik. Telripresin diberikan 2 mg/ jam untuk 48 jam
pertama dan dilanjutkan sampai dengan 5 hari kemudian dosis diturunkan 1
mg/ jam atau 12-24 jam setelah perdarahan berhenti.

 Terapi endoskopi
o Sebelum perdarahan pertama
• Varises ringan tidak memerlukan tindakan endoskopi.
• Varises dengan resiko perdarahan tinggi dapat diterapi dengan
propanolol 80-240 mg/hari yang dapat di kombinasi dengan 2 X 40
mg/ hari isosorbide mononitrate. Spironolakton dalam dosis 100-
200 mg/ hari dapat diberikan sebagai alternatif pengganti beta
blocker.
o Selama perdarahan pertama berlangsung
Terapi endoskopi terbukti efektif mengendalikan perdarahan aktif
dan dapat menurunkan mortalitas serta efektif mencegah perdarahan
varises berulang di bandingkan terapi medikamentosa atau tamponade
balon. Tamponade balon cocok jika endoskopi bukanlah pilihan atau
setelah tindakan endoskopi, operasi atau TIPS yang gagal. Terapi
endoskopi terdiri dari skleroterapi dan ligasi.
• Skleroterapi dengan polidocanol (etoksiskerol), pada prinsipnya
adalah memberikan tekanan dan trombosis pada varises, menginduksi
inflamasi dengan akibat terbentuk parut. Disuntikkan pada daerah
para varises atau intra varises.
• Ligasi bertujuan untuk merangsang trombosis, nekrosis dan terbentuk
parut. Keuntungan terapi ini adalah rata-rata komplikasi rendah,
secara keseluruhan morbiditas dan mortalitas karena perdarahan lebih
rendah dibandingkan skleroterapi, serta awal perdarahan ulang
biasanya jarang dibandingkan dengan skleroterapi.
• Tamponade balon pada prinsipnya adalah melakukan kompresi
eksternal pada perdarahan varises dengan mengembangkan balon.

22
Tamponade balon tepat dilakukan jika tidak ada pilihan endoskopik
emergensi atau setelah tindakan endoskopik, terapi operasi atau TIPS
gagal. Pada varises esofagus digunakan pipa Sengstaken-Blakemore
dengan dua balon.
o Setelah perdarahan pertama
Varises diligasi atau diberi sklerosan dengan polidokanol dan
dievaluasi 4 hari setelah hemostasis. Bila responnya baik, follow up
selanjutnya dalam 4 minggu, 3 bulan dan 6 bulan. Bila menetap,
skleroterapi atau ligasi berlanjut hingga 2-4 minggu hingga tercapai
eradikasi sempurna. Propanolol sebagai terapi tambahan juga dapat
diberikan.

 Transjugular Intrahepatic Portosistemic Shunt (TIPS)


Menurunkan tahanan aliran porta dengan cara shunt (memotong) aliran
melalui hati. Prinsipnya adalah menghubungkan vena hepatik dengan cabang
vena porta intrahepatik. Cara ini merupakan cara terakhir pada perdarahan
yang gagal diterapi dengan farmakoterapi, ligasi atau skleroterapi.

 Operasi
Prinsipnya adalah melakukan pembedahan pada anastomosis
portosistemik.
(Block, 2004)

23
2.4 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
A. Penyakit Divertikular
Penyakit divertikular (divertikulosis) merupakan keadaan di mana terdapat
banyak penonjolan mukosa yang menyerupai kantong (divertikula) dalam usus
besar, khususnya kolon sigmoid tanpa adanya inflamasi. Peradangan akut dari
divertikulum menyebabkan divertikulitis. Divertikulosis sangat sering dijumpai
pada masyarakat Amerika dan Eropa. Diperkirakan sekitar separuh populasi
berumur lebih dari 50 tahun memiliki divertikula kolon. Divertikulosis kolon
merupakan penyebab yang paling umum dari perdarahan saluran cerna bagian
bawah (Brunicardi, 2010).

Gambar 7. Divertikulosis kolon sigmoid

Penyebab
a. Peningkatan tekanan intralumen
Diet rendah serat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen
kolon dan memperpanjang lamanya waktu transit feses dalam kolon sehingga
menyebabkan herniasi mukosa melewati lapisan dinding otot kolon yang
menebal dan memendek (sebuah kondisi yang disebut mychosis).
b. Kelemahan otot dinding kolon
Terdapat daerah yang lebih lemah dibanding daerah lain di sekitarnya pada
kolon dan daerah tersebut adalah dinding otot kolon yang pada daerah itu
terdapat arteri yang membawa nutrisi menembus submukosa dan mukosa.
Selain itu, proses penuaan juga dapat melemahkan dinding kolon.
(Jackson, 2011)

24
Faktor Resiko
a. Pertambahan usia
Pada lansia terjadi penurunan daya regang dinding kolon sebagai akibat
perubahan struktur jaringan kolagen dinding usus.
b. Diet rendah serat
Menyebabkan penurunan massa feses menjadi lebih kecil dan keras, waktu
transit feses di kolon lebih lama sehingga absorpsi air lebih banyak dan
output yang menurun menyebabkan tekanan dalam kolon meningkat untuk
mendorong feses keluar. Hal-hal tersebut menyebabkan herniasi mukosa
kolon.
c. Konstipasi
Konstipasi menyebabkan otot-otot menjadi tegang sehingga tekanan
berlebihan menyebabkan titik-titik lemah pada usus besar menonjol dan
membentuk divertikula.
d. Gangguan jaringan ikat
Pada sindrom Marfan dan Ehlers Danlos dapat menyebabkan kelemahan
pada dinding kolon.
(Jackson, 2011)

Pada penegakkan diagnosis yang dimulai dari anamnesis, dapat ditanyakan


tentang pola dan frekuensi defekasi, konsistensi dan ada tidaknya darah pada
feses, juga mengenai gejala dan tanda yang dapat terjadi lainnya. Pada umumnya
divertikulosis tidak menimbulkan gejala. Namun gejala klinis yang dapat
dijumpai pada divertikulosis adalah nyeri perut pada fossa iliaka kiri, dapat terjadi
konstipasi atau diare, malaise, muntah, distensi abdomen bahkan terjadi tanda-
tanda terjadinya abses dan peritonitis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri
tekan ringan dan teraba padat pada bagian sigmoid. Tidak didapatkan demam dan
leukositosis bila tidak ada radang. Dapat juga dilakukan rectal touche untuk
mengetahui adanya nyeri tekan, penyumbatan atau darah.

25
Gambar 8. Divertikulosis dan divertikulitis

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah barium enema dan


kolonoskopi. Sensitivitas barium enema sangat tinggi, bahkan polip kecil dapat
terdeteksi. Kemudian pada saat ditemukan suatu tumor atau polip, dapat juga
dilakukan biopsi. Pemeriksaan lainnya adalah USG abdomen dengan gambaran
penebalan dinding kolon dan massa kistik, selain itu dapat menyingkirkan
kelainan pada pelvis dan ginekologi. Sedangkan CT Scan dapat dijumpai
penebalan kolon, streaky mesenteric fat dan tanda abses / phlegmon.

Gambar 9. Divertikel dengan tinja yang terperangkap

Tatalaksana yang diberikan meliputi diet tinggi serat dan tingkatkan asupan
cairan, bila terjadi infeksi divertikula (divertikulitis) dilakukan pemberian
antibiotik spektrum luas, istirahatkan usus dengan menunda asupan oral,
memberikan cairan intravena dan melakukan pemasangan NGT untuk
mendekompresi usus. Tindakan pembedahan biasanya dilakulan bila terjadi
tanda-tanda peritonitis atau adanya obstruksi sehingga lumen menutup, yaitu
dengan melakukan reseksi pada segmen usus yang sakit (Vermeiren, 2011).

26
B. Penyakit Inflamasai Usus
Penyakit inflamasi pada usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD)
adalah penyakit inflamasi pada saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai
saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari penyakit Chron,
kolitis ulseratif dan bila sulit dibedakan dari kedua hal tersebut, dimasukkan
dalam kategori intermediate colitis (Djojoningrat, 2006).

Gambar 10. Penyakit inflamasi pada usus

I. Penyakit Chron
Penyakit Chron atau enteritis regional adalah suatu peradangan
granulomatosa kronis yang transmural pada saluran cerna yang sering terjadi
berulang. Penyakit Chron dapat menyerang seluruh bagian saluran
pencernaan, mulai dari mulut yang berupa stomatitis sampai lesi pada anus.
Namun terdapat tiga lokasi primer yang paling sering, yaitu hanya usus halus
saja, usus halus bagian distal dan kolon, dan hanya kolon saja (Prince dan
Wilson, 2006).
Chron’s disease dapat menyerang pasien berusia lebih muda yaitu
sekitar 20 tahun pada usus halus, sedangkan pada yang berusia di atas 40
tahun lebih banyak menyerang kolon. Etiologi penyakit ini masih belum
diketahui secara pasti, namun diduga masih ada keterlibatan faktor genetik
terjadinya lesi pada usus disamping adanya kelemahan pada sistem imun,
infeksi mycobacterium atau virus akibat hipersensitivitas dan perokok aktif
maupun pasif (Grace, 2002).

27
Gambar 11. Perbedaan letak lesi

Manifestasi klinis yang didapati adalah nyeri abdomen menetap


terutama setelah makan akibat peristaltik usus yang dirangsang oleh makanan
yang pada usus didahului dengan pembentukan granuloma dan jaringan parut
dan hal tersebut pula menghalangi kemampuan usus untuk mentraspor
produk pencernaan, hal ini juga ditambah dengan akibat nyeri membuat
pasien membatasi makanan yang masuk sehingga kebutuhan normal nutrisi
tidak terpenuhi, lebih lanjut penurunan berat badan akan terjadi. Terkadang
didapati diare terus menerus yang tidak hilang dengan defekasi. Penyulit
yang sering didapati adalah terjadinya striktur, abses, fistel, kelainan pada
anus, obstruksi usus, kadang perdarahan dan kejadian keganasan dengan
resiko sedang.

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium, melihat kadar hemoglobin, hematokrit, kadar besi serum
untuk menilai kehilangan darah, laju endap darah untuk menilai aktivitas
inflamasi serta kadar alumin serum untuk status nutrisi.
 Endoskopi, melihat penyakit pada segmen saluran cerna atas, usus halus
atau kolon.
 Radiologi, dengan barium kontras dapat menunjukkan adanya striktur,
fistula, mukosa iregular, gambaran ulkus dan polip atau perubahan
distensi lumen berupa penebalan dinding usus, sedangkan CT Scan dan
USG lebih banyak ditujukan untuk mendeteksi adanya abses atau fistula.
 Histopatologi, spesimen diambil ketika operasi dilakukan dan lebih
mempunyai nilai diagnostik dibandingkan spesimen yang diambil secara

28
biopsi per-endoskopik. Hal ini dikarenakan lesi yang bersifat transmural
sehingga tidak dapat dijangkau dengan teknik biopsi per-endoskopi.
(Mansjoer, 2001)

Tatalaksana
 Penatalaksanaan umum berupa koreksi anemia, malnutrisi, dehidrasi,
pemberian suplemen vitamin, besi atau asam folat.
 Penatalaksanaan farmakologi
• 5-Aminosalicylic acid (5-ASA mesalazine), adalah senyawa dari
aksi lokal anti-inflamasi, terutama pada colon. Bentuknya seperti
sulphasalazine,osalazine dan basalazine.
• Kortikosteroid, digunakan dalam kasus kekambuhan berat, namun
memperpanjang pengobatan steroid sistemik mempunyai banyak
efek merugikan. Dalam kasus yang memerlukan kortikosteroid
dalam jangka panjang, dapat digunakan budesonide yang merupakan
sintetik steroid yang metabolismenya cepat oleh liver sehingga
menghasilkan level sistemik lebih rendah.
• Imunosupresi, untuk kasus relaps dan mengharuskan pengulangan
obat steroid.
• Probiotik, bakteri hidup untuk memperbaiki keseimbangan flora
normal pada usus.
• Antibiotik.
 Pembedahan, pada Crohn’s disease umumnya digunakan untuk
mengeliminasi abses dan obstruksi yang terjadi. Operasi yang dilakukan
bukan berarti mencegah rekurensi, namun dapat menghilangkan keluhan
dalam jangka waktu lama. Sedangkan pemotongan kolon dan rektum
(panprotocolectomy) dillakukan untuk penyembuhan kolitis ulseratif.
(Keshaf, 2004)

29
II. Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif adalah peradangan mukosa yang membentuk abses
pada kripta Lieberkhun dan bergabung menjadi tukak. Penyebab pasti dari
penyakit ini belum diketahui, namun ada beberapa hal yang menjadi faktor
predisposisi seperti faktor familial atau genetik, faktor infeksi, faktor
imunologi, faktor stress psikologik dan faktor lingkungan atau gaya hidup.
Gejala klinis yang dapat ditemukan yaitu nyeri tekan abdomen, perdarahan
yang keluar per-rektal, diare bercampur darah, nanah dan lendir disertai
tenesmus dan terkadang inkontinensia alvi, penderita juga mengalami
demam, mual-muntah dan penurunan berat badan, juga pada pemeriksaan
colok dubur terasa nyeri karena adanya fissura.

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat mencerminkan beratnya perdarahan dan
inflamasi yang terjadi. Anemia serta defisiensi besi akibat kehilangan
darah kronis. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan
laju endap darah terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan
elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare.
Hipoalbuminemia menjadi tanda hilangnya protein lumen melalui
mukosa yang berulserasi. Sedangkan pemeriksaan kultur feses untuk
mencari patogen usus yang berkaitan biasanya dilakukan. Pemeriksaan
antibodi p-ANCA dan ASCA berguna untuk membedakan penyakit
kolitis ulseratif dengan Chron.

 Gambaran radiologi
• Foto polos abdomen
Gambaran kolon terlihat memendek dan struktur haustra
menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi terlihat tidak ada,
sehingga bila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan
terlihat dalam abdomen yang disebut sebagai empty abdomen.
Kadang usus mengalami dilatasi berat (toxic megacolon) yang
membutuhkan tindakan emergensi. Bila terjadi perforasi usus maka
dengan foto polos dideteksi adanya pneumoperitoneum, terutama

30
foto abdomen dengan posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD)
maupun pada foto thoraks tegak.
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk
melakukan pemeriksaan barium enema. Namun bila ditemukan
tanda perforasi pada foto polos abdomen maka pemeriksaan barium
enema merupakan kontraindikasi.
• Barium enema
Gambaran pada pasien kolitis ulseratif adalah mukosa kolon yang
granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak
menjadi kaku seperti tabung. Lumen kolon menjadi sempit akibat
spasme. Penemuan dapat terjadi pada seluruh kolon namun bila
lesinya segmental maka rektum dan kolon descendens yang terlibat,
karena awalnya mulai terjadi pada rektum dan menyebar ke arah
proksimal. Pada kasus kronis terbentuk ulkus khas, yaitu collar-
button ulcer. Pasien kolitis ulseratif juga berpotensi terkena
adenokarsinoma kolon.
• USG
Bukan merupakan modalitas utama. Pada pemeriksan USG,
didapatkan penebalan dinding usus simetris akibat edema dengan isi
lumen kolon yang terlihat berkurang. Usus menjadi kaku,
hipoperistaltik dan haustra kolon menghilang. Dengan USG Doppler
didapatkan gambaran hipervaskular pada dinding usus.
• CT Scan dan MRI
Kelebihan pemeriksaan CT Scan dan MRI, yaitu dapat
mengevaluasi keadaan intra-ekstralumen serta mengevaluasi sejauh
mana komplikasi ekstralumen, dengan kelebihan MRI di mana
perbedaan intensitas kontras yang cukup tinggi. Gambaran yang
terlihat adalah penebalan dinding usus dan komplikasi di luar usus
yang dapat terlihat adalah adanya abses atau fistula.

 Gambaran endoskopi
Didapatkan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus, kerapuhan
mukosa dan eksudat yang terdiri dari mukus, darah dan pus. Kerapuhan
mukosa ditemukan dari rektum berlanjut ke daerah proksimalnya.

31
Ulserasi landai, kecil maupun konfluen selalu terjadi pada segmen usus
yang terkena. Biopsi rektal dapat memastikan adanya radang mukosa.
Pada fase kronik, mukosa bisa berpenampilan granuler dan terdapat
pseudopolip.

Tatalaksana yang dapat diberikan adalah berupa terapi konservatif


seperti mengistirahatkan usus, memberikan diet yang rendah serat terlebih
dahulu agar kerja usus tidak terlalu berat, pemberian sulfasalazin,
kortikosteroid lokal atau sistemik. Untuk tatalaksana pembedahan pada
kolitis ulserosa akut dapat dilakukan laparotomi pada perforasi atau ancaman
perforasi, dan pada dilatasi kolon akut. Umumnya dianjurkan kolektomi total
dengan anastomosis ileoanal dengan kantong ileal.
(De Jong, 2010)

Gambar 12. Pemeriksaan histopatologi dan endoskopi

32
C. Penyakit Jinak pada Anorektal
I. Hemoroid
Hemoroid adalah dilatasi dari satu segmen atau lebih vena
hemoroidalis di daerah anorektal. Beberapa faktor pendukung terjadinya
hemoroid diantaranya adalah usia tua, kehamilan, konstipasi atau diare
kronik, penggunaan toilet atau posisi tubuh, misalnya duduk, dalam waktu
yang lama dan obesitas. Hal tersebut berkaitan dengan kongesti vaskular dan
prolaps mukosa (Schubert et al, 2009). Lumen anus dilapisi oleh bantalan
dari jaringan mukosa yang tergantung oleh jaringan ikat yang berasal dari
sfingter anal internal dan otot longitudinal. Dalam tiap bantalan terdapat
plexus vena yang membuat tiap bantalan membesar untuk mencegah
inkontinensia.
Efek degenerasi akibat penuaan dapat memperlemah jaringan
penyokong dan bersamaan dengan usaha pengeluaran feses yang keras secara
berulang serta mengedan akan meningkatkan tekanan terhadap bantalan
tersebut yang akan mengakibatkan prolapsus. Bantalan yang mengalami
prolapsus akan terganggu aliran balik venanya. Bantalan menjadi semakin
membesar dikarenakan mengedan, konsumsi serat yang tidak adekuat dan
berbagai faktor resiko yang telah disebutkan. Perdarahan dapat terjadi dari
pembesaran hemoroid yang mengalami trauma mukosa atau inflamasi yang
merusak pembuluh darah (Acheson dan Schofield, 2006).
Gejala klinis yang dapat dijumpai pada hemoroid yaitu dapat berupa
prolaps dan keluarnya mukus, perdarahan, gatal, rasa tak nyaman atau nyeri.
Berdasarkan lokasinya menurut linea dentata sebagai batas histologisnya,
hemoroid dibedakan menjadi hemoroid internal, berasal dari bagian
proksimal linea dentata yang dilapisi mukosa dan hemoroid eksternal, berasal
dari bagian distal linea dentata yang dilapisi epitel skuamos serta dipersarafi
serabut saraf nyeri somatik.

33
Kemudian hemoroid internal diklasifikasikan menjadi beberapa
tingkatan, yaitu:
a. Derajat I, hemoroid mencapai lumen anal canal.
b. Derajat II, hemoroid tampak saat pemeriksaan tetapi dapat masuk
kembali secara spontan.
c. Derajat III, hemoroid telah keluar dan hanya dapat masuk kembali
secara manual oleh pasien.
d. Derajat IV, hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk meski
dimasukkan secara manual.

Gambar 13. Derajat hemoroid

Penegakkan diagnosis hemoroid dilakukan berdasarkan temuan gejala


klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah anoskopi dan sigmoidoskopi. Keduanya
dapat dilakukan untuk menilai mukosa rektal dan mengevaluasi tingkat
pembesaran hemoroid dengan presentasi lebih tinggi terhadap lesi di
anorektal oleh anoskopi. Pemeriksaan dengan menggunakan barium enema
X-ray atau kolonoskopi harus dilakukan pada pasien dengan umur di atas 50
tahun dan pada pasien dengan perdarahan menetap setelah dilakukan
pengobatan terhadap hemoroid karena kecurigaan terhadap penyakit lain.

34
Tatalaksana
Penatalaksanaan hemoroid terdiri dari konservatif dan pembedahan.
Penatalaksanaan konservatif berupa koreksi konstipasi, meningkatkan
konsumsi serat, laksatif, menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan
kostipasi seperti kodein dan perubahan gaya hidup lainnya seperti
mengurangi mengejan saat buang air.
Sedangkan untuk tindakan pembedahan, HIST (Hemorrhoid Institute of
South Texas) menetapkan indikasi tatalaksana pembedahan, antara lain :
1. Hemoroid internal derajat II berulang.
2. Hemoroid derajat III dan IV dengan gejala.
3. Mukosa rektum menonjol keluar anus.
4. Hemoroid derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fisura.
5. Kegagalan penatalaksanaan konservatif.
6. Permintaan pasien.

Terapi Pembedahan
 Skleroterapi
Lokasi injeksi adalah submukosa hemoroid. Efek injeksi sklerosan
tersebut adalah edema, reaksi inflamasi dengan proliferasi fibroblast, dan
trombosis intravaskular. Reaksi ini akan menyebabkan fibrosis pada
sumukosa hemoroid.
 Rubber band ligation
Ligasi jaringan hemoroid dengan rubber band menyebabkan nekrosis
iskemia, ulserasi dan scarring yang akan menghasilkan fiksasi jaringan
ikat ke dinding rektum. Komplikasi prosedur ini adalah nyeri dan
perdarahan.

35
Gambar 14. Skleroterapi dan ligasi dengan karet
 Infrared thermocoagulation
Sinar infra merah masuk ke jaringan dan berubah menjadi panas.
Prosedur ini menyebabkan koagulasi, oklusi, dan sklerosis jaringan
hemoroid.
 Bipolar diathermy
Energi listrik untuk mengkoagulasi jaringan hemoroid dan pembuluh
darahnya. Biasanya digunakan pada hemoroid internal derajat rendah.
 Laser haemorrhoidectomy
 Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation
Teknik ini dilakukan dengan menggunakan proktoskop yang dilengkapi
dengan doppler probe yang dapat melokalisasi arteri. Kemudian arteri
yang memperdarahi jaringan hemoroid tersebut diligasi menggunakan
absorbable suture. Pemotongan aliran darah ini diperkirakan akan
mengurangi ukuran hemoroid.
 Cryotherapy
Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperatur yang sangat
rendah untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal yang
terbentuk di dalam sel, menghancurkan membran sel dan jaringan.
 Stappled hemorrhoidopexy
Teknik dilakukan dengan mengeksisi jaringan hemoroid pada bagian
proksimal dentate line. Keuntungan pada stappled hemorrhoidopexy
adalah berkurangnya rasa nyeri paska operasi selain itu teknik ini juga
aman dan efektif sebagai standar hemoroidektomi.
(De Jong, 2010)

36
D. Gangguan Vaskular
I. Angioektasia / Angiodisplasia
Angiodisplasia gastrointestinal adalah anomali non variceal pada
vaskuler traktus digestifus. Dinding vaskuler akan tipis dengan sedikit atau
tanpa otot polos, hal ini menyebabkan vaskuler dilatasi dan mudah berdarah.
Angiodisplasia gastrointestinal paling banyak ditemukan pada kolon. Sampai
saat ini penyebab pasti angiodisplasia belum diketahui secara pasti, namun
penyakit ini dilaporkan terjadi dengan frekuensi lebih tinggi pada pasien
dengan penyakit utama berikut ini :
 Stenosis aorta
Heyde et al merupakan orang pertama yang melaporkan adanya
hubungan antara stenosis aorta dengan angiodisplasia sehingga
munculnya kedua penyakit tersebut secara bersamaan disebut
Sindroma Heyde.
 Penyakit von Willebrand
 Gagal ginjal kronis
Pasien dengan GGK memiliki risiko perdarahan lebih tinggi
karena beberapa mekanisme termasuk disfungsi uremik trombosit
dan penggunaan anti-koagulan. Faktor intrinsik disfungsi trombosit
adalah penurunan level adenosine difosfat, serotonin, epinefrin,
trombin dan kolagen, sedangkan faktor ekstrinsik adalah pelepasan
toksin dan peningkatan nitrit oksida yang menghambat interaksi
trombosit-trombosit dan mempengaruhi interaksi trombosit-
dinding pembuluh darah.
(Sami, 2014)

Sebagian besar pasien adalah asimptomatik dan lesi secara tidak


sengaja ditemukan saat pemeriksaan kolonoskopi. Menurut penelitian
Olokoba (2012), keluhan nyeri abdomen, perdarahan gastrointestinal,
konstipasi dan penurunan berat badan ditemukan pada pasien angiodisplasia
usia 85 tahun. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium seperti pemeriksaan feses rutin untuk memeriksa adanya darah
pada feses dan untuk mengetahui adanya anemia akibat perdarahan saluran
cerna dengan pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan besi serum.

37
Diagnosis pasti yaitu dengan melihat langsung kelainan vaskuler
dengan pemeriksaan penunjang berikut :
 Endoskopi
Endoskopi saat ini merupakan alat utama yang digunakan dalam
mendiagnosis angiodysplasia. Gambaran dan karakteristik
angiodisplasia jika dilihat dengan endoskopi adalah berwarna
merah, permukaan datar dengan diameter 2 – 10 mm, disertai
pembuluh darah yang dilatasi dan menyebar ke sekitar.

Gambar 15. Endoskopi angiodisplasia

 Angiografi mesenterik
Merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk memeriksa
keadaan pembuluh darah yang menyuplai usus halus dan usus
besar. Tanda angiografi yang paling awal dan sering dijumpai
adalah vena yang putih padat, dilatasi, dan pengosongan yang lebih
lambat pada dinding saluran pencernaan. Temuan ini didapatkan
pada > 90% lesi angiodisplasia. Terdapatnya ekstravasasi dari
kontras ke dalam lumen yang berasal dari lesi angiodisplasia
merupakan bukti definitif perdarahan.
 CT angiografi
Temuan utama adalah sekelompok pembuluh darah yang hipertrofi
pada dinding kolon, vena dengan pengisian awal dan arteri yang
membesar. Menurut Martinez (2011), CT angiografi untuk deteksi
angiodisplasia kolon memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas
100%.

38
Tatalaksana
Terapi endoskopi:
 Argon Plasma Coagulation (APC)
APC terdiri dari elektrokoagulasi tanpa kontak langsung dengan mukosa
gastrointestinal. Arus listrik ditransmisikan ke dalam jaringan melalui
argon terionisasi yang kemudian menyebar ke lesi yang ditargetkan.

Gambar 16. Teknik APC

 Koagulasi bipolar
Koagulasi pembuluh darah dengan aliran listrik melalui elektroda.
Diperlukan 7-10 detik untuk tindakan hemostasis pembekuan.
 Laser
Bekerja dengan menyebabkan kerusakan thermal pada mukosa
gastrointestinal berwarna putih, batas rapi, dan terkadang berdarah.
Meskipun efektivitas pengobatan baik, risiko perforasi usus pada
penggunaan laser adalah tinggi.
 Cryotherapy
Memberikan outflow nitrat monoksida dengan efek membentuk lapisan
es pada permukaan mukosa.
 Elastic Band Ligation (EBL)
Penelitian oleh Junquera et al, menyatakan bahwa satu sesi EBL
mengontrol perdarahan tanpa rekurensi atau komplikasi dalam waktu 40
hari.

Dari beberapa pilihan terapi endoskopi yang ada, teknik yang efisien
dan banyak digunakan terutama adalah APC dan koagulasi bipolar. Namun
tetap saja rekurensi perdarahan tetap sering terjadi sehingga terapi
farmakologi diharapkan mengurangi insidensi atau mencegah perdarahan

39
berulang, contohnya okreotida (somatostatin). Terapi lainnya adalah terapi
radiologi dan pembedahan yang hanya dipertimbangkan bila terapi utama
gagal.
Prognosis angiodisplasia cukup baik. Sekitar 90% kasus perdaharan
karena angiodysplasia berhenti secara spontan. Namun risiko untuk
terjadinya perdarahan berulang tetap ada (Dray, 2011).

40
E. Neoplasma
I. Karsinoma kolorektal
Karsinoma kolorektal adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas pada
usus besar atau rektum. Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa,
Amerika, Australia dan Selandia Baru. Perkiraan insiden kanker di Indonesia
adalah 100 per 100.000 penduduk. Dewasa ini kanker kolorektal telah
menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data yang
dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal
merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria
maupun wanita (Abdullah, 2006).

Gambar 17. Distribusi karsinoma kolorektal

Faktor Resiko
Tidak ada etiologi pasti, namun ada beberapa faktor yang saling terkait dan
tumpang tindih pada para penderita kanker ini, yaitu:
a. Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi
dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana
proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma,
perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif
kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal
deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma,
perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma. Secara
histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik.
Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non
neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma

41
(juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip. Sedangkan
neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi
maligna.

Gambar 18. Adenomatous polip

Berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma,


tubulovillous adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari
polip berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-
25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.

Gambar 19. Polip neoplastik


Keterangan : (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous
adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma
invasif yang muncul dari sebuah villous adenoma

42
b. Penyakit radang usus idiopatik
 Kolitis ulseratif
Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko
tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total
proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih
dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa
lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker.
 Penyakit Chron
Pasien yang menderita penyakit crohn mempunyai risiko tinggi
untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika
dibandingkan dengan ulseratif kolitis. Pasien dengan striktur kolon
mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat
yang terjadi fibrosis, sehingga saat strikturoplasti disarankan untuk
dilakukan biopsi.

c. Genetik
Seseorang dengan keluarga dekat yang mempunyai kanker kolorektal
mempunyai kesempatan terkena penyakit yang sama dua kali lebih
tinggi dibanding dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat tersebut.
 Sindroma kanker familial
• Familial Adenomatous Polyposis (FAP)
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang
berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor
supresor gen dapat menggiring kepada kemungkinan
pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun.
Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. FAP
yang telah lama, didapatkan polip yang sangat banyak dan
dianjurkan melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti
dengan endoskopi pada bagian yang tersisa. Tumor lain yang
mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary
thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan
medulloblastomas otak. Varian dari FAP termasuk gardner’s
syndrom dan turcot’s syndrom.

43
• Hereditary Non-Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC)
Terjadi karena terjadi missmatch repair dari komponen DNA,
yaitu MSH2 dan MLH1 atau MSH6. Pasien dengan HNPCC
mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker kolorektal
pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada
umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota
keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang
berhubungan HNPCC. Polip yang ada pada tipe ini lebih sedikit
dan kejadian kanker terbanyak pada sebelah kanan.

d. Diet dan gaya hidup


Diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal. Selain itu
perokok, peminum alkohol, orang dengan tingkat aktifitas fisik yang
rendah dan obesitas memiliki peluang kanker kolorektal yang lebih
besar.

e. Usia
(Sabiston, 1995)

44
Gambar 20. Perubahan genetik dan gambaran klinik

Klasifikasi Kanker Kolorektal


 Menurut Dukes-Turnbull
Prognosa Hidup
Dukes Kedalaman Infiltrasi
Setelah 5 Tahun
A Terbatas hingga dinding usus 97%
Masuk ke lapisan muskular dan
B 80%
mukosa
C Metastase KGB
C1 Beberapa KGB dekat tumor primer 65%
C2 Pada pituitary limf jauh 35%
D Metastase jauh <5%
Tabel 1. Klasifikasi Dukes-Turnbull

45
 Menurut TNM

Gambar 21. Klasifikasi TNM karsinoma kolorektal

46
a. Stadium 0
Stadium kanker insitu; pada stadium ini, sel yang abnormal masih
ditemukan pada garis batas dalam dari kolon (muskularis mukosa)
b. Stadium 1
Stadium dukes A; kanker telah menyebar pada garis batas dalam
dari kolon hingga dinding dalam dari kolon dan belum menyebar
keluar kolon.
c. Stadium 2
Stadium dukes B; kanker telah menyebar ke lapisan otot dari kolon
hingga lapisan ketiga dan lapisan lemak atau kulit tipis yang
mengelilingi kolon dan rektum. Namun belum mengenai kelenjar
limfe.
d. Stadium 3
Stadium dukes C; kanker telah menyebar ke kelenjar limfe tapi
belum menyebar ke bagian lain daripada tubuh.
e. Stadium 4
Stadium dukes D; kanker telah menyebar ke organ lain dari tubuh
seperti hati dan paru-paru.

47
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul berbeda tergantung letak lesi kanker yang
ada (Zieve, 2009).
KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM
ASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi Proktitis
NYERI Karena penyusupan Obstruksi Obstruksi
DEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus menerus
OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu
DARAH FESES Samar Samar/makroskopik Makroskopik
FESES Normal/diare berkala Normal Perubahan bentuk
DISPEPSIA Sering Jarang Jarang
ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat
MEMBURUKNYA Hampir selalu Lambat Lambat
KEADAAN
UMUM
Tabel 2. Gambaran klinis karsinoma kolorektal

Diagnosa
Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Pemeriksaan lebih intensif sebaiknya
dilakukan setiap tiga tahun untuk usia 40 tahun ke atas.
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen dimulai dari inspeksi yaitu melihat adanya
bekas operasi, penonjolan massa, kontur usus yang mungkin dapat
terlihat ( darm kontur, darm steifung). Palpasi dilakukan untuk meraba
adanya massa, pembesaran hepar, asites atau nyeri tekan pada abdomen.
Bila teraba massa disebutkan lokasi, diameter, mobilitas atau melekat
pada jaringan, konsistensi, batas jelas atau tidak. Perkusi normal pada
abdomen ialah timpani. Bila terdapat masssa maka perubahan suara
menjadi redup. Pada auskultasi didengarkan bising usus. Perabaan pada
kelenjar getah bening sekitar juga diperlukan untuk mengetahui adanya
metastase.

48
 Pemeriksaan rectal touche
Rectal toucher untuk menilai:
Tonus sfingter ani : kuat atau lemah.
Ampula rektum : kolaps, kembung atau terisi feses, adanya
darah.
Mukosa : kasar,berbenjol benjol, kaku
Tumor : teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat
ditembus jari, mudah berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan
sekitarnya, jarak dari garis anorektal sampai tumor.
(Abdullah, 2006)

 Pemeriksaan penunjang
• Biopsi
Pengambilan jaringan untuk dilihat sitologinya. Pemeriksaan ini
sangat penting sehingga bila ada obstruksi sehingga biopsi tidak
memungkinkan maka dapat digunakan sikat sitologi.

• Carcinoemberionic Antigen Screening (CEA)


CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel
yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai
marker serologi untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk
mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar.

• Pemeriksaan Darah Samar pada Feses


• Barium Enema Kontras Ganda

Gambar 22. Double contrast barium enema

49
• Endoskopi (Kolonoskopi)
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rectum. Kolonoskopi merupakan cara yang
paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang
dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar
94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya
sebesar 67%. Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk
biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari
striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman
dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan
perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien.

Gambar 23. Lower endoscopy

Gambar 24. Endoskopi

• Pemeriksaan Radiologi
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik
imaging yang digunakan untuk mengetahui staging, merencanakan

50
tindak lanjut dan mendeteksi rekurensi pasien dengan kanker kolon,
tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.

Gambar 25. CT Scan invasi tumor ke dinding usus

Kesimpulan Mendiagnosis Karsinoma Kolorektal


Right colon 1. Anemia and weekness
2. Occult blood in feces
3. Dyspepsia
4. Right abdominal mass
5. Typical abdominal x-rays
6. Colonoscopy findings
Left colon 1. Changes in bowel habit
2. Blood in stool
3. Symptoms and sign of obstruction
4. Photo of typical rontgen
5. The discovery of a colocnoscopy
Rectum 1. Rectal bleeding
2. Blood in stool
3. Changes in bowel habits
4. A feeling of fullness or feeling of dissatisfaction
after defecation
5. The discovery of tumor rectosigmoidoscopy

Tabel 3. Kesimpulan manifestasi klinis

51
Tatalaksana
Tata laksana yang dapat diberikan ialah reseksi operasi luas dari lesi
dan drainase regional limfatik. Reseksi dari tumor primer tetap diindikasikan
walaupun telah terjadi metastase. Abdomen dibuka dan dieksplorasi adakah
metastase. Tujuan terapi karsinoma kolon ialah mengeluarkan tumor dan
suplai limfovaskular. Reseksi dari usus tergantung dari pembuluh darah yang
mengaliri bagian kanker tersebut. Organ atau jaringan penyokong seperti
omentum nyga harus direseksi en blok dengan tumor. Bila seluruh tumor
tidak dapat diangkat, maka dibutuhkan terapi paliatif. Anastomosis dilakukan
diawali dengan irigasi usus dengan normal solusio saline atau povidon idodin
yang diharapkan sel tumor dalam lumen dapat tercuci atau dihancurkan.
Apabila terdapat metastase tidak terprediksi sebelumnya saat dilakukan
laparotomi, maka tumor primer harus direseksi bila dapat dilakukan dan
aman. Selanjutkan dilakukan anaastomosis. Pada tumor yang tidak dapat
direseksi, maka dilakukan prosedur paliatif dan membutuhkan proksimal
stoma atau bypass.

 Reseksi kolorektal
Reseksi kolorektal dilakukan pada kondisi bervariasi termasuk
neoplasma ( jinak dan ganas), inflamatori bowel disease dan kasus lain.
• Reseksi
Secara umum, ligasi proksimal mesenterik akan mengelimnasi aliran
darah pada bagian kolon lebih besar dan membutuhkan kolektomi.
Reseksi kuratif dari karsinoma kolorektal dicapai dengan ligasi
pembuluh darah mesenterika proksimal dan pembersihan kelenjar
getah bening mesenterika secara radikal. Pada reseksi proses benign,
tidak diperlukan reseksi mesenterika dan omentum dapat tetap
dipertahankan.
• Emergensi reseksi
Reseksi jenis ini digunakan dalam kasus obstruksi, perforasi dan
hemoragi. Pada keadaan ini, usus tidak ada persiapan dan kondisi
pasien tidak stabil. Pada reseksi kolon kanan atau proksimal
tranversal, anastomsosi oleocolonic dapat dilakukan.
• Reseksi laparoskopik

52
Keuntungan dari laparoskopik ialah baik secara kosmetik,
mengurangi nyeri post operasi dan pemulihan usus yang lebih cepat.
Reseksi usus besar secara laparoskopik membutuhkan waktu yang
lebih lama dibanding operasi secara terbuka.

Gambar 26. Reseksi kolon berdasarkan tumor primer

 Anastomosis
Anastomosis dapat dibentuk melalui 2 segemen usus. Teknik yang
digunakan dapat berupa handsewn atau stapled. Jenis anastomosis yang
ada, yaitu:
• End to end
Dilakukan ketika 2 segmen usus dengan kaliber yang sama. Teknik
ini terutama dilakukan pada reseksi rektum, tetapi dapat digunakan
dalam kolostomi atau anastomosis usus kecil.
• End to side
Digunakan bila salah satu bagian usus lebih besar dari lainnya.
Teknik ini dilakukan pada obstruksi kronik.
• Side to end
Dilakukan ketika usus proksimal lebih kecil daripada bagian
distalnya.
• Side to side
Dilakukan bila menyambung kontinuitas diantara 2 pembuluh darah
atau segmens usus dimana tempat terakhirnya telah ditutup.

53
Gambar 27. Anastomosis

 Kolostomi
Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi dibanding
dengan loop kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon. Defek
pada dinding abdomen dibuat dan akhir dari kolon dimobilisasi melalui
lubang itu. Usus bagian distal yang dikeluarkan melalui dinding
abdomen sebagai mukus fistula atau di dalam abdomen sebagai
hartmann’s pouch. Penutupan kolostomi membutuhkan laparotomi.
Stoma didiseksi dari dinding abdomen dan identifikasi usus distal,
kemudian dilakukan anastomosis end to end.

Gambar 28. Kolostomi

 Kemoterapi
Regimen kemoterapi untuk kanker kolon ialah 5- Flourouracil sebagai
terapi ajuvan maupun metastase. Dahulu, dinyatakan pendapat bahwa
regimen kombonasi menyediakan peningkatan efikasi dan angka harapan

54
hidup pasien. Selain 5-Florourasil, terdapat capecitabine dan tegafur
yang digunakan sebagai monoterapi atau kombonasi dengan oxalipatin
dan irinotecan.

 Terapi radiasi
Terapi ini tidak mempunyai efek ajuvan maupun metastatik, hanya
sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang atau otak.

 Agen biologis
Bevacizumab (Avastin) merupakan obat antiangiogenesis pertama yang
diindikasikan untuk kanker kolorektal metastasis. Ini merupakan
antibodi monoklonal untuk vascular endothelial growth factor (VEGF)
dan meningkatkan survival bila ditambahkan pada kemoterapi. Agen
biologis lain yang telah direkomendasikan ialah epidermal growth factor
receptor (EGFR). Nama obat untuk golongan ini ialah Cetuximab yang
digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan irinotecan pada
pasien kanker kolorektal yang refrakter dengan 5-FU dan oxalipatin.
Panitumumab adalah antibodi monoklonal human dan diindikasikan
untuk monoterapi bila kombinasi gagal. Lini pertama untuk kanker
metastasis ialah bevacizumab dan kemoterapi (oxiliplatin dan
irinotecan).
(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2005; Fingerote, 2011)

Gambar 29. Pemeriksaan kolonoskopi karsinoma rektum

55
II. Polip Kolorektal
Polip merupakan suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam
lumen usus. Polip berasal dari epitel mukosa dan submukosa dan merupakan
neoplasma jinak terbanyak di kolon dan rektum.

Gambar 30. Kanker dan polip kolon

Secara histologis polip kolorektal diklasifikasikan menjadi dua kelompok


utama, yaitu polip non-neoplastik dan neoplastik.

Polip Non-Neoplastik
a. Hamartoma
Hamartoma ditandai oleh pertumbuhan yang cepat dari komponen kolon
normal, seperti epithelium dan jaringan penghubung. Hamartoma tidak
mempunyai potensi mengalami penyebaran dan kurang atipic atau
invasif.
b. Juvenile Polyps
Polip ini paling sering terjadi pada berusia kurang dari 5 tahun, tetapi
juga ditemukan pada orang dewasa segala usia disebut polip retensi.
Pada anak diameter lesi 1 hingga 3 cm, terbentuk secara tunggal, bulat,
licin atau sedikit berlobus, sebagian besar bertangkai dan paling sering
ditemukan di daerah rektosigmoid. Biasanya polip mengalami regresi
spontan dan tidak ganas.
c. Sindrom Peutz-Jeghers

56
Polip biasanya berukuran dari 1 mm hingga 3 cm, multiple dan
bertangkai.
d. Polyp Inflammatory
Polip inflamasi biasanya terjadi selama fase regeneratif dari peradangan
mukosa pada kolon akibat ulserasi yang terjadi. Saat post inflamasi,
polip mengandung jaringan granulsai yang akan terdistorsi kembali oleh
mukosa normal.
e. Polyp Hyperplastic
Polip hiperplastik merupakan polip kecil yang berdiameter 1-3 mm yang
berasal dari epitel mukosa yang hiperplastik dan metaplastik. Polip
mungkin hanya satu, tetapi umumnya multipel. Walaupun sebagian besar
tidak berpotensi ganas, namun sebagian dari polip hiperplastik di kolon
kanan dapat menjadi prekursor karsinoma kolorektum.

Polip Neoplastik
a. Polip Adenomatosa
Adenoma merupakan suatu lesi premaligna. Banyak kasus
adenokarsinoma pada usus besar merupakan suatu progresivitas dari
perkembangan mukosa normal yang menjadi adenoma kemudian
berkembang menjadi karsinoma. Polip adenomatosa adalah polip asli
yang bertangkai dan insidensinya meningkat sesuai dengan
meningkatnya usia. Polip ini bersifat pramaligna sehingga harus
diangkat setelah ditemukan.
Polip adenomatosa ini dapat berupa tubulus, villous dan tubulovilous.
Tubulus adenoma yang khas ialah kecil, sferis dan bertangkai dengan
permukaan yang licin. Villous adenoma biasanya besar dan sessile
dengan permukaan yang tidak licin. Tubulovilous adenoma adalah
campuran dari kedua jenis adenoma tersebut.

b. Polip Neoplastik Herediter


Poliposis kolon atau poliposis familial merupakan penyakit herediter
yang jarang ditemukan. Polip yang tersebar diseluruh kolon dan rectum
ini umunya tidak bergejala. Gejala pertama timbul pada usia 13-20
tahun. Untuk pencegahan, semua anggota keluarga sebaiknya dilakukan
pemeriksaan genetic untuk mencari perubahan kromosom dan diperiksa

57
secara berkala untuk mengurangi resiko karsinoma kolon, yaitu dengan
endoskopi atau foto enema barium.
(Mohammad, 2011)

Kebanyakan polip bersifat asimtomatis, namun semakin luasnya suatu


polip maka akan semakin memberikan gejala. Perdarahan spontan melalui
rektum merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada polip rektum.
Polip rektum yang mempunyai tangkai yang panjang, seperti polip juvenile,
sering mengalami prolapsed dan keluar ke anus. Beberapa dapat teraba
melalui pemeriksaan colok dubur.
Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
barium enema dan foto radiologi kolon untuk melihat ada tidaknya filling
defect yang menunjukkan jejas akibat adanya massa. Kemudian dengan
kolonoskopi yang dapat melihat seluruh kolon. Fiberskop pada kolonoskopi
juga dapat dipakai untuk biopsy tiap jaringan yang mencurigakan, evaluasi
dan tindakan terapi, seperti polipektomi.

Gambar 31. Kolonoskopi

Tatalaksana
 Polypectomy
Dalam kasus polip yang bertangkai dan berkonsistensi keras,
pengangkatan polip seiring dengan dilakukannya kolonoskopi
merupakan tindakan kuratif yang sering dilakukan. Kekambuhan polip
kolon setelah 1 tahun dilakukan polipectomi jarang dijumpai namun
pemeriksaan kolonoskopi ulang pada 3-12 bulan setelah polipektomi

58
dianjurkan bila terdapat keraguan apakah telah sepenuhnya hilang atau
ada resiko keganasan (Enders, 2012).

Gambar 32. Polipektomi dengan endoskopi

Gambar 33. Teknik polipektomi

 Endoscopic Mucosal Resection (EMR)


EMR menjadi teknik standar untuk melakukan reseksi pada polip
kolorektal luas yang tidak bertangkai dengan ukuran lebih dari 1 cm.
Komplikasi yang kadang terjadi dari penggunaan tehnik EMR ini adalah
terjadinya perdarahan dan mikroperforasi (Saunders, 2007).

59
 Laparoscopic Colectomy
Dilakukan pada kasus polip kolorektal yang tidak dapat direseksi dengan
endoskopi misalkan pada polip yang mengenai lebih dari sepertiga kolon
atau pada polip tidak bertangkai yang luas (Itah, 2009).

 Reseksi kolon
Kasus polip kolon yang dikaitkan dengan poliposis familia, reseksi
sering menjadi satu-satunya pilihan penatalaksanaan. Reseksi juga
dianjurkan untuk pasien dengan kolitis ulseratif kronis yang ditemukan
terdapatnya sel-sel yang mengalami displasia atau pada polip yang terus
menerus mengalami kekambuhan setelah polipektomi. Beberapa pilihan
operasi yang dapat dilakukan adalah kolektomi total, subtotal atau
reseksi segmental. Pemeriksaan histologis terhadap spesimen yang telah
didapatkan sangat dianjurkan untuk mengetahui kemungkinan keganasan
dan berperan untuk penatalaksanaan selanjutnya (Enders, 2012).

60

Anda mungkin juga menyukai