Pendahuluan
A latar belakang
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung
Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya sehingga
menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik). Kondisi deformasi geologis seperti ini
kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro dan Pohjajar (anak-anak cabang
Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari
kikisan aliran sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara
alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata)
(Widianto & Simanjuntak 1995).
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada tahun 1936
ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo erectus yang
kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya.
Setelah masa pasca Koenigswald atau pada sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil
hominid dan paleotologis di situs ini kemudian diambil alih oleh para peneliti dari Indonesia
(antara lain T. Jacob dan S. Sartono) serta terus berkelanjutan sampai sekarang. Penelitian yang
sangat ‘spektakuler’ terjadi ketika Puslit Arkenas melakukan kerjasama penelitian dengan
Museum National d’Histoire Naturelle (MNHN), Perancis melalui ekskavasi besar-besaran
selama 5 tahap (tahun 1989 – 1993) di bukit Ngebung yang menghasilkan sejumlah temuan
secara ‘insitu’ dan pertanggalan absolut yang sangat menarik. Penelitian Situs Sangiran semakin
berkembang pesat dalam dekade lima tahun belakangan ini setelah Balar Yogya ikut
berpartisipasi langsung dan melakukan program-program penelitian secara intensif dan terpadu
(Widianto 1997; Jatmiko 2001).
Dari sekitar 100 individu temuan fragmen fosil manusia purba yang didapatkan di Indonesia,
hampir 65% -nya berasal dari Situs Sangiran dan mencakup sekitar 50 % dari populasi taxon
Homo erectus di dunia. Pada umumnya fosil-fosil tersebut ditemukan secara kebetulan (temuan
penduduk) dan dalam bentuk fragmenter; yaitu antara lain berupa tulang-tulang tengkorak,
mandibula dan femur. Fosil-fosil tersebut ditemukan pada beberapa tempat atau lokasi utama di
Pulau Jawa; yaitu antara lain di Pati Ayam, Sangiran, Ngandong dan Sambungmacan (Jawa
Tengah) serta di daerah Trinil dan Perning (Jawa Timur). Berdasarkan bentuk fisik dan
lingkungan endapan asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia
dikategorikan menjadi 3 kelompok utama (Widianto, 1996); yaitu kelompok Pithecanthropus
Arkaik yang berasal dari Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir mempunyai usia
antara 1,7 – 0,7 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus palaeojavanicus dan
Pithecanthropus Mojokertensis. Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus Klasik yang
berasal dari Formasi Kabuh (Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar 800.000 – 400.000
tahun. Jenis kelompok ini (Homo erectus) yang paling banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok
yang ketiga adalah Pithecanthropus Progresif yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen
Atas) dan mempunyai umur antara 400.000 – 100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini
adalah temuan Homo Soloensis dari Ngandong dan Trinil (Widianto 1996, Semah et.al. 1990).
Tinjauan pustaka
Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia.[1] Menurut laporan UNESCO (1995)
"Sangiran diakui oleh para ilmuwan untuk menjadi salah satu situs yang paling penting di dunia
untuk mempelajari fosil manusia, disejajarkan bersama situs Zhoukoudian (Cina), Willandra
Lakes (Australia), Olduvai Gorge (Tanzania), dan Sterkfontein (Afrika Selatan), dan lebih baik
dalam penemuan daripada yang lain."[2]
Daerah terdiri dari sekitar 56 km² (7km x 8 km). Lokasi ini terletak di Jawa Tengah, sekitar 15
kilometer sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo. Secara administratif,
kawasan Sangiran terbagi antara 2 kabupaten: Kabupaten Sragen (Kecamatan Gemolong,
Kecamatan Kalijambe, dan Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo).
Fitur penting dari situs ini adalah geologi daerah. Awalnya kubah terbentuk jutaan tahun yang
lalu melalui kenaikan tektonik. Kubah itu kemudian terkikis yang mengekspos isi dalam kubah
yang kaya akan catatan arkeologi
Metode
waktu pelaksanaan :
alat :
bahan
fosil /tulang
hasil