Anda di halaman 1dari 15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Gas Biogenik
Gas biogenik atau yang dikenal pula sebagai metana biogenik adalah gas yang
sebagian besar tersusun oleh metana. Metana ini dihasilkan oleh aktivitas organisme
bakteri metanogenik yang kemudian terakumulasi dalam lapisan sedimen. Gas
biogenik adalah salah satu jenis gas alam yang berpotensi untuk dikembangkan,
mengingat gas ini umumnya terakumulasi pada kedalaman yang relatif dangkal
karena gas ini terbentuk pada tahap awal pembentukan hidrokarbon atau pada tahap
diagenesis.

Gambar 2.1. Gas Biogenik Terbentuk pada Kedalaman dan Temperatur yang
Rendah

Gas biogenik merupakan gas hidrokarbon yang mudah terbakar, memiliki rantai
carbon terpendek (C1) dan merupakan gas yang paling ringan, yaitu sekitar 0,7 lebih
ringan dari udara. Gas ini jika tersebar diudara akan langsung menguap naik ke

3
4

atmosfir. Namun jika digunakan sebagai sumber energi, termasuk jenis bahan bakar
yang ramah lingkungan, karena hasil pembakarannya mengeluarkan carbon dioksida
(CO2) dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan jenis bahan bakar hidrokarbon
lainnya.
Pembentukan gas dangkal dapat terjadi secara biogenik atau pun termogenik.
Khusus pada pembentukan gas biogenik, gas ini terbentuk dengan proses biogenik
sebagai hasil dekomposisi material organik oleh bakteri metanogenik pada suhu
rendah yang sesuai dengan lingkungan pertumbuhan bakteri metanogenik. Umumnya
gas biogenik terperangkap pada sedimen yang belum matang dan pada kedalaman
yang dangkal dengan gradien geotermal rendah (Rice & Claypool,1981).
Gas biogenik dihasilkan selama proses dekomposisi material organik oleh
mikroorganisme. Pada kondisi saat ini, pembentukan metana biogenik dikendalikan
oleh fisiologis tertentu dan batasan ekologis. Pertama, produksi metana oleh
mikroorganisme bersifat anaerob dan tidak dapat mentolerir sedikitpun oksigen.
Mikroba penghasil metana ini dikenal sebagai arkeabakteri metanogenik. Kedua,
metana biogenik tidak terakumulasi dalam jumlah yang signifikan apabila berada
dalam pelarut sulfat dengan konsentrasi tinggi. Hal tersebut dapat membatasi
produksi metana oleh aktivitas mikroorganisme pada suatu lingkungan tertentu.
Produksi metana dapat ditemukan dengan mudah pada daerah rawa-rawa
karena dekat dengan permukaan dan gelembung gas dapat dikeluarkan dari material
sedimen. Metana yang dihasilkan pada daerah ini pertama-tama akan terikat dalam
air pori. Jika konsentrasi metana dalam air pori sudah lewat jenuh, maka metana akan
dapat bermigrasi sebagai gas bebas. Migrasi metana sebagai gas bebas ditentukan
oleh permeabilitas dari sedimen tempat pembentukannya yang biasanya merupakan
sedimen berukuran halus, seperti lempung dan batulempung. Migrasi metana ke zona
reduksi sulfat akan menyebabkan teroksidasinya sebagian besar metana sebelum
dapat terlepas ke kolom air (Rice dan Claypool, 1981).
5

1. Proses Pembentukan Gas Biogenik


Gas biogenik dangkal terbentuk dalam dua skenario, yang pertama adalah
pembentukan awal yaitu terbentuknya gas biogenik segera setelah pengendapan
batuan-batuan induk dan reservoar, sedangkan yang kedua adalah pembentukan akhir
di mana gas biogenik terbentuk lama berselang setelah batuan-batuan tersebut
diendapkan. Konsekuensinya adalah pada pembentukan awal akan memberikan
kesempatan yang cukup banyak pada gas yang terbentuk untuk bermigarasi dan
terakumulasi. Sebaliknya, pembentukan akhir yang lama terjadi setelah pengendapan
batuan induk dan batuan reservoar tidak memungkinkan gas bermigrasi dan
terakumulasi lebih lama sehingga gas yang terkumpul pada batuan reservoar akan
lebih sedikit (Rice & Claypool,1981).
Ada dua komponen utama didalam pembentukan gas metan biogenik yaitu
pertama, material organik (moluska, tumbuh-tumbuhan) dan bakteri metanogenik
sebagai katalisator. Kedua, gas metan biogenik akan terbentuk jika tersedianya
material organik yang cukup dan berada dalam lingkungan anaerobik (tidak ada
+4
oksigen) sehingga terjadi proses kimiawi reduksi. Unsur karbon (C ) yang terlepas
-
dari material organik dan hidrogen (H ) yang berasal dari material organik, serta air
tawar (H2O) akan menghasilkan gas metan (CH4) akibat aktivitas bakteri anaerobik

yang menjadi katalisator. Gas yang dihasilkan ini dikenal sebagai gas metan
biogenik. Oleh karena itu kondisi lingkungan pembentukan gas biogenik menjadi
sangat penting di antaranya:
1. Lingkungan harus benar-benar bebas oksigen artinya bakteri anaerobik akan
mati dalam lingkungan yang mengandung oksigen jenuh.
2. Lingkungan kondisi air tawar atau payau yang bebas dari konsentrasi sulfat
agar tidak terjadi proses kimiawi oksidasi.
3. Lingkungan dengan temperatur yang sesuai untuk bakteri anaerobik hidup.
Oleh sebab itu pada lapisan yang lebih dalam gas metan biogenik tidak akan
terbentuk dimana pada lingkungan ini tekanan meningkat yang menghasilkan
6

temperatur tinggi. Pada kondisi tersebut terjadi perubahaan komposisi organik


akibat proses kimia-fisika.
4. Media atau sedimen dengan porositas yang cukup merupakan salah satu
lingkungan yang diperlukan oleh bakteri anaerobik untuk bisa bebas
berkembang seperti lanau atau pasir halus. Pada sedimen berupa lempung
yang sangat padu dan lengket (stiffy clay) bakteri ini kemungkinan kecil sekali
untuk berkembang.

Konsentrasi gas biogenik dimungkinkan berasal dari lapisan sedimen setempat


yang kaya akan bahan organik pembentuk gas. Konsentrasi gas biogeniksangat
bergantung pada kandungan bakteri metanogenik. Gas ini dapat terbentuk dari tiga
proses utama yaitu (Schoell, 1988) :
1. Fermentasi bakteri anaerobik pada sampah, kotoran ternak atau sejenisnya.
Gas yang dihasilkan proses ini disebut biogas methan atau gas biomasa.
2. Fermentasi bakteri asetat pada lapisan sedimen yang kaya zat organik (gas
charged sediment) secara kimiawi: CH3COOH CH4 + CO2.
3. Proses reduksi CO2 oleh bakteri dari batuan volkanik atau magmatik alami
secara kimiawi: CO2 + 2 H2O CH4.

Selain itu, gas biogenik juga dapat berasal dari proses spontan pada lapisan
batubara yang disebut coal bed methane (CBM) yang dikenal sebagai methan B, atau
rembesan dari lapisan hidrokarbon pada perangkap migas over mature yang disebut
gas methan petrogenik/termogenik. Untuk membedakan origin atau asal dari gas
methan tersebut dapat dikenali dari analisa paremeter methan δ 13C atau δD
(Claypool and Kaplan, 1974).

Satu hal penting jika ditemukan kemunculan rembesan gas biogenik yang ekstrim
adalah perlunya kajian tentang adanya kemungkinan tekanan tambahan sebagai
pemicu naiknya tekanan gas. Banyak dijumpai bahwa rembesan/semburan gas
biogenik ini terjadi di sekitar sumur-sumur pemboran migas. Ada dugaan bahwa tidak
7

sempurnanya sistem casing lubang bor mengakibatkan bocornya tekanan yang


selanjutnya memicu gas biogenik ini naik ke permukaan.

2. Pemanfaatan Gas Biogenik


Gas biogenik yang terdapat di bumi ini hampir mencapai 20% dari seluruh
sumber gas alam, namun keterdapatannya menyebar pada kantong-kantong gas kecil
dengan berbagai ukuran dan pada kedalaman yang bervariasi. Di China gas biogenik
telah dieksploitasi dan dimanfatkan sebagai energi pembangkit listrik mikro dan
industri kecil di muara sungai Yangtze (Qilun, 1995). Umumnya dari satu sumur gas
di kawasan ini dapat dieksploitasi 5.000 m3 gas per hari dengan tekanan maksimum
6,1 Kg/cm2. Pemanfaatan pada skala yang lebih besar dilakukan dengan cara inter-
koneksi beberapa sumur bor dangkal yang dialirkan pada tabung penampung yang
dilengkapi valve (kran). Untuk memperoleh tekanan sekitar 80 Kg/m2 diperlukan
paling sedikit tigapuluh lubang bor. Dengan demikian, maka gas biogenik ini dapat
dialirkan tanpa pompa sejauh 1000 meter dari sumbernya.
Pemanfaatan gas biogenik untuk tujuan komersial memang masih memerlukan
kajian yang lebih mendalam, terutama dalam menentukan potensi cadangan serta
proses pemanfaatannya. Namun dengan telah diproduksinya jenis generator yang
secara khusus dirancang menggunakan bahan bakar methan oleh China dan Australia
telah memungkinkan pemanfaatan gas biogenik ini untuk dikonversikan secara
ekonomis menjadi tenaga listrik skala kecil, terutama bagi masyarakat di kawasan
terpencil yang jauh dari jangkauan jaringan listrik PLN. Selain itu, beberapa peralatan
lainnya yang telah diproduksi dan mengunakan bahan bakar gas biogenik adalah
water heater dan methane boiler.
Di Indonesia gas biogenik ini sudah mulai dimanfaatkan secara sederhana sebagai
bahan bakar langsung untuk rumah tangga dan penerangan jalan. Di Desa Mayasari,
Pamekasan, Madura, gas ini telah digunakan untuk kompor pengering makanan dan
lampu (flare) penerangan jalan desa. Demikian halnya di Ngrampal, Sragen juga telah
dimanfaatkan sebagai bahan bakar rumah tangga. Beberapa tempat lainnya yang
8

dilaporkan mempunyai semburan gas dangkal adalah di Desa Mindi Porong, Desa
Dukuh Jeruk Indramayu, Muarakakap Kalimantan Barat, serta beberapa daerah
lainnya, namun belum dilakukan eksplorasi rinci tentang potensi cadangan gasnya.

B. Geolistrik Tahanan Jenis


1. Pengertian Geolistrik Tahanan Jenis
Metode geolistrik tahanan jenis (resistivity) merupakan salah satu metode
geofisika yang biasa digunakan untuk memetakan resistivitas bawah permukaan
bumi. Metode ini cukup baik dikaitkan dengan keberadaan struktur bawah permukaan
tanah. Hal ini dimungkinkan karena lapisan tanah dan batuan yang berisi air yang
sangat mudah mengalirkan arus listrik atau bersifat konduktif.
Geolistrik merupakan salah satu metode dalam geofisika yang mempelajari sifat
aliran listrik di dalam bumi dengan cara mengalirkan arus listrik DC (Dirrect
Current) yang mempunyai tegangan tinggi ke dalam tanah. Injeksi arus listrik
menggunakan dua buah elektroda arus A dan B yang ditancapkan ke dalam tanah
dengan jarak tertentu. Semakin panjang jarak AB akan menyebabkan aliran arus
listrik bisa menembus lapisan batuan lebih dalam. Sedangkan dua elektroda potensial
yang di dalam konfigurasi dugunakan untuk mengukur beda potensialnya.
Dengan adanya aliran arus listrik tersebut akan menimbulkan tegangan listrik di
dalam tanah. Tegangan listrik yang ada di permukaan tanah diukur dengan
menggunakan resistivimeter yang terhubung melalui dua buah elektroda tegangan M
dan N dimana jaraknya lebih pendek dari pada jarak elektroda AB. Ketika jarak
elektroda AB diubah menjadi lebih besar maka akan menyebabkan tegangan listrik
pada elektroda MN ikut berubah sesuai dengan informasi jenis batuan yang ikut
terinjeksi arus listrik pada kedalaman yang lebih dalam, seperti ditunjukan pada
Gambar 2.2. Dengan asumsi bahwa kedalaman lapisan batuan yang bisa di tembus
oleh arus lisrik ini sama dengan separuh dari jarak AB yang bisa disebut AB/2 (Todd,
1980).
9

Gambar 2.2. Garis Arus Listrik dan Medan Potensial

Berdasarkan teknik pengukuran geolistrik, dikenal dua teknik pengukuran yaitu


metode geolistrik resistivitas mapping dan sounding (drilling). Metode geolistrik
resistivitas mapping merupakan metode resistivitas yang bertujuan untuk mempelajari
variasi resistivitas lapisan bawah permukaan secara horizontal. Oleh karena itu, pada
metode ini digunakan jarak spasi elektroda yang tetap untuk semua titik sounding
(titik amat) di permukaan bumi. Metode geolistrik resistivitas sounding bertujuan
untuk mempelajari variasi resistivitas batuan di bawah permukaan bumi secara
vertikal. Pada metode ini, pengukuran pada suatu titik sounding dilakukan dengan
jalan mengubah-ubah jarak elektroda. Perubahan jarak elektroda dilakukan dari jarak
elektroda kecil kemudian membesar secara gradual. Jarak elektroda ini sebanding
dengan kedalaman lapisan batuan yang terdeteksi. Semakin besar jarak elektroda,
semakin dalam lapisan batuan yang terdeteksi (Reynolds, 1998).
Berdasarkan letak (konfigurasi) elektroda-elektroda potensial dan elektroda-
elektroda arus, dikenal beberapa jenis metoda resistivitas tahanan jenis, antara lain :
Metoda Schlumberger, Metoda Wenner dan Metoda Dipole-dipole dan lain
sebagainya. Prosedur pengukuran untuk masing-masing konfigurasi bergantung pada
10

variasi resistivitas terhadap kedalaman yaitu pada arah vertikal (sounding) atau arah
lateral (mapping) (Derana,1981)
Umumnya metode resistivitas ini hanya baik untuk eksplorasi dangkal, yaitu
sekitar 100 meter. Jika kedalaman lapisan lebih dari harga tersebut, informasi yang
diperoleh kurang akurat, hal ini disebabkan karena melemahnya arus listrik untuk
jarak bentang yang semakin besar (Santoso, 2002).

2. Sifat Kelistrikan Batuan dan Mineral


Aliran konduksi arus listrik didalam batuan/mineral digolongkan atas tiga macam
yaitu konduksi dielektrik, konduksi elektrolitik, dan konduksi elektronik.Konduksi
dielektrik terjadi jika batuan/mineral bersifat dielektrik terhadap aliran arus listrik
(terjadi polarisasi muatan bahan saat bahan dialiri listrik).Konduksi elektrolitik terjadi
jika batuan/mineral bersifat porus dan pori-pori tersebut terisi cairan-cairan
elektrolitik.Pada kondisi ini arus listrik dibawa oleh ion-ion elektrolitik.Kondisi
elektronik terjadi jika batuan/mineral mempunyai banyak elektron bebas sehingga
arus listrik dialirkan dalam batuan/mineral oleh elektron bebas.
Berdasarkan harga tahanan jenis (ρ) listriknya batuan/mineral digolongkan
menjadi tiga yaitu :
1. Konduktor baik : 10-8< ρ < 1 Ω m
2. Konduktor buruk : 1 < ρ < 107 Ω m
3. Isolator : ρ > 107 Ω m
Tabel 2.1. Resistivitas material – material bumi
11

3. Perumusan Dasar Metode Tahanan Jenis


Dalam metode geolistrik tahanan jenis ini digunakan definisi-definisi dasar listrik
berdasarkan hukum Ohm, secara umum adalah sebagai berikut:
𝑉
Resistansi : R= …………………………………… (1)
𝐼
Untuk silinder konduktor dengan panjang L dengan luas penampang A yang dialiri
arus I, dapat dituliskan sebagai berikut :

Gambar 2.3. Konduktor Dengan Panjang L dan Luas A

Medan listrik E menimbulkan beda tegangan V yang dirumuskan


V = I R …………………………………(2)
Tahanan yang muncul dirumuskan dengan
𝐿
R=𝜌 …………...……………………(3)
𝐴
dari kedua persamaan di atas diperoleh persamaan tahanan jenis yaitu
𝐴 𝑉𝐴
𝜌=𝑅 = ………………..………(4)
𝐿 𝐼 𝐿
Dengan demikian dapat digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan resistansi
atau tahanan adalah besarnya hambatan yang dihasilkan oleh arus listrik yang
mengalir, resistivitas atau tahanan jenis adalah kemampuan bahan untuk menghambat
arus litrik yang mengalir padanya.

4. Elektroda Arus Tunggal di Permukaan


12

Pendekatan yang digunakan dalam beberapa bahasan ke depan adalah homogen


isotropik. Dan arus mengalir di dalam bumi memiliki besar hambatan jenis yang
seragam dalam semua arah. Karena udara memiliki resistivitas yang tak terbatas,
tidak ada aliran arus ke atas. Dengan demikian, arus mengalir radial melalui bumi
sama di segala arah dengan jari-jari (jarak tempuh) yang sama. Selain itu arus
mengalir seolah-olah membentuk bola di dalam bumi. Karena besar arus pada tiap-
tiap titik di permukaan bola adalah sama, dimana jarak dari elektroda arus C1 adalah
r, maka besar potensialnya sama dengan pada permukaan tersebut.

Gambar 2.4. Rangkaian untuk Menentukan Beda Potensial di P1 dengan Sumber


Arus C1 (Telford, dkk 1990)

Karena distribusi arus sama pada setiap permukaan yang berada pada jarak r dari
elektroda C1, maka beda potensialnya juga sama. Permukaan ini dikenal sebagai
permukaan ekipotensial. Jika kita mengasumsikan kulit permukaan akipotensial
sangat tipis (dr). Maka kita dapat mendefinisikan perbedaan potensial di kulit menjadi
𝑙 𝑑𝑟
𝑑𝑉 = 𝑖(𝑅) = 𝑖 (𝜌 𝐴) = 𝑖 (𝜌 2 𝜋𝑟 2 )........................................(5)

Untuk menentukan potensi pada suatu titik, bandingkan dengan potensial pada
titik jauh tak hingga. Maka :
∞ 𝑖𝜌 ∞ 𝑑𝑟 𝑖𝜌
𝑉 = ∫𝐷 𝑑𝑉 = ∫ = ................................................(6)
2𝜋 𝐷 𝑟2 2𝜋𝐷

(Reynold,1998)
13

5. Dua Elektroda Arus di permukaan bumi


Sketsa rangkaian sumber arus pada 2 titik dapat dilihat pada gambar 2.5.

Source P Sink
C1 rsource rsink C2

Gambar 2.5. Sumber Arus pada 2 Titik

Potensial pada titik P1 ditentukan dengan menggunakan persamaan (6).Pengaruh


sumber di C1 (+) dan terbenam di C2 (-) keduanya diperhitungkan. Oleh karena itu

𝑖𝜌 𝑖𝜌
𝑉𝑠𝑜𝑢𝑟𝑐𝑒 = 𝑉𝑠𝑖𝑛𝑘 =
2π𝑟𝑠𝑜𝑢𝑟𝑐𝑒 2π𝑟𝑠𝑖𝑛𝑘
......................(7)
Total tegangan pada titik P adalah :

𝑖𝜌 1 1
𝑉𝑝 = 𝑉𝑠𝑜𝑢𝑟𝑐𝑒 − 𝑉𝑠𝑖𝑛𝑘 = ( − )
2π 𝑟𝑠𝑜𝑢𝑟𝑐𝑒 𝑟𝑠𝑖𝑛𝑘
………...…….(8)
Dua elektroda potensial P1 dan P2 diletakkan di permukaan seperti gambar
16.Dengan menggunakan persamaan yang telah diturunkan untuk menentukan
potensial pada suatu titik dengan memberikan sumber, maka diperoleh perbedaan
potensial dengan menentukan potensial pada elektroda P1 dan mengurangkannya
dengan potensial pada elektroda P2. Dengan menggunakan persamaan 7, didapatkan
bahwa :

𝑖𝜌 𝑖𝜌 𝑖𝜌 𝑖𝜌
𝑉𝑃1 = − dan 𝑉𝑃2 = 2𝜋𝑟3
− 2𝜋𝑟 ………….......……(9)
2𝜋𝑟1 2𝜋𝑟2 4

sehingga didapatkan beda potensial


𝑖𝜌 𝑖𝜌 𝑖𝜌 𝑖𝜌
∆𝑉 = 𝑉𝑃1 − 𝑉𝑃2 = ( − )− ( − )…………………(10)
2𝜋𝑟1 2𝜋𝑟2 2𝜋𝑟3 2𝜋𝑟4
14

atau
𝑖𝜌 1 1 1 1
∆𝑉 = ( − − + ) ................ ......................... ..(11)
2𝜋 𝑟1 𝑟2 𝑟3 𝑟4

Dalam metode resistivitas, saat dimasukkan ke dalam tanah, perbedaan


potensial diukur, dan resistivitas ditentukan. Maka

2𝜋∆𝑉 1
𝜌= ( ) ...............................(12)
𝑖 1 1 1 1
− − +
𝑟1 𝑟2 𝑟3 𝑟4

Gambar 2.6. Skema Dua Elekektroda Arus dan Dua Elektroda Potensial
(Telford dkk., 1990)

6. Geolistrik Resistivitas Konfigurasi Schlumberger


Geolistrik konfigurasi Schlumberger tersusun atas dua elektroda arus dan dua
elektroda potensial. Elektroda arus diletakkan pada bagian luar sedangkan elektroda
potensial diletakkan di bagian dalam dengan jarak antar elektroda adalah sebesar a.
Metode resistivitas dengan konfigurasi Schlumberger dilakukan dengan cara
mengkondisikan spasi antar elektroda potensial adalah tetap sedangkan spasi antar
elektroda arus berubah secara bertahap (Sheriff, 2002).
15

Gambar 2.7. Susunan elektroda Konfigurasi Schlumberger

Faktor koreksi dari konfigurasi ini diberikan oleh persamaan :


2
(𝐿2 −𝑙 )
K=π ...............................(13)
2𝑙

𝐶1 𝐶2 𝑃1 𝑃2
Dimana L = dan l =
2 2

Untuk konfigurasi Schlumberger harga R1 sampai R4 diberikan oleh


R1 = L – l
R2 = L + l
R3 = L + l
R4 = L – l
Sedangkan untuk tahanan jenis pada konfigurasi Schlumberger adalah
∆𝑉
𝜌𝑠 = 𝐾 ...............................(14)
𝐼

Kelemahan dari konfigurasi Schlumberger ini adalah pembacaan tegangan pada


elektroda MN adalah lebih kecil terutama ketika jarak AB yang relatif jauh, sehingga
diperlukan alat ukur multimeter yang mempunyai karakteristik impedansi tinggi
dengan akurasi tinggi yaitu yang dapat menampilkan tegangan minimal 4 digit atau 2
16

digit di belakang koma. Atau dengan cara lain diperlukan peralatan pengirim arus
yang mempunyai tegangan listrik DC yang sangat tinggi.
Sedangkan keunggulan konfigurasi Schlumberger ini adalah kemampuan untuk
mendeteksi adanya non-homogenitas lapisan batuan pada permukaan yaitu dengan
membandingkan nilai resistivitas semu ketika terjadi perubahan jarak elektroda
MN/2.

7. Resistivitas Semu (Apparent Resistivity)


Metode geolistrik tahanan jenis didasarkan pada anggapan bahwa bumi
mempunyai sifat homogen isotropis. Dengan asumsi ini, tahanan jenis yang terukur
merupakan tahanan jenis yang sebenarnya dan tidak tergantung pada spasi elektroda.
Namun pada kenyataannya bumi tersusun atas lapisan-lapisan dengan resistivitas
yang berbeda-beda sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-
lapisan tersebut. Karenanya, harga resistivitas yang diukur seolah-olah merupakan
harga resistivitas untuk satu lapisan saja, hal ini terutama untuk spasi elektroda yang
lebar.
Resistivitas semu merupakan resistivitas dari suatu medium fiktif homogen yang
ekivalen dengan medium berlapis yang ditinjau, seperti gambar 2.8. Medium berlapis
yang ditinjau terdiri dari dua lapisan dengan resistivitas berbeda (ρ1 dan ρ2) dianggap
medium satu lapis homogen yang mempunyai satu harga resistivitas

Gambar 2.8. Konsep resitivitas semu pada medium berlapis


17

Besar resistivitas semu dapat dinyatakan dalam bentuk :


1 1 1 1 −1 ∆𝑉
𝜌 = 2𝜋 [(𝑟 − 𝑟 ) − (𝑟 − 𝑟 ) ]
1 2 3 4 𝐼
∆𝑉
𝜌=K 𝐼

Dimana K adalah faktor geometri yaitu besaran koreksi letak kedua elektroda
potensial terhadap letak kedua elektroda arus. Dengan mengukur ∆𝑉 dan I maka
dapat ditentukan harga resistivitas (Reynold, 1998).

Anda mungkin juga menyukai