Anda di halaman 1dari 162

LAPORAN RISET PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PEMILU DI TINGKAT KPU

KABUPATEN BONDOWOSO

Dengan Tema

“ PERILAKU PEMILIH “
KERJASAMA

KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) BONDOWOSO

DAN

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS JEMBER

2015
LAPORAN PENELITIAN

PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT


KABUPATEN BONDOWOSO

KERJASAMA

KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) BONDOWOSO


DAN
LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS JEMBER
2015

i
KATA PENGANTAR

Secara umum, kegiatan penelitian ini menganalisis perilaku memilih di


kabupaten Bondowoso dengan tujuan khusus pertama, menggambarkan
karakteristik pemilih, seperti sosial, ekonomi, politik pemilih di Kabupaten
Bondowoso, berdasarkan umur, jenis kelamin, wilayah, pendidikan, pekerjaan,
ormas dan pilihan politik legislative, presiden dan kepala daerah. Kedua,
mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih Bondowoso
berdasarkan pertimbangan psikologis. Ketiga, mengidentifikasi faktor-faktor yang
dijadikan pertimbangan pemilih Bondowoso berdasarkan pertimbangan
Sosiologis. Keempat, mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan
pemilih Bondowoso berdasarkan pertimbangan rasionalitas. Dan kelima,
mengidentifikasi isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat Bondowoso.
Untuk mencapai tujuan di atas, tim Peneliti melakukan wawancara
langsung terhadap 384 responden yang tersebar di 23 kecamatan di Kabupaten
Bondowosor. Selain wawancara dengan para responden, yang umumnya dari
akar rumput, tim peneliti juga melakukan wawancara secara langsung (indept
interview) dengan 5 informan, seperti tokoh masyarakat, akademisi, tokoh LSM
dan staf pemerintah. Untuk wawancara terhadap tokoh masyarakat. akademisi
dan staf pemerintah ini, tim peneliti hanya dilengkapi guide kuesioner, yang
kemudian dikembangkan di lapangan. Tim peneliti mengucapkan terimakasih
kepada para responden, baik dari kalangan masyarakat (akar rumput) maupun
para tokoh masyarakat dan elit politik yang merespon cukup baik dan
meluangkan waktu berjam-jam dengan para peneliti.
Akhirnya, sebagai sebuah karya penelitian, laporan ini tentu ada
kekurangan disana sini. Untuk itu, tim peneliti mengharapkan masukan, saran,
dan kritik dari semua pihak.

Bondowoso, 14 Juni 2015

KPU Bondowoso
Lembaga Penelitian UNEJ

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5

BAB 3 METODE PENELITIAN .......................................................................... 27

BAB 4 PERILAKU MMEILI ......................................................................... 31

BAB 5 PENUTUP ...................................................................................... 74

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Mengapa seseorang melakukan tindakan politik tertentu sementara yang


lain tidak, mengapa orang memilih partai Golongan Karya, bukannya PAN, PKS,
PBB, PKB, PPP, atau PDIP? Mengapa pilihan seseorang terhadap suatu partai
politik cenderung konsisten dari Pemilu ke Pemilu, sementara yang lain berubah-
ubah? Mengapa pada kelompok masyarakat tertentu cenderung mempunyai
pilihan politik yang hampir sama? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
seseorang menentukan pilihan dalam suatu Pemilu?
Sederet pertanyaan senada masih akan muncul apabila menganalisis
perilaku memilih dalam suatu Pemilu. Pertanyaan-pertanyaan ini menarik bukan
hanya bagi ilmuwan politik, tetapi juga bagi masyarakat awam, dan terutama lagi
menarik bagi politisi. Persoalannya, adakah teori yang relatif "mapan" yang dapat
digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Adakah teori yang
relatif "baku" yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena perilaku memilih di
hampir semua negara yang menerapkan sistem pemilihan umum?
Di banyak negara yang sudah stabil dan melakukan Pemilu secara reguler
seperti di Amerika Serikat dan Eropa, teori tentang voting behavior sudah
demikian berkembang. Hal ini disebabkan banyaknya studi perilaku memilih di
negara- negara tersebut, terutama di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman,
Belanda, Perancis, dan sebagainya. Bahkan, studi perilaku memilih ini sudah
berkembang di Jepang, sebagai negara Asia yang relatif maju tingkat
demokrasinya.1 Dengan adanya sejumlah studi perilaku memilih, maka tersedia
data yang memadai untuk melakukan inferensi- inferensi teoritis.

1
Salah satu studi perilaku memilih di Jepang baru-baru ini dilakukan oleh Flanagan. Ia
menunjukkan bahwa pembelahan-pembelahan sosial mempunyai hubungan yang erat dengan
perilaku memilih, sementara identifikasi partai (yang disebutnya sebagai loyalitas partai tidak
banyak memberikan sumbangan. Lihat Scott C. Flanagan, et al., The Japanese Voters (New
Haven: Yale University Press, 1991).

1
Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen
pemilu. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai suatu
substansi pemilu. Riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai
persoalan atas hal yang menjadi perdebatan. Hasil riset memastikan program dan
kebijakan kepemiluan tidak dibangun atas postulat spekulatif, tetapi dikontruksi
berlandaskan pada argument empirik dan rasional dengan proses yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam demokrasi, partisipasi pemilih menjadi elemen penting demokrasi
perwakilan. Ia adalah fondasi praktik demokrasi perwakilan. Persoalannya,
terdapat sejumlah masalah menyangkut partisipasi pemilih yang terus
menggelayut dalam setiap pelaksanaan pemilu. Sayangnya, persoalannya itu tidak
banyak diungkap dan sebagian menjadi ruang yang terus menyisakan pertanyaan.
Beberapa persoalan terkait dengan partisipasi dalam pemilu diantaranya
adalah fluktuasi kehadiran pemilih ke TPS, suara tidak sah yang tinggi, gejala
politik uang, misteri derajat melek politik warga, dan langkahnya kesukarelaan
politik.
Masalah tersebut perlu dibedah sedemikian rupa untuk diketahui akar
masalah dan dicari jalan keluarnya. Harapannya, partisipasi dalam pemilu berada
pada idealisme yang diimajinasikan. Oleh karena itu, program riset menjadi
aktivitas yang tidak terhindarkan dalam manajemen pemilu.

1.2. Tujuan Penelitian

Secara umum, kegiatan penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan


dan memotret perilaku memilih masyarakat Kabupaten Bondowoso. Secara
khusus, aktivitas penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan
sebagai berikut:
1. Menggambarkan karakteristik pemilih, seperti sosial, ekonomi, politik
pemilih di Kabupaten Bondowoso, berdasarkan umur, jenis kelamin,
wilayah, pendidikan, pekerjaan, ormas dan pilihan politik legislative,
presiden dan kepala daerah.

2
2. Mengidentifikasi perilaku memilih masyarakat bondowoso, seperti
tingkat partisipasi, metode kampanye, dan media kampanye.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih
Bondowoso berdasarkan pertimbangan psikologis.
4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih
Bondowoso berdasarkan pertimbangan Sosiologis.
5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih
Bondowoso berdasarkan pertimbangan rasionalitas.
6. Mengidentifikasi isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat
Bondowoso, baik isu dibidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial-
keagamaan, hukum, dan sebagainya. Termasuk disini adalah mengukur
seberapa kuat variabel isu-isu tersebut mempengaruhi pilihan politik
pada perilaku memilih.

1.3. Sasaran Penelitian

1. Tersusunnya karakteristik sosial, ekonomi, politik pemilih di


Kabupaten Bondowoso, berdasarkan umur, jenis kelamin, wilayah,
pendidikan, pekerjaan, ormas dan pilihan politik legislative, presiden
dan kepala daerah.
2. Tersusunnya faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih
Bondowoso dalam menentukan pilihan politik pada saat pemilu.
Termasuk disini adalah seberapa kuat pengaruh masing-masing
variabel tersebut dalam mempengaruhi pilihan politiknya Beberapa
indikator yang digunakan untuk mengukur variabel ini adalah faktor
sosiologis (karakteristik sosial ekonomi), faktor psikologis (identifikasi
partai), dan faktor rasionalitas (pertimbangan ekonomi, program, isu).
3. Tersusunnya isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat Bondowoso
menjelang pemilihan Bupati secara langsung, baik isu dibidang politik,
ekonomi, pendidikan, sosial-keagamaan, hukum, dan sebagainya.

3
Termasuk disini adalah mengukur seberapa kuat variabel isu-isu
tersebut mempengaruhi pilihan politik pada pemilihan Bupati secara
langsung.

1.4. Sistimatika Laporan


Sistimatika laporan perilaku memilih masyarakat Kabupaten Bondowoso
adalah:
BAB 1 : PENDAHULUAN
BAB 2 : KERANGKA TEORI
BAB 3 : METODE PENELITIAN
BAB 4 : PERILAKU MEMILIH
BAB 5 : PENUTUP

4
BAB 2
KERANGKA TEORI

Selama ini, penjelasan-penjelasan teoritis tentang voting behavior


didasarkan pada dua model atau pendekatan, yaitu model/pendekatan sosiologi
dan model/pendekatan psikologi. Di lingkungan ilmuwan sosial Amerika Serikat,
model pertama disebut sebagai mazhab Columbia (The Columbi School of
Electoral Behavior), sementara model kedua disebut sebagai mazhab Michigan
(The Michigan Survey Research Centre). Mazhab pertama lebih menekankan
peranan faktor- faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang,
sementara mazhab kedua lebih mendasarkan faktor psikologis seseorang dalam
menentukan perilaku politiknya.1 Dari dua mazhab tersebut, ada mazhab ketiga
yang itu sangat berpengaruh dalam perilaku memilih, yaitu mazhab dimana
perilaku memilih lebih menekannkan pada faktor-faktor rasionalitas.

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis sebenarnya berasal dari Eropa, kemudian di


Amerika Serikat dikembangkan oleh para ilmuwan sosial yang mempunyai latar
belakang pendidikan Eropa. Karena itu, Flanagan menyebutnya sebagai model
sosiologi politik Eropa. David Denver, ketika menggunakan pendekatan ini untuk
menjelaskan perilaku memilih masyarakat Inggris, menyebut model ini sebagai
social determinism approach.
Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan
pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Karakteristik sosial
(seperti pekerjaan, pendidikan dan sebagainya) dan karakteristik atau
latarbelakang sosiologis (seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan
sebagainya) merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan politik. Pendek

1
Afan Gaffar, Javaners Voters, A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992), hal. 4-9.

5
kata, pengelompokan sosial seperti umur (tua-muda); jenis kelamin (laki-
perempuan); agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup
menentukan dalam membentuk pengelompokan sosial baik secara formal seperti
keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-
organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya; maupun
pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-
kelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami
perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai
peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Dean
Jaros dkk,2 ketika mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu
kelompok dengan perilaku politik seseorang menyederhanakan pengelompokan
sosial itu ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok primer, kelompok sekunder
dan kelompok kategori.
Gerald Pomper memerinci pengaruh pengelompokan sosial dalam studi
voting behavior ke dalam dua variabel, yaitu variabel predisposisi sosial-ekonomi
keluarga pemilih dan predisposisi sosial-ekonomi pemilih. Menurutnya,
predisposisi sosial-ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan
yang signifikan dengan perilaku memilih seseorang. Preferensi-preferensi politik
keluarga, apakah preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan
berpengaruh pada preferensi politik anak. Predisposisi sosial-ekonomi ini bisa
berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis,
dan semacamnya.3 Pendek kata, ikatan-ikatan sosiologis semacam ini sampai
sekarang secara teoritis masih cukup signifikan untuk melihat perilaku memilih.4
Hubungan antara agama dengan perilaku memilih misalnya, tampak pada
penelitian Lipset. Di beberapa negara di mana partai tidak mempunyai batas yang
jelas dengan agama, kelompok minoritas di bidang ekonomi, politik ataupun
diskriminan-diskriminan tertentu, cenderung untuk memilih partai yang berpaham
2
Penjelasan hubungan antar variabel ini lihat uraiannya dalam sub bab, “Explaining the Political
Behavior of Individual: Group or Social Factors”, Dean Jaros et.al., Political Behavior, Choices
and Perspectives (New York: St. Martin’s Press, 1974), hal. 111-146.
3
Gerald Pomper, Voter’s Choice: Varieties of American Electoral Behavior (New York: Dod,
Mead Company, 1978), hal. 195-208.
4
Mark N. Franklin, “Voting Behavior”, dalam Seymour Martin Lipset, The Encyclopedia of
Democracy, Volume IV (Washington, D.C.: Congressional Quarterly Inc., 1995), hal. 1346-1353.

6
liberal atau partai yang berhaluan kiri; sementara kelompok mayoritas cenderung
untuk memberikan suaranya pada partai konservatif atau partai sayap kanan. Di
Amerika Serikat misalnya, penganut agama Katholik dan Yahudi, kulit hitam dan
Hispanic (keturunan Latin) merupakan pendukung setia Partai Demokrat.
Sementara kaum Protestan Anglo Saxon memberikan dukungan pada Partai
Republik. Pada pemilihan presiden tahun 1984 misalnya, 68 persen orang Yahudi
di Amerika Serikat memberikan suaranya untuk Partai Demokrat dibanding
dengan 39 persen suara dari kaum Protestan. Sebagaimana yang diungkap Lipset:

"the Jewish ethic its emphasis on comunity and family welfare maybe
constrasted to the Protestant ethic with its stress on individualism .... The
former has obvious links to the principles espoused by American liberals
and the Democratic Party; the latters has clear relations with the values
subsumed under laisse- faire competitive individualism as expressed by
concervatives and the Republican Party".

Tingkat ketaatan beragama juga berhubungan erat dengan perilaku


memilih. Para pemilih yang berlatarbelakang Islam santri misalnya, cenderung
memilih partai PPP. Di kabupaten-kabupaten daerah tapal kuda di Jawa Timur,
yang dikenal sebagai basis wilayah santri, dari Pemilu ke Pemilu suara PPP cukup
besar. Penelitian di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menunjukkan bahwa para
santri sebagian besar memilih PPP.5 Hal yang sama juga terjadi di Israel.
Penelitian Wald dan Shye menunjukkan bahwa semakin besar keterlibatan
seseorang dalam aktivitas keagamaan, semakin besar kecenderungannya untuk
menyukai atau memilih partai- partai agama atau kelompok-kelompok sayap
kanan.6
Meskipun dari Pemilu ke Pemilu hubungannya tidak selalu konsisten, jenis
kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang dapat dihubungkan dengan

5
Muhammad Asfar, “Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Kiai”, dalam Jurnal Ilmu Politik, No.
17, tahun 1997.
6
Kenneth D. wald and Samuel Shye, “Religious Influence in Electoral Behavior: The Role of
Institutional and Social Forces in Israel” dalam The Journal of Politics, Vol. 57. No. 2, 1995, hal.
495-507.

7
perilaku memilih. Studi voting behavior di Eropa pada dekade 1970-an
menunjukkan bahwa wanita lebih suka mendukung partai borjuis daripada partai
sosialis, setuju dengan administrasi (birokrasi), menghindari pemihakan pada
ekstrim kiri maupun ekstrim kanan, dan mendukung partai moderat. Hanya saja,
studi voting behavior di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tidak terbukti
adanya persistensi pilihan kelompok wanita terhadap partai tertentu, meskipun
pola kecenderungan umum setiap Pemilu dapat dibedakan. Pada tahun 1952
misalnya, terdapat kecenderungan wanita mendukung Partai Republik dibanding
pria (29,8% wanita mengidentifikasi pada Partai Republik, dibanding pria yang
hanya 25,6%). Namun, sejak 1968, kecenderungan ini berubah. Dukungan wanita
mulai cenderung ke Partai Demokrat (48,4% wanita mengidentifikasi pada Partai
Demokrat dibanding pria yang hanya 43%). Dan puncak dukungan wanita yang
lebih cenderung ke Partai Liberal ini terlihat pada Pemilu 1972 (43,8% wanita
mengidentifikasi pada Partai Demokrat, 24,3% pada Partai Republik, sementara
31,9% mengaku independen). Setelah mengalami fluktuasi selama beberapa
periode, wanita mulai lebih ke Partai Demokrat.7
Mengapa dukungan wanita terhadap suatu partai politik tidak konsisten? Salah
satu penjelasannya adalah ketidaksukaan wanita terhadap isu-isu perang.
Sehingga, mereka akan lebih mendukung pada partai yang menghendaki
berakhirnya perang, termasuk pengurangan terhadap anggaran persenjataan.8
Betapapun begitu, ilmu politik tradisional umumnya menggambarkan hubungan
antara wanita dan perilaku memilih adalah sebagai berikut: tingkat kehadiran
dalam Pemilu rendah, cenderung memilih partai sayap kanan, sikapnya lebih
konservatif, lebih menyukai isu-isu moralis, cenderung mengikuti pilihan suami
dan orang tua, dan sebagainya.9
Berbagai penelitian mutakhir juga menunjukkan adanya preferensi politik
berdasarkan perbedaan seks atau gender. Penelitian Wilder di Pakistan

7
Laura W. Arnold and Herbert F. Weisberg, “Parenthood, Family Values, and the 1992
Presidential Election”, dalam American Politics Quarterly, Vol. 2, No. 2, 1996, hal. 194-220.
8
Uraian dan data lebih lengkap dari perilaku memilih wanita ini dapat dilihat pada Gerald Pomper,
op.cit., terutama bab “Sex, Voting and war”, hal. 42-89.
9
Lisa Tobegy, “Political Implication of Increasing Number of Women in the Labor Force”, dalam
Comparative Political Studies, a Quarterly Journal, Vol. 27, No. 2, 1994, hal. 211-240.

8
menemukan bukti adanya preferensi pilihan wanita yang lebih suka terhadap
partai Pakistan Muslim League (PML) faksi Nawaz Sharif. 10 Penelitian Rosenthal
menunjukkan adanya kesadaran gender yang cukup kuat di kalangan pemilih
wanita. Dari hasil survey yang ia lakukan terhadap 416 wanita pada tahun 1993, ia
akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa para pemilih wanita lebih suka
memilih kandidat sesama wanita.11 Bahkan, di antara wanita sendiri terdapat
perbedaan preferensi pilihan politik berdasarkan kesadaran gender. Penelitian
Cook menunjukkan, wanita yang mempunyai kesadaran feminisme cukup besar
berbeda dengan wanita yang kurang memiliki kesadaran feminisme dalam hal
sikap dan nilai politik, khususnya perbedaan dalam memilih kandidat dan pilihan
politiknya pada saat Pemilu.12
Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku memilih.
Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai
politik. Di beberapa negara, wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai
tertentu, sampai mampu bertahan beberapa abad. Kasus yang patut diangkat
adalah loyalitas yang begitu kuat terhadap Partai Demokrat dari pemilih yang
bertempat tinggal di wilayah Selatan Amerika Serikat. Penduduk di wilayah
Selatan, tanpa memperhatikan faktor etnis dan kelas, umumnya merupakan
pendukung tetap Partai Demokrat. Meskipun masyarakat New England pada
umumnya menjadi pendukung Partai Republik, namun di wilayah Selatan mereka
lebih mendukung Partai Demokrat.13
Penelitian Petterson dan Rose di Norwegia menunjukkan bahwa ikatan-
ikatan kedaerahan, seperti desa-kota, merupakan faktor yang cukup signifikan
dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang. 14 Ikatan kedaerahan

10
Andrew R. Wilder, “Changing Patterns of Punjab Politics in Pakistan: National Assembly
Election Results, 1988 and 1993”, dalam Asian Survey, vol. XXXV, No. 4, 1995, hal. 377-393.
11
Cindy Simon Rosenthal, “The Role of Gender in Descriptive Representation”, dalam Political
Research Quarterly, Vol. 48, No. 1, 1995, hal. 117-134.
12
Elizabeth Adell Cook, “Feminist Consciousness and Candidate Preference Among American
Women, 1972-1988”, dalam Political Behavior, Vol. 15, 1993, hal. 227.
13
Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, op.cit, hal. 205-206.
14
Per Arnt Pettersen and Lawrence E. Rose, “Participation in Local Politics in Norway: Some Do,
Some Don’t, Some Will, Some Won’t”, dalam Political Behavior, Vol. 18, No. 1, 1996.

9
terutama sangat kuat dalam mempengaruhi pilihan seseorang terhadap kandidat.
Penelitian Potoski menunjukkan bahwa para kandidat umumnya lebih diterima
dan dipilih oleh para pemilih yang berasal dari daerah yang sama. Dalam tulisan
klasiknya yang diterbitkan pada tahun 1949, Southern Politics, Key menyebut
perilaku memilih semacam ini sebagai localism, atau perilaku memilih friends
and neighbors. Begitu kuatnya posisi variabel kedaerahan ini, ketika melaporkan
penelitiannya, Potoski mengawali tulisannya sebagai berikut: “it is a political
axiom that candidates tend to poll better in their home areas than they do
elsewhere".15
Dalam berbagai ragam perbedaan dalam struktur sosial, yang paling tinggi
pengaruhnya terhadap perilaku politik adalah faktor kelas (status ekonomi),
terutama di hampir semua negara industri. Setelah melakukan penelitian di
beberapa negara (1981), Lipset menyimpulkan: "More than anything else the
party struggle is a conflict among class,.... the lower income groups vote mainly
for parties of the left, while the higher-income groups vote mainly for parties of
the right".
Di Eropa kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung
memberikan suara pada partai sosialis atau komunis, sedangkan kelompok
menengah dan atas menjadi pendukung partai konservatif. Di Amerika Serikat
meskipun tidak tergambar jelas, kelas menjadi basis dari partai politik.
Masyarakat kelas bawah dan kelas pekerja --biasanya lewat organisasi buruh--
cenderung ke Partai Demokrat, sedangkan kelas atas dan menengah --kecuali di
luar wilayah Selatan-- merupakan pendukung Partai Republik.16 Hal yang hampir
sama pernah dikemukakan oleh Milbrath, bahwa lingkungan kelas menengah-
bawah cenderung menghasilkan status changer (kaum Liberal), sementara
lingkungan kelas menengah-atas cenderung menghasilkan status defender (kaum
Konservatif).17
Namun, studi voting behavior yang lebih mutakhir -- terutama di Inggris--
menunjukkan fakta yang sebaliknya. Penelitian Anthony Health (1991) dan Mc.

15
Matthew Potoski, “ ‘Friends and Neighbors Voting’ in Gubernatorial and Senatorial Primaries”,
dalam Southeastern Political Review, Vol. 22, No. 3, 1994, hal. 543-548.
16
Arnold K. Sherman and Aliza Kolker, op.cit., hal. 199-202.
17
Milbrath, Political Participation (Chicago: Ron Mc.Nally and Co., 1965), hal. 5-38.

10
Allister (1990) menemukan bahwa pengaruh kelas --baik yang obyektif maupun
yang subyektif-- pada perilaku memilih di Inggris sangat kecil, lebih kecil dari
masalah-masalah perumahan, pendapatan dan rasa persatuan anggota.18 Temuan
yang sama juga terjadi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Afan Gaffar
menunjukkan bahwa pengaruh kelas dalam perilaku memilih di Indonesia tidak
begitu dominan. Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku politik antara
mereka yang masuk kategori orang kaya ataupun orang miskin; antara yang
memiliki tanah luas dan sedikit; antara yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang
dengan buruh tani, dan sebagainya19

2. Pendekatan Psikologis

Kalau pendekatan sosiologis berkembang di Amerika Serikat berasal dari


Eropa Barat, pendekatan psikologis merupakan fenomena Amerika Serikat
karena dikembangkan sepenuhnya di Amerika Serikat melalui Survey Research
Centre di Universitas Michigan. Oleh karena itu, pendekatan ini juga disebut
sebagai mazhab Michigan. Pelopor utama pendekatan ini adalah Angust
Campbell.
Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka
terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap --secara
metodologis-- sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah
indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Apalagi,
pendekatan sosiologi umumnya hanya sebatas menggambarkan dukungan suatu
kelompok tertentu pada suatu partai politik, tidak sampai pada penjelasan
mengapa suatu kelompok tertentu memilih/mendukung suatu partai politik
tertentu sementara yang lain tidak.20
Di samping itu, secara materi, patut dipersoalkan apakah benar variabel-
variabel sosiologis seperti status sosial-ekonomi keluarga, kelompok-kelompok

18
Richard Rose dan Ian Mc. Allister, The Loyalities of Voters: A Lifetime Learning Model
(London and Newburry Park, CA: Sage, 1990).
19
Afan Gaffar, op.cit., hal. 159-174.
20
Richard G. Niemi and Herbert F. Weisberg, Controversies of Voting Behavior, (Washington
D.C.: a Division of Congressional quarterly Inc., 1984), hal. 9-12.

11
primer ataupun sekunder, itu yang memberi urunan pada perilaku memilih.
Tidakkah variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku memilih kalau
ada proses sosialisasi. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini, sosialisasilah
sebenarnya yang menentukan perilaku memilih (politik) seseorang, bukan
karakteristik sosiologis.
Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan
konsep psikologi -- terutama konsep sosialisasi dan sikap-- untuk menjelaskan
perilaku memilih. Menurut pendekatan ini para pemilih di Amerika Serikat
menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang
dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Sosialisasi
politik yang diterima seseorang pada masa kecil (baik di lingkungan keluarga
maupun pertemanan dan sekolah) misalnya, sangat mempengaruhi pilihan politik
mereka, khususnya pada saat pertama kali menentukan pilihan politik.21
Penganut pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang --sebagai
refleksi dari kepribadian seseorang-- merupakan variabel yang cukup menentukan
dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan
psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu
ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi
terhadap kandidat.22
Mengapa pendekatan psikologis menganggap sikap merupakan variabel
sentral dalam menjelaskan perilaku politik seseorang? Hal ini disebabkan oleh
fungsi sikap itu sendiri, yang menurut Greenstein mempunyai tiga fungsi. 23
Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu
obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut.
Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya, seseorang bersikap
tertentu merupakan akibat dari keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama
dengan tokoh yang disegani atau kelompok panutan. Ketiga, sikap merupakan
fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan

21
Mark N. Franklin, “Voting Behavior” dalam Seymour Martin Lipset (ed.), The Encyclopedia of
Democracy, Volume IV (Washington, D.C.: Congressional Quarterly Inc., 1995), hal. 1346-1347.
22
Richard G. Niemi and Herbert F. Weisberg, op.cit., hal. 12-13.
23
Lihat Greenstein, Personal and Politics (Chicago: Morkham Publishing, 1969).

12
upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud
mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) dan eksternalisasi diri seperti
proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan identifikasi.
Namun sikap bukanlah suatu yang bersifat asal jadi, tetapi terbentuk
melalui proses yang panjang. Mulai baru lahir sampai dewasa. Pada tahap
pertama, informasi pembentukan sikap berkembang pada masa anak-anak. Anak-
anak mulai mempersonifikasikan politik. Fase ini merupakan proses belajar
keluarga. Anak-anak belajar pada orang tuanya tentang bagaimana perasaan
mereka terhadap pemimpin-pemimpin politik; bagaimana orang tua mereka
menganggap isu-isu politik, dan sebagainya. Tahap kedua adalah bagaimana sikap
politik dibentuk pada saat menginjak dewasa ketika menghadapi situasi di luar
keluarga, seperti di sekolah, kelompok/teman sebaya, dan sebagainya. Tahap
ketiga adalah bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan
seperti pekerjaan, gereja, partai politik, dan asosiasi-asosiasi yang lain.24
Melalui proses sosialisasi inilah kemudian berkembang ikatan psikologis
yang kuat antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik,
yang berupa simpati terhadap partai politik. Ikatan psikologis inilah yang
kemudian dikenal sebagai identifikasi partai. Bagi penganut pendekatan
psikologis, konsep identifikasi partai ini dijadikan variabel sentral untuk
menjelaskan perilaku memilih seseorang. Sebagaimana yang diakui oleh
Czudnowski, "This aproach also particularly adequate for the analysis of voting
in the United States, where 'party identification' has been found to be the single
most impartant variable determinising voting preferences”. 25
Hanya saja, identifikasi di sini berbeda dengan voting. Sebab, identifikasi
partai lebih merujuk pada pengertian psikologis, yang ada dalam kontruksi dalam
pikiran manusia dan tidak dapat diobservasi secara langsung, sementara voting
merupakan tindakan yang jelas dan dapat diobservasi secara langsung. Di samping
itu, seperti yang ditulis oleh Augus Campbell dkk, identifikasi partai lebih sebagai
"a psychological identification, which can persist without legal recognition or

24
David Apter, Pengatar Analisa Politik (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 262-267.
25
Moshe M. Czudnowski, Comparing Political Behavior (London; Sage Publication, Inc., 1976).
Hal. 76.

13
evidence of formal membership and even without a consistent record of party
support.26
Lebih rinci, David Denver membedakan identifikasi partai dengan voting
dalam tiga hal berikut:

Firstly, party identification is psychological while voting is behavioral. That


is, identification exists in people's heads, we can't observe it directly.
Voting, however, is definite action --putting a cross on a piece of paper or
pulling a lever on a voting machine-- and it is in principle observable
(although normally done in secret).
Secondly, voting is time specific, while party identification is not. Voting
can take place only at an election --and election occur relatively infrequently
in Britain-- whereas identification is ongoing and continuos. They doesn't
need to be an election in the offing for people to consider themselves
supporters of a party.
Thirdly, party identification varies in intensity and voting doesn't. Some
people will be very strong party supporters, others not very strong or just
weak supporters. All voters count equally, however, whether the voter marks
the ballot with a greest thick black cross a timing faint one.27

Bagi penganut pendekatan psikologis, hubungan atau pengaruh antara


identifikasi partai dengan perilaku memilih sudah menjadi semacam aksioma.
Setelah mengamati perilaku memilih di Inggris dan menemukan data bahwa
sebagian besar pemilih di Inggris memilih partai yang sama dari Pemilu ke Pemilu
selama seperempat abad, Denver menyimpulkan bahwa teori-teori perilaku
memilih benar (hanya) dalam satu hal: Pilihan seseorang harus dipahami sebagai
pernyataan loyalitas (identifikasi partai) yang dibentuk oleh pengalaman
sepanjang hidup.

26
Andi Alifian Mallarangeng, Contextual Analysis on Indonesian Electoral Behavior, dissertation
(Dekalb, Illinois: Departemen of Political Science, Northern Illinois University, 1997), hal.33.
27
David Denver, Election and Voting Behavior in Britain (London: Philip Allan Published, 1989),
hal. 27-28.

14
Betapapun pendekatan psikologis relatif banyak pengikutnya, bukan
berarti pendekatan ini lepas dari kritik. Para pengkritik mempersoalkan hubungan
antara sikap dan perilaku. Apakah benar sikap seseorang mempengaruhi
perilakunya? Sebab belum tentu orang yang sikapnya menyukai partai tertentu
atau kandidat tertentu dalam memilih nanti akan memilih sesuai dengan posisi
sikapnya. Dalam banyak kasus, mereka yang tidak mendukung rasisme namun
berperilaku seperti seorang rasis. Disamping itu benarkah dalam menjelaskan
perilaku seseorang itu dapat dihubungkan secara langsung dengan perilaku
politik? Tidakkah ada variabel-variabel perantara yang justru lebih bisa
menjelaskan? Misalnya, dalam banyak kasus, para ahli psikologi sering
menggunakan teori A.H. Maslow tentang hirarkhi kebutuhan manusia untuk
menjelaskan perilaku politik seseorang, padahal dalam realitas sulit ditemui --atau
secara konseptual sukar dipahami-- hubungan antara perilaku aktual dengan
konsep kebutuhan tanpa meletakkan konsep antara seperti keinginan misalnya. 28
Disamping itu, dalam berbagai penelitian sering terjadi kesalahan
pengukuran terhadap konsep identifikasi partai. Akibatnya, stabilitas variabel
identifikasi partai sebagai penjelas perilaku memilih sering diperdebatkan. 29
Persoalan pengukuran variabel identifikasi partai terutama terlihat dengan adanya
perbedaan mendasar antara National Election Studies (NES) dengan Gallup. NES
secara tradisional mengukur identifikasi partai dengan mengajukan pertanyaan
tentang identifikasi partai seserang pada rentang waktu yang cukup panjang,
sedang Gallup mengukur identifikasi partai dengan mengajukan pertanyaan
tentang identifikasi partai seseorang pada masa kini atau saat penelitian
dilakukan.30
Hanya saja, beberapa penelitian mutakhir menunjukkan menurunnya
pengaruh identifikasi dalam menentukan pilihan pemilih. Penelitian Bowler dan
Lanoue di Kanada pada dekade 1990-an menunjukkan menurunnya pengaruh

28
Christian Bay, “Politic and Pseudopolitics: A Critical Evaluation of Same Behavior Literature”,
dalam Heinz Eulau (ed.), Behavioralism in Political Sciencet., hal. 109-137.
29
Donald Philip Green and Bradley Palmquist, “How Stable is Party Identification?”, dalam
Political Behavior, Vol. 16, No. 4, 1994, hal. 437-466.
30
Charles H. Franklin, “Measurement and the Dynamics of Party Identification”, dalam Political
Behavior, vol. 11, No. 3, 1992, hal. 297-309.

15
identifikasi --ia menggunakan istilah loyalitas-- partai.31 Penelitian Goldberg di
Israel menunjukkan temuan yang lebih ekstrem, yakni semakin melemahnya
peranan identifikasi partai dan menguatnya peranan variabel penilaian terhadap
kandidat. Bahkan, untuk menggambarkan betapa rapuhnya peranan identifikasi
partai pada Pemilu 1994 di Israel, ia memberi anak judul dalam tulisannya: a
decline of party identification.32

3. Pendekatan Rasional

Dua pendekatan terdahulu secara implisit atau eksplisit menempatkan


pemilih pada waktu dan ruang yang kosong. Pemilih ibarat wayang yang tidak
mempunyai kehendak bebas kecuali atas keinginan dalang. Pemilih seakan pion-
pion catur yang dengan mudah dapat ditebak langkah-langkahnya. Mereka
beranggapan bahwa perilaku memilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat
menjelang atau ketika berada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh
sebelumnya, bahkan sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis,
latarbelakang keluarga, pembelahan kultural, afiliasi- afiliasi okupasi, ataupun
identifikasi partai melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup, merupakan
variabel-variabel yang secara sendiri-sendiri atau komplementer mempengaruhi
perilaku memilih seseorang. Pemilih seakan- akan berada pada waktu dan ruang
yang kosong, yang keberadaan dan ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu
dalam lapisan sosialnya.
Kalau saja hal ini mengandung banyak kebenaran, persoalannya adalah
bagaimana kita menjelaskan tentang adanya variasi perilaku memilih pada suatu
kelompok yang secara psikologis mempunyai persamaan karakteristik. Dan yang
lebih penting lagi, bagaimana kita menjelaskan pergeseran pilihan dari satu
Pemilu ke Pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama.
Seorang yang mempunyai karakteristik sosial seperti jenis kelamin , agama,

31
Shaun Bowler and David J. Lanoue, “New Party Challenges and Partisan Change: The Effects
of Party Competition on Party Loyalty”, dalam Political Behavior, Vol. 18, No. 4, 1996, hal. 327-
343.
32
Giora Goldberg, “ Trade Union and Party Politics in Israel: A Decline of Party Identification”,
dalam The Journal of Social, Political and Econimic Studies, Vol. 23. No. 1, 1998, hal. 53-73.

16
pekerjaan, status sosial dan ekonomi yang sama selama dua puluh tahun, tetapi
memberikan suara yang tidak sama pada setiap Pemilu.
Itu berarti, ada variabel-variabel lain yang menentukan atau ikut
menentukan dalam mempengaruhi perilaku memilih seseorang. Ada faktor-faktor
situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang.
Dengan begitu, para pemilih tidak hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya
terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Faktor-faktor
situasional itu bisa merupakan isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan.
Secara demikian, penjelasan-penjelasan perilaku memilih tidaklah harus
permanen --seperti karakteristik-karakteristik sosiologis dan identifikasi partai--
tetapi berubah- ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa-peristiwa dramatik yang
menyangkut persoalan-persoalan mendasar. Dengan begitu, isu-isu politik
menjadi pertimbangan yang penting. Para pemilih akan menentukan pilihan
berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan.
Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan rasional. Niemi dan Wiesberg meringkaskan model ini sebagai
berikut:

The other model of voting that become popular is a rational voter model.
According to this model, voters decide whether or not to vote and for which
candidate to vote on some rational basis --usually on the basis of which action
gives them greater expected benefits. They vote only if they perceive greater
gains from voting than the cost (mainly in time). In the usual formulation,
they vote for the candidat closest to them on the issues.

Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku memilih oleh


ilmuwan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya
analogi antara pasar (ekonomi) dan perilaku memilih (politik). Apabila secara
ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos
sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka
dalam perilaku politikpun masyarakat akan dapat bertindak secara rasional, yakni
memberikan suara ke OPP yang dianggap mendatangkan keuntungan dan

17
kemaslakhatan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian atau kemudlaratan
yang sekecil-kecilnya.
Secara demikian, perilaku memilih berdasarkan pertimbangan rasional
tidak hanya berupa memilih alternatif yang paling menguntungkan (maximum
gained) atau mendatangkan kerugian yang paling sedikit. Tetapi juga dalam
memilih alternatif yang menimbulkan resiko yang paling kecil (least risk), yang
penting mendahulukan selamat.33 Dengan begitu, diasumsikan para pemilih
mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang diajukan. Begitu juga
mampu menilai calon (kandidat) yang ditampilkan. Penilaian rasional terhadap isu
politik atau kandidat ini bisa didasarkan pada jabatan, informasi, pribadi yang
populer karena prestasi dibidang masing-masing seperti seni, olah raga, film,
organisasi, politik, dan semacamnya.
Him Melweit dan koleganya menyebutkan sebagai "Consumer Model" of
party choice, bahwa perilaku memilih merupakan pengambilan keputusan yang
bersifat instant, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda
dengan pengambilan keputusan-keputusan lain. Mereka mencatat bahwa "same
express hope that the voters, loosened from traditional partisan attachment, will
be able to exercise more rational choice based on the thoughtful consideration of
the issues".34
Hubungan isu-isu politik dan penilaian kandidat dengan perilaku memilih
akan tampak lebih jelas dengan melihat hasil penelitian Pomper di Amerika
Serikat. Dengan membandingkan tiga kali hasil penelitiannya pada Pemilu 1954,
1964, 1972, Pomper mengajukan tiga kesimpulan. Pertama, hubungan antara
variabel variabel sosio-ekonomi dengan sikap memilih semakin melemah dari
Pemilu ke Pemilu, dan turun sampai tingkat yang rendah pada 1972. Faktor-faktor
demografis ketika dihubungkan dengan sikap pemilih juga mengalami hal yang
sama. Kedua, posisi isu-isu politik dalam menentukan voting meningkat secara
tajam, baik dampaknya secara langsung terhadap pilihan pemilih maupun secara
tidak langsung melalui pemilihan calon kandidat. Ketiga, terjadi penurunan
pengaruh identifikasi partai terhadap pilihan pemilih secara terus menerus mulai

33
Lihat tulisan Ramlan Surbakti, “Memilih secara Rasional”, harian sore Surabaya Post, 1992.
34
Arnold K. Sherman dan aliza Kolker, op.cit., hal. 202.

18
dari Pemilu 1956, 1964 sampai puncaknya pada Pemilu 1972. Lebih jelasnya,
lihat gambar 1,2 dan 3 berikut:35

Gambar 1: Model Kausal Pemilihan Presiden 1956

.306
FSPP FPI
.679
.505
.370
RSPP RPI

.126 .235 .540

ISSI .114 CE

.060 .448 .540

RV

35
Dalam menjelaskan perilaku memilih di Amerika Serikat, Pomper memakai 6 variabel penjelas:
Family Socioeconomic Partisan Predisposition (FSPP); Family Party Identification (FPI);
Responden’s Socioeconomic Partisan Predisposition (RSPP); Responden’s Party Identification
(RPI); Partisan Issues Index (ISSI); Candidate Avaluation (CE); dan Respondent’s Vote (RV).
Lihat Gerald Pomper, op.cit., hal. 198-208.

19
Gambar 2: Model Kausal Pemilihan Presiden 1964

.336
FSPP FPI
.705
.505
.215
RSPP RPI

.186 .301 .356

ISSI .203 CE

.224 .364 .377

RV
Gambar 3: Model Kausal Pemilihan Presiden 1972

.285
FSPP FPI
.044
.458
.116
RSPP RPI

.138 .249 .340

ISSI .312 CE

.233 .310 .366

RV

20
Dari gambar di atas dapat terbaca bahw koefisien variabel indeks isu-isu
partisan mengalami kenaikan dari Pemilu ke Pemilu. Bahkan pada gambar 2 dan 3
terlihat bahwa koefisien variabel evaluasi kandidat ternyata lebih besar daripada
koefisien variabel identifikasi partai. Ini berarti, variabel penilaian kandidat lebih
besar sumbangannya dalam menentukan perilaku memilih dibanding dengan
variabel identifikasi partai.
Meskipun begitu, penilaian terhadap isu dan kandidat bukanlah sesuatu
yang terjadi secara tiba-tiba, namun sering dipengaruhi oleh informasi yang
diterima pemilih melalui media massa yang diikutinya. Berita dan komentar-
komentar yang dimuat di media massa, khususnya berita atau komentar-komentar
negatif, seringkali mempengaruhi penilaian terhadap kandidat, posisi kandidat
dalam suatu isu, dan preferensi kandidat dalam suatu kebijakan tertentu, termasuk
evaluasi terhadap perkembangan ekonomi nasional.36
Sementara itu, evaluasi terhadap kandidat sangat dipengaruhi oleh sejarah
dan pengalaman masa lalu kandidat baik dalam kehidupan bernegara maupun
bermasyarakat. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para pemilih untuk
menilai seorang kandidat, khususnya bagi para pejabat yang hendak mencalonkan
kembali, di antaranya kualitas, kompetensi dan integritas kandidat. Para pejabat
yang pada saat memegang jabatan tidak menunjukkan kualitas, kompetensi dan
integritas pribadi yang memadai, mereka tidak akan terpilih kembali.37 Hanya,
penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa di antara berbagai variabel yang
mempengaruhi penilaian pemilih terhadap kandidat, variabel skandal mempunyai
pengaruh yang paling signifikan. Penelitian di Amerika Serikat misalnya,
menunjukkan bahwa skandal yang dilakukan kandidat – terutama berkaitan
dengan skandal ketidaksetiaan dalam perkawinan (marital infidelity) dan

36
Marc J. Hetherington, “The Media’s Role in Farming Voters, National Economic Evaluation in
1992”, dalam American Journal of Political Science, Vol. 40, No. 2, 1996, hal. 327-395; dan Craig
Leonard Brian and Martin P. Wattenberg, “Campaign Issue Knowledge and Salience: Comparing
Reception from TV Commersials, TV News, and News Paper”, dalam American Journal of
Political Science, Vol. 40, No. 1, 1996, hal. 129-141.
37
Jeffery J. Mondak, “Competence, Integrity, and the Electoral Success of Congressional
Incumbents”, dalam The Journal of Politics, Vol. 57, No. 4, 1995, hal. 1043-1069.

21
pengelakan atau penggelapan pajak (tax evasion)-- sangat berpengaruh buruk pada
penilaian terhadap kandidat.38
Dalam khasanah teori voting behavior, penjelasan pilihan pemilih
berdasarkan petimbangan isu dan kandidat di atas juga dikenal sebagai teori
spasial. Teori ini gasumsikan bahwa para pemilih memilih kandidat yang paling
mewakili posisi kebijakan dan kandidat yang dapat memaksimalkan suara mereka.
Disamping itu, dalam kaitannya dengan isu-isu politik, teori spasial juga
mengasumsikan bahwa isu-isu politik dapat direpresentasikan sebagai seperangkat
posisi kebijakan yang benar-benar nyata. Sebab itu, ketika seseorang menanggapi
terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang suatu isu dalam suatu penelitian (survey),
mereka diharapkan menyatakan posisi kebijakannya dalam kaitannya dengan isu-
isu tersebut. Pada sisi lain, isu juga merepresentasikan simbol. Oleh karena itu,
respon seseorang terhadap suatu pertanyaan yang berhubungan dengan suatu isu
dianggap untuk menyatakan apakah mereka mempunyai perasaan positip atau
negatip terhadap simbol tersebut, yang dapat ditunjukkan dengan pertanyaan:
seberapa dekat perasaan mereka terhadap suatu isu.39
Dalam terminologi Hucfeldt dan Carmines, penjelasan perilaku memilih
yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan kepentingan diri
di atas disebut sebagai tradisi ekonomi politik (political economy tradition).40
Tradisi ekonomi politik, sebagaimana teori-teori spasial dan pendekatan rasional
lainnya, dikembangkan dari asumsi teoritis yang dibangun oleh Anthony Downs
(1957) tentang economic theory of democracy. Dalam pandangan Downs, jika
seseorang bertindak rasional berdasarkan kepentingan dirinya, maka kemungkinan
besar mereka tidak memberikan suaranya pada saat Pemilu. Namun, sebagaimana
yang digambarkan pada bab barikutnya, tesis Downs ini banyak dikritik terutama
berkaitan dan data empirik tingginya tingkat kehadiran pemilih dan instrumen
pengukurnya yang dinilai kurang tepat.

38
Carolyn L. Funk, “The Impact of Scandal on Candidate Evaluations: An Experimental Test of
the Role of Candidate Traits”, dalam Political Behavior, Vol. 18. No. 1, 1996.
39
Torben Iversen, “Political Leadership and Representation in West European Democracies: A
Test of Three Models of Voting”, dalam American Journal of Political Science, Vol. 38, No. 1,
1994, hal. 45-74.
40
Edward G. Carmines and Robert Hucfeldt, loc.cit.

22
Betapapun penjelasan-penjelasan yang didasarkan pada isu-isu di atas
belakangan ini lebih dapat menjelaskan fenomena perilaku memilih di banyak
negara, khususnya di negara-negara yang sudah maju dan tingkat demokrasinya
sudah mapan,41 namun kritik terhadap pendekatan ini juga tidak sedikit. Pertama,
asumsi-asumsi pendekatan ini dinilai sangat tidak realistik, terutama berkaitan
dengan pengetahuan manusia dan motivasinya. Dalam realitasnya, tidak semua
pemilih mempunyai akses yang sama terhadap informasi, sehingga mereka dapat
menghitung keuntungan dan kerugian apabila memilih partai atau kandidat
tertentu. Di samping itu, tidak semua pemilih memiliki informasi yang sama
tentang isu-isu politik yang sedang berkembang, sehingga tidak bisa menilai
posisi kandidat atau partai politik berdasarkan isu-isu politik yang diangkatnya.
Kedua, berkaitan dengan keberatan yang dikemukakan oleh para
pendukung "model politik simbolik" seperti Edelman (1967), Sears dkk. (1979,
Marcus (1988), Rabinovits dan MacDonald (1989), dan sebagainya. Gagasan
utama pendekatan ini adalah, bahwa para pemilih memilih merespon simbol-
simbol politik berdasarkan pertimbangan emosional dan perasaan, serta
menghindarkan diri dari perhitungan-perhitungan yang bersifat rasional tentang
informasi kandidat dan posisi kebijakannya. Banyak pemilih yang memilih partai
politik atau kandidat berdasarkan pertimbangan emosional dan perasaan, tanpa
memperhitungkan isu- isu politik yang diangkat kandidat atau partai tersebut
dalam suatu kampanye pemiliu.42
Ketiga, teori-teori spasial pada umumnya mengalami anomali di tingkat
empiris terutama berkaitan dengan karakteritik teorinya bahwa partai politik dan
kandidat cenderung mengambil posisi kebijakan yang lebih ekstrim daripada
umumnya kebijakan para pemilihnya. Studi-studi yang dilakukan oleh Robinowitz
(1978), Inglehart (1984), Dalton (1985), Robinowitz dan MacDonald (1988),
Holmberg (1988), Robinowitz, MacDonald dan Listhaug (1991), semuanya
menemukan hasil yang sama: adanya bentuk-bentuk perbedaan sikap antara

41
Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan adanya pergeseran bentuk perilaku memilih, dari
yang didasarkan pada pertimbangan sosiologis dan identifikasi partai ke arah pertimbangan
berdasarkan isu, lihat Russell J. Dalton, “Comparative Politics: Micro-behavioral Perspective”,
dalam Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit., hal. 336-396.
42
Torben Iverson, loc.cit.

23
pemilih dan elit. Bahkan, hasil penelitian Listhaug, MacDonald dan Robinowitz
(1991) menunjukkan adanya --apa yang mereka sebut sebagai-- suatu empty
centre, yaitu adanya kelompok partai di dalam suatu wilayah yang keberadaan
posisinya di luar posisi kebanyakan pemilih.43
Hal lain yang juga perlu dicatat adanya perbedaan pengaruh di antara isu
terhadap perilaku politik. Dalam realitas politik, ada beragam isu sebagai
pertimbangan seseorang menentukan pilihan. Ada isu yang berkaitan dengan
peningkatan pajak, perbaikan kesejahteraan rakyat, ras, gender, agama, dan
sebagainya. Seorang pemilih biasanya responnya tidak sama terhadap isu-isu
tersebut, sehingga pengaruh masing-masing isu terhadap perilaku memilih juga
tidak sama. Di negara-negara tertentu, ada suatu isu yang pengaruhnya cenderung
menguat, sementara isu yang lain cenderung melemah. Penelitian Abramowitz di
Amerika Serikat misalnya, menunjukkan menurunnya pengaruh isu rasial dan
agama, padahal beberapa dekade lalu kedua variabel ini pengaruhnya sangat kuat
dalam menentukan perilaku memilih.44
Disamping kritik-kritik di atas, terutama untuk kasus Indonesia, masih ada
beberapa pertanyaan yang belum terjawab secara memuaskan. Persoalan utama
berasal dari asumsi pendekatan rasional itu sendiri, yang menganggap para
pemilih mempunyai informasi yang relatif akurat mengenai setiap alternatif yang
tersedia; dan menganggap para pemilih bebas dari tekanan sosial untuk
menyesuaikan diri dengan kehendak lingkungan. Dalam kenyataannya, tidak
semua pemilih mempunyai informasi yang memadai mengenai isu-isu politik dan
para kandidat yang diajukan OPP; begitu juga para pemilih sama sekali tidak
bebas dari tekanan lingkungan. Analogi kedua asumsi juga dapat dipersoalkan.
Apabila keuntungan dalam transaksi ekonomi secara langsung dan konkrit dapat
diketahui, tetapi transaksi atau pertukaran antara pemberi suara dan wakil; atau
keuntungan ketika memilih partai tertentu tidak dapat diketahui secara langsung
dan konkrit.
Para penganut pendekatan psikologis dan sosiologis tentu mempersoalkan
hubungan antara variabel-variabel dalam pendekatan politik-rasional itu dengan

43
Torben Iverson., loc.cit.
44
Alan I. Abramowitz, “Issue Evaluation Reconsidered: Racial Attitudes and Partisanship in the
U.S. Electorate”, dalam American Journal of Political Science, Vol. 38, No. 1, 1994, hal. 1-24.

24
perilaku memilih. Benarkah isu-isu politik dan penilaian kandidat itu sebagai
suatu variabel bebas? Tidakkah, bisa jadi, pilihan terhadap isu politik dan
penilaian terhadap kandidat itu juga dipengaruhi oleh identifikasi partai atau
karakteristik-karakteristik sosiologis? Dan, bagaimana mengetahui dengan pasti
bahwa perilaku memilih itu dipengaruhi oleh mobilisasi atau paksaan (ancaman)?
Pada sisi lain, faktor-faktor politik juga mempunyai pengaruh yang
mengedepan dalam menentukan perilaku memilih seseorang, terutama untuk
menjelaskan perilaku politik di negara-negara sedang berkembang yang
menampakkan model pemerintahan birokratik-otoriter, seperti negara Indonesia.
Faktor politis ini bisa berupa prosedur pelaksanaan Pemilu, aturan-aturan
permasalahannya, bisa juga berupa tekanan-tekanan struktural atau paksaan.
Misalnya, beberapa prosedur atau aturan Pemilu membatasi kelompok-kelompok
tertentu untuk bisa menggunakan hak politiknya. Orang-orang tahanan atau yang
secara politis dianggap musuh negara tidak diperbolehkan menggunakan hak
pilihnya. Di Indonesia, kebanyakan para bekas aktivis partai komunis atau
organisasi terlarang lainnya tidak diperbolehkan ikut Pemilu.
Tekanan-tekanan struktural atau paksaan dari pihak lain juga mempunyai
urunan dalam menentukan pilihan seseorang. Tekanan ini bisa dalam bentuk halus
(mobilisasi) dan dalam bentuk paksaan. Dalam bentuk mobilisasi, pilihan yang
dibuat didasarkan pada pengarahan yang diberikan oleh seorang tokoh dari
lingkungan terdekatnya --lingkungan tetangga, organisasi, pekerjaan atau
kelompok-kelompok lainnya-- yang tidak mungkin bisa ditolak. Dalam penjelasan
Lipset hal ini dimasukkan dalam kategori group pressures to vote dan cross
pressures. Dalam bentuk paksaan, pilihan yang dibuat disebabkan adanya
ancaman atau intimidasi oleh pihak lain.
Dalam Pemilu di Indonesia misalnya, paksaan yang muncul pada
umumnya dilakukan dalam tiga bentuk ancaman, yaitu ancaman administratif,
ekonomi dan ideologis. Ancaman administratif dikeluarkan oleh aparat
pemerintahan desa atau kelurahan dalam bentuk, misalnya, tidak akan memberi
pelayanan surat keterangan (KTP, pertanahan, surat kelakuan baik, surat kawin,
surat kenal lahir, dan sebagainya) kepada warga yang tidak memilih OPP tertentu.
Bentuk ancaman administratif ini tidak berupa ancaman secara verbal, tetapi

25
dalam bentuk perlakuan seperti menghindari atau mengabaikan orang tersebut,
atau memperlambat pelayanan. Konsekuensi ancaman ekonomi bagi yang tidak
memilih OPP tertentu adalah kehilangan pekerjaan pada sektor publik dan swasta
atau kehilangan tanah garapan. Konsekuensinya bisa menyebabkan hilangnya
sumber kehidupan. Bentuk baru dari ancaman ekonomi ini adalah tidak diberi
jabatan atau tugas yang jelas di suatu kantor atau tidak diikutsertakan dalam
berbagai kegiatan tambahan yang mendatangkan pendapatan ekstra.45 Pada
Pemilu 1971, cukup banyak orang memilih OPP tertentu karena takut dituduh
sebagai anggota atau simpatisan partai terlarang. Mengabaikan ancaman ideologis
semacam ini tidak hanya berakibat bagai dirinya sendiri tetapi juga bagi
keturunannya. Untuk itu, demi rasa aman, tidak bisa lain kecuali memilih OPP
tertentu. Dalam konteks semacam ini, seorang pemilih memilih partai politik
berdasarkan pertimbangan minimalisasi resiko ini tampaknya juga dapat
dimasukkan dalam penjelasan rasional.

45
Ramlan Surbakti, “Apakah Masih ada Paksaan Dalam Pemilu? Harian Surya, 1992

26
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1.2 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah Kuantitatif dengan rancang bangun penelitian
survey. Dimana, peneliti bertujuan mengkaji perilaku memilih masyarakat Bondowoso
berdasarkan karakteristik pemilih, perilaku memilih berdasarkan alasan psikologis, perilaku
memilih berdasarkan alasan sosiologis, dan perilaku memilih berdasarkan alasan rasionalitas,
serta isu-isu politik di Kabupaten Bondowoso. Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah
yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan
penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-
teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian
yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental
antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Desain
penelitian survey adalah metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen
utama untuk mengumpulkan data. Metode ini adalah yang paling sering dipakai di kalangan
peneliti perilaku memilih. Desainnya sederhana, prosesnya cepat. Penelitian survei dengan
kuesioner ini memerlukan responden dalam jumlah yang cukup agar validitas temuan bisa
dicapai dengan baik. Hal ini wajar, sebab apa yang digali dari kuesioner itu cenderung informasi
umum tentang fakta atau opini yang diberikan oleh responden. Karena informasi bersifat umum
dan (cenderung) maka diperlukan responden dalam jumlah cukup agar “pola” yang
menggambarkan objek yang diteliti dapat dijelaskan dengan baik.

3.2 Lokasi penelitian/Setting Penelitian


Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Bondowoso, dengan mengambil sampel lokasi di 23
kecamatan, diantaranya adalah kecamatan Binakal, Kecamatan Bondowoso, Kecamatan Botolinggo,
Kecamatan Cermee, dan Kecamatan Wringin.

3.3. Populasi dan Sampel


Populasi penelitian untuk metode kuantitatif adalah seluruh penduduk Kabupaten
Bondowoso sebesar 597.128 (KPU Jawa Timur, 2014).

27
Sampel penelitian adalah sebagian dari pemilih kabupaten Bondowoso yang dihitung
dengan menggunakan rumus:
N Z2 P (1-P)
n = -----------------------------
(N-1) d² + Z2 P (1-P)]

Dimana:
n = Besar sampel
N = Jumlah populasi
P = proporsi = 0,5
Z2 = Derajat kepercayaan 95%, maka Z adalah 1,96
d = presisi yang diinginkan dalam penelitian ini 5% (0,05)

Dari hasil penghitungan rumus di atas, maka sampel penelitian ini adalah 384 sampel.

Teknik pengambilan sampel penelitian yaitu dengan teknik Multistade Random Sampling,
dimana peneliti sebelumnya memilih sampel kecamatan, dari sampel kecamatan kemudian
dipilih sampel desa, dari sampel desa kemudian diambil sampel RT/RW secara sistimatik. Untuk
pembagian sampel kecamatan bisa dilihat di bawa ini:
NAMA JUMLAH SAMPEL
NO KECAMATAN PEMILIH SAMPEL AKHIR
1 Binakal 12843 8.25905 9
2 Bondowoso 56169 36.1211 35
3 Botolinggo 27083 17.4165 17
4 Cermee 35500 22.8293 22
5 Curahdami 24217 15.5734 16
6 Grujukan 28018 18.0178 18
7 Jambesari DS 26318 16.9245 16
8 Klabang 15613 10.0404 11
9 Maesan 35786 23.0132 23
10 Pakem 18465 11.8744 12
11 Prajekan 20191 12.9844 13
12 Pujer 32760 21.0672 21
13 Sempol 8827 5.67645 8
14 Sukosari 12060 7.75552 9
15 Sumberwringin 26249 16.8802 16
16 Taman krocok 13179 8.47513 9

28
17 Tamanan 28146 18.1001 18
18 Tapen 26628 17.1239 17
19 Tegalampel 19553 12.5741 13
20 Tenggarang 30754 19.7772 19
21 Tlogosari 35904 23.0891 22
22 Wonosari 31135 20.0222 20
23 Wringin 31730 20.4049 20
TOTAL 597128 384 384

3.4 Variabel Penelitian


a. Karakteristik Pemilih
b. Perilaku Memilih berdasarkan pertimbangan psikologis
c. Perilaku Memilih berdasarkan pertimbangan Sosiologis
d. Perilaku Memilih berdasarkan pertimbangan Rasionalitas
e. Isu-isu politik di Kabupaten Bondowoso.

3.5. Teknik Pengumpulan data


Teknik pengumpulan data metode kuantitatif yaitu dengan data primer dan sekunder.
a. Data Primer
1) Angket terhadap responden dengan menggunakan format kuesioner tertutup untuk
mengetahui data karakteristik pemilih, perilaku memilih berdasarkan alasan psikologis,
perilaku memilih berdasarkan alasan sosiologis, dan perilaku memilih berdasarkan
alasan rasionalitas, serta isu-isu politik di Kabupaten Bondowoso.
2) Observasi atau pengamatan langsung di lingkungan dimana masyarakat tinggal.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui telaah kepustakaan, Instansi atau dinas terkait, data dari
instansi atau dinas sebagai penunjang data yang diperlukan data dalam penelitian ini, seperti
gambaran umum Kecamatan di Kabupaten Bondowoso, jumlah pemilih, data penduduk, fasilitas
Kecamatan dan lain sebagainya.

3.6. Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian metode kuantitatif dari penelitiaan ini adalah kuesioner tertutup,
dimana responden akan memilih salah satu dari alternatif jawaban yang telah disediakan peneliti.

29
3.7. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif. Data yang telah terkumpul
dilakukan editing (penyuntingan), hal ini untuk menghindari terjadinya kesalahan. Setelah itu
dilakukan koding (penandaan) serta entry data sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian
sehingga mempermudah untuk analisis. Data dianalisis dengan bantuan perangkat computer
program SPSS. Penyajian data dalam bentuk terks atau narasi, table dan tabulasi silang atau
bagan.

30
BAB 4
PERILAKU MEMILIH

4.1. KARAKTERISTIK PEMILIH

4.1.1 Distribusi Sampel Kecamatan

Berdasarkan jumlah sampel perkecamatan, sampel diambil secara


proporsional berdasarkan jumlah pemilih di masing-masing kecamatan. Hal ini
dilakukan agar terjadi penyebaran jumlah responden berdasarkan besaran
pemilih di masing-masing kecamatan. Sampel terbesar adalah di Kecamatan
Wringin sebanyak 36 sampel (9,4%), Kota sebanyak 34 responden (8,9%) dan
Maesan sebanyak 22 responden (5,7%).

Kecamatan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Binakal 10 2.6 2.6 2.6
Bondowoso 34 8.9 8.9 11.5
Botolingo 16 4.2 4.2 15.6
Cermee 22 5.7 5.7 21.4
Curahdami 16 4.2 4.2 25.5
Grujukan 18 4.7 4.7 30.2
Jambesari 16 4.2 4.2 34.4
Klabang 10 2.6 2.6 37.0
Maesan 22 5.7 5.7 42.7
Pakem 12 3.1 3.1 45.8
Prajekan 14 3.6 3.6 49.5
Pujer 20 5.2 5.2 54.7
Sempol 10 2.6 2.6 57.3
Sukosari 12 3.1 3.1 60.4
Sumberwringin 16 4.2 4.2 64.6
Taman Krocok 10 2.6 2.6 67.2
Tamanan 18 4.7 4.7 71.9
Tegalampel 12 3.1 3.1 75.0
Tenggarang 18 4.7 4.7 79.7
Tlogosari 22 5.7 5.7 85.4
Wonosari 20 5.2 5.2 90.6
Wringin 36 9.4 9.4 100.0
Total 384 100.0 100.0

31
4.1.2 Distribusi Sampel Perdapil
Sampel dapil diambil juga secara proporsional berdasarkan jumlah
pemilih di masing-masing kecamatan. Dapil V adalah dapil dengan sampel
terbesar, yaitu sebanyak 96 responden (25%).

Dapil

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Dapil I 72 18.8 18.8 18.8
Dapil II 62 16.1 16.1 34.9
Dapil III 80 20.8 20.8 55.7
Dapil IV 74 19.3 19.3 75.0
Dapil V 96 25.0 25.0 100.0
Total 384 100.0 100.0

4.1.3 Distribusi Umur Responden

Dari sisi umur, kebanyakan responden yang terjaring berumur antara 40-
49 tahun, yaitu sebanyak 39,1 persen. Sedikit dibawahnya adalah responden
yang berumur 20-29 tahun sebanyak 26,0 persen. Sisanya, berumur di atas 50
tahun sebanyak 13 persen, 30-39 tahun sebanyak 20,3 persen, kurang dari 20
tahun 1,6 persen. Dari sisi umur ini, komposisi responden memang
menggelembung di tengah, yaitu berkisar pada umur 30-49 tahun. Sementara
pemilih pemula jumlah sangat terbatas. Hanya sekitar 2 persen pemilih pemula,
sehingga tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan jumlah pemilih secara
keseluruhan.

Umur Resp

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 20 tahun 6 1.6 1.6 1.6
20-29 tahun 100 26.0 26.0 27.6
30-39 tahun 78 20.3 20.3 47.9
40-49 tahun 150 39.1 39.1 87.0
> 50 tahun 50 13.0 13.0 100.0
Total 384 100.0 100.0

32
4.2 Distribusi Jenis Kelamin Responden

Dari segi jender, responden yang terjaring umumnya berjenis kelamin


laki-laki, yaitu sebanyak 68,8 persen dari 384 responden. Sementara itu, sisanya,
31,2 persen berjenis kelamin perempuan. Dibanding angka riil pemilih di
Kabupaten Bondowoso, angka di atas tampaknya sedikit over representatif untuk
pemilih laki-laki. Sebab, dalam realitasnya, jumlah pemilih perempuan dengan
laki-laki adalah hampir seimbang. Namun, karena ada kecenderungan pilihan
perempuan, terutama yang sudah berkeluarga, mengikuti pilihan suaminya;
begitu juga pilihan anak perempuan ada kecenderungan mengikuti pilihan politik
bapaknya, maka nilai over representatif sekitar 16 persen di atas tampaknya
tidak berpengaruh banyak terhadap hasil prediksi. Meski begitu, untuk
menjelaskan kasus-kasus khusus, perbedaan ini perlu dikontrol.

Jenis Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 264 68.8 68.8 68.8
Perempuan 120 31.3 31.3 100.0
Total 384 100.0 100.0

4.3 Distribusi Pendidikan Responden

Dari sisi pendidikan, umumnya responden yang diteliti berpendidikan SD,


yaitu sekitar 7,3 persen. Jumlah ini disusul responden yang berpendidikan SLTP
sebesar 16,1 persen, dan paling besar SLTA 55,2 persen, dan perguruan tinggi
sebanyak 19,8 persen. Sisanya, sekitar 1,6 persen mengaku tidak sekolah atau SD
tidak tamat. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar, sekitar 50 persen,
responden yang diteliti mengaku hanya berpendidikan SLTA dan perguruan
tinggi. Jika angka ini ditambah dengan 16 persen responden yang mengaku
pendidikan SLTP, itu berarti ada sekitar 80 persen responden yang
pendidikannya SLTP ke atas.

33
Pendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Sekolah 6 1.6 1.6 1.6
SD dan sederajat 28 7.3 7.3 8.9
SLTP dan sederajat 62 16.1 16.1 25.0
SLTA dan sederajat 212 55.2 55.2 80.2
PT dan sederajat 76 19.8 19.8 100.0
Total 384 100.0 100.0

4.4 Distribusi Pekerjaan Responden

Dari sisi pekerjaan, sebagian besar responden yang diteliti mengaku


bekerja sebagai petani. Terdapat sekitar 17,2 persen responden yang mengaku
sebagai petani. Jumlah ini diikuti oleh warga yang mengaku sebagai pedagang,
sekitar hampir 17,2 persen. Hanya saja, pengertian pedagang disini bukanlah
sebagai pedagang besar, tetapi kebanyakan adalah pedagang kecil bahkan
eceran di pasar-pasar atau di depan rumah. Jumlah yang lebih kecil diakui oleh
responden yang mengaku bekerja di sector informal, diantaranya termasuk yang
bergerak di PK5. Sekitar 4,7 persen responden mengaku sebagai karyawan
swasta seperti pegawai pabrik, karyawan perusahaan, bekerja di toko, dan
sebagainya. Responden yang mengaku sebagai karyawan swasta hanya sekitar
11,5 persen, pengusaha3,1 persen, TNI-Polri 0,0 persen. Sisanya, mengaku belum
bekerja atau bekerja di sector lainnya, seperti buruh, satpam, pekerja bangunan,
jumlahnya mencapai 28,1 persen.

34
Pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Pegawai Negeri Sipil 70 18.2 18.2 18.2
Pengusaha 12 3.1 3.1 21.4
Pedagang 66 17.2 17.2 38.5
Karyawan Swasta 44 11.5 11.5 50.0
Petani 66 17.2 17.2 67.2
Sektor Informal 18 4.7 4.7 71.9
Lain-lain 108 28.1 28.1 100.0
Total 384 100.0 100.0

4.5 Distribusi Penghasilan Responden

Dari sisi penghasilan, umumnya cukup memprihatinkan. Sebagian besar


responden mengaku berpenghasilan kurang dari 500 ribu rupiah per bulan.
Terdapat 5,7 persen yang mengaku memperoleh penghasilan sebesar itu.
Responden yang berpenghasilan 500 ribu-1 juta jumlahnya 15,6 persen. Untuk
kebutuhan hidup di Kabupaten besar seperti Bondowoso, apalagi bagi yang
sudah memiliki keluarga dan anak-anak, tentu penghasilan sebesar itu masih
jauh dari mencukupi secara wajar. Memang, terdapat 6,4 persen responden yang
mengaku memperoleh penghasilan 1-1,5 juta dan 14,6 persen yang memperoleh
penghasilan 1,5-2 juta. Bahkan, terdapat 25,5 persen responden yang mengaku
berpenghasilan di atas 2 juta.

Penghasilan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 500.000 22 5.7 5.7 5.7
500.000 -< 1.000.000 60 15.6 15.6 21.4
1.000.000 -< 1.500.000 56 14.6 14.6 35.9
1.500.000 -< 2.000.000 148 38.5 38.5 74.5
> 2.000.000 98 25.5 25.5 100.0
Total 384 100.0 100.0

35
4.2. PERILAKU MEMILIH

4.2.1 Partisipasi Politik

Partisipasi politik warga Bondowoso memang tidak begitu besar, dari 384
responden, ketika ditanya apakah mereka ke depan hadir pada pemilihan bupati,
partai maupun presiden, hanya 77,3 persen yang menjawab hadir untuk
mengikuti pilihan, sedangkan 22,7 persennya tidak hadir. Ketidakhadiran ini
sebagian besar disebabkan oleh ketidakpedulian mereka terhadap pemilu,
bahwa pemilu sudah tidak merubah apapun. sebagian besar lagi menganggap
bahwa mereka harus bekerja sehingga mereka kesulitan untuk mengikuti pilihan,
mengingat biasanya pilihan dilaksanakan pada hari normal bukan pada saat
liburan nasional.

TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT

tidak hadir 77,3

hadir 22,7

0 10 20 30 40 50 60 70 80

4.2.2 Model Kampanye

Model kampanye yang diharapkan masyarakat Bondowoso sebagian


besar adalah model kampanye dialogis, yaitu sebanyak 34,4 persen, disusul
konfoi 30,7 persen, dibawahnya sedikit adalah door to door sebanyak 24,5
persen dan pengerahan massa hanyya 9,9 persen. Tingginya model kampanye
dengan dialogis yang diharapkan masyarakat bisa dimengerti, mengingat bahwa

36
masyarakat sudah bosan dengan model kampanye pengerahan massa yang
selama ini terjadi. Karena biasanya pada saat kampanye dengan pengerahan
massa ada beberapa kejadian yang tidak diinginkan oleh masyarakat, seperti
bentrok antar pendukung partai atau calon maupun merusak fasilitas-fasilitas
umum. Kalau dilihat kampanye dialogis dan door to door dijumlah sebesar 60
persen lebih, maka masyarakat menginginkan sebenarnya model kampanye yang
modern lebih mengedepankan penyampaian program dibandingkan hanya
sekedar pengerahan massa yang seolah-olah penghamburan atau foya-foya saja.

MODEL KAMPANYE

Lain-lain 0,5

Door to door 24,5

Konfoi 30,7

Pengerahan Massa 9,9

Dialogis 34,4

0 5 10 15 20 25 30 35

Dari model kampanye dialogis, ternyata sebagian besar menginginkan


dialog langsung melalui dialog pertemuan-pertemuan RT/RW/desa sebesar 35,4
persen, karena dialog model ini partai atau calon langsung mengerti
permasalahan-permasalahan yang ada di setiap wilayah terkecil disetiap
kabupaten atau provinsi. Sebagian besar lagi, 28,6 persen menginginkan dialog
langsung tatap muka, baik melalui tatap muka pertemuan pengajian maupun
ormas-ormas.

37
MODEL KAMPANYE DIALOGIS

Dialog dengan alat peraga (baliho, pamflet) 5,7

Dialog dengan membawa uang 6,3

Dialog dengan membawa bingkisan 9,4

Dialog Pertemuan Kelompok (RT/RW/desa) 35,4

Dialog melalui radio/ TV 14,6

Dialog dengan tatap muka 28,6

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Meskipun beberapa masyarakat menginginkan model kampanye dengan


dialogis, ternyata mereka juga mengharapkan ketika berdialog atau bertemu
dengan masyarakat mereka (partai dan calon) juga membawa beberapa
bingkisan sebagai tanda kepedulian mereka terhadap masyarakat local. Sebagian
besar bingkisan yang diharapkan adalah dalam bentuk sembako sebanyak 44,8
persen, kemudian disusul kaos sebanyak 18,2 persen, dan jilbab/kerudung
sebanyak 13,0 persen. sedangkan hanya 6,8 persen yang tidak mengharapkan
bingkisan pada saat kampanye.

Bingkisan Dikehendaki

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kaos 70 18.2 19.6 19.6
Jilbab/ Kerudung 50 13.0 14.0 33.5
Sarung 46 12.0 12.8 46.4
Tas 6 1.6 1.7 48.0
Topi 2 .5 .6 48.6
Sembako 172 44.8 48.0 96.6
Lain-lain 12 3.1 3.4 100.0
Total 358 93.2 100.0
Missing System 26 6.8
Total 384 100.0

38
Untuk model kampanye dengan model konfoi, sebagian besar
masyarakat menginginkan bahwa konfoi tidak hanya sekedar membawa
kendaraan kemudian mengitari setiap wilayah kampanye, tetapi mereka
menginginkan bahwa ketika kampanye, partai atau calon juga harus
meninformasikan mengenai program-program mereka kedepan melalui
pembagian brosur pada saat kampanye, yaitu sebesar 46,4 persen, dan 24
persen dibarengi dengan bawa music ketika berkonfoi.

Pengerahan Massa paling Relevan untuk Konfoi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Bawa Kendaraan 66 17.2 17.2 17.2
Jalan 48 12.5 12.5 29.7
Konfoi sambil
178 46.4 46.4 76.0
bawa brosur
Konfoi sambil
92 24.0 24.0 100.0
bawa musik
Total 384 100.0 100.0

Model kampanye door to door yang diharapkan masyarakat adalah


bertamu atau bersilaturohmi dengan membawa program (27 persen) dan
mereka (partai atau caleg,cabup) bisa mendengarkan keluhan-keluhan
masyarakat (52,6 persen). Disamping itu, ada beberapa masyarakat yang
menginginkan ketika bersilaturohmi juga membawa sembako atau uang.

Door to door paling relevan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Bertemu & Perkenalan
104 27.1 27.1 27.1
Program
Mendengarkan masalah
202 52.6 52.6 79.7
& keluhan warga
Bertamu & membawa
50 13.0 13.0 92.7
oleh2/ sembako
Bertamu & Membawa
28 7.3 7.3 100.0
Uang
Total 384 100.0 100.0

39
Media relevan yang digunakan untuk kampanye adalah TV sebasar 49
persen, disusul radio 16,1 persen, dan surat kabar 15,1 persen. Tingginya media
kampanye dengan TV dibandingkan dengan radio atau surat kabar
mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat ketika pingin mendegarkan
program atau calon tidak hanya melalui suara saja atau berita saja, tetapi
masyarakat menginginkan penampilan mereka juga. media Tv merupakan media
yang paling lengkap dalam penyampaian program, hal ini bisa dimengerti karena
media TV, para caleg atau cabup bisa dilihat langsung oleh masyarakat dan
masyarakat bisa juga mengetahui program yang langsung disampaikan oleh para
caleg atau cabup tersebut.

Media Relevan untuk Pileg 2015

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid TV 188 49.0 49.0 49.0
Radio 62 16.1 16.1 65.1
Surat Kabar 58 15.1 15.1 80.2
Tatap Muka 76 19.8 19.8 100.0
Total 384 100.0 100.0

4.2.3 Kampanye dengan Hiburan

Pada saat kampanye, ternyata masyarakat tidak hanya menginginkan


setiap partai, cabup maupun capres menyampaikan visi, misi maupun program
saja, tetapi sebagian besar responden 82,3 persen mengharapkan bahwa ketika
kampanye perlu juga ditampilkan hiburan. perlunya program hiburan ini bisa
dipahami, mengingat bahwa sebagian besar masyarakat haus akan hiburan yang
gratis, dan ketika kampanye, hiburan ini juga bisa dipakai untuk menarik
sejumlah besar masyarakat untuk menghadiri kampanye, sehingga setiap
kampanye yang dilakukan oleh partai, caleg, capres maupun cabup bisa mengena
ke masyarakat dengan jumlah peserta yang banyak.

40
Kampanye dengan hiburan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Suka 316 82.3 82.3 82.3
Tidak Suka 68 17.7 17.7 100.0
Total 384 100.0 100.0

Beberapa huburan yang disukai oleh masyarakat pada saat kampanye


adalah music dangdut 65,0 persen, music pop 10,9 persen, dan lawakan 5,7
persen. Tingginya musik dangdut menunjukkan bahwa musik dangdut adalah
musik masyarakat umum yang tidak terpengaruh oleh latarbelakang pendidikan,
ekonomi, maupun pekerjaan, hamper setiap masyarakat menyukai dangdut.
Sehingga ketika seorang caleg, capres atau cabup hendak kampanye dan
berharap bahwa kampanyennya dihadiri oleh masyarakat banyak, maka
kampanyenya harus dibarengi dengan hiburan music dangdut.

Hiburan yang Disukai

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Musik Dangdut 208 54.2 65.0 65.0
Musik Pop 42 10.9 13.1 78.1
Musik Qosidah 18 4.7 5.6 83.8
Lawakan 22 5.7 6.9 90.6
Film (layar tancap) 12 3.1 3.8 94.4
Ludruk/ Ketoprak 14 3.6 4.4 98.8
Campursari 4 1.0 1.3 100.0
Total 320 83.3 100.0
Missing System 64 16.7
Total 384 100.0

4.2.4 Profesi Jurkam

Profesi juru kampanye (jurkam) juga sangat penting pada saat kampanye,
ketika jurkam tidak dikenal atau tidak dikehendaki oleh masyarakat, maka bisa
saja ketika kampanye tidak begitu banyak masyarakat yang dating, apalagi ketika
jurkam yang menyampaikan kurang familiar di masyarakat atau bukan tokoh di

41
masyarakat, maka bisa saja program yang ditawarkan tidak begitu menarik bagi
masyarakat. Adapun profesi jurkam yang paling banyak diinginkan oleh
masyarakat adalah jurkam harus seorang kiai sebesar 37 persen, kemudiaan
disusul tokoh pemerintah (seperti bupati, wabup) sebasar 24,5 persen, dan
kemudian seorang cendekiawan (dosen,guru, ustad) sebesar 13 persen. Kedepan
hendaknya seorang caleg, capres atau cabup ketika menunjuk jurkam paling
tidak harus berlatarbelakang ketiga profesi tersebut diatas, agar apa yang ingin
disampaikan dan tujuan yang hendak dicapai bisa terwujut.

Profesi Jurkam Disukai

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kyai 142 37.0 37.0 37.0
Cendekiawan 50 13.0 13.0 50.0
Da'i 16 4.2 4.2 54.2
Tokoh Pemerintah 94 24.5 24.5 78.6
Pengusaha 14 3.6 3.6 82.3
Bintang Film 12 3.1 3.1 85.4
Penyanyi 36 9.4 9.4 94.8
Pelawak 20 5.2 5.2 100.0
Total 384 100.0 100.0

4.2.5 Pertimbangan Memilih Caleg

Pertimbangan seseorang untuk memilih caleg, ternyata tidak seratus


persen karena latarbelakang caleg tersebut, ada sekitar 34,9 persen yang
memilih caleg karena caleg tersebut iusung oleh partai yang mereka sukai.

Pertimbangan Memilih Caleg

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Caleg yang Diusung 250 65.1 65.1 65.1
Keberadaan Partai 134 34.9 34.9 100.0
Total 384 100.0 100.0

42
Beberapa masyarakat lagi ternyata memilih caleg beserta partainya
sebesar 44,3 persen dan tidak memilih caleg tetapi lebih hanya memilih partai
saja sebesar 55,7 persen.

Suka Caleg Tidak Suka Partai

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tetap memilih caleg
170 44.3 44.3 44.3
dengan partainya
Tidak memilih caleg
tersebut/ memilih 214 55.7 55.7 100.0
partai lain
Total 384 100.0 100.0

Suka Partai Tidak Suka Caleg

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tetap memilih partai
72 18.8 18.8 18.8
dengan caleg tsb
Tidak memilih partai
48 12.5 12.5 31.3
tersebut
Tetap memilih partai
namun memilih 264 68.8 68.8 100.0
caleg lain
Total 384 100.0 100.0

4.2.6 Pertimbangan Memilih Partai/Caleg

Pertimbangan pemilih dalam memilih partai/caleg adalah program yang


ditawarkan sebanyak 20,8 persen, kemudian disusul pimpinan/tokoh partai
sebanyak 10,9 persen, dan caleg yang ditampilkan sebanyak 9,9 persen.

43
PERTIMBANGAN MEMILIH PARTAI/CALEG
Kinerja Aleg/cabup/partai 4,2
Calon yang diajukan 6,3
Jurkam 1
Kinerja Partai 6,3
Uang 2,6
Ideologi Partainya 2,6
Reformis 1
Jurkam yang ditampilkan 3,1
Program yang ditawarkan 20,8
Isu yang diangkat 12
Caleg yang ditampilkan 9,9
Pimpinan/ Tokoh Partai/Tokoh ormas 10,9
Fatwa Ulama 13
Agama 5,2

0 5 10 15 20 25

4.2.7 Pertimbangan Memilih Cabup/Capres

Pertanyaan utama yang perlu diajukan untuk memahami sekaligus


memprediksikan pilihan pemilih terhadap cabup adalah, faktor-faktor apakah
yang mempengaruhi mereka untuk menentukan pilihan politiknya dalam
memilih cabup? Mengapa sebagian pemilih mendukung cabup/capres tertentu,
sementara sebagian yang lain mendukung capbup/capres yang lain?

Dari berbagai item jawaban --ditambah item jawaban terbuka-- sebagai


pertimbangan menentukan pilihan seperti ketokohan, kualitas calon, isu yang
diangkat, program yang ditawarkan, orang tua, teman, fatwa ulama, dan jurkam
yang ditampilkan, semuanya diperhitungkan oleh pemilih untuk menentukan
pilihan politiknya. Betapapun begitu, masing-masing pemilih memberi penilaian
yang tidak sepenuhnya sama pada masing-masing pertimbangan di atas.

Hampir semua responden menempatkan kualitas calon sebagai


pertimbangan utama dalam menentukan pilihan cabup. Sekitar 89,5 persen
pemilih mengaku memperhitungkan factor kualitas calon untuk memilih Bupati,

44
sementara 10,5 persen lainnya mengaku tidak memperhitungkan kualitas calon.
Faktor lain yang dijadikan pertimbangan sebagian besar responden untuk
menentukan pilihan cabup adalah program yang ditawarkan calon, yaitu
sebanyak 78 persen. Selanjutnya, diikuti responden yang mendasarkan pilihan
ketokohannya (65 persen), isu yang diangkat (43 persen), persamaan partai (23
persen), persamaan ormas (20 persen), jurkam yang ditampilkan atau para elit
diseputar calon (17 persen), fatwa ulama (17 persen), ikut teman (10 persen),
dan ikut orang tua (5 persen). Lebih lengkap lihat tabel 4 berikut:

Faktor-Faktor yang Menjadi Pertimbangan Memilih Cabup

Faktor Pertimbangan Persentase


(%)
1. Kualitas Calon 89,5
2. Program yang ditawarkan 78
3. Ketokohannya 65
4. Isu yang Diangkat 43
5. Persamaan Partai 23
6. persamaan Ormas 20
7. Jurkam yang Ditampilkan 17
8. Fatwa Ulama 17
9. Ikut Teman 10
10. Ikut Orang Tua 5

Tabel di atas memperlihatkan bahwa kualitas calon merupakan variabel


yang dipertimbangkan hampir oleh semua pemilih. Data semacam ini mudah
dipahami. Sebab, dalam kerangka besar teori perilaku memilih, pertimbangan
tokoh yang ditampilkan --yang oleh Pomper disebut sebagai variabel CE
(candidate evaluation)-- termasuk dalam kelompok pendekatan rasional. Data ini
setidaknya menguatkan temuan data lain, bahwa pertimbangan-pertimbangan
rasional --seperti pertimbangan program yang ditawarkan atau kesesuaian
aspirasi-- memberi sumbangan besar pada penentuan pilihan pemilih. Betapapun
begitu, temuan ini cukup mengejutkan. Ini berarti para pemilih, setidaknya di
perKabupatenan, telah menggunakan pertimbangan-pertimbangan rasional

45
dalam menentukan pilihan politik, khususnya untuk pilkada. Padahal, untuk
pemilu legislative, penggunaan pertimbangan rasional ini relatif kecil.

Pertanyaannya, bagaimanakah latarbelakang sosial-ekonomi para pemilih


yang menempatkan kualitas kandidat sebagai pertimbangan dalam menentukan
pilihan cabup/capres? Dari berbagai hubungan variabel karakteristik sosial-
ekonomi pemilih dengan faktor yang paling dipertimbangkan dalam menentukan
pilihan, ada beberapa variabel yang mempunyai hubungan cukup berarti.

Pertama, para pemilih yang memilih cabup berdasarkan pertimbangan


kualitas calon lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibanding perempuan.
Untuk laki-laki, hanya 12 persen pemilih yang mengaku tidak
mempertimbangkan kualitas calon sebagai dasar pertimbangan memilih Bupati.
Sementara itu, untuk pemilih perempuan lebih 13 persen yang tidak
mempertimbangkan kualitas calon sebagai dasar pertimbangan memilih cabup.
Data ini mengindikasikan bahwa pemilih laki-laki sedikit lebih banyak
menggunakan pertimbangan rasional ketimbang pemilih perempuan. Betapapun,
perbedaannya tidak terlalu signifikan.

Kedua, para pemilih yang berumur di bawah 40 tahun tampaknya lebih


menempatkan kualitas calon sebagai pertimbangan menentukan pilihan cabup
dibanding pemilih yang berumur di atas 40 tahun. Responden yang berumur 20-
29 tahun misalnya, hanya 8 persen yang tidak mempertimbangkan kualitas calon
sebagai dasar pertimbangan mendukung cabup, sementara untuk yang berumur
30-39 tahun sekitar 13 persen. Padahal, untuk responden yang berumur 40-49
tahun sekitar 15 persen mengaku tidak melihat kualitas calon sebagai dasar
pertimbangan memilih cabup, sementara untuk yang berumur di atas 50 tahun
sekitar 13 persen. Data ini setidaknya menggambarkan bahwa para "pemilih
muda" lebih memperhatikan kualitas para calon dibanding para "pemilih tua".
Sebab, jika seseorang menempatkan kualitas calon sebagai pertimbangan
memilih cabup, orang tersebut akan mencari berbagai informasi --baik yang
buruk maupun yang bagus-- tentang calon tersebut.

46
Ketiga, para pemilih yang berlatarpendidikan tinggi umumnya lebih
menempatkan kualitas calon sebagai pertimbangan menentukan pilihan cabup
ketimbang pemilih yang berpendikan renda. Misalnya, responden yang bergelar
sarjana atau pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi hampir 92
persen mengaku menggunakan variabel kualitas calon sebagai dasar
pertimbangan untuk memilih cabup, sementara hal yang sama hanya diakui oleh
pemilih yang berlatarbelakang pendidikan SD.

Menarik untuk dicatat bahwa, disamping para pemilih menggunakan


pertimbangan kualitas calon sebagai dasar untuk memilih cabup, mereka juga
menggunakan variabel ketokohan. Artinya, mereka tidak semata-mata
menggunakan pertimbangan kualitas pribadi calon tetapi juga memperhitungkan
tingkat popularitas si calon. Sebab, untuk menilai ketokohan seseorang tidak
hanya bisa diukur dari kualitas pribadi, tetapi juga atribut-atribut yang melekat
pada si calon. Tabel di atas memperlihatkan bahwa lebih dari 57 persen pemilih
menggunakan variabel ketokohan sebagai dasar pertimbangan untuk
menentukan pilihan Bupati.

Oleh karena itu, menempatkan variabel ketokohan semata-mata


dipahami dalam konteks pendekatan rasional agaknya perlu hati-hati. Sebab,
tokoh yang ditampilkan seringkali tidak hanya berkaitan dengan evaluasi pemilih
terhadap cabup/capres --apakah mereka itu mampu memperjuangkan
aspirasinya atau tidak, bersih dari skandal atau tidak, bermoral atau tidak, dan
sebagainya-- tetapi seringkali juga dipahami dalam konteks kesukaan atau
ketidaksukaan pemilih terhadap tokoh yang ditampilkan, yang seringkali hal ini
berkaitan dengan sosialisasi politik yang diterima pemilih. Dalam konteks
semacam ini, pilihan terhadap seorang tokoh bukan dilatarbelakangi oleh
penilaian pemilih terhadap tokoh tersebut atau pertimbangan-pertimbangan
rasional, tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor psikologis, seperti identifikasi
terhadap tokoh atau kelompok dimana tokoh tersebut berada.

Meskipun begitu, evaluasi pemilih terhadap kandidat, umumnya didasarkan


pada kualitas kandidat dan apa yang diperjuangkan oleh kandidat. Inilah yang

47
menyebabkan para ahli voting behavior memasukkan variabel ini dalam
pendekatan rasional. Dalam banyak studi yang dilakukan di banyak negara
memang menunjukkan bahwa evaluasi pemilih terhadap kandidat didasarkan
pada isu-isu yang program yang ditawarkan kandidat tersebut. Oleh karena itu,
betapapun seseorang memilih berdasarkan variabel kualitas calon –atau bahkan
ketokohan sekalipun-- bukan tidak mungkin penilaian terhadap kandidat itu
dipengaruhi oleh posisi isu-isu yang diperjuangkan oleh kandidat tersebut
(Marcus and Philip E. Converse, 1988). Page dan Jones misalnya, setelah
mengamati hasil beberapa penelitian tentang voting behavior, sampai pada
kesimpulan: "overall evaluations of candidate do in fact affect perceptions of
candidates policy stands” (Page dan Jones, 1988).

Oleh karena itu, bisa dipahami jika variabel kedua yang menjadi dasar
pertimbangan bagi pemilih untuk memilih cabup adalah program yang
ditawarkan. Lebih dari 65 persen pemilih yang menggunakan variabel program
cabup sebagai dasar untuk menentukan pilihan. Data ini setidaknya menguatkan
kesimpulan bahwa para pemilih di perKabupatenan umumnya menggunakan
pertimbangan rasional dalam menentukan pilihan. Artinya, orang memilih cabup
banyak ditentukan oleh kesesuaian antara aspirasi politik pemilih dengan
program yang ditawarkan oleh cabup. Pengalaman studi studi voting behavior di
banyak negara menunjukkan, program yang ditawarkan kandidat menjadi daya
dorong utama untuk mengarahkan pilihan pemilih. Catatan Franklin
menyebutkan, salah satu pertimbangan kuat pemilih dalam menentukan pilihan
politiknya adalah preferensinya terhadap suatu kebijakan (Franklin, 1995).

Besarnya jumlah responden yang menentukan pilihan cabup berdasarkan


program partai atau kesesuaian aspirasi di atas cukup mengejutkan. Ini berarti,
responden yang diteliti lebih mendasarkan pertimbangan rasional dibanding
pertimbangan-pertimbangan sosiologis dan psikologis. Di Amerika Serikat saja,
negara yang cukup maju tingkat demokratisasinya dan sangat modern kehidupan
masyarakatnya, jumlah pemilih yang menentukan pilihan partai berdasarkan
pertimbangan program tidak sebesar persentase di atas. Meskipun sumbangan

48
variabel program dan isu-isu politik di Amerika Serikat cenderung mengalami
kenaikan dari Pemilu ke Pemilu, namun sumbangannya dalam mempengaruhi
pilihan pemilih masih di bawah variabel identifikasi partai (faktor psikologis).

Bagi cabup/capres, data di atas sebenarnya merupakan tantangan, untuk


menampilkan program yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Itu berarti,
cabup dituntut untuk merespon persoalan-persoalan sosial politik yang sedang
berkembang di masyarakat, sekaligus mampu menawarkan program solutif atas
persoalan-persoalan tersebut. Artinya, cabup perlu mengidentifikasi persoalan-
persoalan yang menjadi prioritas isu oleh masyarakat, kemudian merumuskan
program-program alternatif sesuai dengan prioritas isu yang ada di masyarakat.

Persoalannya, bagaimanakah karakteristik pemilih yang menempatkan


program cabup/capres sebagai faktor yang paling diperhitungkan dalam
menentukan pilihan. Hasil penelitian menunjukkan beberapa kecenderungan
berikut:

Pertama, para pemilih yang memilih cabup/capres berdasarkan


pertimbangan program partai lebih banyak berlatarbelakang jenis kelamin pria
dibanding wanita. Misalnya, 58 persen laki-laki yang menempatkan program
cabup/capres sebagai dasar pertimbangan memilih cabup/capres, 67,4 persen
diantaranya mengaku menggunakan program cabup sebagai dasar pertimbangan
memilih cabup. Sementara itu, dari 41,9 persen laki-laki yang menempatkan
program cabup sebagai dasar pertimbangan memilih cabup, hanya 63 persen
diantaranya mengaku menggunakan program cabup sebagai dasar pertimbangan
memilih cabup. Data ini setidaknya menguatkan dugaan banyak orang, bahwa
laki-laki lebih rasional dalam menentukan pilihan --termasuk pilihan politiknya--
dibanding wanita yang lebih menonjolkan unsur emosional.

Kedua, para pemilih yang memilih cabup/capres berdasarkan


pertimbangan program lebih banyak berasal dari responden yang berpendidikan
perguruan tinggi dibanding responden yang hanya menempuh pendidikan di
bawahnya. Misalnya, lebih dari 80 persen responden yang menamatkan

49
pendidikan perguruan tinggi sangat mempertimbangkan program cabup sebagai
dasar penentukan pilihan politik, sementara hal yang sama hanya diakui oleh 69
persen responden yang menamatkan pendidikan SLTA, 58 persen responden
yang menamatkan pendidikan SLTP dan 47 persen responden yang hanya
menamatkan pendidikan SD atau SD tidak tamat. Data semacam ini sebenarnya
mudah dipahami. Sebab, semakin tinggi pendidikan ada kecenderungan semakin
terbekali dan terbiasa menggunakan piranti-piranti rasional dalam menganalisis
suatu persoalan.

Ketiga, para pemilih yang berumur di bawah 30 tahun tampaknya lebih


menempatkan variabel program sebagai pertimbangan menentukan pilihan
cabup dibanding pemilih yang berumur di atas 30 tahun. Responden yang
berumur 20-29 tahun misalnya, hampir 68 persen diantaranya menggunakan
variabel program sebagai dasar pertimbangan memilih cabup. Bahkan, untuk
pemilih yang berumur di bawah 20 tahun, jumlahnya hampir mencapai 76
persen. Sebaliknya, pemilih yang bermur di atas 50 tahun hanya 61 persen yang
menggunakan program sebagai pertimbangan memilih cabup, sementara untuk
pemilih yang merumur 40-49 tahun jumlahnya sekitar 65 persen. Sekali lagi, data
ini menunjukkan bahwa pemilih muda lebih banyak menggunakan pertimbangan
rasional ketimbang pemilih tua.

Faktor keempat yang menjadi pertimbangan pemilih untuk mendukung


cabup/capres adalah isu-isu yang diangkat kandidat. Yang dimaksud isu disini
adalah persoalan-persoalan yang dirasakan oleh masyarakat dan menjadi
perhatian mereka. Dalam studi voting behavior, variabel isu ini biasanya sering
bertumpang tindih dengan program. Artinya, kandidat harus mengangkat isu-isu
yang menjadi perhatian masyarakat, kemudian menawarkan program-program
alternatif untuk mengatasi isu-isu tersebut dalam suatu kebijakan.

Sementara itu, factor kelima yang menjadi pertimbangan pemilih untuk


memilih cabup adalah jurkam yang dilibatkan dalam proses kampanye. Untuk itu,
cabup perlu melibatkan tokoh-tokoh yang berpengaruh untuk menarik massa.
Jurkam-jurkam yang dilibatkan memang tidak harus banyak. Faktor keenam yang

50
menjadi pertimbangan memilih cabup adalah fatwa ulama. Jumlah responden
yang memilih ini memang tidak besar. Namun, perlu mendapat perhatian.
Artinya, ada 12 persen pemilih yang posisinya masih sangat labil, yang pilihan
politiknya bisa diombang-ambingkan oleh para ulama.

4.2.8 Figur Ideal Cabup/Capres

Dalam uraian-uraian sebelumnya diketahui bahwa pertimbangan utama


pemilih dalam memilih cabup/capres adalah kualitas calon, bahkan variabel
ketokohan juga menempati urutan ketiga dibawah program. Pertanyaannya
adalah, figure atau tokoh macam apakah yang dikehendaki oleh pemilih
tersebut, apakah tokoh yang berasal dari kalangan partai atau independen?
Apakah tokoh dari kalangan pemerintahan atau di dari luar pemerintahan?
Pendek kata, dari latarbelakang macam apakah tokoh cabup yang dianggap ideal
oleh pemilih Bondowoso.

Pemahaman semacam ini penting baik bagi partai politik maupun cabup,
untuk menawarkan tokoh macam apa yang perlu ditampilkan oleh partai politik
sebagai cabup dalam pilkada. Termasuk, untuk mendekati tokoh-tokoh macam
apa yang perlu dirangkul agar bisa menjadi daya tarik bagi pemilih. Dalam situasi
politik yang serba tidak menentu seperti sekarang ini, dalam situasi dimana
masyarakat masih banyak yang kebingungan dalam menentukan pilihan
politiknya, peranan tokoh, baik di pusat maupun di daerah, sangat menentukan
dalam memberikan informasi, bimbingan, dan pengarahan terhadap pilihan
politik masyarakat. Dalam suatu kehidupan sosial, apa yang disebut tokoh ini
seringkali jumlahnya sangat terbatas, dan masing- masing kelompok seringkali
mempunyai kriteria tersendiri tentang seorang tokoh. Fakta semacam ini
sebenarnya merupakan hukum alam, bahwa dalam kehidupan masyarakat
biasanya hanya ada sebagian kecil orang yang ditokohkan, disegani, diikuti,
bahkan dituruti perintah-perintahnya.

51
Pengalaman menunjukkan, tipologi atau karakteristik suatu masyarakat
biasanya mempunyai persepsi sendiri-sendiri tentang tokoh yang diidolakan.
Masyarakat yang bertipologi sub kultur Madura, mungkin lebih menokohkan kiai
dibandingkan masyarakat yang bersub kultur Arek misalnya. Oleh karena itu,
karakteristik sosial ekonomi seseorang biasanya mempengaruhi penilaian
terhadap seorang tokoh. Namun, memang, dalam kehidupan politik sehari-hari,
ada fenomena seorang tokoh yang ketokohan dan popularitasnya melintasi
batas-batas wilayah geografis dan sub kultur, bahkan melintasi batas partai
politik dan kultur. Tokoh semacam ini biasanya mempunyai kualitas pribadi yang
lengkap dan mumpuni, baik ditinjau dari latarbelakang pendidikan, kemampuan
akademis, managemen, tingkat toleransi, dan semacamnya.

Ada beberapa kriteria yang biasanya dipergunakan untuk menilai


ketokohan seseorang. Seorang yang berlatarbelakang pendidikan cukup
memadai mungkin lebih menokohkan seseorang yang mempunyai kemampuan
akademis dan managerial cukup baik. Sebaliknya, seorang yang kurang
berpendidikan mungkin lebih menokohkan seseorang yang mempunyai
popularitas. Atau, seorang yang bertempat tinggal di wilayah pinggiran
Kabupaten dan taat beribadah mungkin lebih menokohkan seseorang yang
menguasai dibidang ilmu agama. Pendek kata, begitu banyak parameter yang
dapat dipergunakan untuk mengukur ketokohan seseorang, seperti tingkat
intelektualitas, keagamaannya, pengalamannya, dan sebagainya.

Untuk mengukur figure Bupati Bondowoso lima tahun ke depan,


beberapa criteria tersebut ditanyakan kepada para pemilih. Jawabannya,
sebagian besar pemilih menghendaki calon Bupati Surabay mempunyai
latarbelakang atau pengalaman di bidang pemerintahan. Lihat table berikut.

52
Kriteria Figur Cabup/Capres yang Paling Diidealkan Pemilih

Kriteria Persentasi
1. Pendidikan tinggi 16,6
2. Tokoh agama 5,0
3. Pengusaha 1,2
4. Pengalaman 72,4
5. Tokoh partai 3,0
6. Perempuan 1,7

Data di atas menunjukkan bahwa figure Bupati/capres yang paling


diidealkan oleh pemilih adalah yang memiliki pengalaman di bidang
pemerintahan. Hampir separuh responden mengaku menggunakan
pertimbangan pengalaman di bidang pemerintahan sebagai dasar memilih
cabup. Data ini tentu sangat menguntungkan bagi cabup/capres yang
mempunyai latarbelakang di bidang pemerintahan, seperti SBY, JOKOWI
maupun Amin Said Husni. Oleh karena itu, tidak heran ketiga tokoh ini mendapat
dukungan yang sangat signifikan dari pemilih.

Persoalannya, bagaimanakah latarbelakang sosial ekonomi responden


yang menilai figure ideal Bupati adalah pengalaman dibidang pemerintahan?
Hasil penelitian menunjukkan, pertama, sebagian besar responden yang menilai
kriteria figure cabup dari aspek pengalaman dibidang pemerintahan tergolong
berusia dewasa. Untuk responden yang berumur 40-49 tahun misalnya, sekitar
60 persen yang mengunakan variabel pengalaman dibidang pemerintahan
sebagai pertimbangan memilih cabup. Sementara, hal yang sama hanya diakui
sekitar 45 persen responden yang berumur 30-39 tahun, 41 persen responden
berumur 20-29 tahun dan dibawah 20 tahun.

Kedua, sebagian besar responden yang menilai kriteria figure cabup dari
aspek pengalaman dibidang pemerintahan berlatarbelakang perempuan
ketimbang laki-laki. Lebih dari 50 persen responden perempuan mengaku
mengidealkan cabup yang memiliki pengalaman dibidang pemerintahan.
Sementara itu, hal yang sama hanya diakui oleh 48 persen pemilih laki-laki. Data

53
ini menunjukkan bahwa kaum peremuan umumnya lebih konservatif disbanding
kaum pria, sehingga merasa lebih aman jika pemerintahan Kabupaten
Bondowoso dipegang oleh orang yang berpengalaman ketimbang pendatang
baru. Data ini setidaknya penting bagi cabup, untuk memanfaatkan posisinya
sebagai incumbent terutama jika berhadapan dengan pemilih perempuan.

Ketiga, pemilih yang menilai pengalaman dibidang pemerintahan sebagai


criteria ideal seorang cabup umumnya berlatarbelakang pendidikan SLTA ke
bawah. Untuk responden yang berpendidikan SLTA misalnya, 45 persen
menunjuk pengalaman di bidang pemerintahan merupakan criteria paling
dibutuhkan bagi seorang cabup. Persentase ini semakin meningkat untuk
responden yang berpendidikan SLTP sebesar 59 persen, SD sebesar 63 persen
dan tidak sekolah sebesar 50 persen. Sementara itu, untuk responden yang
berlatarbelakang pendidikan perguruan tinggi hanya 37 persen yang
menempatkan pengalaman dibidang pemerintahan sebagai criteria utama. Tentu
saja, data semacam ini sangat menguntungkan bagi calon incumbent, sebab
sebagian besar pemilih justru berasal dari tingkat pendidikan SLTA ke bawah.

Kriteria kedua yang dibutuhkan dari seorang figure cabup Bondowoso


adalah berlatarbelakang berpendidikan tinggi. Hampir 41 persen pemilih
menghendaki figure cabup berlatarbelakang atau memiliki pendidikan cukup
memadai. Kriteria ini tentu sangat menguntungkan Amin said Husni atau
wakilnya

Kedua, untuk latarbelakang pendidikan tinggi, sebagian besar responden


yang menilai kriteria figure cabup dari aspek latarbelakang pendidikan tinggi
berjenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan. Lebih dari 41 persen responden
laki-laki mengaku mengidealkan cabup yang memiliki latarbelakang pendidikan
tinggi. Sementara itu, hal yang sama hanya diakui oleh 40 persen pemilih laki-
laki. Hanya saja, karena perbedaannya tidak terlalu signifikan, maka data ini
tampaknya bisa diabaikan untuk ditindaklanjuti secara serius.

54
Ketiga, pemilih yang menilai latarbelakang pendidikan tinggi sebagai
criteria ideal seorang cabup umumnya berlatarbelakang pendidikan SLTA ke
atas. Untuk responden yang berpendidikan SLTA misalnya, 45 persen menunjuk
latarbelakang pendidikan tinggi merupakan criteria paling dibutuhkan bagi
seorang cabup. Persentase ini semakin meningkat untuk responden yang
berpendidikan perguruan tinggi, yaitu hampir 54 persen responden. Sementara
itu, untuk responden yang berlatarbelakang pendidikan SLTP hanya 30 persen
dan yang berpendidikan SD sekitar 28 persen yang menempatkan latarbelakang
pendidikan tinggi sebagai criteria utama. Data ini setidaknya bisa dimanfaatkan
untuk mendekati pemilih yang berpendidikan tinggi.

Kriteria ketiga yang dibutuhkan dari seorang figure cabup Bondowoso


adalah berlatarbelakang tokoh agama. Sayangnya, criteria latarbelakang tokoh
agama ini disebut oleh sedikit pemilih. Hanya 6,9 persen pemilih yang
menghendaki figure cabup berlatarbelakang dari tokoh agama. Sebagai pemilih
yang tinggal di perKabupatenan, sedikitnya jumlah pemilih yang menghendaki
cabup dari tokoh agama ini bisa dipahami. Sebab, para pemilih perKabupatenan
umumnya lebih mendasarkan pada pertimbangan rasional dan kapabilitas
pribadi sang calon ketimbang ikatan-ikatan primordian yang disandang sang
calon.

Persoalannya, bagaimanakah latarbelakang sosial ekonomi responden


yang menilai figure ideal Bupati adalah berlatarbelakang tokoh agama? Hasil
penelitian menunjukkan, pertama, para pemilih yang menilai pentingnya cabup
dari tokoh agama umumnya berlatarbelakang usia dewasa. Responden yang
berumur di atas 50 tahun misalnya, hampir 11 persen yang menghendaki cabup
dari tokoh agama. Jumlah ini kemudian menurun untuk responden yang berumur
40-49 tahun sebesar 7,4 persen, berumur 30-39 tahun sebesar 6,2 persen,
berumur 20-29 tahun dan di bawah 20 tahin sebesar 5 persen.

Kedua, sebagian besar responden yang menilai kriteria figure cabup dari
tokoh agama berjenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan. Lebih dari 8
persen responden laki-laki mengaku mengidealkan cabup yang berasal dari tokoh

55
agama. Sementara itu, hal yang sama hanya diakui oleh 5 persen pemilih laki-
laki. Hanya saja, seperti pada criteria sebelumnya, karena perbedaannya tidak
terlalu signifikan maka data ini tampaknya bisa diabaikan untuk ditindaklanjuti
secara serius.

Ketiga, pemilih yang menilai latarbelakang tokoh agama sebagai criteria


ideal seorang cabup umumnya berlatarbelakang pendidikan SLTP ke bawah.
Untuk responden yang berpendidikan SLTP misalnya, sekitar 8 persen menunjuk
latarbelakang tokoh agama merupakan criteria paling dibutuhkan bagi seorang
cabup. Persentase ini semakin meningkat untuk responden yang berpendidikan
perguruan SD sebesar 9 persen dan tidak sekolah sebesar 25 persen responden.
Sementara itu, untuk responden yang berlatarbelakang pendidikan SLTA hanya 5
persen dan yang berpendidikan SD sekitar 4 persen yang menempatkan
latarbelakang pendidikan tinggi sebagai criteria utama.

56
4.3. KAJIAN FAKTOR SOSIOLOGIS PERILAKU MEMILIH

4.3.1 DAPIL & PERILAKU MEMILIH

Pada pemilihan bupati Bondowoso 2013, pemilihan partai & Caleg 2014,
serta pemilihan presiden 2014, penyebaran suara perdapil tampak seperti bagan
di bawah:

90
80
70
60 Mustawiyanto - Abdul
Manan (MUNA)
50
Amien Said Husni - Salwa
40 Arifin Jaya (Aswaja)
30 Golput
20
10
0
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V

Bagan di atas menunjukkan juga bahwa pemilih yang golput sebagian


besar berada di dapil II yaitu sebanyak 19 persen, kemudian disusul Dapil V
sebanyak 12 persen.

40
35
30
25 Dapil I
20 Dapil II
15 Dapil III
10 Dapil IV
5 Dapil V
0

57
60

50

40
Prabowo-Hatta
30
Jokowi-JK

20 GOLPUT

10

0
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V

4.3.2 UMUR & PERILAKU MEMILIH

Perilaku memilih bupati berdasarkan umur, tampak bahwa pemilih amien


Husni-Salwa lebih banyak disukung oleh kelompok umur 40-49 Tahun yaitu
sebanyak 78 persen, kemudian disusul umur 30-39 persen sebanyak 76 persen,
sedangkan umur < 20 tahun (pemilih pemulah) hanya 33 persen. Hal berbeda
pada pasangan cabup Mustawiyanto-Abdul Manan, sebagian besar pemilihnya
ternyata pada kelompok umur < 20 tahun sebanyak 66 persen, dan paling sedikit
didukung dari kelompok umur > 50 tahun sebanyak 8 persen. Data di bawah
menunjukkan bahwa umur sangat berpengaruh terhadap pilihan pemilih.

80
70
60
50 Mustawiyanto - Abdul
Manan (MUNA)
40
Amien Said Husni - Salwa
30 Arifin Jaya (Aswaja)
20 Golput

10
0
< 20 20-29 30-39 40-49 > 50
tahun tahun tahun tahun tahun

58
60

50

40
< 20 tahun
30 20-29 tahun

20 30-39 tahun
40-49 tahun
10
> 50 tahun
0

Untuk pemilih pemula (< 20 tahun), sebagian besar pada pemilihan


presiden 2014 adalah memilih pasangan Prabowo-Hatta sebanyak 47 persen,
kemudian dibawahnya kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 54 persen dan
terkecil pendukung Prabowo-Hatta pada kelompok umur 30-39 tahun sebanyak
37 persen.

70

60

50

40 Prabowo-Hatta
30 Jokowi-JK

20 GOLPUT

10

0
< 20 tahun 20-29 30-39 40-49 > 50 tahun
tahun tahun tahun

59
4.3.3 JENIS KELAMIN & PERILAKU MEMILIH

80
70
60
50
40
Laki-laki
30
Perempuan
20
10
0
Mustawiyanto - Amien Said Husni - Golput
Abdul Manan Salwa Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja)

Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar pemilih pasangan Amies said


Husni – Salwa Arifin Jaya adalah berjenis kelamin laki-laki sebanyak 77 persen,
sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar
pemilihnya adalah perempuan sebanyak 17 persen.

40
35
30
25
20
Laki-laki
15
Perempuan
10
5
0

60
60

50

40
Laki-laki
30
Perempuan
20

10

0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT

4.3.4 PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH

Berdasarkan pendidikan, sebagian besar pemilih pasangan Amies said


Husni – Salwa Arifin Jaya adalah berpendidikan SLTP sebanyak 78 persen,
sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar
pemilihnya adalah berpendidikan tidak sekolah sebanyak 30 persen.

90
80
70
60 Mustawiyanto - Abdul
50 Manan (MUNA)
40 Amien Said Husni - Salwa
Arifin Jaya (Aswaja)
30
Golput
20
10
0
Tidak SD dan SLTP dan SLTA dan PT dan
Sekolah sederajat sederajat sederajat sederajat

61
70

60

50

40 Tidak Sekolah
SD dan sederajat
30
SLTP dan sederajat
20
SLTA dan sederajat
10 PT dan sederajat
0

Untuk pemilih yang berpendidikan SD ke bawah, sebagian besar pada


pemilihan presiden 2014 adalah memilih pasangan Prabowo-Hatta sebanyak 57
persen, kemudian dibawahnya berpendidikan PT sebanyak 44 persen dan
terkecil pendukung Prabowo-Hatta berpendidikan SLTP sebanyak 34 persen.
Sedangkan pemilih pasangan Jokowi-JK pemilihnya sebagian besar adalah
berpendidikan SLTP dan SLTA.

70

60

50

40 Prabowo-Hatta
30 Jokowi-JK

20 GOLPUT

10

0
Tidak SD dan SLTP dan SLTA dan PT dan
Sekolah sederajat sederajat sederajat sederajat

62
4.3.5 PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH BUPATI

90
80
70
60
50
Mustawiyanto - Abdul
40
Manan (MUNA)
30
20 Amien Said Husni - Salwa
10 Arifin Jaya (Aswaja)
0 Golput

Berdasarkan pekerjaan, sebagian besar pemilih pasangan Amies said


Husni – Salwa Arifin Jaya adalah bekerja sebagai pengusaha, karyawan swasta
dan petani, sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian
besar pemilihnya adalah bekerja di sector informal.

60

50
Pegawai Negeri Sipil
40
Pengusaha
30 Pedagang

20 Karyawan Swasta
Petani
10
Sektor Informal
0 Lain-lain

63
90
80
70
60
50
40
30 Prabowo-Hatta
20 Jokowi-JK
10
0 GOLPUT

4.4. KAJIAN FAKTOR PSIKOLOGIS (SIKAP) PERILAKU MEMILIH

Berdasarkan faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku memilih


masyarakat Bondowoso, yang dilihat berdasarkan sikap suka dan tidak suka
terhadap bupati yang dipilih, sebagian besar pemilih pasangan Amies said Husni
– Salwa Arifin Jaya adalah bersikap suka sebanyak 76 persen, sedangkan pemilih
pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar pemilihnya adalah
bersikap suka sebanyak 16 persen. Jika dilihat data di atas, menjelaskan bahwa
masyarakat lebih suka terhadap pasangan said Husni – Salwa Arifin Jaya
dibandingkan pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan.

64
80
70
60
50
40 suka
30
Tidak
20
10
0
Mustawiyanto - Amien Said Husni - Golput
Abdul Manan Salwa Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja)

35

30

25

20

15 suka

10 Tidak

Untuk pilihan presiden, pasangan Prabowo-Hatta lebih disukai


masyarakat Bondowoso (58 persen) dibandingkan pasangan Jokowi-JK (hanya 34
persen). Ini menunjukkan bahwa factor psikologis sangat berpengaruh terhadap
pilihan presiden di Kabupaten Bondowoso.

65
60

50

40
suka
30
Tidak
20

10

0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT

4.5. KAJIAN FAKTOR RASIONALITAS PERILAKU MEMILIH

4.5.1 PROGRAM & PERILAKU MEMILIH

Berdasarkan faktor rasionalitas yang mempengaruhi perilaku memilih


masyarakat Bondowoso, yang dilihat berdasarkan program yang diusung
terhadap bupati yang dipilih, sebagian besar pemilih pasangan Amies said Husni
– Salwa Arifin Jaya adalah memilih karena programnya sebanyak 75 persen,
sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar
pemilihnya memilih berdasarkan programnya hanya sebanyak 10 persen. Jika
dilihat data di atas, menjelaskan bahwa masyarakat lebih rasional memilih
berdasarkan program dari pasangan said Husni – Salwa Arifin Jaya dibandingkan
program pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan.

66
80
70
60
50
40 Program
30
Tidak
20
10
0
Mustawiyanto - Amien Said Husni - Golput
Abdul Manan Salwa Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja)

35

30

25

20

15 program

10 Tidak

Untuk pilihan presiden, program pasangan Prabowo-Hatta lebih disukai


masyarakat Bondowoso (49 persen) dibandingkan program pasangan Jokowi-JK
(hanya 38 persen). Ini menunjukkan bahwa factor rasionalitas (program) sangat
berpengaruh terhadap pilihan presiden di Kabupaten Bondowoso.

67
60

50

40
program
30
Tidak
20

10

0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK

4.5.2 ISU & PERILAKU MEMILIH

Berdasarkan faktor rasionalitas yang mempengaruhi perilaku memilih


masyarakat Bondowoso, yang dilihat berdasarkan isu yang diangkat yang diusung
terhadap bupati yang dipilih, sebagian besar pemilih pasangan Amies said Husni
– Salwa Arifin Jaya adalah memilih karena isu yang diangkat sebanyak 72 persen,
sedangkan pemilih pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan sebagian besar
pemilihnya memilih berdasarkan programnya hanya sebanyak 11 persen. Jika
dilihat data di atas, menjelaskan bahwa masyarakat lebih rasional memilih
berdasarkan isu yang diangkat dari pasangan said Husni – Salwa Arifin Jaya
dibandingkan isu yang diangkat pasangan Mustawiyanto – Abdul Manan.

68
80
70
60
50
isu
40
30 Tidak

20
10
0
Mustawiyanto - Abdul Manan Amien Said Husni - Salwa
(MUNA) Arifin Jaya (Aswaja)

35

30

25

20

15 isu

10 Tidak

Untuk pilihan presiden, isu yang diangkat pasangan Prabowo-Hatta lebih


disukai masyarakat Bondowoso (53 persen) dibandingkan isu yang diangkat
pasangan Jokowi-JK (hanya 36 persen). Ini menunjukkan bahwa faktor
rasionalitas (isu) sangat berpengaruh terhadap pilihan presiden di Kabupaten
Bondowoso.

69
60

50

40
isu
30
Tidak
20

10

0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK

4.6. ISU – ISU UTAMA DI KABUPATEN BONDOWOSO


Memahami isu-isu politik yang menjadi perhatian pemilih adalah wajib
hukumnya bagi calon legislative, calon presiden, maupun calon kepala daerah.
Sebab, hal itu bukan hanya memudahkan bagi Calon legislative, calon presiden,
maupun calon kepala daerah (khususnya Jurkam) untuk mengangkat isu-isu
sesuai dengan perhatian pemilih, tetapi yang lebih penting lagi dapat digunakan
sebagai dasar untuk menawarkan program-program partai sesuai dengan
aspirasi mereka. Untuk itu, calon legislative, calon presiden, maupun calon
kepala daerah harus memahami benar isu-isu apa yang sedang menjadi
perhatian pemilih (sesuai dengan karakteristik sosial-ekonomi dan politiknya).
Sebab, antara satu pemilih dengan pemilih yang lain seringkali memberi
perhatian yang tidak sama terhadap suatu isu.
Di banyak negara, posisi isu-isu politik sebagai pertimbangan memilih
kandidat kontribusinya selalu mengalami peningkatan. Berbagai penelitian
voting behavior di Amerika Serikat misalnya, menunjukkan bahwa isu-isu politik
menjadi pertimbangan kedua setelah identifikasi partai. Berbagai jajak pendapat
menjelang pemilihan di Amerika Serikat dalam beberapa dekade belakangan juga
menunjukkan pola yang sama: bahwa keputusan pemilih selalu didasarkan pada

70
partisan loyalty, issue and policy concern, and candidate characteristics (Ginberg,
1990).
Untuk itu, khususnya pada masa-masa mendatang ketika pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung, kemampuan calon legislative, calon
presiden, maupun calon kepala daerah mengangkat berbagai isu yang menjadi
perhatian pemilih sangat menentukan kemenangan calon tersebut dalam
Pilkada. Yang menjadi persoalan, masing-masing kelompok masyarakat
seringkali mempunyai perhatian yang tidak sama terhadap suatu isu. Ada
kelompok masyarakat yang lebih perhatian pada isu-isu domestik, sementara
kelompok lain lebih perhatian pada isu luar negeri. Dalam konteks semacam ini,
salah satu cara yang bisa dilakukan calon legislative, calon presiden, maupun
calon kepala daerah adalah mengajukan isu politik yang paling mudah dipahami
oleh segmen kelompok masyarakat tersebut, sesuai dengan tingkat pendidikan
dan kondisi sosial-ekonominya.
Setidaknya terdapat dua cara pandang untuk memahami isu-isu politik
yang menjadi perhatian masyarakat (pemilih). Pertama, melihat isu-isu politik
sebagai sesuatu yang terpisah dengan posisi masyarakat (pemilih). Cara pandang
ini mengasumsikan bahwa isu-isu politik yang berkembang dalam masyarakat
pada dasarnya dapat diamati dari berbagai persoalan yang ada pada masyarakat
tersebut. Cara pandang ini disebut sebagai kondisi obyektif isu-isu politik.
Dengan kata lain, tugas calon legislative, calon presiden, maupun calon kepala
daerah adalah membentuk isu-isu politik yang mungkin sesuai dengan preferensi
masyarakat atau para pemilih.
Kedua, melihat isu-isu politik dalam kaitannya dengan posisi masyarakat
(pemilih). Cara pandang ini mengasumsikan bahwa isu-isu politik pada dasarnya
bukanlah sesuatu yang terpisah dari masyarakat, tetapi selalu melekat dengan
masyarakatnya. Artinya, untuk memahami isu-isu politik yang ada tidak cukup
hanya mengamati persoalan- persoalan politik yang sedang berkembang, tetapi
harus dilihat bagaimana pandangan atau posisi masyarakat terhadap isu itu:
apakah mempunyai perhatian besar atau sebaliknya, apakah bersikap positip

71
atau negatip. Bisa jadi suatu persoalan politik tidak menjadi perhatian suatu
kelompok masyarakat, namun bagi kelompok masyarakat lain dianggap sebagai
isu penting yang perlu mendapat perhatian besar. Akibatnya, keberadaan isu
politik sangat subyektif sifatnya. Yang dimaksud isu di sini adalah persoalan-
persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang sedang menjadi perhatian dan
pembicaraan luas dikalangan responden.

Preferensi Masyarakat terhadap Isu-Isu dan Program Pembangunan

Seperti sudah diungkap sebelumnya, preferensi masyarakat terhadap suatu isu


seringkali berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, tergantung
pada berbagai hal, seperti karakteristik ekonomi, sosial dan politiknya. Yang
dimaksud isu di sini adalah persoalan-persoalan sosial politik yang sedang
menjadi perhatian dan pembicaraan luas dikalangan masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan, perhatian masyarakat terhadap isu
ekonomi cukup besar, mulai masalah sembako (38,5 persen), kesempatan kerja
(16,1 persen), subsidi bagi golongan lemah (6,3 persen), rendahnya harga gabah
di waktu, tingginya harga pupuk di musim tanam, kemudahan kredit bagi
golongan kecil, dan sebagainya.

72
Persoalan Paling Penting

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kesempatan Kerja 62 16.1 16.1 16.1
Harga Gabah 16 4.2 4.2 20.3
Harga Pupuk 12 3.1 3.1 23.4
Pendidikan (SPP, uang
16 4.2 4.2 27.6
gedung, dll)
Kemudahan Kredit 18 4.7 4.7 32.3
Subsidi Golongan Lemah 24 6.3 6.3 38.5
Harga Sembako 148 38.5 38.5 77.1
Penurunan Tarif Listrik 10 2.6 2.6 79.7
Pemberantasan KKN 22 5.7 5.7 85.4
Demokratisasi Politik 8 2.1 2.1 87.5
Penurunan Pajak,
4 1.0 1.0 88.5
Retribusi
Sengketa Tanah 2 .5 .5 89.1
Air Bersih, PDAM 2 .5 .5 89.6
Pembangunan Fisik
(jalan, sekolah, irigasi, 24 6.3 6.3 95.8
dll)
Kriminalitas 6 1.6 1.6 97.4
Kenakalan Remaja 4 1.0 1.0 98.4
Narkoba 6 1.6 1.6 100.0
Total 384 100.0 100.0

73
BAB 5
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

1. Partisipasi politik warga Bondowoso memang tidak begitu besar, dari 384 responden,
ketika ditanya apakah mereka ke depan hadir pada pemilihan bupati, partai maupun
presiden, hanya 77,3 persen yang menjawab hadir untuk mengikuti pilihan, sedangkan
22,7 persennya tidak hadir.
2. Model kampanye yang diharapkan masyarakat Bondowoso sebagian besar adalah
model kampanye dialogis, yaitu sebanyak 34,4 persen, disusul konfoi 30,7 persen,
dibawahnya sedikit adalah door to door sebanyak 24,5 persen dan pengerahan massa
hanyya 9,9 persen.
3. Media yang relevan digunakan untuk kampanye adalah TV sebasar 49 persen, disusul
radio 16,1 persen, dan surat kabar 15,1 persen.
4. Pada saat kampanye, ternyata masyarakat tidak hanya menginginkan setiap partai,
cabup maupun capres menyampaikan visi, misi maupun program saja, tetapi sebagian
besar responden 82,3 persen mengharapkan bahwa ketika kampanye perlu juga
ditampilkan hiburan.
5. Profesi jurkam yang paling banyak diinginkan oleh masyarakat adalah jurkam harus
seorang kiai sebesar 37 persen, kemudiaan disusul tokoh pemerintah (seperti bupati,
wabup) sebasar 24,5 persen, dan kemudian seorang cendekiawan (dosen,guru, ustad)
sebesar 13 persen.
6. Faktor sosilologis, seperti tempat tinggal, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan
dan organisasi kemasyarakatan sangat berpengaruh terhadap perilaku memilih di
Kabupaten Bondowoso.
7. Faktor psikologis, seperti kedekatan terhadap calon ataupun partai politik, sikap suka
terhadap seorang calon presiden, calon legislative maupun calon bupati sangat
berpengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat Bondowoso.

74
8. Faktor rasionalitas, seperti visi, misi, program maupun isu yang diangkat oleh partai,
calon persiden, calon bupati, bahkan mengenai rasionalitas material (uang dan materi)
sangat berpengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat Bondowoso.

5.2 REKOMENDASI

1. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Bondowoso dalam mengikuti pemilu, maka


penyelenggara pemilu harus lebih meningkatkan lagi informasi mengenai pentingnya
pemilu bagi masyarakat umum, mengingat sebagian besar ketidakhadiran mereka
disebabkan oleh ketidakpedulian mereka bahwa pemilu akan merubah keaadaan
mereka.
2. Sebaiknya model kampanye yang dikembangkan adalah model kampanye dialogis
melalui pertemuan-pertemuan di tingkat RT/RW/desa dan mendatangi masyarakat
langsung melalui door to door.
3. Ke depan, sebaiknya media kampanye yang paling relevan untuk dikembangkan adalah
melalui media TV, radio, baliho/panflet, baru melalui surat kabar.
4. Agar informasi mengenai pemilu didatangi oleh banyak masyarakat, maka ketika
penyampaian informasi mengenai kepemiluan lebih baik dibarengi juga dengan hiburan,
seperti hiburan elekton dangdut, tari, maupun hiburan yang lain.
5. Kedepan, jurkam sebaiknya berlatarbelakang tokoh agama, tokoh ormas, tokoh partai
dan pendidik (guru, dosen) sehingga informasi, program yang disampaikan bisa didengar
dan diyakini oleh masyarakat Bondowoso.

75
Pewawancara: NO:

Kuesioner Penelitian
PENELITIAN TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU

Pengantar
Kami adalah tim peneliti dari Lembaga Penelitian Universitas Jember, bermaksud
mengadakan penelitian tentang “Partisipasi Masyarakat Bondowoso dalam Pemilu“.
Untuk keperluan tersebut kami mohon Bapak/Ibu/Saudara bersedia memberi beberapa
informasi yang kami perlukan. Informasi tersebut nantinya kami olah secara bersama-sama yang
kemudian akan disusun dalam sebuah laporan penelitian. Kami akan menjaga identitas dan
kerahasiaan informasi yang Bapak/Ibu/Saudara berikan.
Atas kesediaan dan perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN

1. Tempat tinggal kabupaten/kota?1. situbondo 2. Bondowoso 3. Banyuwangi


1.( )
2.( )
3. ( )
4.( )

2. Kecamatan ?
13. sempol
1. Binakal 4. Cermee 7. Jambesari 10. Pakem
14. Sukosari
2. Bondowoso 5. Curahdami 8. Klabang 11. Prajekan
15. Sumberwringin
3. Botolingo 6. Grujukan 9. Maesan 12.Pujer

3. Daerah Pemilihan (DAPIL) Kabupaten/Kota?


1. DAPIL I 4. DAPIL IV 7. DAPIL VII 10. DAPIL X
2. DAPIL II 5. DAPIL V 8. DAPIL VIII 11. DAPIL XI
3. DAPIL III 6. DAPIL VI 9. DAPIL IX 12. DAPIL XII

4. Administrasi Tempat tinggal kabupaten/kota:


1. Kota 2. Kabupaten
(jika menjawab 2, langsung ke soal no. 6)

5. Jika di kota, dimana Bpk/Ibu/Sdr tinggal? 5.( )


1. Pusat kota 2. Pinggiran kota

6. Jika tinggal di daerah kabupaten, dimana Bpk/Ibu/Sdr tinggal? 6.(


)
1. Di dalam kota kabupaten 2. Di luar kota (pedesaan)

7. Lokasi tempat tinggal: 7.(


)
1. Pedalaman 2. Pantai

LAMPIRAN 1- 1 -
8. Berapa Umur Bpk/Ibu/Sdr ? 8.(
)
1. < 20 tahun 2. 20-29 tahun
3. 30-39 tahun 4. 40-49 tahun
5. > 50 tahun

9. Jenis kelamin responden: 9.(


)
1. Pria 2. Wanita

B. KARAKTERISTIK SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK RESPONDEN

1. Apakah pendidikan terakhir Bpk/Ibu/Sdr ? 10.(


)
1. Tidak sekolah 2. SD dan sederajat
3. SLTP dan sederajat 4. SLTA dan sederajat
5. P T dan sederajat

2. Apakah Agama Bpk/Ibu/Sdr anut ? 11.(


)
1. Islam 2. Kristen
3. Katolik 4. Budha
5. Hindu 6. lain-lain, sebutkan……………

3. Apakah pekerjaan Bpk/Ibu/Sdr ? 12.(


)
1. Pegawai negeri sipil 2. TNI-POLRI
3. Pengusaha 4. Pedagang
5. Karyawan swasta 6. Petani
7. Sektor informal 8. Lain-lain, sebutkan…………

4. Apakah Bpk/Ibu/Sdr punya pekerjaan sampingan ? 13.(


)
1. Ya 2. Tidak
( jika tidak, langsung ke soal no. 6 )

5. Jika ya, apakah pekerjaan sampingan Bpk/Ibu/Sdr ? 14.(


)
(pilih salah satu alternatif jawaban pada no. 9 )
1. Pegawai negeri sipil 2. TNI-POLRI
3. Pengusaha 4. Pedagang
5. Karyawan swasta 6. Petani
7. Sektor informal 8. Lain-lain, sebutkan…………

6. Berapa penghasilan Bpk/Ibu/Sdr per bulan ? 15.(


)
1. < Rp. 500.000 2. Rp. 500.000 -< Rp. 1.000.000
3. Rp. 1.000.000 -< Rp. 1.500.000 4. Rp. 1.500.000 -< Rp. 2.000.000
5. > Rp. 2.000.000

LAMPIRAN 1- 2 -
7. Saudara mengidentifikasi sebagai simpatisani organisasi sosial-keagamaan apa ? 26.(
)
1. NU atau di bawah naungan NU
2. Muhammadiyah atau di bawah naungan Muhammadiyah
3. Ormas Islam lain 4. Gereja
4. Tdk mengidentifikasi 6. Lain-lain, sebutkan………

8. Pada pemilihan bupati 2013, siapa yang saudara pilih ? 27.(


)
1. Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
2. Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
3. Golput

9. Jika Golput, alasan saudara golput? 28 .(


)
1. Apatis: Tidak peduli dg pemilu 5. Ideologi: tdk sistem islam
2. Tidak ada partai yang cocok 6. Idealis: pemilu tdk merubah keadaan
3. Ekonomi: Bekerja 7. Material: Tidak ada yg memberi uang
4. Teknis: tidak terdaftar 8. Lain-lain, sebutkan….

10. Pada pemilu 2014,Bapak/Ibu/saudara akan memilih partai apa ? 29.(


)
1. PDI-P 3. PKB 5. PAN 7.PD 9. Hanura
2. Golkar 4. PPP 6. PKS 8. PBB 10.Gerindra
11. Nasdem 12. PKPI 13. tidak memilih/golput

11. Jika pemilu dilaksanakan sekarang, Bapak/Ibu/saudara akan memilih partai apa ? 30.(
)
1. Apatis: Tidak peduli dg pemilu 5. Ideologi: tdk sistem islam
2. Tidak ada partai yang cocok 6. Idealis: pemilu tdk merubah keadaan
3. Ekonomi: Bekerja 7. Material: Tidak ada yg memberi uang
4. Teknis: tidak terdaftar 8. Lain-lain, sebutkan….

12. Apa pertimbangan Bapak/Ibu/Saudara mendukung/memilih partai di atas ?


Pertimbangan Ya (1) Tidak (2)
1. Agama 31.( )
2. Fatwa Ulama 32.( )
3. Pimpinan/tokoh partainya 33.( )
4. Caleg yang ditampilkan 34.( )
5. Isu yang diangkat 35.( )
6. Program yang ditawarkan 36.( )
7. Jurkam yang ditampilkan 37.( )
8. Reformis 38.( )
10. Ideologi partainya 39.( )
11. Uang 40.( )
12. kinerja partai 41.( )
13. Jurkam 42.( )
14. Calon yang diajukan 43.( )
15. Kinerja ALEG 44.( )
16. Lain-lain, sebutkan 45.( )
LAMPIRAN 1- 3 -
13. Diantara pertimbangan memilih di atas, pertimbangan apa yang paling mempengaruhi pilihan
saudara? (pilihan jawaban seperti no. 15) 46.(
)

14. Pada Pemilihan Presiden 2014, siapa yang anda pilih? 47.(
)
1. Prabowo-Hatta 2. Jokowi-JK 3. Golput

15. Alasan golput, karena apa? 48.( )


1. Apatis: Tidak peduli dg pemilu 5. Ideologi: tdk sistem islam
2. Tidak ada partai yang cocok 6. Idealis: pemilu tdk merubah keadaan
3. Ekonomi: Bekerja 7. Material: Tidak ada yg memberi uang
4. Teknis: tidak terdaftar 8. Lain-lain, sebutkan….

16. Jika anda dikasih uang atau materi oleh salah satu calon, bagaimana anda menyikapi dalam pemilihan
parta legislatif atau kepala daerah 49.(
)
1. Menerima uang tersebut dan memilih yang memberi
2. Menerima uang tersebut tetapi tetap memilih berdasarkan hati nurani
3. menerima uang tersebut dan memilih calon yang memberi uang paling banyak
4. menolak menerima uang tersebut

17. Berapa besar uang yang anda harapkan dari calon dewan? 50.(
)
1. Rp. 5.000 3. > Rp. 10.000-Rp.15.000 5. >Rp.20.000-Rp.25.000
2. > Rp.5.000.- Rp. 10.0000 4. > Rp. 15.000-Rp.20.000 6. > Rp. 25.000.

18. Kapan waktu yang tepat untuk menerima bantuan uang dan saudara memilih sesuai dg pemberi uang?
1. Sblm kampanye 4. Hari H Pencoblosan 51.(
)
2. Saat kampanye
3. Hari tenang

D. ISU—ISU POLITIK DAN ASPIRASI MASYARAKAT

1. Diantara persoalan-persoalan berikut, mana yang perlu ditangani oleh partai politik?

Aspirasi Ya (1) Tidak (2)


1. Kesempatan kerja/persoalan ketenagakerjaan 52.( )
2. Perbaikan harga gabah 53.( )
3. Mengatasi harga pupuk 54.( )
4. Masalah pendidikan (SPP,beasiswa, uang gedung, dll) 55.( )
5. Pemberian/kemudahan kredit 56.( )
6. Pemberian subsidi gol. Lemah 57.( )
7. Persoalan harga sembako 58.( )
8. Penurunan tarif listrik 59.( )
9. Penurunan tarif angkutan 60.( )
10. Pemberantasan KKN 61.( )
LAMPIRAN 1- 4 -
11. Profesionalisme birokrasi 62.( )
12. Demokratisasi politik 63.( )
13. Penurunan pajak, retribusi 64.( )
14. Mengatasi sengketa tanah 65.( )
15. Persoalan air bersih, PDAM, dll 66.( )
16. Pembangunan fisik (jalan, sekolah, irigasi, dll) 67.( )
17. Mengatasi kriminalitas 68.( )
18. Mengatasi kenalan remaja 69.( )
19. Mengatasi narkoba 70.( )
20. Mengatasi konflik sospol 71.( )

2. Diantara persoalan-persoalan di atas, mana yang menurut saudara paling penting untk segera
ditangani?
72.( )

E. PERILAKU PEMILIH

1. Model kampanye macam apa yang saudara sukai 73.( )


1. Dialogis 2. Pengerahan massa 3.Konfoi
4. door to door 5.lain-lain,

2. Model kampanye apa yang paling relevan untuk dialogis? 74.( )


1. dialog dengan tatap muka 2. Dialog memalui radio/TV 3. Dialog pertemuan kelompok
(RT/RW/Desa) 4. Dialog dg membawa bingkisan 5. Dialog dg membawa uang 6. Dialog
dengan membawa alar peraga (baliho, panflet)

3. Jenis bingkisan yang dikehendaki?


75.( )
1. kaos 2. Jilbab/kerudung 3.sarung 4. Tas 5. Topi
6. sembako 7.lain-lain,

4. Model pengerahan massa apa yang paling relevan untuk konfoi? 76.(
)
1. bawa kendaraan 2. Jalan 3. Konfoi sambil bagi brosur 4. Konfoi sambil membawa
musik

5. Model kampanye apa yang paling relevan untuk door to door? 77.( )
1. bertemu dan perkenalan program 2. Tinggal dan menginap 3. Mendengarkan masalah dan
keluhan warga 4. Bertamu dan membawa oleh (sembako) 5. Bertamu dan membawa uang

6. Media kampanye apa yang paling relevan untuk Pileg 2014? 78.( )
1. TV 2. Radio 3. Surat kabar 4. Tatap muka

10. Acara apa yang paling bapak/ibu/sdr sukai di TV? 79.(


)
1. Sinetron 5. Berita 9. Diskusi/debat
2. Film nasional 6. Olahraga 10. Seni/budaya
3. Film Luar negeri 7. Film Kartun 11. Lain2, sebutkan…….
4. Musik 8. Reality Show

LAMPIRAN 1- 5 -
11. Untuk acara radio, acara apa yang paling bapak/ibu/sdr sukai? 80.(
)
1. Musik Pop 5. Berita
2. Musik Dangdut 6. Obrolan
3. Musik Keroncong 7. Lain-lain, sebutkan.....
4. Musik Campursari

16. Apakah anda suka kampanye dengan disertai hiburan? 81.( )


1. Suka 2. Tidak suka

17. Jika suka, hiburan yang disukai?


1. Musik Dangdut 2. Musik Pop 3. Musik Qosidah 4.Wayang 82. ( )
5. Lawakan 6. Film (layar tancap) 7. Ludruk/ketorprak 8. campursari 9.dll…

18. Latarbelakang profesi jurkam macam apa yang saudara sukai?


1. Kiai 2. Cendikiawan 3. Dai 4.Tokoh pemerintah 83. ( )
5. Pengusaha 6. Bintang film 7. Penyanyi 8. Pelawak 9.dll…
19. Dalam memilih partai, pertimbangan anda apakah calon legislatif yang diusung atau keberadaan
partainya?
1. Caleg yang diusung 2. Keberadaan Partai 84.(
)

20. Jika saudara menyukai caleg yang disung suatu partai, sedangkan anda tidak menyukai/belum peduli
dengan partai tersebut, apakah saudara tetap memilih caleg sesuai dengan partai tersebut atau akan
pindah partai lain?
85.( )
1. tetap emilih caleg dg partainya 2. Tidak memilih caleg tersebut/memilih partai lain.

21. Jika anda pendukung partai tertentu, sedangkan ada caleg yang tidak saudara senangi diusung oleh
partai tersebut, apah saudara tetap memilih partai tersebut atau pindah partai? 86.(
)
1. tetap memilih partai dg caleg tersebut 3. Tetap memilih partai tsbt, tetapi memilih calon lain
yang ada
2. Tidak memilih memilih partai tersebut

22. Diantara nama-nama dibawah ini, siapa yang akan saudara pilih pada pilkada 2017? 87.(
)

Nama Caleg Nama Caleg


1. Salwa Arifin Jaya (Wakil Bupati) 8. Djanuarianto (PAN)
2. Ahmad Dhafir (PKB) 9. Buchori Mun’im (PPP)
3. Ketut Yudi (PKS) 10. Abd. Khodir Syam (NU)
4. Irwan Bachtiar (PDIP) 11. Basuki Rohani (Muhammadiyah)
5. Supriyadi (Golkar) 12. Sobri Wasil (ISNU)
6. Albani (Gerindra) 13. lain-lain, sebutkan…
7. Soepatno (PD)

IDENTITAS RESPONDEN
23. Nama Responden : …………………………………………………………..…………….
24. Kecamatan :………………………………………………………………..…………
25. Desa/kelurahan : …………………………………………………………….………..…..
LAMPIRAN 1- 6 -
26. Alamat Responden : ………………………………………………………………………….
CATATAN PENTING :

LAMPIRAN 1- 7 -
PERILAKU MEMILIH
MASYARAKAT BONDOWOSO

KPU BONDOWOSO

LAMPIRAN 2-
2- 1
I. PERILAKU MEMILIH
 Mengapa seseorang melakukan tindakan politik tertentu
sementara yang lain tidak?
 Mengapa orang memilih kepala daerah A, bukannya
kepala daerah B, C, atau D?
 Mengapa pada kelompok masyarakat tertentu
cenderung mempunyai pilihan kepala daerah yang
hampir sama, sedangkan kelompok masyarakat lainnya
tidak?
 Faktor--faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang
Faktor
menentukan pilihan dalam suatu Pemilihan Kepala
Daerah?
 Sederet pertanyaan senada masih akan muncul apabila
menganalisis perilaku memilih dalam suatu Pilkada.

2
PERILAKU MEMILIH
1. PENGETAHUAN (POPULARITAS)
2. SIKAP (KESUKAAN/KEPANTASAN)
3. TINDAKAN (ELEKTABILITAS)

3
FAKTOR MEMPENGARUHI
PERILAKU MEMILIH
1. Pendekatan Sosiologis
2. Pendekatan Psikologis
3. Pendekatan Rasional

4
1. Pendekatan Sosiologis

a. Karakteristik sosial (seperti pekerjaan


pekerjaan,,
penghasilan,, pendidikan dan
penghasilan
sebagainya).
sebagainya ).
b. karakteristik atau latarbelakang
sosiologis (seperti agama, wilayah
wilayah,, jenis
kelamin,, umur
kelamin umur,, dan sebagainya
sebagainya))

5
2. Pendekatan Psikologis
 pendekatan ini menggunakan dan
mengembangkan konsep psikologi -- terutama
konsep sosialisasi dan sikap--
sikap-- untuk
menjelaskan perilaku memilih.
 pendekatan psikologis menekankan pada tiga
aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu
ikatan emosional pada suatu partai politik (calon
kepala daerah), orientasi terhadap isu-
isu -isu dan
orientasi terhadap kandidat.

6
3. Pendekatan Rasional
 perilaku politik masyarakat akan dapat bertindak secara
rasional,, yakni memberikan suara ke calon kepala
rasional
daerah yang dianggap mendatangkan keuntungan dan
kemaslakhatan yang sebesar
sebesar--besarnya dan menekan
kerugian atau kemudlaratan yang sekecilsekecil--kecilnya
kecilnya..
 Dengan begitu
begitu,, diasumsikan para pemilih mempunyai
kemampuan untuk menilai isu isu--isu politik yang diajukan
diajukan..
Begitu juga mampu menilai calon (kandidat
kandidat)) yang
ditampilkan..
ditampilkan
 Penilaian rasional terhadap isu politik atau kandidat ini
bisa didasarkan pada jabatan
jabatan,, informasi
informasi,, pribadi yang
populer karena prestasi dibidang masing
masing--masing seperti
seni,, olah raga, film, organisasi
seni organisasi,, politik
politik,, dan
semacamnya
7
TUJUAN KEGIATAN

8
 MENGKAJI PERILAKU MEMILIH
 MENGKAJI FAKTOR SOSIOLOGIS
PERILAKU MEMILIH
 MENGKAJI FAKTOR PSIKOLOGIS
PERILAKU MEMILIH
 MENGKAJI FAKTOR RASIONALITAS
PERILAKU MEMILIH

9
KAJIAN PERILAKU MEMILIH

10
TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT

77,3
tidak hadir

22,7
hadir

0 10 20 30 40 50 60 70 80

11
MODEL KAMPANYE

Lain-lain 0,5

Door to door 24,5

Konfoi 30,7

Pengerahan Massa 9,9

Dialogis 34,4

0 5 10 15 20 25 30 35

12
MODEL KAMPANYE DIALOGIS

Dialog dengan alat peraga (baliho, pamflet) 5,7

Dialog dengan membawa uang 6,3

Dialog dengan membawa bingkisan 9,4

Dialog Pertemuan Kelompok (RT/RW/desa) 35,4

Dialog melalui radio/ TV 14,6

Dialog dengan tatap muka 28,6

0 5 10 15 20 25 30 35 40

13
MEDIA KAMPANYE

19,8
Tatap Muka

15,1
Surat Kabar

16,1
Radio

49
TV

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

14
PERTIMBANGAN MEMILIH PARTAI/CALEG

Kinerja Aleg/cabup/partai 4,2

Calon yang diajukan 6,3

Jurkam 1

Kinerja Partai 6,3

Uang 2,6

Ideologi Partainya 2,6

Reformis 1

Jurkam yang ditampilkan 3,1

Program yang ditawarkan 20,8

Isu yang diangkat 12

Caleg yang ditampilkan 9,9

Pimpinan/ Tokoh Partai/Tokoh ormas 10,9

Fatwa Ulama 13

Agama 5,2

0 5 10 15 20 25

15
KAJIAN FAKTOR SOSIOLOGIS
PERILAKU MEMILIH

16
DAPIL & PERILAKU MEMILIH BUPATI

90

80

70

60
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
50
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya
(Aswaja)
40
Golput

30

20

10

0
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V

17
DAPIL & PERILAKU MEMILIH PARTAI
40

35

30

25
Dapil I
Dapil II
20
Dapil III
Dapil IV
15
Dapil V

10

0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT

18
DAPIL & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN

60

50

40

Prabowo-Hatta
30 Jokowi-JK
GOLPUT

20

10

0
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V

19
UMUR & PERILAKU MEMILIH BUPATI

80

70

60

50
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)

40 Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya


(Aswaja)
Golput
30

20

10

0
< 20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun > 50 tahun

20
UMUR & PERILAKU MEMILIH PARTAI
60

50

40

< 20 tahun
20-29 tahun
30
30-39 tahun
40-49 tahun
> 50 tahun
20

10

0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT

21
UMUR & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN

70

60

50

40
Prabowo-Hatta
Jokowi-JK
30 GOLPUT

20

10

0
< 20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun > 50 tahun

22
SEX & PERILAKU MEMILIH BUPATI

80

70

60

50

Laki-laki
40
Perempuan

30

20

10

0
Mustawiyanto - Abdul Manan Amien Said Husni - Salwa Arifin Golput
(MUNA) Jaya (Aswaja)

23
SEX & PERILAKU MEMILIH PARTAI
40

35

30

25

20 Laki-laki
Perempuan

15

10

0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT

24
SEX & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN

60

50

40

Laki-laki
30 Perempuan

20

10

0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT

25
PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH BUPATI

90

80

70

60

Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)


50

Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya


40 (Aswaja)
Golput
30

20

10

0
Tidak Sekolah SD dan SLTP dan SLTA dan PT dan
sederajat sederajat sederajat sederajat

26
PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH PARTAI

70

60

50

40 Tidak Sekolah
SD dan sederajat
SLTP dan sederajat
30
SLTA dan sederajat
PT dan sederajat

20

10

0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT

27
PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN

70

60

50

40
Prabowo-Hatta
Jokowi-JK
30 GOLPUT

20

10

0
Tidak Sekolah SD dan sederajat SLTP dan sederajat SLTA dan sederajat PT dan sederajat

28
PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH BUPATI

90

80

70

60

50 Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)

Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya


40
(Aswaja)
Golput
30

20

10

0
Pegawai Pengusaha Pedagang Karyawan Petani Sektor Lain-lain
Negeri Sipil Swasta Informal

29
PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH PARTAI

60

50

40
Pegawai Negeri Sipil
Pengusaha
Pedagang
30
Karyawan Swasta
Petani
Sektor Informal
20
Lain-lain

10

0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT

30
PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN

90

80

70

60

50
Prabowo-Hatta
40 Jokowi-JK
GOLPUT
30

20

10

0
Pegawai Negeri Pengusaha Pedagang Karyawan Petani Sektor Informal Lain-lain
Sipil Swasta

31
KAJIAN FAKTOR PSIKOLOGIS (SIKAP)
PERILAKU MEMILIH

32
SIKAP & PERILAKU MEMILIH BUPATI

80

70

60

50

suka
40
Tidak

30

20

10

0
Mustawiyanto - Abdul Manan Amien Said Husni - Salwa Arifin Golput
(MUNA) Jaya (Aswaja)

33
SIKAP & PERILAKU MEMILIH PARTAI

35

30

25

20
suka
Tidak
15

10

0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT

34
SIKAP & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN

60

50

40

suka
30 Tidak

20

10

0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT

35
KAJIAN FAKTOR RASIONALITAS
PERILAKU MEMILIH

36
PROGRAM & PERILAKU MEMILIH BUPATI

80

70

60

50

Program
40
Tidak

30

20

10

0
Mustawiyanto - Abdul Manan Amien Said Husni - Salwa Arifin Golput
(MUNA) Jaya (Aswaja)

37
PROGRAM & PERILAKU MEMILIH PARTAI

35

30

25

20
program
Tidak
15

10

0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem

38
PROGRAM & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN

60

50

40

program

30 Tidak

20

10

0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK

39
ISU & PERILAKU MEMILIH BUPATI

80

70

60

50
isu

40 Tidak

30

20

10

0
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA) Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)

40
ISU & PERILAKU MEMILIH PARTAI
35

30

25

20

isu

15 Tidak

10

0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT

41
ISU & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN

60

50

40

isu

30 Tidak

20

10

0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK

42
TERIMA KASIH..

43
HASIL FREKUENSI PERILAKU MEMILIH

1. KARAKTERISTIK PEMILIH
1.1. Distribusi Sampel Kecamatan
Kecamatan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Binakal 10 2.6 2.6 2.6
Bondowoso 34 8.9 8.9 11.5
Botolingo 16 4.2 4.2 15.6
Cermee 22 5.7 5.7 21.4
Curahdami 16 4.2 4.2 25.5
Grujukan 18 4.7 4.7 30.2
Jambesari 16 4.2 4.2 34.4
Klabang 10 2.6 2.6 37.0
Maesan 22 5.7 5.7 42.7
Pakem 12 3.1 3.1 45.8
Prajekan 14 3.6 3.6 49.5
Pujer 20 5.2 5.2 54.7
Sempol 10 2.6 2.6 57.3
Sukosari 12 3.1 3.1 60.4
Sumberwringin 16 4.2 4.2 64.6
Taman Krocok 10 2.6 2.6 67.2
Tamanan 18 4.7 4.7 71.9
Tegalampel 12 3.1 3.1 75.0
Tenggarang 18 4.7 4.7 79.7
Tlogosari 22 5.7 5.7 85.4
Wonosari 20 5.2 5.2 90.6
Wringin 36 9.4 9.4 100.0
Total 384 100.0 100.0

1.2. Distribusi Sampel Perdapil


Dapil

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Dapil I 72 18.8 18.8 18.8
Dapil II 62 16.1 16.1 34.9
Dapil III 80 20.8 20.8 55.7
Dapil IV 74 19.3 19.3 75.0
Dapil V 96 25.0 25.0 100.0
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 1 -
1.3. Distribusi Posisi Tempat Tinggal
Posisi Tinggal Kabupaten

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Dalam kota kabupaten 46 12.0 12.0 12.0
Luar kota (pedesaan) 338 88.0 88.0 100.0
Total 384 100.0 100.0

1.4. Distribusi Umur Responden


Umur Resp

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 20 tahun 6 1.6 1.6 1.6
20-29 tahun 100 26.0 26.0 27.6
30-39 tahun 78 20.3 20.3 47.9
40-49 tahun 150 39.1 39.1 87.0
> 50 tahun 50 13.0 13.0 100.0
Total 384 100.0 100.0

1.5. Distribusi Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 264 68.8 68.8 68.8
Perempuan 120 31.3 31.3 100.0
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 2 -
1.6. Distribusi Pendidikan Responden
Pendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Sekolah 6 1.6 1.6 1.6
SD dan sederajat 28 7.3 7.3 8.9
SLTP dan sederajat 62 16.1 16.1 25.0
SLTA dan sederajat 212 55.2 55.2 80.2
PT dan sederajat 76 19.8 19.8 100.0
Total 384 100.0 100.0

1.7. Distribusi Agama Responden


Agama

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Islam 384 100.0 100.0 100.0

1.8. Distribusi Pekerjaan Responden

Pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Pegawai Negeri Sipil 70 18.2 18.2 18.2
Pengusaha 12 3.1 3.1 21.4
Pedagang 66 17.2 17.2 38.5
Karyawan Swasta 44 11.5 11.5 50.0
Petani 66 17.2 17.2 67.2
Sektor Informal 18 4.7 4.7 71.9
Lain-lain 108 28.1 28.1 100.0
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 3 -
1.9. Distribusi Penghasilan Responden

Penghasilan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 500.000 22 5.7 5.7 5.7
500.000 -< 1.000.000 60 15.6 15.6 21.4
1.000.000 -< 1.500.000 56 14.6 14.6 35.9
1.500.000 -< 2.000.000 148 38.5 38.5 74.5
> 2.000.000 98 25.5 25.5 100.0
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 4 -
PERILAKU MEMILIH

Frequency Table
Model Kampanye

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Dialogis 132 34.4 34.4 34.4
Pengerahan Massa 38 9.9 9.9 44.3
Konfoi 118 30.7 30.7 75.0
Door to door 94 24.5 24.5 99.5
Lain-lain 2 .5 .5 100.0
Total 384 100.0 100.0

Kampanye Dialogis Paling Relevan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Dialog dengan tatap
110 28.6 28.6 28.6
muka
Dialog melalui radio/ TV 56 14.6 14.6 43.2
Dialog Pertemuan
136 35.4 35.4 78.6
Kelompok (RT/RW/desa)
Dialog dengan membawa
36 9.4 9.4 88.0
bingkisan
Dialog dengan membawa
24 6.3 6.3 94.3
uang
Dialog dengan alat
22 5.7 5.7 100.0
peraga (baliho, pamflet)
Total 384 100.0 100.0

Bingkisan Dikehendaki

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kaos 70 18.2 19.6 19.6
Jilbab/ Kerudung 50 13.0 14.0 33.5
Sarung 46 12.0 12.8 46.4
Tas 6 1.6 1.7 48.0
Topi 2 .5 .6 48.6
Sembako 172 44.8 48.0 96.6
Lain-lain 12 3.1 3.4 100.0
Total 358 93.2 100.0
Missing System 26 6.8
Total 384 100.0

LAMPIRAN 3- 5 -
Pengerahan Massa paling Relevan untuk Konfoi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Bawa Kendaraan 66 17.2 17.2 17.2
Jalan 48 12.5 12.5 29.7
Konfoi sambil
178 46.4 46.4 76.0
bawa brosur
Konfoi sambil
92 24.0 24.0 100.0
bawa musik
Total 384 100.0 100.0

Door to door paling relevan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Bertemu & Perkenalan
104 27.1 27.1 27.1
Program
Mendengarkan masalah
202 52.6 52.6 79.7
& keluhan warga
Bertamu & membawa
50 13.0 13.0 92.7
oleh2/ sembako
Bertamu & Membawa
28 7.3 7.3 100.0
Uang
Total 384 100.0 100.0

Media Relevan untuk Pileg 2015

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid TV 188 49.0 49.0 49.0
Radio 62 16.1 16.1 65.1
Surat Kabar 58 15.1 15.1 80.2
Tatap Muka 76 19.8 19.8 100.0
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 6 -
Acara TV favorit

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Sinetron 96 25.0 25.0 25.0
Film Nasional 8 2.1 2.1 27.1
Film Luar Negeri 22 5.7 5.7 32.8
Musik 18 4.7 4.7 37.5
Berita 128 33.3 33.3 70.8
Olahraga 66 17.2 17.2 88.0
Film Kartun 6 1.6 1.6 89.6
Reality Show 10 2.6 2.6 92.2
Diskusi/ debat 18 4.7 4.7 96.9
Seni/ budaya 6 1.6 1.6 98.4
Lain-lain 6 1.6 1.6 100.0
Total 384 100.0 100.0

Acara radio favorit

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Musik Pop 80 20.8 20.8 20.8
Musik Dangdut 146 38.0 38.0 58.9
Musik Keroncong 8 2.1 2.1 60.9
Musik Campursari 14 3.6 3.6 64.6
Berita 80 20.8 20.8 85.4
Obrolan 46 12.0 12.0 97.4
Lain-lain 10 2.6 2.6 100.0
Total 384 100.0 100.0

Kampanye dengan hiburan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Suka 316 82.3 82.3 82.3
Tidak Suka 68 17.7 17.7 100.0
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 7 -
Hiburan yang Disukai

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Musik Dangdut 208 54.2 65.0 65.0
Musik Pop 42 10.9 13.1 78.1
Musik Qosidah 18 4.7 5.6 83.8
Lawakan 22 5.7 6.9 90.6
Film (layar tancap) 12 3.1 3.8 94.4
Ludruk/ Ketoprak 14 3.6 4.4 98.8
Campursari 4 1.0 1.3 100.0
Total 320 83.3 100.0
Missing System 64 16.7
Total 384 100.0

Profesi Jurkam Disukai

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kyai 142 37.0 37.0 37.0
Cendekiawan 50 13.0 13.0 50.0
Da'i 16 4.2 4.2 54.2
Tokoh Pemerintah 94 24.5 24.5 78.6
Pengusaha 14 3.6 3.6 82.3
Bintang Film 12 3.1 3.1 85.4
Penyanyi 36 9.4 9.4 94.8
Pelawak 20 5.2 5.2 100.0
Total 384 100.0 100.0

Pertimbangan Memilih Caleg

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Caleg yang Diusung 250 65.1 65.1 65.1
Keberadaan Partai 134 34.9 34.9 100.0
Total 384 100.0 100.0

Suka Caleg Tidak Suka Partai

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tetap memilih caleg
170 44.3 44.3 44.3
dengan partainya
Tidak memilih caleg
tersebut/ memilih 214 55.7 55.7 100.0
partai lain
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 8 -
Suka Partai Tidak Suka Caleg

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tetap memilih partai
72 18.8 18.8 18.8
dengan caleg tsb
Tidak memilih partai
48 12.5 12.5 31.3
tersebut
Tetap memilih partai
namun memilih 264 68.8 68.8 100.0
caleg lain
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 9 -
2. ISU-ISU UTAMA DI KABUPATEN BONDOWOSO

Frequency Table
Persoalan Kesempatan Kerja

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 298 77.6 77.6 77.6
Tidak 86 22.4 22.4 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Harga Gabah

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 270 70.3 70.3 70.3
Tidak 114 29.7 29.7 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Harga Pupuk

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 278 72.4 72.4 72.4
Tidak 106 27.6 27.6 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Pendidikan (SPP, uang gedung, dll)

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 316 82.3 82.3 82.3
Tidak 68 17.7 17.7 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Kemudahan Kredit

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 252 65.6 65.6 65.6
Tidak 132 34.4 34.4 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Subsidi Gol Lemah

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 278 72.4 72.4 72.4
Tidak 106 27.6 27.6 100.0
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 10 -
Persoalan Harga Sembako

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 334 87.0 87.0 87.0
Tidak 50 13.0 13.0 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Penurunan Tarif Listrik

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 256 66.7 66.7 66.7
Tidak 128 33.3 33.3 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Penurunan Tarif Angkutan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 152 39.6 39.6 39.6
Tidak 232 60.4 60.4 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Pemberantasan KKN

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 174 45.3 45.3 45.3
Tidak 210 54.7 54.7 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Profesionalisme Birokrasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 162 42.2 42.2 42.2
Tidak 222 57.8 57.8 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Demokratisasi Politik

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 154 40.1 40.1 40.1
Tidak 230 59.9 59.9 100.0
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 11 -
Persoalan Penurunan Pajak, retribusi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 198 51.6 51.6 51.6
Tidak 186 48.4 48.4 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Sengketa Tanah

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 130 33.9 33.9 33.9
Tidak 254 66.1 66.1 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Air Bersih, PDAM, dll

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 160 41.7 41.7 41.7
Tidak 224 58.3 58.3 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Pembangunan Fisik (jalan, sekolah, irigasi, dll)

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 288 75.0 75.0 75.0
Tidak 96 25.0 25.0 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Kriminalitas

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 194 50.5 50.5 50.5
Tidak 190 49.5 49.5 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Kenakalan Remaja

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 132 34.4 34.4 34.4
Tidak 252 65.6 65.6 100.0
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 12 -
Persoalan Narkoba

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 156 40.6 40.6 40.6
Tidak 228 59.4 59.4 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Konflik Sospol

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 142 37.0 37.0 37.0
Tidak 242 63.0 63.0 100.0
Total 384 100.0 100.0

Persoalan Paling Penting

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kesempatan Kerja 62 16.1 16.1 16.1
Harga Gabah 16 4.2 4.2 20.3
Harga Pupuk 12 3.1 3.1 23.4
Pendidikan (SPP, uang
16 4.2 4.2 27.6
gedung, dll)
Kemudahan Kredit 18 4.7 4.7 32.3
Subsidi Golongan Lemah 24 6.3 6.3 38.5
Harga Sembako 148 38.5 38.5 77.1
Penurunan Tarif Listrik 10 2.6 2.6 79.7
Pemberantasan KKN 22 5.7 5.7 85.4
Demokratisasi Politik 8 2.1 2.1 87.5
Penurunan Pajak,
4 1.0 1.0 88.5
Retribusi
Sengketa Tanah 2 .5 .5 89.1
Air Bersih, PDAM 2 .5 .5 89.6
Pembangunan Fisik
(jalan, sekolah, irigasi, 24 6.3 6.3 95.8
dll)
Kriminalitas 6 1.6 1.6 97.4
Kenakalan Remaja 4 1.0 1.0 98.4
Narkoba 6 1.6 1.6 100.0
Total 384 100.0 100.0

LAMPIRAN 3- 13 -
TABULASI SILANG FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERILAKU MEMILIH
1. PERILAKU MEMILIH PILBUP BONDOWOSO
Pilihan Bupati 2013

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Mustawiyanto - Abdul
56 14.6 14.6 14.6
Manan (MUNA)
Amien Said Husni -
Salwa Arifin Jaya 288 75.0 75.0 89.6
(Aswaja)
Golput 40 10.4 10.4 100.0
Total 384 100.0 100.0

Pilihan Pilkada 2017

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Salwa Arifin Jaya
(Wakil Bupati) 220 57.3 57.9 57.9
Ahmad Dhafir (PKB) 96 25.0 25.3 83.2
Ketut Yudi (PKS) 10 2.6 2.6 85.8
Irwan Bachtiar (PDIP) 38 9.9 10.0 95.8
Supriyadi (Golkar) 2 .5 .5 96.3
Albani (Gerindra) 2 .5 .5 96.8
Soepatno (PD) 4 1.0 1.1 97.9
Buchori Mun'im (PPP) 2 .5 .5 98.4
Abd. Khodir Syam (NU) 6 1.6 1.6 100.0
Total 380 99.0 100.0
Missing System 4 1.0
Total 384 100.0

LAMPIRAN 4 - 1 -
Crosstabs

Posisi Tinggal Kabupaten * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation

Pilihan Bupati 2013


Amien Said
Mustawiyanto Husni - Salwa
- Abdul Manan Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja) Golput Total
Posisi Tinggal Dalam kota kabupaten Count 4 38 4 46
Kabupaten % within Posisi
8.7% 82.6% 8.7% 100.0%
Tinggal Kabupaten
Luar kota (pedesaan) Count 52 250 36 338
% within Posisi
15.4% 74.0% 10.7% 100.0%
Tinggal Kabupaten
Total Count 56 288 40 384
% within Posisi
14.6% 75.0% 10.4% 100.0%
Tinggal Kabupaten

LAMPIRAN 4 - 2 -
Umur Resp * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation

Pilihan Bupati 2013


Amien Said
Mustawiyanto Husni - Salwa
- Abdul Manan Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja) Golput Total
Umur < 20 tahun Count 4 2 0 6
Resp % within Umur Resp 66.7% 33.3% .0% 100.0%
20-29 tahun Count 14 72 14 100
% within Umur Resp 14.0% 72.0% 14.0% 100.0%
30-39 tahun Count 8 60 10 78
% within Umur Resp 10.3% 76.9% 12.8% 100.0%
40-49 tahun Count 26 118 6 150
% within Umur Resp 17.3% 78.7% 4.0% 100.0%
> 50 tahun Count 4 36 10 50
% within Umur Resp 8.0% 72.0% 20.0% 100.0%
Total Count 56 288 40 384
% within Umur Resp 14.6% 75.0% 10.4% 100.0%

Jenis Kelamin * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation

Pilihan Bupati 2013


Amien Said
Mustawiyanto Husni - Salwa
- Abdul Manan Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja) Golput Total
Jenis Kelamin Laki-laki Count 40 204 20 264
% within Jenis Kelamin 15.2% 77.3% 7.6% 100.0%
Perempuan Count 16 84 20 120
% within Jenis Kelamin 13.3% 70.0% 16.7% 100.0%
Total Count 56 288 40 384
% within Jenis Kelamin 14.6% 75.0% 10.4% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 3 -
Pendidikan * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation

Pilihan Bupati 2013


Amien Said
Mustawiyanto Husni - Salwa
- Abdul Manan Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja) Golput Total
Pendidikan Tidak Sekolah Count 2 4 0 6
% within Pendidikan 33.3% 66.7% .0% 100.0%
SD dan sederajat Count 4 18 6 28
% within Pendidikan 14.3% 64.3% 21.4% 100.0%
SLTP dan sederajat Count 8 50 4 62
% within Pendidikan 12.9% 80.6% 6.5% 100.0%
SLTA dan sederajat Count 34 162 16 212
% within Pendidikan 16.0% 76.4% 7.5% 100.0%
PT dan sederajat Count 8 54 14 76
% within Pendidikan 10.5% 71.1% 18.4% 100.0%
Total Count 56 288 40 384
% within Pendidikan 14.6% 75.0% 10.4% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 4 -
Pekerjaan * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation

Pilihan Bupati 2013


Amien Said
Mustawiyanto Husni - Salwa
- Abdul Manan Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja) Golput Total
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil Count 6 54 10 70
% within Pekerjaan 8.6% 77.1% 14.3% 100.0%
Pengusaha Count 0 10 2 12
% within Pekerjaan .0% 83.3% 16.7% 100.0%
Pedagang Count 14 46 6 66
% within Pekerjaan 21.2% 69.7% 9.1% 100.0%
Karyawan Swasta Count 4 36 4 44
% within Pekerjaan 9.1% 81.8% 9.1% 100.0%
Petani Count 10 52 4 66
% within Pekerjaan 15.2% 78.8% 6.1% 100.0%
Sektor Informal Count 6 12 0 18
% within Pekerjaan 33.3% 66.7% .0% 100.0%
Lain-lain Count 16 78 14 108
% within Pekerjaan 14.8% 72.2% 13.0% 100.0%
Total Count 56 288 40 384
% within Pekerjaan 14.6% 75.0% 10.4% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 5 -
Penghasilan * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation

Pilihan Bupati 2013


Amien Said
Mustawiyanto Husni - Salwa
- Abdul Manan Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja) Golput Total
Penghasilan < 500.000 Count 0 20 2 22
% within Penghasilan .0% 90.9% 9.1% 100.0%
500.000 -< 1.000.000 Count 6 44 10 60
% within Penghasilan 10.0% 73.3% 16.7% 100.0%
1.000.000 -< 1.500.000 Count 12 40 4 56
% within Penghasilan 21.4% 71.4% 7.1% 100.0%
1.500.000 -< 2.000.000 Count 28 116 4 148
% within Penghasilan 18.9% 78.4% 2.7% 100.0%
> 2.000.000 Count 10 68 20 98
% within Penghasilan 10.2% 69.4% 20.4% 100.0%
Total Count 56 288 40 384
% within Penghasilan 14.6% 75.0% 10.4% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 6 -
Ormas * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation

Pilihan Bupati 2013


Amien Said
Mustawiyanto Husni - Salwa
- Abdul Manan Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja) Golput Total
Ormas NU/ dibawah naungan Count 26 172 20 218
NU % within Ormas 11.9% 78.9% 9.2% 100.0%
Muhammadiyah/ dibawah Count 2 2 2 6
naungan Muhammadiyah % within Ormas
33.3% 33.3% 33.3% 100.0%

Ormas Islam Lain Count 0 2 0 2


% within Ormas .0% 100.0% .0% 100.0%
Tidak Mengidentifikasi Count 28 112 18 158
% within Ormas 17.7% 70.9% 11.4% 100.0%
Total Count 56 288 40 384
% within Ormas 14.6% 75.0% 10.4% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 7 -
2. PERILAKU MMEILIH PILPRES

Pilihan Presiden 2014

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Prabowo-Hatta 200 52.1 52.1 52.1
Jokowi-JK 158 41.1 41.1 93.2
GOLPUT 26 6.8 6.8 100.0
Total 384 100.0 100.0

Crosstabs

LAMPIRAN 4 - 8 -
Kecamatan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation

Pilihan Presiden 2014


Prabowo-
Hatta Jokowi-JK GOLPUT Total
Kecamatan Binakal Count 6 4 0 10
% within Kecamatan 60.0% 40.0% .0% 100.0%
Bondowoso Count 20 10 4 34
% within Kecamatan 58.8% 29.4% 11.8% 100.0%
Botolingo Count 6 8 2 16
% within Kecamatan 37.5% 50.0% 12.5% 100.0%
Cermee Count 12 4 6 22
% within Kecamatan 54.5% 18.2% 27.3% 100.0%
Curahdami Count 8 6 2 16
% within Kecamatan 50.0% 37.5% 12.5% 100.0%
Grujukan Count 6 12 0 18
% within Kecamatan 33.3% 66.7% .0% 100.0%
Jambesari Count 8 8 0 16
% within Kecamatan 50.0% 50.0% .0% 100.0%
Klabang Count 8 2 0 10
% within Kecamatan 80.0% 20.0% .0% 100.0%
Maesan Count 12 10 0 22
% within Kecamatan 54.5% 45.5% .0% 100.0%
Pakem Count 2 10 0 12
% within Kecamatan 16.7% 83.3% .0% 100.0%
Prajekan Count 8 6 0 14
% within Kecamatan 57.1% 42.9% .0% 100.0%
Pujer Count 10 8 2 20
% within Kecamatan 50.0% 40.0% 10.0% 100.0%
Sempol Count 6 4 0 10
% within Kecamatan 60.0% 40.0% .0% 100.0%
Sukosari Count 8 2 2 12
% within Kecamatan 66.7% 16.7% 16.7% 100.0%
Sumberwringin Count 8 8 0 16
% within Kecamatan 50.0% 50.0% .0% 100.0%
Taman Krocok Count 6 2 LAMPIRAN
2 410- 9 -
% within Kecamatan 60.0% 20.0% 20.0% 100.0%
Tamanan Count 10 8 0 18
% within Kecamatan 55.6% 44.4% .0% 100.0%
Tegalampel Count
Dapil * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation

Pilihan Presiden 2014


Prabowo-
Hatta Jokowi-JK GOLPUT Total
Dapil Dapil I Count 34 28 10 72
% within Dapil 47.2% 38.9% 13.9% 100.0%
Dapil II Count 34 20 8 62
% within Dapil 54.8% 32.3% 12.9% 100.0%
Dapil III Count 48 28 4 80
% within Dapil 60.0% 35.0% 5.0% 100.0%
Dapil IV Count 36 38 0 74
% within Dapil 48.6% 51.4% .0% 100.0%
Dapil V Count 48 44 4 96
% within Dapil 50.0% 45.8% 4.2% 100.0%
Total Count 200 158 26 384
% within Dapil 52.1% 41.1% 6.8% 100.0%

Posisi Tinggal Kabupaten * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation

Pilihan Presiden 2014


Prabowo-
Hatta Jokowi-JK GOLPUT Total
Posisi Tinggal Dalam kota kabupaten Count 20 20 6 46
Kabupaten % within Posisi
43.5% 43.5% 13.0% 100.0%
Tinggal Kabupaten
Luar kota (pedesaan) Count 180 138 20 338
% within Posisi
53.3% 40.8% 5.9% 100.0%
Tinggal Kabupaten
Total Count 200 158 26 384
% within Posisi
52.1% 41.1% 6.8% 100.0%
Tinggal Kabupaten

LAMPIRAN 4 - 10 -
Umur Resp * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation

Pilihan Presiden 2014


Prabowo-
Hatta Jokowi-JK GOLPUT Total
Umur < 20 tahun Count 4 2 0 6
Resp % within Umur Resp 66.7% 33.3% .0% 100.0%
20-29 tahun Count 56 34 10 100
% within Umur Resp 56.0% 34.0% 10.0% 100.0%
30-39 tahun Count 30 44 4 78
% within Umur Resp 38.5% 56.4% 5.1% 100.0%
40-49 tahun Count 84 58 8 150
% within Umur Resp 56.0% 38.7% 5.3% 100.0%
> 50 tahun Count 26 20 4 50
% within Umur Resp 52.0% 40.0% 8.0% 100.0%
Total Count 200 158 26 384
% within Umur Resp 52.1% 41.1% 6.8% 100.0%

Jenis Kelamin * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation

Pilihan Presiden 2014


Prabowo-
Hatta Jokowi-JK GOLPUT Total
Jenis Kelamin Laki-laki Count 148 98 18 264
% within Jenis Kelamin 56.1% 37.1% 6.8% 100.0%
Perempuan Count 52 60 8 120
% within Jenis Kelamin 43.3% 50.0% 6.7% 100.0%
Total Count 200 158 26 384
% within Jenis Kelamin 52.1% 41.1% 6.8% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 11 -
Pendidikan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation

Pilihan Presiden 2014


Prabowo-
Hatta Jokowi-JK GOLPUT Total
Pendidikan Tidak Sekolah Count 2 4 0 6
% within Pendidikan 33.3% 66.7% .0% 100.0%
SD dan sederajat Count 12 16 0 28
% within Pendidikan 42.9% 57.1% .0% 100.0%
SLTP dan sederajat Count 34 22 6 62
% within Pendidikan 54.8% 35.5% 9.7% 100.0%
SLTA dan sederajat Count 116 80 16 212
% within Pendidikan 54.7% 37.7% 7.5% 100.0%
PT dan sederajat Count 36 36 4 76
% within Pendidikan 47.4% 47.4% 5.3% 100.0%
Total Count 200 158 26 384
% within Pendidikan 52.1% 41.1% 6.8% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 12 -
Pekerjaan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation

Pilihan Presiden 2014


Prabowo-
Hatta Jokowi-JK GOLPUT Total
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil Count 34 34 2 70
% within Pekerjaan 48.6% 48.6% 2.9% 100.0%
Pengusaha Count 10 0 2 12
% within Pekerjaan 83.3% .0% 16.7% 100.0%
Pedagang Count 40 24 2 66
% within Pekerjaan 60.6% 36.4% 3.0% 100.0%
Karyawan Swasta Count 16 20 8 44
% within Pekerjaan 36.4% 45.5% 18.2% 100.0%
Petani Count 34 30 2 66
% within Pekerjaan 51.5% 45.5% 3.0% 100.0%
Sektor Informal Count 12 6 0 18
% within Pekerjaan 66.7% 33.3% .0% 100.0%
Lain-lain Count 54 44 10 108
% within Pekerjaan 50.0% 40.7% 9.3% 100.0%
Total Count 200 158 26 384
% within Pekerjaan 52.1% 41.1% 6.8% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 13 -
Penghasilan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation

Pilihan Presiden 2014


Prabowo-
Hatta Jokowi-JK GOLPUT Total
Penghasilan < 500.000 Count 6 16 0 22
% within Penghasilan 27.3% 72.7% .0% 100.0%
500.000 -< 1.000.000 Count 28 24 8 60
% within Penghasilan 46.7% 40.0% 13.3% 100.0%
1.000.000 -< 1.500.000 Count 24 28 4 56
% within Penghasilan 42.9% 50.0% 7.1% 100.0%
1.500.000 -< 2.000.000 Count 86 50 12 148
% within Penghasilan 58.1% 33.8% 8.1% 100.0%
> 2.000.000 Count 56 40 2 98
% within Penghasilan 57.1% 40.8% 2.0% 100.0%
Total Count 200 158 26 384
% within Penghasilan 52.1% 41.1% 6.8% 100.0%

Ormas * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation

Pilihan Presiden 2014


Prabowo-
Hatta Jokowi-JK GOLPUT Total
Ormas NU/ dibawah naungan Count 126 82 10 218
NU % within Ormas 57.8% 37.6% 4.6% 100.0%
Muhammadiyah/ dibawah Count 6 0 0 6
naungan Muhammadiyah % within Ormas
100.0% .0% .0% 100.0%

Ormas Islam Lain Count 0 2 0 2


% within Ormas .0% 100.0% .0% 100.0%
Tidak Mengidentifikasi Count 68 74 16 158
% within Ormas 43.0% 46.8% 10.1% 100.0%
Total Count 200 158 26 384
% within Ormas 52.1% 41.1% 6.8% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 14 -
3. PERILAKU MEMILIH PARTAI

Pilihan Partai 2014

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid PDIP 50 13.0 13.0 13.0
Golkar 46 12.0 12.0 25.0
PKB 118 30.7 30.7 55.7
PPP 40 10.4 10.4 66.1
PAN 10 2.6 2.6 68.8
PD 30 7.8 7.8 76.6
Hanura 2 .5 .5 77.1
Gerindra 32 8.3 8.3 85.4
Nasdem 24 6.3 6.3 91.7
GOLPUT 32 8.3 8.3 100.0
Total 384 100.0 100.0

Crosstabs

LAMPIRAN 4 - 15 -
Dapil * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation

Pilihan Partai 2014


PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT Total
Dapil Dapil I Count 18 6 20 2 0 10 2 2 2 10 72
% within Dapil 25.0% 8.3% 27.8% 2.8% .0% 13.9% 2.8% 2.8% 2.8% 13.9% 100.0%
Dapil II Count 4 2 20 12 0 10 0 6 0 8 62
% within Dapil 6.5% 3.2% 32.3% 19.4% .0% 16.1% .0% 9.7% .0% 12.9% 100.0%
Dapil III Count 2 6 28 14 2 2 0 18 8 0 80
% within Dapil 2.5% 7.5% 35.0% 17.5% 2.5% 2.5% .0% 22.5% 10.0% .0% 100.0%
Dapil IV Count 20 8 18 6 4 2 0 2 8 6 74
% within Dapil 27.0% 10.8% 24.3% 8.1% 5.4% 2.7% .0% 2.7% 10.8% 8.1% 100.0%
Dapil V Count 6 24 32 6 4 6 0 4 6 8 96
% within Dapil 6.3% 25.0% 33.3% 6.3% 4.2% 6.3% .0% 4.2% 6.3% 8.3% 100.0%
Total Count 50 46 118 40 10 30 2 32 24 32 384
% within Dapil 13.0% 12.0% 30.7% 10.4% 2.6% 7.8% .5% 8.3% 6.3% 8.3% 100.0%

Posisi Tinggal Kabupaten * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation

Pilihan Partai 2014


PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT Total
Posisi Tinggal Dalam kota kabupaten Count 12 4 12 2 0 10 0 0 0 6 46
Kabupaten % within Posisi
26.1% 8.7% 26.1% 4.3% .0% 21.7% .0% .0% .0% 13.0% 100.0%
Tinggal Kabupaten
Luar kota (pedesaan) Count 38 42 106 38 10 20 2 32 24 26 338
% within Posisi
11.2% 12.4% 31.4% 11.2% 3.0% 5.9% .6% 9.5% 7.1% 7.7% 100.0%
Tinggal Kabupaten
Total Count 50 46 118 40 10 30 2 32 24 32 384
% within Posisi
13.0% 12.0% 30.7% 10.4% 2.6% 7.8% .5% 8.3% 6.3% 8.3% 100.0%
Tinggal Kabupaten

LAMPIRAN 4 - 16 -
Umur Resp * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation

Pilihan Partai 2014


PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT Total
Umur < 20 tahun Count 0 0 2 0 0 0 0 2 0 2 6
Resp % within Umur Resp .0% .0% 33.3% .0% .0% .0% .0% 33.3% .0% 33.3% 100.0%
20-29 tahun Count 18 10 22 10 0 8 0 16 6 10 100
% within Umur Resp 18.0% 10.0% 22.0% 10.0% .0% 8.0% .0% 16.0% 6.0% 10.0% 100.0%
30-39 tahun Count 6 14 18 10 6 10 0 4 2 8 78
% within Umur Resp 7.7% 17.9% 23.1% 12.8% 7.7% 12.8% .0% 5.1% 2.6% 10.3% 100.0%
40-49 tahun Count 20 18 52 16 4 12 0 8 14 6 150
% within Umur Resp 13.3% 12.0% 34.7% 10.7% 2.7% 8.0% .0% 5.3% 9.3% 4.0% 100.0%
> 50 tahun Count 6 4 24 4 0 0 2 2 2 6 50
% within Umur Resp 12.0% 8.0% 48.0% 8.0% .0% .0% 4.0% 4.0% 4.0% 12.0% 100.0%
Total Count 50 46 118 40 10 30 2 32 24 32 384
% within Umur Resp 13.0% 12.0% 30.7% 10.4% 2.6% 7.8% .5% 8.3% 6.3% 8.3% 100.0%

Jenis Kelamin * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation

Pilihan Partai 2014


PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT Total
Jenis Kelamin Laki-laki Count 28 34 90 32 6 24 2 14 14 20 264
% within Jenis Kelamin 10.6% 12.9% 34.1% 12.1% 2.3% 9.1% .8% 5.3% 5.3% 7.6% 100.0%
Perempuan Count 22 12 28 8 4 6 0 18 10 12 120
% within Jenis Kelamin 18.3% 10.0% 23.3% 6.7% 3.3% 5.0% .0% 15.0% 8.3% 10.0% 100.0%
Total Count 50 46 118 40 10 30 2 32 24 32 384
% within Jenis Kelamin 13.0% 12.0% 30.7% 10.4% 2.6% 7.8% .5% 8.3% 6.3% 8.3% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 17 -
Pendidikan * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation

Pilihan Partai 2014


PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT Total
Pendidikan Tidak Sekolah Count 0 0 4 2 0 0 0 0 0 0 6
% within Pendidikan .0% .0% 66.7% 33.3% .0% .0% .0% .0% .0% .0% 100.0%
SD dan sederajat Count 4 2 12 0 2 0 0 2 0 6 28
% within Pendidikan 14.3% 7.1% 42.9% .0% 7.1% .0% .0% 7.1% .0% 21.4% 100.0%
SLTP dan sederajat Count 10 8 20 6 0 0 0 8 2 8 62
% within Pendidikan 16.1% 12.9% 32.3% 9.7% .0% .0% .0% 12.9% 3.2% 12.9% 100.0%
SLTA dan sederajat Count 34 28 60 26 6 18 0 16 10 14 212
% within Pendidikan 16.0% 13.2% 28.3% 12.3% 2.8% 8.5% .0% 7.5% 4.7% 6.6% 100.0%
PT dan sederajat Count 2 8 22 6 2 12 2 6 12 4 76
% within Pendidikan 2.6% 10.5% 28.9% 7.9% 2.6% 15.8% 2.6% 7.9% 15.8% 5.3% 100.0%
Total Count 50 46 118 40 10 30 2 32 24 32 384
% within Pendidikan 13.0% 12.0% 30.7% 10.4% 2.6% 7.8% .5% 8.3% 6.3% 8.3% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 18 -
Pekerjaan * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation

Pilihan Partai 2014


PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT Total
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil Count 2 6 20 6 2 12 2 0 14 6 70
% within Pekerjaan 2.9% 8.6% 28.6% 8.6% 2.9% 17.1% 2.9% .0% 20.0% 8.6% 100.0%
Pengusaha Count 0 4 4 2 0 0 0 0 0 2 12
% within Pekerjaan .0% 33.3% 33.3% 16.7% .0% .0% .0% .0% .0% 16.7% 100.0%
Pedagang Count 2 16 28 10 0 0 0 4 4 2 66
% within Pekerjaan 3.0% 24.2% 42.4% 15.2% .0% .0% .0% 6.1% 6.1% 3.0% 100.0%
Karyawan Swasta Count 22 0 6 2 2 4 0 6 0 2 44
% within Pekerjaan 50.0% .0% 13.6% 4.5% 4.5% 9.1% .0% 13.6% .0% 4.5% 100.0%
Petani Count 6 4 28 14 2 4 0 2 0 6 66
% within Pekerjaan 9.1% 6.1% 42.4% 21.2% 3.0% 6.1% .0% 3.0% .0% 9.1% 100.0%
Sektor Informal Count 0 6 6 0 2 0 0 2 0 2 18
% within Pekerjaan .0% 33.3% 33.3% .0% 11.1% .0% .0% 11.1% .0% 11.1% 100.0%
Lain-lain Count 18 10 26 6 2 10 0 18 6 12 108
% within Pekerjaan 16.7% 9.3% 24.1% 5.6% 1.9% 9.3% .0% 16.7% 5.6% 11.1% 100.0%
Total Count 50 46 118 40 10 30 2 32 24 32 384
% within Pekerjaan 13.0% 12.0% 30.7% 10.4% 2.6% 7.8% .5% 8.3% 6.3% 8.3% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 19 -
Penghasilan * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation

Pilihan Partai 2014


PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT Total
Penghasilan < 500.000 Count 6 0 4 0 0 2 0 8 0 2 22
% within Penghasilan 27.3% .0% 18.2% .0% .0% 9.1% .0% 36.4% .0% 9.1% 100.0%
500.000 -< 1.000.000 Count 8 4 18 6 0 6 0 6 2 10 60
% within Penghasilan 13.3% 6.7% 30.0% 10.0% .0% 10.0% .0% 10.0% 3.3% 16.7% 100.0%
1.000.000 -< 1.500.000 Count 10 6 18 10 2 0 0 6 4 0 56
% within Penghasilan 17.9% 10.7% 32.1% 17.9% 3.6% .0% .0% 10.7% 7.1% .0% 100.0%
1.500.000 -< 2.000.000 Count 26 18 56 16 4 8 2 2 4 12 148
% within Penghasilan 17.6% 12.2% 37.8% 10.8% 2.7% 5.4% 1.4% 1.4% 2.7% 8.1% 100.0%
> 2.000.000 Count 0 18 22 8 4 14 0 10 14 8 98
% within Penghasilan .0% 18.4% 22.4% 8.2% 4.1% 14.3% .0% 10.2% 14.3% 8.2% 100.0%
Total Count 50 46 118 40 10 30 2 32 24 32 384
% within Penghasilan 13.0% 12.0% 30.7% 10.4% 2.6% 7.8% .5% 8.3% 6.3% 8.3% 100.0%

Ormas * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation

Pilihan Partai 2014


PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT Total
Ormas NU/ dibawah naungan Count 8 34 84 24 6 18 0 16 12 16 218
NU % within Ormas 3.7% 15.6% 38.5% 11.0% 2.8% 8.3% .0% 7.3% 5.5% 7.3% 100.0%
Muhammadiyah/ dibawah Count 0 2 2 2 0 0 0 0 0 0 6
naungan Muhammadiyah % within Ormas
.0% 33.3% 33.3% 33.3% .0% .0% .0% .0% .0% .0% 100.0%

Ormas Islam Lain Count 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2


% within Ormas 100.0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% .0% 100.0%
Tidak Mengidentifikasi Count 40 10 32 14 4 12 2 16 12 16 158
% within Ormas 25.3% 6.3% 20.3% 8.9% 2.5% 7.6% 1.3% 10.1% 7.6% 10.1% 100.0%
Total Count 50 46 118 40 10 30 2 32 24 32 384
% within Ormas 13.0% 12.0% 30.7% 10.4% 2.6% 7.8% .5% 8.3% 6.3% 8.3% 100.0%

LAMPIRAN 4 - 20 -

Anda mungkin juga menyukai