KABUPATEN BONDOWOSO
Dengan Tema
“ PERILAKU PEMILIH “
KERJASAMA
DAN
2015
LAPORAN PENELITIAN
KERJASAMA
i
KATA PENGANTAR
KPU Bondowoso
Lembaga Penelitian UNEJ
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Salah satu studi perilaku memilih di Jepang baru-baru ini dilakukan oleh Flanagan. Ia
menunjukkan bahwa pembelahan-pembelahan sosial mempunyai hubungan yang erat dengan
perilaku memilih, sementara identifikasi partai (yang disebutnya sebagai loyalitas partai tidak
banyak memberikan sumbangan. Lihat Scott C. Flanagan, et al., The Japanese Voters (New
Haven: Yale University Press, 1991).
1
Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen
pemilu. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai suatu
substansi pemilu. Riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai
persoalan atas hal yang menjadi perdebatan. Hasil riset memastikan program dan
kebijakan kepemiluan tidak dibangun atas postulat spekulatif, tetapi dikontruksi
berlandaskan pada argument empirik dan rasional dengan proses yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam demokrasi, partisipasi pemilih menjadi elemen penting demokrasi
perwakilan. Ia adalah fondasi praktik demokrasi perwakilan. Persoalannya,
terdapat sejumlah masalah menyangkut partisipasi pemilih yang terus
menggelayut dalam setiap pelaksanaan pemilu. Sayangnya, persoalannya itu tidak
banyak diungkap dan sebagian menjadi ruang yang terus menyisakan pertanyaan.
Beberapa persoalan terkait dengan partisipasi dalam pemilu diantaranya
adalah fluktuasi kehadiran pemilih ke TPS, suara tidak sah yang tinggi, gejala
politik uang, misteri derajat melek politik warga, dan langkahnya kesukarelaan
politik.
Masalah tersebut perlu dibedah sedemikian rupa untuk diketahui akar
masalah dan dicari jalan keluarnya. Harapannya, partisipasi dalam pemilu berada
pada idealisme yang diimajinasikan. Oleh karena itu, program riset menjadi
aktivitas yang tidak terhindarkan dalam manajemen pemilu.
2
2. Mengidentifikasi perilaku memilih masyarakat bondowoso, seperti
tingkat partisipasi, metode kampanye, dan media kampanye.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih
Bondowoso berdasarkan pertimbangan psikologis.
4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih
Bondowoso berdasarkan pertimbangan Sosiologis.
5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pemilih
Bondowoso berdasarkan pertimbangan rasionalitas.
6. Mengidentifikasi isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat
Bondowoso, baik isu dibidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial-
keagamaan, hukum, dan sebagainya. Termasuk disini adalah mengukur
seberapa kuat variabel isu-isu tersebut mempengaruhi pilihan politik
pada perilaku memilih.
3
Termasuk disini adalah mengukur seberapa kuat variabel isu-isu
tersebut mempengaruhi pilihan politik pada pemilihan Bupati secara
langsung.
4
BAB 2
KERANGKA TEORI
1. Pendekatan Sosiologis
1
Afan Gaffar, Javaners Voters, A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992), hal. 4-9.
5
kata, pengelompokan sosial seperti umur (tua-muda); jenis kelamin (laki-
perempuan); agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup
menentukan dalam membentuk pengelompokan sosial baik secara formal seperti
keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-
organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya; maupun
pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-
kelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami
perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai
peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Dean
Jaros dkk,2 ketika mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu
kelompok dengan perilaku politik seseorang menyederhanakan pengelompokan
sosial itu ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok primer, kelompok sekunder
dan kelompok kategori.
Gerald Pomper memerinci pengaruh pengelompokan sosial dalam studi
voting behavior ke dalam dua variabel, yaitu variabel predisposisi sosial-ekonomi
keluarga pemilih dan predisposisi sosial-ekonomi pemilih. Menurutnya,
predisposisi sosial-ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan
yang signifikan dengan perilaku memilih seseorang. Preferensi-preferensi politik
keluarga, apakah preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan
berpengaruh pada preferensi politik anak. Predisposisi sosial-ekonomi ini bisa
berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis,
dan semacamnya.3 Pendek kata, ikatan-ikatan sosiologis semacam ini sampai
sekarang secara teoritis masih cukup signifikan untuk melihat perilaku memilih.4
Hubungan antara agama dengan perilaku memilih misalnya, tampak pada
penelitian Lipset. Di beberapa negara di mana partai tidak mempunyai batas yang
jelas dengan agama, kelompok minoritas di bidang ekonomi, politik ataupun
diskriminan-diskriminan tertentu, cenderung untuk memilih partai yang berpaham
2
Penjelasan hubungan antar variabel ini lihat uraiannya dalam sub bab, “Explaining the Political
Behavior of Individual: Group or Social Factors”, Dean Jaros et.al., Political Behavior, Choices
and Perspectives (New York: St. Martin’s Press, 1974), hal. 111-146.
3
Gerald Pomper, Voter’s Choice: Varieties of American Electoral Behavior (New York: Dod,
Mead Company, 1978), hal. 195-208.
4
Mark N. Franklin, “Voting Behavior”, dalam Seymour Martin Lipset, The Encyclopedia of
Democracy, Volume IV (Washington, D.C.: Congressional Quarterly Inc., 1995), hal. 1346-1353.
6
liberal atau partai yang berhaluan kiri; sementara kelompok mayoritas cenderung
untuk memberikan suaranya pada partai konservatif atau partai sayap kanan. Di
Amerika Serikat misalnya, penganut agama Katholik dan Yahudi, kulit hitam dan
Hispanic (keturunan Latin) merupakan pendukung setia Partai Demokrat.
Sementara kaum Protestan Anglo Saxon memberikan dukungan pada Partai
Republik. Pada pemilihan presiden tahun 1984 misalnya, 68 persen orang Yahudi
di Amerika Serikat memberikan suaranya untuk Partai Demokrat dibanding
dengan 39 persen suara dari kaum Protestan. Sebagaimana yang diungkap Lipset:
"the Jewish ethic its emphasis on comunity and family welfare maybe
constrasted to the Protestant ethic with its stress on individualism .... The
former has obvious links to the principles espoused by American liberals
and the Democratic Party; the latters has clear relations with the values
subsumed under laisse- faire competitive individualism as expressed by
concervatives and the Republican Party".
5
Muhammad Asfar, “Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Kiai”, dalam Jurnal Ilmu Politik, No.
17, tahun 1997.
6
Kenneth D. wald and Samuel Shye, “Religious Influence in Electoral Behavior: The Role of
Institutional and Social Forces in Israel” dalam The Journal of Politics, Vol. 57. No. 2, 1995, hal.
495-507.
7
perilaku memilih. Studi voting behavior di Eropa pada dekade 1970-an
menunjukkan bahwa wanita lebih suka mendukung partai borjuis daripada partai
sosialis, setuju dengan administrasi (birokrasi), menghindari pemihakan pada
ekstrim kiri maupun ekstrim kanan, dan mendukung partai moderat. Hanya saja,
studi voting behavior di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tidak terbukti
adanya persistensi pilihan kelompok wanita terhadap partai tertentu, meskipun
pola kecenderungan umum setiap Pemilu dapat dibedakan. Pada tahun 1952
misalnya, terdapat kecenderungan wanita mendukung Partai Republik dibanding
pria (29,8% wanita mengidentifikasi pada Partai Republik, dibanding pria yang
hanya 25,6%). Namun, sejak 1968, kecenderungan ini berubah. Dukungan wanita
mulai cenderung ke Partai Demokrat (48,4% wanita mengidentifikasi pada Partai
Demokrat dibanding pria yang hanya 43%). Dan puncak dukungan wanita yang
lebih cenderung ke Partai Liberal ini terlihat pada Pemilu 1972 (43,8% wanita
mengidentifikasi pada Partai Demokrat, 24,3% pada Partai Republik, sementara
31,9% mengaku independen). Setelah mengalami fluktuasi selama beberapa
periode, wanita mulai lebih ke Partai Demokrat.7
Mengapa dukungan wanita terhadap suatu partai politik tidak konsisten? Salah
satu penjelasannya adalah ketidaksukaan wanita terhadap isu-isu perang.
Sehingga, mereka akan lebih mendukung pada partai yang menghendaki
berakhirnya perang, termasuk pengurangan terhadap anggaran persenjataan.8
Betapapun begitu, ilmu politik tradisional umumnya menggambarkan hubungan
antara wanita dan perilaku memilih adalah sebagai berikut: tingkat kehadiran
dalam Pemilu rendah, cenderung memilih partai sayap kanan, sikapnya lebih
konservatif, lebih menyukai isu-isu moralis, cenderung mengikuti pilihan suami
dan orang tua, dan sebagainya.9
Berbagai penelitian mutakhir juga menunjukkan adanya preferensi politik
berdasarkan perbedaan seks atau gender. Penelitian Wilder di Pakistan
7
Laura W. Arnold and Herbert F. Weisberg, “Parenthood, Family Values, and the 1992
Presidential Election”, dalam American Politics Quarterly, Vol. 2, No. 2, 1996, hal. 194-220.
8
Uraian dan data lebih lengkap dari perilaku memilih wanita ini dapat dilihat pada Gerald Pomper,
op.cit., terutama bab “Sex, Voting and war”, hal. 42-89.
9
Lisa Tobegy, “Political Implication of Increasing Number of Women in the Labor Force”, dalam
Comparative Political Studies, a Quarterly Journal, Vol. 27, No. 2, 1994, hal. 211-240.
8
menemukan bukti adanya preferensi pilihan wanita yang lebih suka terhadap
partai Pakistan Muslim League (PML) faksi Nawaz Sharif. 10 Penelitian Rosenthal
menunjukkan adanya kesadaran gender yang cukup kuat di kalangan pemilih
wanita. Dari hasil survey yang ia lakukan terhadap 416 wanita pada tahun 1993, ia
akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa para pemilih wanita lebih suka
memilih kandidat sesama wanita.11 Bahkan, di antara wanita sendiri terdapat
perbedaan preferensi pilihan politik berdasarkan kesadaran gender. Penelitian
Cook menunjukkan, wanita yang mempunyai kesadaran feminisme cukup besar
berbeda dengan wanita yang kurang memiliki kesadaran feminisme dalam hal
sikap dan nilai politik, khususnya perbedaan dalam memilih kandidat dan pilihan
politiknya pada saat Pemilu.12
Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku memilih.
Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai
politik. Di beberapa negara, wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai
tertentu, sampai mampu bertahan beberapa abad. Kasus yang patut diangkat
adalah loyalitas yang begitu kuat terhadap Partai Demokrat dari pemilih yang
bertempat tinggal di wilayah Selatan Amerika Serikat. Penduduk di wilayah
Selatan, tanpa memperhatikan faktor etnis dan kelas, umumnya merupakan
pendukung tetap Partai Demokrat. Meskipun masyarakat New England pada
umumnya menjadi pendukung Partai Republik, namun di wilayah Selatan mereka
lebih mendukung Partai Demokrat.13
Penelitian Petterson dan Rose di Norwegia menunjukkan bahwa ikatan-
ikatan kedaerahan, seperti desa-kota, merupakan faktor yang cukup signifikan
dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang. 14 Ikatan kedaerahan
10
Andrew R. Wilder, “Changing Patterns of Punjab Politics in Pakistan: National Assembly
Election Results, 1988 and 1993”, dalam Asian Survey, vol. XXXV, No. 4, 1995, hal. 377-393.
11
Cindy Simon Rosenthal, “The Role of Gender in Descriptive Representation”, dalam Political
Research Quarterly, Vol. 48, No. 1, 1995, hal. 117-134.
12
Elizabeth Adell Cook, “Feminist Consciousness and Candidate Preference Among American
Women, 1972-1988”, dalam Political Behavior, Vol. 15, 1993, hal. 227.
13
Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, op.cit, hal. 205-206.
14
Per Arnt Pettersen and Lawrence E. Rose, “Participation in Local Politics in Norway: Some Do,
Some Don’t, Some Will, Some Won’t”, dalam Political Behavior, Vol. 18, No. 1, 1996.
9
terutama sangat kuat dalam mempengaruhi pilihan seseorang terhadap kandidat.
Penelitian Potoski menunjukkan bahwa para kandidat umumnya lebih diterima
dan dipilih oleh para pemilih yang berasal dari daerah yang sama. Dalam tulisan
klasiknya yang diterbitkan pada tahun 1949, Southern Politics, Key menyebut
perilaku memilih semacam ini sebagai localism, atau perilaku memilih friends
and neighbors. Begitu kuatnya posisi variabel kedaerahan ini, ketika melaporkan
penelitiannya, Potoski mengawali tulisannya sebagai berikut: “it is a political
axiom that candidates tend to poll better in their home areas than they do
elsewhere".15
Dalam berbagai ragam perbedaan dalam struktur sosial, yang paling tinggi
pengaruhnya terhadap perilaku politik adalah faktor kelas (status ekonomi),
terutama di hampir semua negara industri. Setelah melakukan penelitian di
beberapa negara (1981), Lipset menyimpulkan: "More than anything else the
party struggle is a conflict among class,.... the lower income groups vote mainly
for parties of the left, while the higher-income groups vote mainly for parties of
the right".
Di Eropa kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung
memberikan suara pada partai sosialis atau komunis, sedangkan kelompok
menengah dan atas menjadi pendukung partai konservatif. Di Amerika Serikat
meskipun tidak tergambar jelas, kelas menjadi basis dari partai politik.
Masyarakat kelas bawah dan kelas pekerja --biasanya lewat organisasi buruh--
cenderung ke Partai Demokrat, sedangkan kelas atas dan menengah --kecuali di
luar wilayah Selatan-- merupakan pendukung Partai Republik.16 Hal yang hampir
sama pernah dikemukakan oleh Milbrath, bahwa lingkungan kelas menengah-
bawah cenderung menghasilkan status changer (kaum Liberal), sementara
lingkungan kelas menengah-atas cenderung menghasilkan status defender (kaum
Konservatif).17
Namun, studi voting behavior yang lebih mutakhir -- terutama di Inggris--
menunjukkan fakta yang sebaliknya. Penelitian Anthony Health (1991) dan Mc.
15
Matthew Potoski, “ ‘Friends and Neighbors Voting’ in Gubernatorial and Senatorial Primaries”,
dalam Southeastern Political Review, Vol. 22, No. 3, 1994, hal. 543-548.
16
Arnold K. Sherman and Aliza Kolker, op.cit., hal. 199-202.
17
Milbrath, Political Participation (Chicago: Ron Mc.Nally and Co., 1965), hal. 5-38.
10
Allister (1990) menemukan bahwa pengaruh kelas --baik yang obyektif maupun
yang subyektif-- pada perilaku memilih di Inggris sangat kecil, lebih kecil dari
masalah-masalah perumahan, pendapatan dan rasa persatuan anggota.18 Temuan
yang sama juga terjadi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Afan Gaffar
menunjukkan bahwa pengaruh kelas dalam perilaku memilih di Indonesia tidak
begitu dominan. Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku politik antara
mereka yang masuk kategori orang kaya ataupun orang miskin; antara yang
memiliki tanah luas dan sedikit; antara yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang
dengan buruh tani, dan sebagainya19
2. Pendekatan Psikologis
18
Richard Rose dan Ian Mc. Allister, The Loyalities of Voters: A Lifetime Learning Model
(London and Newburry Park, CA: Sage, 1990).
19
Afan Gaffar, op.cit., hal. 159-174.
20
Richard G. Niemi and Herbert F. Weisberg, Controversies of Voting Behavior, (Washington
D.C.: a Division of Congressional quarterly Inc., 1984), hal. 9-12.
11
primer ataupun sekunder, itu yang memberi urunan pada perilaku memilih.
Tidakkah variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku memilih kalau
ada proses sosialisasi. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini, sosialisasilah
sebenarnya yang menentukan perilaku memilih (politik) seseorang, bukan
karakteristik sosiologis.
Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan
konsep psikologi -- terutama konsep sosialisasi dan sikap-- untuk menjelaskan
perilaku memilih. Menurut pendekatan ini para pemilih di Amerika Serikat
menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang
dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Sosialisasi
politik yang diterima seseorang pada masa kecil (baik di lingkungan keluarga
maupun pertemanan dan sekolah) misalnya, sangat mempengaruhi pilihan politik
mereka, khususnya pada saat pertama kali menentukan pilihan politik.21
Penganut pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang --sebagai
refleksi dari kepribadian seseorang-- merupakan variabel yang cukup menentukan
dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan
psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu
ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi
terhadap kandidat.22
Mengapa pendekatan psikologis menganggap sikap merupakan variabel
sentral dalam menjelaskan perilaku politik seseorang? Hal ini disebabkan oleh
fungsi sikap itu sendiri, yang menurut Greenstein mempunyai tiga fungsi. 23
Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu
obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut.
Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya, seseorang bersikap
tertentu merupakan akibat dari keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama
dengan tokoh yang disegani atau kelompok panutan. Ketiga, sikap merupakan
fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan
21
Mark N. Franklin, “Voting Behavior” dalam Seymour Martin Lipset (ed.), The Encyclopedia of
Democracy, Volume IV (Washington, D.C.: Congressional Quarterly Inc., 1995), hal. 1346-1347.
22
Richard G. Niemi and Herbert F. Weisberg, op.cit., hal. 12-13.
23
Lihat Greenstein, Personal and Politics (Chicago: Morkham Publishing, 1969).
12
upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud
mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) dan eksternalisasi diri seperti
proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan identifikasi.
Namun sikap bukanlah suatu yang bersifat asal jadi, tetapi terbentuk
melalui proses yang panjang. Mulai baru lahir sampai dewasa. Pada tahap
pertama, informasi pembentukan sikap berkembang pada masa anak-anak. Anak-
anak mulai mempersonifikasikan politik. Fase ini merupakan proses belajar
keluarga. Anak-anak belajar pada orang tuanya tentang bagaimana perasaan
mereka terhadap pemimpin-pemimpin politik; bagaimana orang tua mereka
menganggap isu-isu politik, dan sebagainya. Tahap kedua adalah bagaimana sikap
politik dibentuk pada saat menginjak dewasa ketika menghadapi situasi di luar
keluarga, seperti di sekolah, kelompok/teman sebaya, dan sebagainya. Tahap
ketiga adalah bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan
seperti pekerjaan, gereja, partai politik, dan asosiasi-asosiasi yang lain.24
Melalui proses sosialisasi inilah kemudian berkembang ikatan psikologis
yang kuat antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik,
yang berupa simpati terhadap partai politik. Ikatan psikologis inilah yang
kemudian dikenal sebagai identifikasi partai. Bagi penganut pendekatan
psikologis, konsep identifikasi partai ini dijadikan variabel sentral untuk
menjelaskan perilaku memilih seseorang. Sebagaimana yang diakui oleh
Czudnowski, "This aproach also particularly adequate for the analysis of voting
in the United States, where 'party identification' has been found to be the single
most impartant variable determinising voting preferences”. 25
Hanya saja, identifikasi di sini berbeda dengan voting. Sebab, identifikasi
partai lebih merujuk pada pengertian psikologis, yang ada dalam kontruksi dalam
pikiran manusia dan tidak dapat diobservasi secara langsung, sementara voting
merupakan tindakan yang jelas dan dapat diobservasi secara langsung. Di samping
itu, seperti yang ditulis oleh Augus Campbell dkk, identifikasi partai lebih sebagai
"a psychological identification, which can persist without legal recognition or
24
David Apter, Pengatar Analisa Politik (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 262-267.
25
Moshe M. Czudnowski, Comparing Political Behavior (London; Sage Publication, Inc., 1976).
Hal. 76.
13
evidence of formal membership and even without a consistent record of party
support.26
Lebih rinci, David Denver membedakan identifikasi partai dengan voting
dalam tiga hal berikut:
26
Andi Alifian Mallarangeng, Contextual Analysis on Indonesian Electoral Behavior, dissertation
(Dekalb, Illinois: Departemen of Political Science, Northern Illinois University, 1997), hal.33.
27
David Denver, Election and Voting Behavior in Britain (London: Philip Allan Published, 1989),
hal. 27-28.
14
Betapapun pendekatan psikologis relatif banyak pengikutnya, bukan
berarti pendekatan ini lepas dari kritik. Para pengkritik mempersoalkan hubungan
antara sikap dan perilaku. Apakah benar sikap seseorang mempengaruhi
perilakunya? Sebab belum tentu orang yang sikapnya menyukai partai tertentu
atau kandidat tertentu dalam memilih nanti akan memilih sesuai dengan posisi
sikapnya. Dalam banyak kasus, mereka yang tidak mendukung rasisme namun
berperilaku seperti seorang rasis. Disamping itu benarkah dalam menjelaskan
perilaku seseorang itu dapat dihubungkan secara langsung dengan perilaku
politik? Tidakkah ada variabel-variabel perantara yang justru lebih bisa
menjelaskan? Misalnya, dalam banyak kasus, para ahli psikologi sering
menggunakan teori A.H. Maslow tentang hirarkhi kebutuhan manusia untuk
menjelaskan perilaku politik seseorang, padahal dalam realitas sulit ditemui --atau
secara konseptual sukar dipahami-- hubungan antara perilaku aktual dengan
konsep kebutuhan tanpa meletakkan konsep antara seperti keinginan misalnya. 28
Disamping itu, dalam berbagai penelitian sering terjadi kesalahan
pengukuran terhadap konsep identifikasi partai. Akibatnya, stabilitas variabel
identifikasi partai sebagai penjelas perilaku memilih sering diperdebatkan. 29
Persoalan pengukuran variabel identifikasi partai terutama terlihat dengan adanya
perbedaan mendasar antara National Election Studies (NES) dengan Gallup. NES
secara tradisional mengukur identifikasi partai dengan mengajukan pertanyaan
tentang identifikasi partai seserang pada rentang waktu yang cukup panjang,
sedang Gallup mengukur identifikasi partai dengan mengajukan pertanyaan
tentang identifikasi partai seseorang pada masa kini atau saat penelitian
dilakukan.30
Hanya saja, beberapa penelitian mutakhir menunjukkan menurunnya
pengaruh identifikasi dalam menentukan pilihan pemilih. Penelitian Bowler dan
Lanoue di Kanada pada dekade 1990-an menunjukkan menurunnya pengaruh
28
Christian Bay, “Politic and Pseudopolitics: A Critical Evaluation of Same Behavior Literature”,
dalam Heinz Eulau (ed.), Behavioralism in Political Sciencet., hal. 109-137.
29
Donald Philip Green and Bradley Palmquist, “How Stable is Party Identification?”, dalam
Political Behavior, Vol. 16, No. 4, 1994, hal. 437-466.
30
Charles H. Franklin, “Measurement and the Dynamics of Party Identification”, dalam Political
Behavior, vol. 11, No. 3, 1992, hal. 297-309.
15
identifikasi --ia menggunakan istilah loyalitas-- partai.31 Penelitian Goldberg di
Israel menunjukkan temuan yang lebih ekstrem, yakni semakin melemahnya
peranan identifikasi partai dan menguatnya peranan variabel penilaian terhadap
kandidat. Bahkan, untuk menggambarkan betapa rapuhnya peranan identifikasi
partai pada Pemilu 1994 di Israel, ia memberi anak judul dalam tulisannya: a
decline of party identification.32
3. Pendekatan Rasional
31
Shaun Bowler and David J. Lanoue, “New Party Challenges and Partisan Change: The Effects
of Party Competition on Party Loyalty”, dalam Political Behavior, Vol. 18, No. 4, 1996, hal. 327-
343.
32
Giora Goldberg, “ Trade Union and Party Politics in Israel: A Decline of Party Identification”,
dalam The Journal of Social, Political and Econimic Studies, Vol. 23. No. 1, 1998, hal. 53-73.
16
pekerjaan, status sosial dan ekonomi yang sama selama dua puluh tahun, tetapi
memberikan suara yang tidak sama pada setiap Pemilu.
Itu berarti, ada variabel-variabel lain yang menentukan atau ikut
menentukan dalam mempengaruhi perilaku memilih seseorang. Ada faktor-faktor
situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang.
Dengan begitu, para pemilih tidak hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya
terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Faktor-faktor
situasional itu bisa merupakan isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan.
Secara demikian, penjelasan-penjelasan perilaku memilih tidaklah harus
permanen --seperti karakteristik-karakteristik sosiologis dan identifikasi partai--
tetapi berubah- ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa-peristiwa dramatik yang
menyangkut persoalan-persoalan mendasar. Dengan begitu, isu-isu politik
menjadi pertimbangan yang penting. Para pemilih akan menentukan pilihan
berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan.
Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan rasional. Niemi dan Wiesberg meringkaskan model ini sebagai
berikut:
The other model of voting that become popular is a rational voter model.
According to this model, voters decide whether or not to vote and for which
candidate to vote on some rational basis --usually on the basis of which action
gives them greater expected benefits. They vote only if they perceive greater
gains from voting than the cost (mainly in time). In the usual formulation,
they vote for the candidat closest to them on the issues.
17
kemaslakhatan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian atau kemudlaratan
yang sekecil-kecilnya.
Secara demikian, perilaku memilih berdasarkan pertimbangan rasional
tidak hanya berupa memilih alternatif yang paling menguntungkan (maximum
gained) atau mendatangkan kerugian yang paling sedikit. Tetapi juga dalam
memilih alternatif yang menimbulkan resiko yang paling kecil (least risk), yang
penting mendahulukan selamat.33 Dengan begitu, diasumsikan para pemilih
mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang diajukan. Begitu juga
mampu menilai calon (kandidat) yang ditampilkan. Penilaian rasional terhadap isu
politik atau kandidat ini bisa didasarkan pada jabatan, informasi, pribadi yang
populer karena prestasi dibidang masing-masing seperti seni, olah raga, film,
organisasi, politik, dan semacamnya.
Him Melweit dan koleganya menyebutkan sebagai "Consumer Model" of
party choice, bahwa perilaku memilih merupakan pengambilan keputusan yang
bersifat instant, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda
dengan pengambilan keputusan-keputusan lain. Mereka mencatat bahwa "same
express hope that the voters, loosened from traditional partisan attachment, will
be able to exercise more rational choice based on the thoughtful consideration of
the issues".34
Hubungan isu-isu politik dan penilaian kandidat dengan perilaku memilih
akan tampak lebih jelas dengan melihat hasil penelitian Pomper di Amerika
Serikat. Dengan membandingkan tiga kali hasil penelitiannya pada Pemilu 1954,
1964, 1972, Pomper mengajukan tiga kesimpulan. Pertama, hubungan antara
variabel variabel sosio-ekonomi dengan sikap memilih semakin melemah dari
Pemilu ke Pemilu, dan turun sampai tingkat yang rendah pada 1972. Faktor-faktor
demografis ketika dihubungkan dengan sikap pemilih juga mengalami hal yang
sama. Kedua, posisi isu-isu politik dalam menentukan voting meningkat secara
tajam, baik dampaknya secara langsung terhadap pilihan pemilih maupun secara
tidak langsung melalui pemilihan calon kandidat. Ketiga, terjadi penurunan
pengaruh identifikasi partai terhadap pilihan pemilih secara terus menerus mulai
33
Lihat tulisan Ramlan Surbakti, “Memilih secara Rasional”, harian sore Surabaya Post, 1992.
34
Arnold K. Sherman dan aliza Kolker, op.cit., hal. 202.
18
dari Pemilu 1956, 1964 sampai puncaknya pada Pemilu 1972. Lebih jelasnya,
lihat gambar 1,2 dan 3 berikut:35
.306
FSPP FPI
.679
.505
.370
RSPP RPI
ISSI .114 CE
RV
35
Dalam menjelaskan perilaku memilih di Amerika Serikat, Pomper memakai 6 variabel penjelas:
Family Socioeconomic Partisan Predisposition (FSPP); Family Party Identification (FPI);
Responden’s Socioeconomic Partisan Predisposition (RSPP); Responden’s Party Identification
(RPI); Partisan Issues Index (ISSI); Candidate Avaluation (CE); dan Respondent’s Vote (RV).
Lihat Gerald Pomper, op.cit., hal. 198-208.
19
Gambar 2: Model Kausal Pemilihan Presiden 1964
.336
FSPP FPI
.705
.505
.215
RSPP RPI
ISSI .203 CE
RV
Gambar 3: Model Kausal Pemilihan Presiden 1972
.285
FSPP FPI
.044
.458
.116
RSPP RPI
ISSI .312 CE
RV
20
Dari gambar di atas dapat terbaca bahw koefisien variabel indeks isu-isu
partisan mengalami kenaikan dari Pemilu ke Pemilu. Bahkan pada gambar 2 dan 3
terlihat bahwa koefisien variabel evaluasi kandidat ternyata lebih besar daripada
koefisien variabel identifikasi partai. Ini berarti, variabel penilaian kandidat lebih
besar sumbangannya dalam menentukan perilaku memilih dibanding dengan
variabel identifikasi partai.
Meskipun begitu, penilaian terhadap isu dan kandidat bukanlah sesuatu
yang terjadi secara tiba-tiba, namun sering dipengaruhi oleh informasi yang
diterima pemilih melalui media massa yang diikutinya. Berita dan komentar-
komentar yang dimuat di media massa, khususnya berita atau komentar-komentar
negatif, seringkali mempengaruhi penilaian terhadap kandidat, posisi kandidat
dalam suatu isu, dan preferensi kandidat dalam suatu kebijakan tertentu, termasuk
evaluasi terhadap perkembangan ekonomi nasional.36
Sementara itu, evaluasi terhadap kandidat sangat dipengaruhi oleh sejarah
dan pengalaman masa lalu kandidat baik dalam kehidupan bernegara maupun
bermasyarakat. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para pemilih untuk
menilai seorang kandidat, khususnya bagi para pejabat yang hendak mencalonkan
kembali, di antaranya kualitas, kompetensi dan integritas kandidat. Para pejabat
yang pada saat memegang jabatan tidak menunjukkan kualitas, kompetensi dan
integritas pribadi yang memadai, mereka tidak akan terpilih kembali.37 Hanya,
penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa di antara berbagai variabel yang
mempengaruhi penilaian pemilih terhadap kandidat, variabel skandal mempunyai
pengaruh yang paling signifikan. Penelitian di Amerika Serikat misalnya,
menunjukkan bahwa skandal yang dilakukan kandidat – terutama berkaitan
dengan skandal ketidaksetiaan dalam perkawinan (marital infidelity) dan
36
Marc J. Hetherington, “The Media’s Role in Farming Voters, National Economic Evaluation in
1992”, dalam American Journal of Political Science, Vol. 40, No. 2, 1996, hal. 327-395; dan Craig
Leonard Brian and Martin P. Wattenberg, “Campaign Issue Knowledge and Salience: Comparing
Reception from TV Commersials, TV News, and News Paper”, dalam American Journal of
Political Science, Vol. 40, No. 1, 1996, hal. 129-141.
37
Jeffery J. Mondak, “Competence, Integrity, and the Electoral Success of Congressional
Incumbents”, dalam The Journal of Politics, Vol. 57, No. 4, 1995, hal. 1043-1069.
21
pengelakan atau penggelapan pajak (tax evasion)-- sangat berpengaruh buruk pada
penilaian terhadap kandidat.38
Dalam khasanah teori voting behavior, penjelasan pilihan pemilih
berdasarkan petimbangan isu dan kandidat di atas juga dikenal sebagai teori
spasial. Teori ini gasumsikan bahwa para pemilih memilih kandidat yang paling
mewakili posisi kebijakan dan kandidat yang dapat memaksimalkan suara mereka.
Disamping itu, dalam kaitannya dengan isu-isu politik, teori spasial juga
mengasumsikan bahwa isu-isu politik dapat direpresentasikan sebagai seperangkat
posisi kebijakan yang benar-benar nyata. Sebab itu, ketika seseorang menanggapi
terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang suatu isu dalam suatu penelitian (survey),
mereka diharapkan menyatakan posisi kebijakannya dalam kaitannya dengan isu-
isu tersebut. Pada sisi lain, isu juga merepresentasikan simbol. Oleh karena itu,
respon seseorang terhadap suatu pertanyaan yang berhubungan dengan suatu isu
dianggap untuk menyatakan apakah mereka mempunyai perasaan positip atau
negatip terhadap simbol tersebut, yang dapat ditunjukkan dengan pertanyaan:
seberapa dekat perasaan mereka terhadap suatu isu.39
Dalam terminologi Hucfeldt dan Carmines, penjelasan perilaku memilih
yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan kepentingan diri
di atas disebut sebagai tradisi ekonomi politik (political economy tradition).40
Tradisi ekonomi politik, sebagaimana teori-teori spasial dan pendekatan rasional
lainnya, dikembangkan dari asumsi teoritis yang dibangun oleh Anthony Downs
(1957) tentang economic theory of democracy. Dalam pandangan Downs, jika
seseorang bertindak rasional berdasarkan kepentingan dirinya, maka kemungkinan
besar mereka tidak memberikan suaranya pada saat Pemilu. Namun, sebagaimana
yang digambarkan pada bab barikutnya, tesis Downs ini banyak dikritik terutama
berkaitan dan data empirik tingginya tingkat kehadiran pemilih dan instrumen
pengukurnya yang dinilai kurang tepat.
38
Carolyn L. Funk, “The Impact of Scandal on Candidate Evaluations: An Experimental Test of
the Role of Candidate Traits”, dalam Political Behavior, Vol. 18. No. 1, 1996.
39
Torben Iversen, “Political Leadership and Representation in West European Democracies: A
Test of Three Models of Voting”, dalam American Journal of Political Science, Vol. 38, No. 1,
1994, hal. 45-74.
40
Edward G. Carmines and Robert Hucfeldt, loc.cit.
22
Betapapun penjelasan-penjelasan yang didasarkan pada isu-isu di atas
belakangan ini lebih dapat menjelaskan fenomena perilaku memilih di banyak
negara, khususnya di negara-negara yang sudah maju dan tingkat demokrasinya
sudah mapan,41 namun kritik terhadap pendekatan ini juga tidak sedikit. Pertama,
asumsi-asumsi pendekatan ini dinilai sangat tidak realistik, terutama berkaitan
dengan pengetahuan manusia dan motivasinya. Dalam realitasnya, tidak semua
pemilih mempunyai akses yang sama terhadap informasi, sehingga mereka dapat
menghitung keuntungan dan kerugian apabila memilih partai atau kandidat
tertentu. Di samping itu, tidak semua pemilih memiliki informasi yang sama
tentang isu-isu politik yang sedang berkembang, sehingga tidak bisa menilai
posisi kandidat atau partai politik berdasarkan isu-isu politik yang diangkatnya.
Kedua, berkaitan dengan keberatan yang dikemukakan oleh para
pendukung "model politik simbolik" seperti Edelman (1967), Sears dkk. (1979,
Marcus (1988), Rabinovits dan MacDonald (1989), dan sebagainya. Gagasan
utama pendekatan ini adalah, bahwa para pemilih memilih merespon simbol-
simbol politik berdasarkan pertimbangan emosional dan perasaan, serta
menghindarkan diri dari perhitungan-perhitungan yang bersifat rasional tentang
informasi kandidat dan posisi kebijakannya. Banyak pemilih yang memilih partai
politik atau kandidat berdasarkan pertimbangan emosional dan perasaan, tanpa
memperhitungkan isu- isu politik yang diangkat kandidat atau partai tersebut
dalam suatu kampanye pemiliu.42
Ketiga, teori-teori spasial pada umumnya mengalami anomali di tingkat
empiris terutama berkaitan dengan karakteritik teorinya bahwa partai politik dan
kandidat cenderung mengambil posisi kebijakan yang lebih ekstrim daripada
umumnya kebijakan para pemilihnya. Studi-studi yang dilakukan oleh Robinowitz
(1978), Inglehart (1984), Dalton (1985), Robinowitz dan MacDonald (1988),
Holmberg (1988), Robinowitz, MacDonald dan Listhaug (1991), semuanya
menemukan hasil yang sama: adanya bentuk-bentuk perbedaan sikap antara
41
Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan adanya pergeseran bentuk perilaku memilih, dari
yang didasarkan pada pertimbangan sosiologis dan identifikasi partai ke arah pertimbangan
berdasarkan isu, lihat Russell J. Dalton, “Comparative Politics: Micro-behavioral Perspective”,
dalam Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit., hal. 336-396.
42
Torben Iverson, loc.cit.
23
pemilih dan elit. Bahkan, hasil penelitian Listhaug, MacDonald dan Robinowitz
(1991) menunjukkan adanya --apa yang mereka sebut sebagai-- suatu empty
centre, yaitu adanya kelompok partai di dalam suatu wilayah yang keberadaan
posisinya di luar posisi kebanyakan pemilih.43
Hal lain yang juga perlu dicatat adanya perbedaan pengaruh di antara isu
terhadap perilaku politik. Dalam realitas politik, ada beragam isu sebagai
pertimbangan seseorang menentukan pilihan. Ada isu yang berkaitan dengan
peningkatan pajak, perbaikan kesejahteraan rakyat, ras, gender, agama, dan
sebagainya. Seorang pemilih biasanya responnya tidak sama terhadap isu-isu
tersebut, sehingga pengaruh masing-masing isu terhadap perilaku memilih juga
tidak sama. Di negara-negara tertentu, ada suatu isu yang pengaruhnya cenderung
menguat, sementara isu yang lain cenderung melemah. Penelitian Abramowitz di
Amerika Serikat misalnya, menunjukkan menurunnya pengaruh isu rasial dan
agama, padahal beberapa dekade lalu kedua variabel ini pengaruhnya sangat kuat
dalam menentukan perilaku memilih.44
Disamping kritik-kritik di atas, terutama untuk kasus Indonesia, masih ada
beberapa pertanyaan yang belum terjawab secara memuaskan. Persoalan utama
berasal dari asumsi pendekatan rasional itu sendiri, yang menganggap para
pemilih mempunyai informasi yang relatif akurat mengenai setiap alternatif yang
tersedia; dan menganggap para pemilih bebas dari tekanan sosial untuk
menyesuaikan diri dengan kehendak lingkungan. Dalam kenyataannya, tidak
semua pemilih mempunyai informasi yang memadai mengenai isu-isu politik dan
para kandidat yang diajukan OPP; begitu juga para pemilih sama sekali tidak
bebas dari tekanan lingkungan. Analogi kedua asumsi juga dapat dipersoalkan.
Apabila keuntungan dalam transaksi ekonomi secara langsung dan konkrit dapat
diketahui, tetapi transaksi atau pertukaran antara pemberi suara dan wakil; atau
keuntungan ketika memilih partai tertentu tidak dapat diketahui secara langsung
dan konkrit.
Para penganut pendekatan psikologis dan sosiologis tentu mempersoalkan
hubungan antara variabel-variabel dalam pendekatan politik-rasional itu dengan
43
Torben Iverson., loc.cit.
44
Alan I. Abramowitz, “Issue Evaluation Reconsidered: Racial Attitudes and Partisanship in the
U.S. Electorate”, dalam American Journal of Political Science, Vol. 38, No. 1, 1994, hal. 1-24.
24
perilaku memilih. Benarkah isu-isu politik dan penilaian kandidat itu sebagai
suatu variabel bebas? Tidakkah, bisa jadi, pilihan terhadap isu politik dan
penilaian terhadap kandidat itu juga dipengaruhi oleh identifikasi partai atau
karakteristik-karakteristik sosiologis? Dan, bagaimana mengetahui dengan pasti
bahwa perilaku memilih itu dipengaruhi oleh mobilisasi atau paksaan (ancaman)?
Pada sisi lain, faktor-faktor politik juga mempunyai pengaruh yang
mengedepan dalam menentukan perilaku memilih seseorang, terutama untuk
menjelaskan perilaku politik di negara-negara sedang berkembang yang
menampakkan model pemerintahan birokratik-otoriter, seperti negara Indonesia.
Faktor politis ini bisa berupa prosedur pelaksanaan Pemilu, aturan-aturan
permasalahannya, bisa juga berupa tekanan-tekanan struktural atau paksaan.
Misalnya, beberapa prosedur atau aturan Pemilu membatasi kelompok-kelompok
tertentu untuk bisa menggunakan hak politiknya. Orang-orang tahanan atau yang
secara politis dianggap musuh negara tidak diperbolehkan menggunakan hak
pilihnya. Di Indonesia, kebanyakan para bekas aktivis partai komunis atau
organisasi terlarang lainnya tidak diperbolehkan ikut Pemilu.
Tekanan-tekanan struktural atau paksaan dari pihak lain juga mempunyai
urunan dalam menentukan pilihan seseorang. Tekanan ini bisa dalam bentuk halus
(mobilisasi) dan dalam bentuk paksaan. Dalam bentuk mobilisasi, pilihan yang
dibuat didasarkan pada pengarahan yang diberikan oleh seorang tokoh dari
lingkungan terdekatnya --lingkungan tetangga, organisasi, pekerjaan atau
kelompok-kelompok lainnya-- yang tidak mungkin bisa ditolak. Dalam penjelasan
Lipset hal ini dimasukkan dalam kategori group pressures to vote dan cross
pressures. Dalam bentuk paksaan, pilihan yang dibuat disebabkan adanya
ancaman atau intimidasi oleh pihak lain.
Dalam Pemilu di Indonesia misalnya, paksaan yang muncul pada
umumnya dilakukan dalam tiga bentuk ancaman, yaitu ancaman administratif,
ekonomi dan ideologis. Ancaman administratif dikeluarkan oleh aparat
pemerintahan desa atau kelurahan dalam bentuk, misalnya, tidak akan memberi
pelayanan surat keterangan (KTP, pertanahan, surat kelakuan baik, surat kawin,
surat kenal lahir, dan sebagainya) kepada warga yang tidak memilih OPP tertentu.
Bentuk ancaman administratif ini tidak berupa ancaman secara verbal, tetapi
25
dalam bentuk perlakuan seperti menghindari atau mengabaikan orang tersebut,
atau memperlambat pelayanan. Konsekuensi ancaman ekonomi bagi yang tidak
memilih OPP tertentu adalah kehilangan pekerjaan pada sektor publik dan swasta
atau kehilangan tanah garapan. Konsekuensinya bisa menyebabkan hilangnya
sumber kehidupan. Bentuk baru dari ancaman ekonomi ini adalah tidak diberi
jabatan atau tugas yang jelas di suatu kantor atau tidak diikutsertakan dalam
berbagai kegiatan tambahan yang mendatangkan pendapatan ekstra.45 Pada
Pemilu 1971, cukup banyak orang memilih OPP tertentu karena takut dituduh
sebagai anggota atau simpatisan partai terlarang. Mengabaikan ancaman ideologis
semacam ini tidak hanya berakibat bagai dirinya sendiri tetapi juga bagi
keturunannya. Untuk itu, demi rasa aman, tidak bisa lain kecuali memilih OPP
tertentu. Dalam konteks semacam ini, seorang pemilih memilih partai politik
berdasarkan pertimbangan minimalisasi resiko ini tampaknya juga dapat
dimasukkan dalam penjelasan rasional.
45
Ramlan Surbakti, “Apakah Masih ada Paksaan Dalam Pemilu? Harian Surya, 1992
26
BAB 3
METODE PENELITIAN
27
Sampel penelitian adalah sebagian dari pemilih kabupaten Bondowoso yang dihitung
dengan menggunakan rumus:
N Z2 P (1-P)
n = -----------------------------
(N-1) d² + Z2 P (1-P)]
Dimana:
n = Besar sampel
N = Jumlah populasi
P = proporsi = 0,5
Z2 = Derajat kepercayaan 95%, maka Z adalah 1,96
d = presisi yang diinginkan dalam penelitian ini 5% (0,05)
Dari hasil penghitungan rumus di atas, maka sampel penelitian ini adalah 384 sampel.
Teknik pengambilan sampel penelitian yaitu dengan teknik Multistade Random Sampling,
dimana peneliti sebelumnya memilih sampel kecamatan, dari sampel kecamatan kemudian
dipilih sampel desa, dari sampel desa kemudian diambil sampel RT/RW secara sistimatik. Untuk
pembagian sampel kecamatan bisa dilihat di bawa ini:
NAMA JUMLAH SAMPEL
NO KECAMATAN PEMILIH SAMPEL AKHIR
1 Binakal 12843 8.25905 9
2 Bondowoso 56169 36.1211 35
3 Botolinggo 27083 17.4165 17
4 Cermee 35500 22.8293 22
5 Curahdami 24217 15.5734 16
6 Grujukan 28018 18.0178 18
7 Jambesari DS 26318 16.9245 16
8 Klabang 15613 10.0404 11
9 Maesan 35786 23.0132 23
10 Pakem 18465 11.8744 12
11 Prajekan 20191 12.9844 13
12 Pujer 32760 21.0672 21
13 Sempol 8827 5.67645 8
14 Sukosari 12060 7.75552 9
15 Sumberwringin 26249 16.8802 16
16 Taman krocok 13179 8.47513 9
28
17 Tamanan 28146 18.1001 18
18 Tapen 26628 17.1239 17
19 Tegalampel 19553 12.5741 13
20 Tenggarang 30754 19.7772 19
21 Tlogosari 35904 23.0891 22
22 Wonosari 31135 20.0222 20
23 Wringin 31730 20.4049 20
TOTAL 597128 384 384
29
3.7. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif. Data yang telah terkumpul
dilakukan editing (penyuntingan), hal ini untuk menghindari terjadinya kesalahan. Setelah itu
dilakukan koding (penandaan) serta entry data sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian
sehingga mempermudah untuk analisis. Data dianalisis dengan bantuan perangkat computer
program SPSS. Penyajian data dalam bentuk terks atau narasi, table dan tabulasi silang atau
bagan.
30
BAB 4
PERILAKU MEMILIH
Kecamatan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Binakal 10 2.6 2.6 2.6
Bondowoso 34 8.9 8.9 11.5
Botolingo 16 4.2 4.2 15.6
Cermee 22 5.7 5.7 21.4
Curahdami 16 4.2 4.2 25.5
Grujukan 18 4.7 4.7 30.2
Jambesari 16 4.2 4.2 34.4
Klabang 10 2.6 2.6 37.0
Maesan 22 5.7 5.7 42.7
Pakem 12 3.1 3.1 45.8
Prajekan 14 3.6 3.6 49.5
Pujer 20 5.2 5.2 54.7
Sempol 10 2.6 2.6 57.3
Sukosari 12 3.1 3.1 60.4
Sumberwringin 16 4.2 4.2 64.6
Taman Krocok 10 2.6 2.6 67.2
Tamanan 18 4.7 4.7 71.9
Tegalampel 12 3.1 3.1 75.0
Tenggarang 18 4.7 4.7 79.7
Tlogosari 22 5.7 5.7 85.4
Wonosari 20 5.2 5.2 90.6
Wringin 36 9.4 9.4 100.0
Total 384 100.0 100.0
31
4.1.2 Distribusi Sampel Perdapil
Sampel dapil diambil juga secara proporsional berdasarkan jumlah
pemilih di masing-masing kecamatan. Dapil V adalah dapil dengan sampel
terbesar, yaitu sebanyak 96 responden (25%).
Dapil
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Dapil I 72 18.8 18.8 18.8
Dapil II 62 16.1 16.1 34.9
Dapil III 80 20.8 20.8 55.7
Dapil IV 74 19.3 19.3 75.0
Dapil V 96 25.0 25.0 100.0
Total 384 100.0 100.0
Dari sisi umur, kebanyakan responden yang terjaring berumur antara 40-
49 tahun, yaitu sebanyak 39,1 persen. Sedikit dibawahnya adalah responden
yang berumur 20-29 tahun sebanyak 26,0 persen. Sisanya, berumur di atas 50
tahun sebanyak 13 persen, 30-39 tahun sebanyak 20,3 persen, kurang dari 20
tahun 1,6 persen. Dari sisi umur ini, komposisi responden memang
menggelembung di tengah, yaitu berkisar pada umur 30-49 tahun. Sementara
pemilih pemula jumlah sangat terbatas. Hanya sekitar 2 persen pemilih pemula,
sehingga tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan jumlah pemilih secara
keseluruhan.
Umur Resp
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 20 tahun 6 1.6 1.6 1.6
20-29 tahun 100 26.0 26.0 27.6
30-39 tahun 78 20.3 20.3 47.9
40-49 tahun 150 39.1 39.1 87.0
> 50 tahun 50 13.0 13.0 100.0
Total 384 100.0 100.0
32
4.2 Distribusi Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 264 68.8 68.8 68.8
Perempuan 120 31.3 31.3 100.0
Total 384 100.0 100.0
33
Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Sekolah 6 1.6 1.6 1.6
SD dan sederajat 28 7.3 7.3 8.9
SLTP dan sederajat 62 16.1 16.1 25.0
SLTA dan sederajat 212 55.2 55.2 80.2
PT dan sederajat 76 19.8 19.8 100.0
Total 384 100.0 100.0
34
Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Pegawai Negeri Sipil 70 18.2 18.2 18.2
Pengusaha 12 3.1 3.1 21.4
Pedagang 66 17.2 17.2 38.5
Karyawan Swasta 44 11.5 11.5 50.0
Petani 66 17.2 17.2 67.2
Sektor Informal 18 4.7 4.7 71.9
Lain-lain 108 28.1 28.1 100.0
Total 384 100.0 100.0
Penghasilan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 500.000 22 5.7 5.7 5.7
500.000 -< 1.000.000 60 15.6 15.6 21.4
1.000.000 -< 1.500.000 56 14.6 14.6 35.9
1.500.000 -< 2.000.000 148 38.5 38.5 74.5
> 2.000.000 98 25.5 25.5 100.0
Total 384 100.0 100.0
35
4.2. PERILAKU MEMILIH
Partisipasi politik warga Bondowoso memang tidak begitu besar, dari 384
responden, ketika ditanya apakah mereka ke depan hadir pada pemilihan bupati,
partai maupun presiden, hanya 77,3 persen yang menjawab hadir untuk
mengikuti pilihan, sedangkan 22,7 persennya tidak hadir. Ketidakhadiran ini
sebagian besar disebabkan oleh ketidakpedulian mereka terhadap pemilu,
bahwa pemilu sudah tidak merubah apapun. sebagian besar lagi menganggap
bahwa mereka harus bekerja sehingga mereka kesulitan untuk mengikuti pilihan,
mengingat biasanya pilihan dilaksanakan pada hari normal bukan pada saat
liburan nasional.
hadir 22,7
0 10 20 30 40 50 60 70 80
36
masyarakat sudah bosan dengan model kampanye pengerahan massa yang
selama ini terjadi. Karena biasanya pada saat kampanye dengan pengerahan
massa ada beberapa kejadian yang tidak diinginkan oleh masyarakat, seperti
bentrok antar pendukung partai atau calon maupun merusak fasilitas-fasilitas
umum. Kalau dilihat kampanye dialogis dan door to door dijumlah sebesar 60
persen lebih, maka masyarakat menginginkan sebenarnya model kampanye yang
modern lebih mengedepankan penyampaian program dibandingkan hanya
sekedar pengerahan massa yang seolah-olah penghamburan atau foya-foya saja.
MODEL KAMPANYE
Lain-lain 0,5
Konfoi 30,7
Dialogis 34,4
0 5 10 15 20 25 30 35
37
MODEL KAMPANYE DIALOGIS
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Bingkisan Dikehendaki
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kaos 70 18.2 19.6 19.6
Jilbab/ Kerudung 50 13.0 14.0 33.5
Sarung 46 12.0 12.8 46.4
Tas 6 1.6 1.7 48.0
Topi 2 .5 .6 48.6
Sembako 172 44.8 48.0 96.6
Lain-lain 12 3.1 3.4 100.0
Total 358 93.2 100.0
Missing System 26 6.8
Total 384 100.0
38
Untuk model kampanye dengan model konfoi, sebagian besar
masyarakat menginginkan bahwa konfoi tidak hanya sekedar membawa
kendaraan kemudian mengitari setiap wilayah kampanye, tetapi mereka
menginginkan bahwa ketika kampanye, partai atau calon juga harus
meninformasikan mengenai program-program mereka kedepan melalui
pembagian brosur pada saat kampanye, yaitu sebesar 46,4 persen, dan 24
persen dibarengi dengan bawa music ketika berkonfoi.
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Bawa Kendaraan 66 17.2 17.2 17.2
Jalan 48 12.5 12.5 29.7
Konfoi sambil
178 46.4 46.4 76.0
bawa brosur
Konfoi sambil
92 24.0 24.0 100.0
bawa musik
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Bertemu & Perkenalan
104 27.1 27.1 27.1
Program
Mendengarkan masalah
202 52.6 52.6 79.7
& keluhan warga
Bertamu & membawa
50 13.0 13.0 92.7
oleh2/ sembako
Bertamu & Membawa
28 7.3 7.3 100.0
Uang
Total 384 100.0 100.0
39
Media relevan yang digunakan untuk kampanye adalah TV sebasar 49
persen, disusul radio 16,1 persen, dan surat kabar 15,1 persen. Tingginya media
kampanye dengan TV dibandingkan dengan radio atau surat kabar
mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat ketika pingin mendegarkan
program atau calon tidak hanya melalui suara saja atau berita saja, tetapi
masyarakat menginginkan penampilan mereka juga. media Tv merupakan media
yang paling lengkap dalam penyampaian program, hal ini bisa dimengerti karena
media TV, para caleg atau cabup bisa dilihat langsung oleh masyarakat dan
masyarakat bisa juga mengetahui program yang langsung disampaikan oleh para
caleg atau cabup tersebut.
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid TV 188 49.0 49.0 49.0
Radio 62 16.1 16.1 65.1
Surat Kabar 58 15.1 15.1 80.2
Tatap Muka 76 19.8 19.8 100.0
Total 384 100.0 100.0
40
Kampanye dengan hiburan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Suka 316 82.3 82.3 82.3
Tidak Suka 68 17.7 17.7 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Musik Dangdut 208 54.2 65.0 65.0
Musik Pop 42 10.9 13.1 78.1
Musik Qosidah 18 4.7 5.6 83.8
Lawakan 22 5.7 6.9 90.6
Film (layar tancap) 12 3.1 3.8 94.4
Ludruk/ Ketoprak 14 3.6 4.4 98.8
Campursari 4 1.0 1.3 100.0
Total 320 83.3 100.0
Missing System 64 16.7
Total 384 100.0
Profesi juru kampanye (jurkam) juga sangat penting pada saat kampanye,
ketika jurkam tidak dikenal atau tidak dikehendaki oleh masyarakat, maka bisa
saja ketika kampanye tidak begitu banyak masyarakat yang dating, apalagi ketika
jurkam yang menyampaikan kurang familiar di masyarakat atau bukan tokoh di
41
masyarakat, maka bisa saja program yang ditawarkan tidak begitu menarik bagi
masyarakat. Adapun profesi jurkam yang paling banyak diinginkan oleh
masyarakat adalah jurkam harus seorang kiai sebesar 37 persen, kemudiaan
disusul tokoh pemerintah (seperti bupati, wabup) sebasar 24,5 persen, dan
kemudian seorang cendekiawan (dosen,guru, ustad) sebesar 13 persen. Kedepan
hendaknya seorang caleg, capres atau cabup ketika menunjuk jurkam paling
tidak harus berlatarbelakang ketiga profesi tersebut diatas, agar apa yang ingin
disampaikan dan tujuan yang hendak dicapai bisa terwujut.
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kyai 142 37.0 37.0 37.0
Cendekiawan 50 13.0 13.0 50.0
Da'i 16 4.2 4.2 54.2
Tokoh Pemerintah 94 24.5 24.5 78.6
Pengusaha 14 3.6 3.6 82.3
Bintang Film 12 3.1 3.1 85.4
Penyanyi 36 9.4 9.4 94.8
Pelawak 20 5.2 5.2 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Caleg yang Diusung 250 65.1 65.1 65.1
Keberadaan Partai 134 34.9 34.9 100.0
Total 384 100.0 100.0
42
Beberapa masyarakat lagi ternyata memilih caleg beserta partainya
sebesar 44,3 persen dan tidak memilih caleg tetapi lebih hanya memilih partai
saja sebesar 55,7 persen.
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tetap memilih caleg
170 44.3 44.3 44.3
dengan partainya
Tidak memilih caleg
tersebut/ memilih 214 55.7 55.7 100.0
partai lain
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tetap memilih partai
72 18.8 18.8 18.8
dengan caleg tsb
Tidak memilih partai
48 12.5 12.5 31.3
tersebut
Tetap memilih partai
namun memilih 264 68.8 68.8 100.0
caleg lain
Total 384 100.0 100.0
43
PERTIMBANGAN MEMILIH PARTAI/CALEG
Kinerja Aleg/cabup/partai 4,2
Calon yang diajukan 6,3
Jurkam 1
Kinerja Partai 6,3
Uang 2,6
Ideologi Partainya 2,6
Reformis 1
Jurkam yang ditampilkan 3,1
Program yang ditawarkan 20,8
Isu yang diangkat 12
Caleg yang ditampilkan 9,9
Pimpinan/ Tokoh Partai/Tokoh ormas 10,9
Fatwa Ulama 13
Agama 5,2
0 5 10 15 20 25
44
sementara 10,5 persen lainnya mengaku tidak memperhitungkan kualitas calon.
Faktor lain yang dijadikan pertimbangan sebagian besar responden untuk
menentukan pilihan cabup adalah program yang ditawarkan calon, yaitu
sebanyak 78 persen. Selanjutnya, diikuti responden yang mendasarkan pilihan
ketokohannya (65 persen), isu yang diangkat (43 persen), persamaan partai (23
persen), persamaan ormas (20 persen), jurkam yang ditampilkan atau para elit
diseputar calon (17 persen), fatwa ulama (17 persen), ikut teman (10 persen),
dan ikut orang tua (5 persen). Lebih lengkap lihat tabel 4 berikut:
45
dalam menentukan pilihan politik, khususnya untuk pilkada. Padahal, untuk
pemilu legislative, penggunaan pertimbangan rasional ini relatif kecil.
46
Ketiga, para pemilih yang berlatarpendidikan tinggi umumnya lebih
menempatkan kualitas calon sebagai pertimbangan menentukan pilihan cabup
ketimbang pemilih yang berpendikan renda. Misalnya, responden yang bergelar
sarjana atau pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi hampir 92
persen mengaku menggunakan variabel kualitas calon sebagai dasar
pertimbangan untuk memilih cabup, sementara hal yang sama hanya diakui oleh
pemilih yang berlatarbelakang pendidikan SD.
47
menyebabkan para ahli voting behavior memasukkan variabel ini dalam
pendekatan rasional. Dalam banyak studi yang dilakukan di banyak negara
memang menunjukkan bahwa evaluasi pemilih terhadap kandidat didasarkan
pada isu-isu yang program yang ditawarkan kandidat tersebut. Oleh karena itu,
betapapun seseorang memilih berdasarkan variabel kualitas calon –atau bahkan
ketokohan sekalipun-- bukan tidak mungkin penilaian terhadap kandidat itu
dipengaruhi oleh posisi isu-isu yang diperjuangkan oleh kandidat tersebut
(Marcus and Philip E. Converse, 1988). Page dan Jones misalnya, setelah
mengamati hasil beberapa penelitian tentang voting behavior, sampai pada
kesimpulan: "overall evaluations of candidate do in fact affect perceptions of
candidates policy stands” (Page dan Jones, 1988).
Oleh karena itu, bisa dipahami jika variabel kedua yang menjadi dasar
pertimbangan bagi pemilih untuk memilih cabup adalah program yang
ditawarkan. Lebih dari 65 persen pemilih yang menggunakan variabel program
cabup sebagai dasar untuk menentukan pilihan. Data ini setidaknya menguatkan
kesimpulan bahwa para pemilih di perKabupatenan umumnya menggunakan
pertimbangan rasional dalam menentukan pilihan. Artinya, orang memilih cabup
banyak ditentukan oleh kesesuaian antara aspirasi politik pemilih dengan
program yang ditawarkan oleh cabup. Pengalaman studi studi voting behavior di
banyak negara menunjukkan, program yang ditawarkan kandidat menjadi daya
dorong utama untuk mengarahkan pilihan pemilih. Catatan Franklin
menyebutkan, salah satu pertimbangan kuat pemilih dalam menentukan pilihan
politiknya adalah preferensinya terhadap suatu kebijakan (Franklin, 1995).
48
variabel program dan isu-isu politik di Amerika Serikat cenderung mengalami
kenaikan dari Pemilu ke Pemilu, namun sumbangannya dalam mempengaruhi
pilihan pemilih masih di bawah variabel identifikasi partai (faktor psikologis).
49
pendidikan perguruan tinggi sangat mempertimbangkan program cabup sebagai
dasar penentukan pilihan politik, sementara hal yang sama hanya diakui oleh 69
persen responden yang menamatkan pendidikan SLTA, 58 persen responden
yang menamatkan pendidikan SLTP dan 47 persen responden yang hanya
menamatkan pendidikan SD atau SD tidak tamat. Data semacam ini sebenarnya
mudah dipahami. Sebab, semakin tinggi pendidikan ada kecenderungan semakin
terbekali dan terbiasa menggunakan piranti-piranti rasional dalam menganalisis
suatu persoalan.
50
menjadi pertimbangan memilih cabup adalah fatwa ulama. Jumlah responden
yang memilih ini memang tidak besar. Namun, perlu mendapat perhatian.
Artinya, ada 12 persen pemilih yang posisinya masih sangat labil, yang pilihan
politiknya bisa diombang-ambingkan oleh para ulama.
Pemahaman semacam ini penting baik bagi partai politik maupun cabup,
untuk menawarkan tokoh macam apa yang perlu ditampilkan oleh partai politik
sebagai cabup dalam pilkada. Termasuk, untuk mendekati tokoh-tokoh macam
apa yang perlu dirangkul agar bisa menjadi daya tarik bagi pemilih. Dalam situasi
politik yang serba tidak menentu seperti sekarang ini, dalam situasi dimana
masyarakat masih banyak yang kebingungan dalam menentukan pilihan
politiknya, peranan tokoh, baik di pusat maupun di daerah, sangat menentukan
dalam memberikan informasi, bimbingan, dan pengarahan terhadap pilihan
politik masyarakat. Dalam suatu kehidupan sosial, apa yang disebut tokoh ini
seringkali jumlahnya sangat terbatas, dan masing- masing kelompok seringkali
mempunyai kriteria tersendiri tentang seorang tokoh. Fakta semacam ini
sebenarnya merupakan hukum alam, bahwa dalam kehidupan masyarakat
biasanya hanya ada sebagian kecil orang yang ditokohkan, disegani, diikuti,
bahkan dituruti perintah-perintahnya.
51
Pengalaman menunjukkan, tipologi atau karakteristik suatu masyarakat
biasanya mempunyai persepsi sendiri-sendiri tentang tokoh yang diidolakan.
Masyarakat yang bertipologi sub kultur Madura, mungkin lebih menokohkan kiai
dibandingkan masyarakat yang bersub kultur Arek misalnya. Oleh karena itu,
karakteristik sosial ekonomi seseorang biasanya mempengaruhi penilaian
terhadap seorang tokoh. Namun, memang, dalam kehidupan politik sehari-hari,
ada fenomena seorang tokoh yang ketokohan dan popularitasnya melintasi
batas-batas wilayah geografis dan sub kultur, bahkan melintasi batas partai
politik dan kultur. Tokoh semacam ini biasanya mempunyai kualitas pribadi yang
lengkap dan mumpuni, baik ditinjau dari latarbelakang pendidikan, kemampuan
akademis, managemen, tingkat toleransi, dan semacamnya.
52
Kriteria Figur Cabup/Capres yang Paling Diidealkan Pemilih
Kriteria Persentasi
1. Pendidikan tinggi 16,6
2. Tokoh agama 5,0
3. Pengusaha 1,2
4. Pengalaman 72,4
5. Tokoh partai 3,0
6. Perempuan 1,7
Kedua, sebagian besar responden yang menilai kriteria figure cabup dari
aspek pengalaman dibidang pemerintahan berlatarbelakang perempuan
ketimbang laki-laki. Lebih dari 50 persen responden perempuan mengaku
mengidealkan cabup yang memiliki pengalaman dibidang pemerintahan.
Sementara itu, hal yang sama hanya diakui oleh 48 persen pemilih laki-laki. Data
53
ini menunjukkan bahwa kaum peremuan umumnya lebih konservatif disbanding
kaum pria, sehingga merasa lebih aman jika pemerintahan Kabupaten
Bondowoso dipegang oleh orang yang berpengalaman ketimbang pendatang
baru. Data ini setidaknya penting bagi cabup, untuk memanfaatkan posisinya
sebagai incumbent terutama jika berhadapan dengan pemilih perempuan.
54
Ketiga, pemilih yang menilai latarbelakang pendidikan tinggi sebagai
criteria ideal seorang cabup umumnya berlatarbelakang pendidikan SLTA ke
atas. Untuk responden yang berpendidikan SLTA misalnya, 45 persen menunjuk
latarbelakang pendidikan tinggi merupakan criteria paling dibutuhkan bagi
seorang cabup. Persentase ini semakin meningkat untuk responden yang
berpendidikan perguruan tinggi, yaitu hampir 54 persen responden. Sementara
itu, untuk responden yang berlatarbelakang pendidikan SLTP hanya 30 persen
dan yang berpendidikan SD sekitar 28 persen yang menempatkan latarbelakang
pendidikan tinggi sebagai criteria utama. Data ini setidaknya bisa dimanfaatkan
untuk mendekati pemilih yang berpendidikan tinggi.
Kedua, sebagian besar responden yang menilai kriteria figure cabup dari
tokoh agama berjenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan. Lebih dari 8
persen responden laki-laki mengaku mengidealkan cabup yang berasal dari tokoh
55
agama. Sementara itu, hal yang sama hanya diakui oleh 5 persen pemilih laki-
laki. Hanya saja, seperti pada criteria sebelumnya, karena perbedaannya tidak
terlalu signifikan maka data ini tampaknya bisa diabaikan untuk ditindaklanjuti
secara serius.
56
4.3. KAJIAN FAKTOR SOSIOLOGIS PERILAKU MEMILIH
Pada pemilihan bupati Bondowoso 2013, pemilihan partai & Caleg 2014,
serta pemilihan presiden 2014, penyebaran suara perdapil tampak seperti bagan
di bawah:
90
80
70
60 Mustawiyanto - Abdul
Manan (MUNA)
50
Amien Said Husni - Salwa
40 Arifin Jaya (Aswaja)
30 Golput
20
10
0
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V
40
35
30
25 Dapil I
20 Dapil II
15 Dapil III
10 Dapil IV
5 Dapil V
0
57
60
50
40
Prabowo-Hatta
30
Jokowi-JK
20 GOLPUT
10
0
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V
80
70
60
50 Mustawiyanto - Abdul
Manan (MUNA)
40
Amien Said Husni - Salwa
30 Arifin Jaya (Aswaja)
20 Golput
10
0
< 20 20-29 30-39 40-49 > 50
tahun tahun tahun tahun tahun
58
60
50
40
< 20 tahun
30 20-29 tahun
20 30-39 tahun
40-49 tahun
10
> 50 tahun
0
70
60
50
40 Prabowo-Hatta
30 Jokowi-JK
20 GOLPUT
10
0
< 20 tahun 20-29 30-39 40-49 > 50 tahun
tahun tahun tahun
59
4.3.3 JENIS KELAMIN & PERILAKU MEMILIH
80
70
60
50
40
Laki-laki
30
Perempuan
20
10
0
Mustawiyanto - Amien Said Husni - Golput
Abdul Manan Salwa Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja)
40
35
30
25
20
Laki-laki
15
Perempuan
10
5
0
60
60
50
40
Laki-laki
30
Perempuan
20
10
0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT
90
80
70
60 Mustawiyanto - Abdul
50 Manan (MUNA)
40 Amien Said Husni - Salwa
Arifin Jaya (Aswaja)
30
Golput
20
10
0
Tidak SD dan SLTP dan SLTA dan PT dan
Sekolah sederajat sederajat sederajat sederajat
61
70
60
50
40 Tidak Sekolah
SD dan sederajat
30
SLTP dan sederajat
20
SLTA dan sederajat
10 PT dan sederajat
0
70
60
50
40 Prabowo-Hatta
30 Jokowi-JK
20 GOLPUT
10
0
Tidak SD dan SLTP dan SLTA dan PT dan
Sekolah sederajat sederajat sederajat sederajat
62
4.3.5 PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH BUPATI
90
80
70
60
50
Mustawiyanto - Abdul
40
Manan (MUNA)
30
20 Amien Said Husni - Salwa
10 Arifin Jaya (Aswaja)
0 Golput
60
50
Pegawai Negeri Sipil
40
Pengusaha
30 Pedagang
20 Karyawan Swasta
Petani
10
Sektor Informal
0 Lain-lain
63
90
80
70
60
50
40
30 Prabowo-Hatta
20 Jokowi-JK
10
0 GOLPUT
64
80
70
60
50
40 suka
30
Tidak
20
10
0
Mustawiyanto - Amien Said Husni - Golput
Abdul Manan Salwa Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja)
35
30
25
20
15 suka
10 Tidak
65
60
50
40
suka
30
Tidak
20
10
0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT
66
80
70
60
50
40 Program
30
Tidak
20
10
0
Mustawiyanto - Amien Said Husni - Golput
Abdul Manan Salwa Arifin Jaya
(MUNA) (Aswaja)
35
30
25
20
15 program
10 Tidak
67
60
50
40
program
30
Tidak
20
10
0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK
68
80
70
60
50
isu
40
30 Tidak
20
10
0
Mustawiyanto - Abdul Manan Amien Said Husni - Salwa
(MUNA) Arifin Jaya (Aswaja)
35
30
25
20
15 isu
10 Tidak
69
60
50
40
isu
30
Tidak
20
10
0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK
70
partisan loyalty, issue and policy concern, and candidate characteristics (Ginberg,
1990).
Untuk itu, khususnya pada masa-masa mendatang ketika pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung, kemampuan calon legislative, calon
presiden, maupun calon kepala daerah mengangkat berbagai isu yang menjadi
perhatian pemilih sangat menentukan kemenangan calon tersebut dalam
Pilkada. Yang menjadi persoalan, masing-masing kelompok masyarakat
seringkali mempunyai perhatian yang tidak sama terhadap suatu isu. Ada
kelompok masyarakat yang lebih perhatian pada isu-isu domestik, sementara
kelompok lain lebih perhatian pada isu luar negeri. Dalam konteks semacam ini,
salah satu cara yang bisa dilakukan calon legislative, calon presiden, maupun
calon kepala daerah adalah mengajukan isu politik yang paling mudah dipahami
oleh segmen kelompok masyarakat tersebut, sesuai dengan tingkat pendidikan
dan kondisi sosial-ekonominya.
Setidaknya terdapat dua cara pandang untuk memahami isu-isu politik
yang menjadi perhatian masyarakat (pemilih). Pertama, melihat isu-isu politik
sebagai sesuatu yang terpisah dengan posisi masyarakat (pemilih). Cara pandang
ini mengasumsikan bahwa isu-isu politik yang berkembang dalam masyarakat
pada dasarnya dapat diamati dari berbagai persoalan yang ada pada masyarakat
tersebut. Cara pandang ini disebut sebagai kondisi obyektif isu-isu politik.
Dengan kata lain, tugas calon legislative, calon presiden, maupun calon kepala
daerah adalah membentuk isu-isu politik yang mungkin sesuai dengan preferensi
masyarakat atau para pemilih.
Kedua, melihat isu-isu politik dalam kaitannya dengan posisi masyarakat
(pemilih). Cara pandang ini mengasumsikan bahwa isu-isu politik pada dasarnya
bukanlah sesuatu yang terpisah dari masyarakat, tetapi selalu melekat dengan
masyarakatnya. Artinya, untuk memahami isu-isu politik yang ada tidak cukup
hanya mengamati persoalan- persoalan politik yang sedang berkembang, tetapi
harus dilihat bagaimana pandangan atau posisi masyarakat terhadap isu itu:
apakah mempunyai perhatian besar atau sebaliknya, apakah bersikap positip
71
atau negatip. Bisa jadi suatu persoalan politik tidak menjadi perhatian suatu
kelompok masyarakat, namun bagi kelompok masyarakat lain dianggap sebagai
isu penting yang perlu mendapat perhatian besar. Akibatnya, keberadaan isu
politik sangat subyektif sifatnya. Yang dimaksud isu di sini adalah persoalan-
persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang sedang menjadi perhatian dan
pembicaraan luas dikalangan responden.
72
Persoalan Paling Penting
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kesempatan Kerja 62 16.1 16.1 16.1
Harga Gabah 16 4.2 4.2 20.3
Harga Pupuk 12 3.1 3.1 23.4
Pendidikan (SPP, uang
16 4.2 4.2 27.6
gedung, dll)
Kemudahan Kredit 18 4.7 4.7 32.3
Subsidi Golongan Lemah 24 6.3 6.3 38.5
Harga Sembako 148 38.5 38.5 77.1
Penurunan Tarif Listrik 10 2.6 2.6 79.7
Pemberantasan KKN 22 5.7 5.7 85.4
Demokratisasi Politik 8 2.1 2.1 87.5
Penurunan Pajak,
4 1.0 1.0 88.5
Retribusi
Sengketa Tanah 2 .5 .5 89.1
Air Bersih, PDAM 2 .5 .5 89.6
Pembangunan Fisik
(jalan, sekolah, irigasi, 24 6.3 6.3 95.8
dll)
Kriminalitas 6 1.6 1.6 97.4
Kenakalan Remaja 4 1.0 1.0 98.4
Narkoba 6 1.6 1.6 100.0
Total 384 100.0 100.0
73
BAB 5
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
1. Partisipasi politik warga Bondowoso memang tidak begitu besar, dari 384 responden,
ketika ditanya apakah mereka ke depan hadir pada pemilihan bupati, partai maupun
presiden, hanya 77,3 persen yang menjawab hadir untuk mengikuti pilihan, sedangkan
22,7 persennya tidak hadir.
2. Model kampanye yang diharapkan masyarakat Bondowoso sebagian besar adalah
model kampanye dialogis, yaitu sebanyak 34,4 persen, disusul konfoi 30,7 persen,
dibawahnya sedikit adalah door to door sebanyak 24,5 persen dan pengerahan massa
hanyya 9,9 persen.
3. Media yang relevan digunakan untuk kampanye adalah TV sebasar 49 persen, disusul
radio 16,1 persen, dan surat kabar 15,1 persen.
4. Pada saat kampanye, ternyata masyarakat tidak hanya menginginkan setiap partai,
cabup maupun capres menyampaikan visi, misi maupun program saja, tetapi sebagian
besar responden 82,3 persen mengharapkan bahwa ketika kampanye perlu juga
ditampilkan hiburan.
5. Profesi jurkam yang paling banyak diinginkan oleh masyarakat adalah jurkam harus
seorang kiai sebesar 37 persen, kemudiaan disusul tokoh pemerintah (seperti bupati,
wabup) sebasar 24,5 persen, dan kemudian seorang cendekiawan (dosen,guru, ustad)
sebesar 13 persen.
6. Faktor sosilologis, seperti tempat tinggal, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan
dan organisasi kemasyarakatan sangat berpengaruh terhadap perilaku memilih di
Kabupaten Bondowoso.
7. Faktor psikologis, seperti kedekatan terhadap calon ataupun partai politik, sikap suka
terhadap seorang calon presiden, calon legislative maupun calon bupati sangat
berpengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat Bondowoso.
74
8. Faktor rasionalitas, seperti visi, misi, program maupun isu yang diangkat oleh partai,
calon persiden, calon bupati, bahkan mengenai rasionalitas material (uang dan materi)
sangat berpengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat Bondowoso.
5.2 REKOMENDASI
75
Pewawancara: NO:
Kuesioner Penelitian
PENELITIAN TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU
Pengantar
Kami adalah tim peneliti dari Lembaga Penelitian Universitas Jember, bermaksud
mengadakan penelitian tentang “Partisipasi Masyarakat Bondowoso dalam Pemilu“.
Untuk keperluan tersebut kami mohon Bapak/Ibu/Saudara bersedia memberi beberapa
informasi yang kami perlukan. Informasi tersebut nantinya kami olah secara bersama-sama yang
kemudian akan disusun dalam sebuah laporan penelitian. Kami akan menjaga identitas dan
kerahasiaan informasi yang Bapak/Ibu/Saudara berikan.
Atas kesediaan dan perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
A. KARAKTERISTIK RESPONDEN
2. Kecamatan ?
13. sempol
1. Binakal 4. Cermee 7. Jambesari 10. Pakem
14. Sukosari
2. Bondowoso 5. Curahdami 8. Klabang 11. Prajekan
15. Sumberwringin
3. Botolingo 6. Grujukan 9. Maesan 12.Pujer
LAMPIRAN 1- 1 -
8. Berapa Umur Bpk/Ibu/Sdr ? 8.(
)
1. < 20 tahun 2. 20-29 tahun
3. 30-39 tahun 4. 40-49 tahun
5. > 50 tahun
LAMPIRAN 1- 2 -
7. Saudara mengidentifikasi sebagai simpatisani organisasi sosial-keagamaan apa ? 26.(
)
1. NU atau di bawah naungan NU
2. Muhammadiyah atau di bawah naungan Muhammadiyah
3. Ormas Islam lain 4. Gereja
4. Tdk mengidentifikasi 6. Lain-lain, sebutkan………
11. Jika pemilu dilaksanakan sekarang, Bapak/Ibu/saudara akan memilih partai apa ? 30.(
)
1. Apatis: Tidak peduli dg pemilu 5. Ideologi: tdk sistem islam
2. Tidak ada partai yang cocok 6. Idealis: pemilu tdk merubah keadaan
3. Ekonomi: Bekerja 7. Material: Tidak ada yg memberi uang
4. Teknis: tidak terdaftar 8. Lain-lain, sebutkan….
14. Pada Pemilihan Presiden 2014, siapa yang anda pilih? 47.(
)
1. Prabowo-Hatta 2. Jokowi-JK 3. Golput
16. Jika anda dikasih uang atau materi oleh salah satu calon, bagaimana anda menyikapi dalam pemilihan
parta legislatif atau kepala daerah 49.(
)
1. Menerima uang tersebut dan memilih yang memberi
2. Menerima uang tersebut tetapi tetap memilih berdasarkan hati nurani
3. menerima uang tersebut dan memilih calon yang memberi uang paling banyak
4. menolak menerima uang tersebut
17. Berapa besar uang yang anda harapkan dari calon dewan? 50.(
)
1. Rp. 5.000 3. > Rp. 10.000-Rp.15.000 5. >Rp.20.000-Rp.25.000
2. > Rp.5.000.- Rp. 10.0000 4. > Rp. 15.000-Rp.20.000 6. > Rp. 25.000.
18. Kapan waktu yang tepat untuk menerima bantuan uang dan saudara memilih sesuai dg pemberi uang?
1. Sblm kampanye 4. Hari H Pencoblosan 51.(
)
2. Saat kampanye
3. Hari tenang
1. Diantara persoalan-persoalan berikut, mana yang perlu ditangani oleh partai politik?
2. Diantara persoalan-persoalan di atas, mana yang menurut saudara paling penting untk segera
ditangani?
72.( )
E. PERILAKU PEMILIH
4. Model pengerahan massa apa yang paling relevan untuk konfoi? 76.(
)
1. bawa kendaraan 2. Jalan 3. Konfoi sambil bagi brosur 4. Konfoi sambil membawa
musik
5. Model kampanye apa yang paling relevan untuk door to door? 77.( )
1. bertemu dan perkenalan program 2. Tinggal dan menginap 3. Mendengarkan masalah dan
keluhan warga 4. Bertamu dan membawa oleh (sembako) 5. Bertamu dan membawa uang
6. Media kampanye apa yang paling relevan untuk Pileg 2014? 78.( )
1. TV 2. Radio 3. Surat kabar 4. Tatap muka
LAMPIRAN 1- 5 -
11. Untuk acara radio, acara apa yang paling bapak/ibu/sdr sukai? 80.(
)
1. Musik Pop 5. Berita
2. Musik Dangdut 6. Obrolan
3. Musik Keroncong 7. Lain-lain, sebutkan.....
4. Musik Campursari
20. Jika saudara menyukai caleg yang disung suatu partai, sedangkan anda tidak menyukai/belum peduli
dengan partai tersebut, apakah saudara tetap memilih caleg sesuai dengan partai tersebut atau akan
pindah partai lain?
85.( )
1. tetap emilih caleg dg partainya 2. Tidak memilih caleg tersebut/memilih partai lain.
21. Jika anda pendukung partai tertentu, sedangkan ada caleg yang tidak saudara senangi diusung oleh
partai tersebut, apah saudara tetap memilih partai tersebut atau pindah partai? 86.(
)
1. tetap memilih partai dg caleg tersebut 3. Tetap memilih partai tsbt, tetapi memilih calon lain
yang ada
2. Tidak memilih memilih partai tersebut
22. Diantara nama-nama dibawah ini, siapa yang akan saudara pilih pada pilkada 2017? 87.(
)
IDENTITAS RESPONDEN
23. Nama Responden : …………………………………………………………..…………….
24. Kecamatan :………………………………………………………………..…………
25. Desa/kelurahan : …………………………………………………………….………..…..
LAMPIRAN 1- 6 -
26. Alamat Responden : ………………………………………………………………………….
CATATAN PENTING :
LAMPIRAN 1- 7 -
PERILAKU MEMILIH
MASYARAKAT BONDOWOSO
KPU BONDOWOSO
LAMPIRAN 2-
2- 1
I. PERILAKU MEMILIH
Mengapa seseorang melakukan tindakan politik tertentu
sementara yang lain tidak?
Mengapa orang memilih kepala daerah A, bukannya
kepala daerah B, C, atau D?
Mengapa pada kelompok masyarakat tertentu
cenderung mempunyai pilihan kepala daerah yang
hampir sama, sedangkan kelompok masyarakat lainnya
tidak?
Faktor--faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang
Faktor
menentukan pilihan dalam suatu Pemilihan Kepala
Daerah?
Sederet pertanyaan senada masih akan muncul apabila
menganalisis perilaku memilih dalam suatu Pilkada.
2
PERILAKU MEMILIH
1. PENGETAHUAN (POPULARITAS)
2. SIKAP (KESUKAAN/KEPANTASAN)
3. TINDAKAN (ELEKTABILITAS)
3
FAKTOR MEMPENGARUHI
PERILAKU MEMILIH
1. Pendekatan Sosiologis
2. Pendekatan Psikologis
3. Pendekatan Rasional
4
1. Pendekatan Sosiologis
5
2. Pendekatan Psikologis
pendekatan ini menggunakan dan
mengembangkan konsep psikologi -- terutama
konsep sosialisasi dan sikap--
sikap-- untuk
menjelaskan perilaku memilih.
pendekatan psikologis menekankan pada tiga
aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu
ikatan emosional pada suatu partai politik (calon
kepala daerah), orientasi terhadap isu-
isu -isu dan
orientasi terhadap kandidat.
6
3. Pendekatan Rasional
perilaku politik masyarakat akan dapat bertindak secara
rasional,, yakni memberikan suara ke calon kepala
rasional
daerah yang dianggap mendatangkan keuntungan dan
kemaslakhatan yang sebesar
sebesar--besarnya dan menekan
kerugian atau kemudlaratan yang sekecilsekecil--kecilnya
kecilnya..
Dengan begitu
begitu,, diasumsikan para pemilih mempunyai
kemampuan untuk menilai isu isu--isu politik yang diajukan
diajukan..
Begitu juga mampu menilai calon (kandidat
kandidat)) yang
ditampilkan..
ditampilkan
Penilaian rasional terhadap isu politik atau kandidat ini
bisa didasarkan pada jabatan
jabatan,, informasi
informasi,, pribadi yang
populer karena prestasi dibidang masing
masing--masing seperti
seni,, olah raga, film, organisasi
seni organisasi,, politik
politik,, dan
semacamnya
7
TUJUAN KEGIATAN
8
MENGKAJI PERILAKU MEMILIH
MENGKAJI FAKTOR SOSIOLOGIS
PERILAKU MEMILIH
MENGKAJI FAKTOR PSIKOLOGIS
PERILAKU MEMILIH
MENGKAJI FAKTOR RASIONALITAS
PERILAKU MEMILIH
9
KAJIAN PERILAKU MEMILIH
10
TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT
77,3
tidak hadir
22,7
hadir
0 10 20 30 40 50 60 70 80
11
MODEL KAMPANYE
Lain-lain 0,5
Konfoi 30,7
Dialogis 34,4
0 5 10 15 20 25 30 35
12
MODEL KAMPANYE DIALOGIS
0 5 10 15 20 25 30 35 40
13
MEDIA KAMPANYE
19,8
Tatap Muka
15,1
Surat Kabar
16,1
Radio
49
TV
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
14
PERTIMBANGAN MEMILIH PARTAI/CALEG
Jurkam 1
Uang 2,6
Reformis 1
Fatwa Ulama 13
Agama 5,2
0 5 10 15 20 25
15
KAJIAN FAKTOR SOSIOLOGIS
PERILAKU MEMILIH
16
DAPIL & PERILAKU MEMILIH BUPATI
90
80
70
60
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
50
Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya
(Aswaja)
40
Golput
30
20
10
0
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V
17
DAPIL & PERILAKU MEMILIH PARTAI
40
35
30
25
Dapil I
Dapil II
20
Dapil III
Dapil IV
15
Dapil V
10
0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT
18
DAPIL & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
60
50
40
Prabowo-Hatta
30 Jokowi-JK
GOLPUT
20
10
0
Dapil I Dapil II Dapil III Dapil IV Dapil V
19
UMUR & PERILAKU MEMILIH BUPATI
80
70
60
50
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA)
20
10
0
< 20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun > 50 tahun
20
UMUR & PERILAKU MEMILIH PARTAI
60
50
40
< 20 tahun
20-29 tahun
30
30-39 tahun
40-49 tahun
> 50 tahun
20
10
0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT
21
UMUR & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
70
60
50
40
Prabowo-Hatta
Jokowi-JK
30 GOLPUT
20
10
0
< 20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun > 50 tahun
22
SEX & PERILAKU MEMILIH BUPATI
80
70
60
50
Laki-laki
40
Perempuan
30
20
10
0
Mustawiyanto - Abdul Manan Amien Said Husni - Salwa Arifin Golput
(MUNA) Jaya (Aswaja)
23
SEX & PERILAKU MEMILIH PARTAI
40
35
30
25
20 Laki-laki
Perempuan
15
10
0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT
24
SEX & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
60
50
40
Laki-laki
30 Perempuan
20
10
0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT
25
PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH BUPATI
90
80
70
60
20
10
0
Tidak Sekolah SD dan SLTP dan SLTA dan PT dan
sederajat sederajat sederajat sederajat
26
PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH PARTAI
70
60
50
40 Tidak Sekolah
SD dan sederajat
SLTP dan sederajat
30
SLTA dan sederajat
PT dan sederajat
20
10
0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT
27
PENDIDIKAN & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
70
60
50
40
Prabowo-Hatta
Jokowi-JK
30 GOLPUT
20
10
0
Tidak Sekolah SD dan sederajat SLTP dan sederajat SLTA dan sederajat PT dan sederajat
28
PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH BUPATI
90
80
70
60
20
10
0
Pegawai Pengusaha Pedagang Karyawan Petani Sektor Lain-lain
Negeri Sipil Swasta Informal
29
PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH PARTAI
60
50
40
Pegawai Negeri Sipil
Pengusaha
Pedagang
30
Karyawan Swasta
Petani
Sektor Informal
20
Lain-lain
10
0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT
30
PEKERJAAN & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
90
80
70
60
50
Prabowo-Hatta
40 Jokowi-JK
GOLPUT
30
20
10
0
Pegawai Negeri Pengusaha Pedagang Karyawan Petani Sektor Informal Lain-lain
Sipil Swasta
31
KAJIAN FAKTOR PSIKOLOGIS (SIKAP)
PERILAKU MEMILIH
32
SIKAP & PERILAKU MEMILIH BUPATI
80
70
60
50
suka
40
Tidak
30
20
10
0
Mustawiyanto - Abdul Manan Amien Said Husni - Salwa Arifin Golput
(MUNA) Jaya (Aswaja)
33
SIKAP & PERILAKU MEMILIH PARTAI
35
30
25
20
suka
Tidak
15
10
0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT
34
SIKAP & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
60
50
40
suka
30 Tidak
20
10
0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK GOLPUT
35
KAJIAN FAKTOR RASIONALITAS
PERILAKU MEMILIH
36
PROGRAM & PERILAKU MEMILIH BUPATI
80
70
60
50
Program
40
Tidak
30
20
10
0
Mustawiyanto - Abdul Manan Amien Said Husni - Salwa Arifin Golput
(MUNA) Jaya (Aswaja)
37
PROGRAM & PERILAKU MEMILIH PARTAI
35
30
25
20
program
Tidak
15
10
0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem
38
PROGRAM & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
60
50
40
program
30 Tidak
20
10
0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK
39
ISU & PERILAKU MEMILIH BUPATI
80
70
60
50
isu
40 Tidak
30
20
10
0
Mustawiyanto - Abdul Manan (MUNA) Amien Said Husni - Salwa Arifin Jaya (Aswaja)
40
ISU & PERILAKU MEMILIH PARTAI
35
30
25
20
isu
15 Tidak
10
0
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD Hanura Gerindra Nasdem GOLPUT
41
ISU & PERILAKU MEMILIH PRESIDEN
60
50
40
isu
30 Tidak
20
10
0
Prabowo-Hatta Jokowi-JK
42
TERIMA KASIH..
43
HASIL FREKUENSI PERILAKU MEMILIH
1. KARAKTERISTIK PEMILIH
1.1. Distribusi Sampel Kecamatan
Kecamatan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Binakal 10 2.6 2.6 2.6
Bondowoso 34 8.9 8.9 11.5
Botolingo 16 4.2 4.2 15.6
Cermee 22 5.7 5.7 21.4
Curahdami 16 4.2 4.2 25.5
Grujukan 18 4.7 4.7 30.2
Jambesari 16 4.2 4.2 34.4
Klabang 10 2.6 2.6 37.0
Maesan 22 5.7 5.7 42.7
Pakem 12 3.1 3.1 45.8
Prajekan 14 3.6 3.6 49.5
Pujer 20 5.2 5.2 54.7
Sempol 10 2.6 2.6 57.3
Sukosari 12 3.1 3.1 60.4
Sumberwringin 16 4.2 4.2 64.6
Taman Krocok 10 2.6 2.6 67.2
Tamanan 18 4.7 4.7 71.9
Tegalampel 12 3.1 3.1 75.0
Tenggarang 18 4.7 4.7 79.7
Tlogosari 22 5.7 5.7 85.4
Wonosari 20 5.2 5.2 90.6
Wringin 36 9.4 9.4 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Dapil I 72 18.8 18.8 18.8
Dapil II 62 16.1 16.1 34.9
Dapil III 80 20.8 20.8 55.7
Dapil IV 74 19.3 19.3 75.0
Dapil V 96 25.0 25.0 100.0
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 1 -
1.3. Distribusi Posisi Tempat Tinggal
Posisi Tinggal Kabupaten
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Dalam kota kabupaten 46 12.0 12.0 12.0
Luar kota (pedesaan) 338 88.0 88.0 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 20 tahun 6 1.6 1.6 1.6
20-29 tahun 100 26.0 26.0 27.6
30-39 tahun 78 20.3 20.3 47.9
40-49 tahun 150 39.1 39.1 87.0
> 50 tahun 50 13.0 13.0 100.0
Total 384 100.0 100.0
Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 264 68.8 68.8 68.8
Perempuan 120 31.3 31.3 100.0
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 2 -
1.6. Distribusi Pendidikan Responden
Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Sekolah 6 1.6 1.6 1.6
SD dan sederajat 28 7.3 7.3 8.9
SLTP dan sederajat 62 16.1 16.1 25.0
SLTA dan sederajat 212 55.2 55.2 80.2
PT dan sederajat 76 19.8 19.8 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Islam 384 100.0 100.0 100.0
Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Pegawai Negeri Sipil 70 18.2 18.2 18.2
Pengusaha 12 3.1 3.1 21.4
Pedagang 66 17.2 17.2 38.5
Karyawan Swasta 44 11.5 11.5 50.0
Petani 66 17.2 17.2 67.2
Sektor Informal 18 4.7 4.7 71.9
Lain-lain 108 28.1 28.1 100.0
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 3 -
1.9. Distribusi Penghasilan Responden
Penghasilan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 500.000 22 5.7 5.7 5.7
500.000 -< 1.000.000 60 15.6 15.6 21.4
1.000.000 -< 1.500.000 56 14.6 14.6 35.9
1.500.000 -< 2.000.000 148 38.5 38.5 74.5
> 2.000.000 98 25.5 25.5 100.0
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 4 -
PERILAKU MEMILIH
Frequency Table
Model Kampanye
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Dialogis 132 34.4 34.4 34.4
Pengerahan Massa 38 9.9 9.9 44.3
Konfoi 118 30.7 30.7 75.0
Door to door 94 24.5 24.5 99.5
Lain-lain 2 .5 .5 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Dialog dengan tatap
110 28.6 28.6 28.6
muka
Dialog melalui radio/ TV 56 14.6 14.6 43.2
Dialog Pertemuan
136 35.4 35.4 78.6
Kelompok (RT/RW/desa)
Dialog dengan membawa
36 9.4 9.4 88.0
bingkisan
Dialog dengan membawa
24 6.3 6.3 94.3
uang
Dialog dengan alat
22 5.7 5.7 100.0
peraga (baliho, pamflet)
Total 384 100.0 100.0
Bingkisan Dikehendaki
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kaos 70 18.2 19.6 19.6
Jilbab/ Kerudung 50 13.0 14.0 33.5
Sarung 46 12.0 12.8 46.4
Tas 6 1.6 1.7 48.0
Topi 2 .5 .6 48.6
Sembako 172 44.8 48.0 96.6
Lain-lain 12 3.1 3.4 100.0
Total 358 93.2 100.0
Missing System 26 6.8
Total 384 100.0
LAMPIRAN 3- 5 -
Pengerahan Massa paling Relevan untuk Konfoi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Bawa Kendaraan 66 17.2 17.2 17.2
Jalan 48 12.5 12.5 29.7
Konfoi sambil
178 46.4 46.4 76.0
bawa brosur
Konfoi sambil
92 24.0 24.0 100.0
bawa musik
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Bertemu & Perkenalan
104 27.1 27.1 27.1
Program
Mendengarkan masalah
202 52.6 52.6 79.7
& keluhan warga
Bertamu & membawa
50 13.0 13.0 92.7
oleh2/ sembako
Bertamu & Membawa
28 7.3 7.3 100.0
Uang
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid TV 188 49.0 49.0 49.0
Radio 62 16.1 16.1 65.1
Surat Kabar 58 15.1 15.1 80.2
Tatap Muka 76 19.8 19.8 100.0
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 6 -
Acara TV favorit
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Sinetron 96 25.0 25.0 25.0
Film Nasional 8 2.1 2.1 27.1
Film Luar Negeri 22 5.7 5.7 32.8
Musik 18 4.7 4.7 37.5
Berita 128 33.3 33.3 70.8
Olahraga 66 17.2 17.2 88.0
Film Kartun 6 1.6 1.6 89.6
Reality Show 10 2.6 2.6 92.2
Diskusi/ debat 18 4.7 4.7 96.9
Seni/ budaya 6 1.6 1.6 98.4
Lain-lain 6 1.6 1.6 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Musik Pop 80 20.8 20.8 20.8
Musik Dangdut 146 38.0 38.0 58.9
Musik Keroncong 8 2.1 2.1 60.9
Musik Campursari 14 3.6 3.6 64.6
Berita 80 20.8 20.8 85.4
Obrolan 46 12.0 12.0 97.4
Lain-lain 10 2.6 2.6 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Suka 316 82.3 82.3 82.3
Tidak Suka 68 17.7 17.7 100.0
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 7 -
Hiburan yang Disukai
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Musik Dangdut 208 54.2 65.0 65.0
Musik Pop 42 10.9 13.1 78.1
Musik Qosidah 18 4.7 5.6 83.8
Lawakan 22 5.7 6.9 90.6
Film (layar tancap) 12 3.1 3.8 94.4
Ludruk/ Ketoprak 14 3.6 4.4 98.8
Campursari 4 1.0 1.3 100.0
Total 320 83.3 100.0
Missing System 64 16.7
Total 384 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kyai 142 37.0 37.0 37.0
Cendekiawan 50 13.0 13.0 50.0
Da'i 16 4.2 4.2 54.2
Tokoh Pemerintah 94 24.5 24.5 78.6
Pengusaha 14 3.6 3.6 82.3
Bintang Film 12 3.1 3.1 85.4
Penyanyi 36 9.4 9.4 94.8
Pelawak 20 5.2 5.2 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Caleg yang Diusung 250 65.1 65.1 65.1
Keberadaan Partai 134 34.9 34.9 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tetap memilih caleg
170 44.3 44.3 44.3
dengan partainya
Tidak memilih caleg
tersebut/ memilih 214 55.7 55.7 100.0
partai lain
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 8 -
Suka Partai Tidak Suka Caleg
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tetap memilih partai
72 18.8 18.8 18.8
dengan caleg tsb
Tidak memilih partai
48 12.5 12.5 31.3
tersebut
Tetap memilih partai
namun memilih 264 68.8 68.8 100.0
caleg lain
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 9 -
2. ISU-ISU UTAMA DI KABUPATEN BONDOWOSO
Frequency Table
Persoalan Kesempatan Kerja
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 298 77.6 77.6 77.6
Tidak 86 22.4 22.4 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 270 70.3 70.3 70.3
Tidak 114 29.7 29.7 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 278 72.4 72.4 72.4
Tidak 106 27.6 27.6 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 316 82.3 82.3 82.3
Tidak 68 17.7 17.7 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 252 65.6 65.6 65.6
Tidak 132 34.4 34.4 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 278 72.4 72.4 72.4
Tidak 106 27.6 27.6 100.0
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 10 -
Persoalan Harga Sembako
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 334 87.0 87.0 87.0
Tidak 50 13.0 13.0 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 256 66.7 66.7 66.7
Tidak 128 33.3 33.3 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 152 39.6 39.6 39.6
Tidak 232 60.4 60.4 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 174 45.3 45.3 45.3
Tidak 210 54.7 54.7 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 162 42.2 42.2 42.2
Tidak 222 57.8 57.8 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 154 40.1 40.1 40.1
Tidak 230 59.9 59.9 100.0
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 11 -
Persoalan Penurunan Pajak, retribusi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 198 51.6 51.6 51.6
Tidak 186 48.4 48.4 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 130 33.9 33.9 33.9
Tidak 254 66.1 66.1 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 160 41.7 41.7 41.7
Tidak 224 58.3 58.3 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 288 75.0 75.0 75.0
Tidak 96 25.0 25.0 100.0
Total 384 100.0 100.0
Persoalan Kriminalitas
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 194 50.5 50.5 50.5
Tidak 190 49.5 49.5 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 132 34.4 34.4 34.4
Tidak 252 65.6 65.6 100.0
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 12 -
Persoalan Narkoba
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 156 40.6 40.6 40.6
Tidak 228 59.4 59.4 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 142 37.0 37.0 37.0
Tidak 242 63.0 63.0 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kesempatan Kerja 62 16.1 16.1 16.1
Harga Gabah 16 4.2 4.2 20.3
Harga Pupuk 12 3.1 3.1 23.4
Pendidikan (SPP, uang
16 4.2 4.2 27.6
gedung, dll)
Kemudahan Kredit 18 4.7 4.7 32.3
Subsidi Golongan Lemah 24 6.3 6.3 38.5
Harga Sembako 148 38.5 38.5 77.1
Penurunan Tarif Listrik 10 2.6 2.6 79.7
Pemberantasan KKN 22 5.7 5.7 85.4
Demokratisasi Politik 8 2.1 2.1 87.5
Penurunan Pajak,
4 1.0 1.0 88.5
Retribusi
Sengketa Tanah 2 .5 .5 89.1
Air Bersih, PDAM 2 .5 .5 89.6
Pembangunan Fisik
(jalan, sekolah, irigasi, 24 6.3 6.3 95.8
dll)
Kriminalitas 6 1.6 1.6 97.4
Kenakalan Remaja 4 1.0 1.0 98.4
Narkoba 6 1.6 1.6 100.0
Total 384 100.0 100.0
LAMPIRAN 3- 13 -
TABULASI SILANG FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERILAKU MEMILIH
1. PERILAKU MEMILIH PILBUP BONDOWOSO
Pilihan Bupati 2013
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Mustawiyanto - Abdul
56 14.6 14.6 14.6
Manan (MUNA)
Amien Said Husni -
Salwa Arifin Jaya 288 75.0 75.0 89.6
(Aswaja)
Golput 40 10.4 10.4 100.0
Total 384 100.0 100.0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Salwa Arifin Jaya
(Wakil Bupati) 220 57.3 57.9 57.9
Ahmad Dhafir (PKB) 96 25.0 25.3 83.2
Ketut Yudi (PKS) 10 2.6 2.6 85.8
Irwan Bachtiar (PDIP) 38 9.9 10.0 95.8
Supriyadi (Golkar) 2 .5 .5 96.3
Albani (Gerindra) 2 .5 .5 96.8
Soepatno (PD) 4 1.0 1.1 97.9
Buchori Mun'im (PPP) 2 .5 .5 98.4
Abd. Khodir Syam (NU) 6 1.6 1.6 100.0
Total 380 99.0 100.0
Missing System 4 1.0
Total 384 100.0
LAMPIRAN 4 - 1 -
Crosstabs
LAMPIRAN 4 - 2 -
Umur Resp * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 3 -
Pendidikan * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 4 -
Pekerjaan * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 5 -
Penghasilan * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 6 -
Ormas * Pilihan Bupati 2013 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 7 -
2. PERILAKU MMEILIH PILPRES
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Prabowo-Hatta 200 52.1 52.1 52.1
Jokowi-JK 158 41.1 41.1 93.2
GOLPUT 26 6.8 6.8 100.0
Total 384 100.0 100.0
Crosstabs
LAMPIRAN 4 - 8 -
Kecamatan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 10 -
Umur Resp * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 11 -
Pendidikan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 12 -
Pekerjaan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 13 -
Penghasilan * Pilihan Presiden 2014 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 14 -
3. PERILAKU MEMILIH PARTAI
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid PDIP 50 13.0 13.0 13.0
Golkar 46 12.0 12.0 25.0
PKB 118 30.7 30.7 55.7
PPP 40 10.4 10.4 66.1
PAN 10 2.6 2.6 68.8
PD 30 7.8 7.8 76.6
Hanura 2 .5 .5 77.1
Gerindra 32 8.3 8.3 85.4
Nasdem 24 6.3 6.3 91.7
GOLPUT 32 8.3 8.3 100.0
Total 384 100.0 100.0
Crosstabs
LAMPIRAN 4 - 15 -
Dapil * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 16 -
Umur Resp * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 17 -
Pendidikan * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 18 -
Pekerjaan * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 19 -
Penghasilan * Pilihan Partai 2014 Crosstabulation
LAMPIRAN 4 - 20 -